Wednesday, December 31, 2008

MULAI MENULIS (SKENARIO)


Seorang teman –seorang sarjana- meminta kepada saya diajarkan cara menulis scenario (dia merasa menjadi penulis scenario gampang nyari duit dan dapatnya cepet, banyak pula). Saya memintanya membaca buku teori penulisan scenario yang saya dapatkan di IKJ sampai benar-benar paham. Ketika sudah selesai teman saya dating lagi dan mengatakan tidak tahu bagaimana caranya memulai menulis scenario. Saya bilang bahwa mulailah menulis saja. Karena kalau tidak pernah dimulai menulis, maka tidak akan pernah bisa menulis scenario. Teman saya ngotot bilang bahwa ia tidak bisa.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, kita pastilah pernah menulis sebuah surat, entah surat cinta, surat keterangan, surat kepada teman dan keluarga. Apakah kita secara serius belajar lebih dulu sewaktu menulis surat itu? Sebagain besar pastilah tidak. Toh kemudian surat itu jadi terus dikirimkan dan kemudian dibalas pula. Artinya kita berhasil menulis. Inilah yang disebut dengan mulai. Kita sudah terlalu banyak bicara tapi jarang sekali kita menuliskannya. Mestinya dengan kita cerewet, mudah saja kita menuliskannya. Sebagai sebuah kepentingan, terdesak atau tidak, menulis menjadi tuntutan. Celakanya kita sering dihinggapi penyakit menyepelekan. Soal mutu tulisan menjadi urusan kesekian, yang penting adalah kemauan untuk menulis.

Penyakit setelah menyepelekan adalah malas. Untuk lulus jadi sarjana, bukankah wajib membuat skripsi? Soal mutu tulisan seorang dengan predikat calon sarjana mustahil sama hasilnya dengan hasil karangan anak umur sembilan tahun. Dengan menjadi sarjana, dengan sendirinya bisa disebut intelektual. Meski untuk menjadi intelektual, tidak perlu mengatasnamakan cita-cita. Jadi kalau seorang calon sarjana bisa malas menulis, baik dengan alas an malas atau tidak bisa menulis, tidak ada gunanya kuliah bertahun-tahun.

Dengan demikian menulis adalah soal kemauan. Soal kapan mulai. Caranya untuk mulai menulis bermacam-macam. Sewaktu kuliah di IKJ, Seno Gumira Ajidarma menyuruh mahasiswanya menulis sambil menyetelkan musik. Hasilnya semua bisa menulis, tidak ada yang tidak berhasil menulis. Kabarnya dulu Almarhum Arifin C Noer ketika menulis skenario film ‘Taksi’ meminta kepada produsernya menyediakan sebuah taksi didepan rumahnya. Hanya nongkrong didepan rumahnya sampai skenarionya jadi. Dalam buku ‘Proses Kreatif II’ (Pamusuk Eneste), Almarhum Umar Kayam pertama kali menulis (cerpen) setelah melihat suatu perampasan tas seorang wanita oleh pemuda negro di New York. Peristiwa itu sangat mengejutkannya dan kemudian ditulisnya peristiwa itu meski masih dianggap sebagai kejadian yang ‘dilaporkan’, belum menjadi sebuah karya sastra. Selanjutnya menurut Umar Kayam, menulis pada akhirnya adalah masalah kemauan yang pribadi sekali, masalah determinasi. Selanjutnya, ternyata, boleh apasaja ikut terjadi.

IDE YANG TIDAK HABIS-HABIS


Beberapa tahun lalu di sebuah Koran dituliskan bawah seorang penonton film di Taiwan melontarkan lelucon yang bernada sinis begini (setelah menonton film Born on the Fourth of July): Tidak habis mengerti mengapa orang Amerika Serikat sedemikian tertarik pada perang Vietnam! (padahal sudah jelas bahwa Amerika kalah perang di sana tapi lucunya setiap film yang dibuat tokohnya selalu menang). Setelah ide perang Vietnam ‘habis’, lalu perang Irak (plus orang islamnya dijadikan musuh baru setelah Uni Sovyet runtuh) dijadikan ‘ide’ baru.

Bisa jadi jawaban para pembuat film di Hollywood sana menyodorkan sebuah rumus sederhana: bahwa dalam membuat film cerita tak usah berbelit-belit. Yang penting make it simple and keep it moving. Intinya jangan membuat film yang serba sukar yang akhirnya penonton tidak mengerti. Buatlah yang sederhana termasuk kisahnya.

Apakah sebuah ide harus sejalan dengan kondisi masyarakatnya? Untuk urusan sebuah industri film, kebebasan ide adalah sesuatu yang mutlak. Rumus industri film adalah seberapa banyak karcis laku dijual. Selama ide film yang akan dibuat ‘kira-kira’ akan membuat banyak penonton dating ke bioskop, produser akan membuatnya. Hollywood membuat berulang-ulang ‘mitos’ perang Vietnam karena masih laku. Seperti juga pembuat film kita yang masih belum beranjak dari tema horror dan mistik –meskipun tema yang lain banyak dan pasti laku.

Soal ide, Indonesia tidak akan pernah kehabisan untuk diangkat sebagai bahan film. Sayangnya kita masih sering memakai aji mumpung. Saat ide film horror dan mistik laku di pasaran, yang lain ‘latah’ membuatnya. Sepanjang kelatahan itu diikuti dengan kualitas pembuatannya – pertama-tama dari segi scenario tentu saja- maka hal itu tidak pernah menjadi masalah. Seperti juga Hollywood membuat ide Perang Vietnam, Hollywood tidak lantas membuat film Perang Vietnam asal-asalan. Ide boleh saja sama, tapi isi kepala pembuatnya pastilah berbeda-beda. Supaya yang berbeda itu sama kualitasnya, lagi-lagi yang pertama dibutuhkan adalah penulis scenario yang mengerti betul masalah yang ditulisnya dan mempunyai referensi yang serius.
Menulis skenario memang harus serius. Supaya bisa serius, idenya harus kuat. Tidak harus ide itu dari cerminan masyarakat secara factual. Isi kehidupan ini terlalu beragam untuk dijadikan bahan ide. Bagaimana cara kita mengolah ide itu menjadi menarik dan nantinya bagus di tonton saat menjadi film, itulah tugas penulis scenario. Syukur-syukur ide filmnya nanti bisa dijadikan bahan diskusi dan kajian. Dianggap berhasil saja sudah bagus. Minimal banyak yang nontonlah.

Mencari ide kadang memaksa kita mejadi seorang pengkhayal –pemimpi. Saat kita anak-anak, kita mengkhayal menjadi pendekar tanpa tanding setelah membaca komik silat. Seorang pendekar gampang saja tenang dikepung musuh berjumlah puluhan. Logika itu pelan-pelan bergeser saat kita pernah berkelahi beneran. Segalanya berubah saat musuh sudah didepan mata. Saat itu yang dibutuhkan bukan lagi khayalan tapi naluri yang terlatih, butuh gerak reflek yang dilatih bertahun-tahun.

Begitu juga ide. Supaya kita mempunyai banyak ide, kita harus berlatih terus menerus untuk mempunyai naluri yang terlatih. Karena kalau tidak, meski kita banyak ide malah bisa jadi bahaya buat kita. Bahaya orang banyak ide kadang terletak pada kesadaran realitasnya. Saya tak pernah takut berkelahi, karena pasti gampang sekali menangkis serangan musuh. Ini fantasi anak-anak pembaca komik silat diatas. Yang terjadi adalah saat benar-benar berkelahi, muka kita sudah bonyok duluan sebelum kita melakukan apa-apa. Maka berlatihlah.

Tuesday, December 30, 2008

SKENARIO DAN SENI PERAN


Kalau ada penonton film tertawa padahal bintang film yang memainkannya bukan seorang pelawak, maka dipastikan hal itu disebabkan kekuatan skenarionya. Memang factor seorang pemain juga menentukan, sejauh mana pemain itu mampu mengkhayati peran yang dimainkannya tersebut. Tapi sekali lagi factor kekuatan scenario menjadi factor penting bagi keberhasilan film itu sendiri.

Makanya kalau ada sebuah film komedi yang pemainnya sudah mengandalkan seorang pelawak tapi lemah dalam scenario, jangan mengharap film itu menjadi film komedi yang baik dan lucu. Sambil mengharapkan scenario yang kuat, factor sutradara dan pemain juga tak kalah penting. Kalau pemain itu seorang pelawak sungguhan, hal yang terjadi bukan lagi masalah lucu, tapi masalah acting. Bagaimanapun, seorang pelawak tidak dengan sendirinya mempunyai akting bagus. Karena acting perlu latihan khusus.

Membuat scenario komedi tidak berbeda dengan membuat scenario cerita film dengan tema lain pada umumnya. Plot atau alur ceritanya yang membedakannya. Di Indonesia film komedi masih cenderung mengandalkan slapstik. Jadi scenario hanya menuntun kepada karakter tokohnya yang lucunya dibuat dan dipaksakan, lebih banyak bermain gestur tubuh dan serba kebetulan. Jadi hanya sebatas hiburan belaka yang tidak banyak implikasinya kepada penonton. Berbeda dengan film komedi yang mengandalkan dialog lucu terus ditunjang dengan gambar yang mendukung.

Film komedi Indonesia yang lucunya bisa dirasakan sampai sekarang adalah KEJARLAH DAKU KAU KUTANGKAP yang ditulis Almarhum Asrul Sani. Film komedi lainnya yang ditulisnya adalah KELUARGA MARKUM, OMONG BESAR. Ada juga Almarhum Nyak Abbas Akup yang menulis scenario sekaligus menyutradarainya. Karyanya antara lain KIPAS-KIPAS CARI ANGIN. Genersi setelahnya diwaranai dengan film-film komedi Warkop DKI, Doyok Kadir.

Menjadi penulis scenario komedi bisa jadi membutuhkan keahlian tersendiri. Referensi kelucuannya benar-benar harus banyak dan up to date, peka terhadapa masalah sekitarnya. Tapi Idealnya seorang penulis scenario, termasuk untuk jenis komedi, adalah seorang pelaku sekaligus pengamat berbagai permasalahan kehidupan yang berusaha diungkapkannya lewat sebuah tulisan. Masalah yang diangkat haruslah menarik dan sesuai dengan seleranya yang subyektif, meski permasalahannya sendiri bersifat netral. Seorang penulis scenario tiak mungkin bisa menuliskan ceritanya tanda didasari pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap dunia realitas.

Lucu atau tidak lucu sebuah scenario yang ditulis harus diuji lebih dahulu oleh orang yang membacanya pertama kali. Karena menurut kita sudah lucu, siapa tahu selera humor orang lain lebih tinggi dari kita. Tapi sering kali, hal yang paling lucu adalah ketika kita bisa menertawakan diri kita sendiri.

MOOD MENULIS SKENARIO


Pernah suatu kali seorang teman penulis skenario berkata begini, “Ah gue lagi nggak ‘mood’ nih, padahal lagi dikejar deadline.” Saya tidak tahu sudah berapa lama teman saya ini menjadi penulis skenario, saya tahunya dulu bukan penulis skenario. Tapi apa yang terjadi dengan teman saya ini seharusnya dihindari dan jangan sampai terjadi. Dalam menulis, seseorang tidak bisa mengatasnamakan ‘mood’ untuk memulai menulis. Apalagi menulis sudah menjadi pekerjaan tetap. Bagaimana kalau menulis menunggu ‘mood’, sementara dapur kita tidak bisa menunggu ‘mood’ untuk memasak. Istri dan anak kita tidak bisa menunggu ‘mood’ untuk membeli baju dan mainan.

Ide itu bisa diminta dan diperjuangkan. Karena modal dasar seorang penulis (dalam hal ini penulis skenario), harus mampu mempunyai ide sebanyak mungkin yang sewaktu-waktu bisa ‘diminta’. Ketika ide ini ‘diminta’, ketepatan waktu adalah hal utama dan harus disiplin. Caranya menurut saya harus lahap membaca buku apasaja, menonton berbagai jenis tontonan –bukan hanya film dan juga melatih intuisi. Melatih intuisi termasuk di dalamnya ada hal yang disebut dengan ‘timing’.

‘Timing’ ada dua jenis, ‘timing’ dalam arti waktu yang sebenarnya dan ‘timing’ dalam arti ‘mengerti’ situasi. Saya melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bandung membutuhkan ‘waktu’ 2,5 jam. Tapi ketika saya menyatakan cinta kepada seorang wanita, saya harus tahu ‘waktu’ (timing) –karena kalau salah timing bisa ditolak. Dua hal berbeda kan? Jadi masalahnya pada kepekaan kita melihat situasi.

Akan tetapi ‘timing’ yang tepat dan menulis ketika sedang ‘mood’ bukan jaminan keberhasilan sebuah tulisan menjadi bagus dan berkualitas. Rumus keberhasilan adalah hal yang susah untuk dipahami. Ketika kita merasa tulisan kita sudah bagus, bisa menjadi lain ketika orang lain yang membacanya. Jadi yang harus terus menerus dilakukan adalah terus menulis, terus membaca dan menonton serta berdiskusi dengan sesama penulis –terutama dengan yang lebih jago.

Seorang penulis skenario yang baik harus siap setiap saat ketika dibutuhkan untuk menulis. Harus siap juga merevisinya dalam waktu yang sangat cepat. Menulis skenario pada draft pertama, pastilah akan banyak masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan produksi film. Masukan inilah yang menjadikan skenario membutuhkan revisi –dan biasanya waktu yang diberikan kepada penulis skenario sangat sedikit. Saat ini semua terjadi, penulis skenario tidak bisa menunggu ‘mood’.

PROSES KREATIF (SKENARIO)


Ketika masih menjadi mahasiswa IKJ, saya diangkat menjadi asisten dosen mata kuliah Penulisan Kreatif oleh Seno Gumira Ajidarma (SGA), setelah saya mengikuti kuliahnya sebelumnya. Metode pengajarannya yang tidak bisa saya lupakan sampai sekarang dan menurut saya bagus. Selama dua jam pelajaran diputarkan musik dari lagu-lagu klasik semacam Mozart atau musik-musik Kitaro. Dan mahasiswanya di suruh mengarang apasaja. Mau menulis cerita, pengalaman pribadi, puisi, surat cinta atau sekedar ungkapan kekesalan. Mahasiswa diberi kebebasan mengungkapkan isi pikirannya saat itu. Musik yang diputar memang menimbulkan dua kecenderungan. Ada yang merasa terusik karena jadi tidak bisa konsentrasi dalam menulis dan ada yang menyukainya untuk membangkitkan gairah menulis.

Apa yang diajarkan oleh SGA adalah sebuah proses kreatif –untuk menjadi penulis yang serius (termasuk menjadi penulis skenario). Dalam pengantar catatan kuliahnya SGA menulis begini:

Proses kreatif sebenarnya adalah sesuatu yang misterius. Barangkali seorang penulis bisa menjelaskan, bagaimana sebuah tulisan yang dianggap bagus menjadi begini atau begitu. Namun sebenarnya ia baru menjelaskan apa yang dikiranya menjadi begini atau begitu. Ada seribusatu factor yang saling menunjang sehingga menjadi tulisan, dan meskipun barangkali metodologi ilmiah mampu menguarai berbagai variable yang ada didalamnya secara sistematis, tetap saja tak akan pernah diketahui secara pasti mengapa seseorang mampu menulisnya dalam bentuk seperti itu, dan bukan yang lain.

Bahkan, barangkali tidak penting benar untuk mengetahui, mengapa sebuah tulisan menjadi bagus, karena penyebab tidak pernah penting, yang penting barangnya – tulisannya. Dua wartawan terjun dalam perang yang sama, laporan keduanya sama akurat, tapi nuansanya tetap saja berbeda, dan kita tidak pernah bisa bilang bahwa perbedaan itu disebabkan oleh perang yang sama, melainkan oleh proses kreatif dalam diri keduanya, dan proses kreatif itu, sekali lagi, misterius. Dalam tiga jilid buku Proses Kreatif yang disusun oleh Pamusuk Eneste, sekian banyak sastrawan berkisah tentang proses kreatif yang mereka selami daam melahirkan karya-karyanyam, namun toh tak akan pernah bisa disulap menjadi metode, karena proses kreatif setiap orang adalah unik.

Sehingga pertanyaannya barangkali, bukanlah mengapa sebuah tulisan mencapai bentuk tertentu, karena hal itu meski isa dipelajari, toh tidak bisa ditiru –melainkan: bagaimana caranya sehingga proses didalam diri seorang penulis adalah proses yang kreatif, sehingga tulisannya pun menjadi hasil kerja yang kreatif? Tepatnya: bagaimana caranya kita melatih diri agar menjadi penulis yang kreatif.

Banyak orang berpendapat, untuk menjadi seorang penulis yang kreatif diperlukan bakat. Menurut saya, bakat adalah urusan para jenius, urusan orang-orang yang sudah bisa membca pada umur tiga tahun, dan sudah mampu menulis pada umur empat tahun. Dengan kata lain, bagi kita orang-orang biasa, bakat bukanlah rusan kita. Karena dalam pengertian bakat terkandung keajaiban: seseorang tidak ingin menjadi penulis, toh ketika iseng-iseng menulis, tulisannya lebih baik dari kita yang sudah ikut workshop. Ini kan bisa bikin minder?

Tentu harus selalu ada harapan pada orang-orang yang tidak berbakat, jika ia memang ingin menjadi penulis, dan harapan ini harus begitu kuatnya, sehingga melahirkan motivasi yang bukan hanya kuat, tapi juga sangat keras. Motivasi ini sangat penting, karena memang motivasi inilah yang akan menggerakan seluruh tindakan kita. Tepatnya anda pasti akan menjadi penulis jika memang anda ingin jadi seorang penulis –dengan catatan: keinginan anda adalah keinginan yang tak tertahankan.

Menulis adaah suatu pengerahan batin, kita mempertaruhkan bagus dan tidaknya pada seluruh kemampuan kita: mulai yang paling teknis, seperti pengumpulan bahan tertulis, sampai penulisan bentuknya ang mesti kreatif. –jangan sampai sama dengan yang lain.

Biasanya dalam tahap proses ini, kita sering terjebak pada berbagai ‘standar’ yang sudah baku, mengenai bentuk-bentuk tulisan tertentu yang dianggap bagus. Menurut saya, jika anda ingin menggali potensi kreatif dalam diri anda, makan anda harus menolak semua standar dan mencari jalan sendiri. Mula-mula akan susah payah, seperti ketika kita untuk pertama kalinya mendaki gunung, jangankan untuk naik, mana jalannya saja kita tak tahu. Namun pada pendakian yang ke-1000, kita bahkan tinggal memilih jalan mana yang akan kita lewati.

Untuk mencapai semua ini, tidak bisa tidak, kita hanya bisa mulai menulis, karena tanpa itu semua teori dan metode adalah omong kosong. Buku satu lemari boleh bahkan wajib kita baca sebagai perbendaharaan ilmu pengetahuan, namun hanya penulisan itu sendiri yang akan menjadikan kita seorang penulis. Namun jangan salah paham, untuk menjadi penulis sebenarnya, kita tidak sekadar belajar bagaimana caranya menulis, melainkan belajar mengungkapkan kembali kehidupan.

Dari sini kita isa memilah berbagai aspek.
Pertama, soal pengungkapan. Artinya ini adalah soal bentuk tulisan. Kita jangan mimpi akan pernah mencapai bentuk an gaya tulisan kita sendiri, jika kita jarang apalagi tidak pernah mengamati bentuk dan gaya seluruh tulisan yang ada di dunia ini. Saya memang mengambil titik ekstrem, untuk menekankan betapa pentingnya kita membaca. Tepatnya, membaca sambil mempelajari.

Setiap kali anda merasa telah membaca sebuah tulisan yang bagus, pelajarilah dimana bagusnya tulian itu, sampai ngelotok! Ketika anda menemukan dimana bagusnya, bagaimana caranya gagasan itu disampaikan, maka itu berarti anda telah mendapatkan sesuatu –semacam mendapat ilmu. Dan setiap tetes pengetahuan ini, langsung atau tidak langsung, akan menyumbang kepada proses kreatif penjelajahan anda ketika menulis. Ya, dalam menulis kita selalu akan bergerak dari penemuan satu ke penemuan lain.

Kedua, adalah pengkhayatan atas apa yang kita sebut sebagai kehidupan. Kita harus selalu membuka diri terhadap setiap inci gerak kehidupan di segala bidang, lewat apa yang kita baca, maupun lewat apa yang kita alami secara fisik maupun dalam batin. Sehingga, dalam pengertian kedua ini terdapat tiga criteria: Satu, pengkhayatan intelektual –suatu exercise untuk logika dan rasio. Dua, pengkhaatan fisik –mengalami sendiri. Tiga, pengkhayatan psikis –menjadikan setiap pengalaman bermakna dalam hati. Ketiga hal ini mnjadi satu metode: kita harus peka. Tanpa kepekaan atas apapun yang hidup di sekitar kita, kreatifitas adalah lagi-lagi omong kosong.

Jadi kalau catatan ini mau dibikin ra-dara sistematis, semacam metode untuk terjun dalam proses kreatif adalah:
1. Motivasi yang kuat
1. Mulai menulis
1. Lahap membaca
2. Peka terhadap segala hal
3. Menolak semua standar.

***
Dalam mengikuti kuliahnya, SGA meminta kepada mahasiswanya untuk membaca buku:
1. PROSES KREATIF 1-3 yang disusun Pamusuk Eneste.
2. MENGARANG ITU GAMPANG karangan Arswendo Atmowiloto
3. YUK NULIS CERPEN YUK karangan Mohamad Diponegoro
4. SEMUA BUKU JS BADUDU
5. SEMUA BUKU ANTON M.MOELIONO

Untuk menjadi seorang penulis skenario, proses kreatif yang di paparkan diatas juga sangat perlu dipahami. Tinggal kemudian mempelajari teori penulisan skenario. Karena menjadi penulis skenario sedikit berbeda dibanding menjadi penulis lainnya. Sebelum saya masuk IKJ dan mengambil jurusan spesialisasi penulisan skenario, saya membeli buku berjudul MENULIS SKENARIO (mungkin salah- bukunya susah dicari ditumpukan) karangan RM SULARTO (lupa lagi saya mungkin salah juga) yang saya beli di pasar Johar Semarang. Saya baca berulangkali dan saya coba mulai meniru menulis skenario. Tapi tidak pernah menjadi skenario yang saya pahami sekarang. Wagu-nya luar biasa dan setelah saya lihat (beberapa tahun yang lalu masih ada) minta ampun jeleknya. Makanya saya punya niat, menuliskan teori penulisan scenario menurut pengetahuan dan pengalaman saya, di blog ini.

AYO BELAJAR FILM

 Resensi buku: DASAR-DASAR APRESIASI FILM
karya Marselli Sumarno -- Penerbit Grasindo 1996 –
Kompas 16 Maret 1997
Oleh Joko Supriyono

Kita harus menerima suatu asumsi yang agak sinis, bahwa penonton film kita masih  rendah tngkat apresiasinya. Film masih berhenti pada pemahaman sebagai entertainment, bukan sebagai sebuah karya seni. Kita masih memberi batasan, film itu bagus selama kita masih berada dalam gedung bioskop, tapi duapuluh empat jam kemudian kita sudah lupa sama sekali.

Padahal sebagai bentuk kesenian, media film sama dengan media artistic lainnya, karena film mempunyai sifat-sifat dasar dari media lain tersebut. Seperti halnya seni lukis atau seni pahat, film juga mempergunakan garis, warna,bentuk, volume, susunan dan massa. Jadi dilm sama berharganya dan sama tidak berharganya seperti drama,tari, pantomim atau puisi atau bentuk kesenian lain yang terlebih dahulu dianggap orang sebagai bentuk kesenian yang patut dihargai.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kesanggupan megapresiasi film suatu kepandaian yang erlu dipelajari? Tanpa harus melewati pendidikan terlebih dahulu, seorang anak berumur tak lebih dari lima tahun dengan sedikit kepandaiannya, dapat ‘menangkap’ isi dasar sebuah film. Kesanggupan untuk dapat ‘menangkap’ dengan lebih mudah dibandingkan dengan ‘memahaminya’ dikarenakan media film begitu dekat dengan kenyataan.

Film mempunyai kesanggupan untuk memainkan waktu dan ruang, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerak majukan atau memundurkannya secara bebas. Dengan demikian sesungguhnya film adalah sebuah seni yang tinggi sekaligus menjadi seni yang paling penting di abad ini. Tapi ironisnya, kita tidak pernah mempertanyakan bagaimana sebuah film melewati prosesnya untuk menjadi produk film yang siap memberikan kepada kita segenap informasi, hiburan sekaligus pelajaran.

Buku Dasar-Dasar Apresiasi Film ini siap menjawab pertanyaan tersebut. Penulis buku tersebut –pengamat film dan dosen institut kesenian Jakarta—mengemukakan keprihatinannya (untuk menyebut alas an) bahwa kenyataan di negeri kita apresiasi film paling tertinggal dibandingkan apresiasi cabang-cabang kesenian lain. Kalimat itu juga yang dijadikan premis penting yang diajukan buku ini.

Ketika seni sastra, seni musik dan seni rupa diperkenalkan sejak bangku sekolah dasar, maka aparesiasi film menjadi pengecualian. Padahal apresiasi film –yang mengadung seni sastra, seni musik, dan seni rupa—paling baik ditanamkan sejak dini. Hal ini berangkat dari suatu kenyataan, anak-anak zaman sekarang yang belum mampu membaca menulis,, telah berhadapan dengan televisi yang menyajikan berbagai tayangan film (hal.IX).

Dengan dasar visi tersebut, maka buku ini boleh dibilang sebagai buku pertama yang memberikan pengetahuan kepada kita bagaimana membaca sebuah film. Sangat langka (untuk mengatakan tidak ada) buku yang secara khusus membicarakan apresiasi film. Maka Dasar-dasar Apresiasi Film menjadi buku perintis.

Untuk membedah pengetahunan tentang film beserta unsure-unsur didalamnya yang sangat ama kompleks, buku setebal 127 halaman ini kurang ideal (mengacu kepada juamlah halaman). Tapi untuk mengenal media yang bernama film yang ternyata sudah sangat kita akrabi ini, buku tepat sebagai pegangan. Kita diajak untuk mengetahui proses produksi film sebelum menjadi menjadi sebuah prototype kehidupan keseharian yang kita tonton di layar. Bagaimana film itu dibuat untuk bisa berbicara dengan kita, sekaligus bagaimana kita membaca film itu.

Untuk mengataka sempurna barangkali tidak, tapi bahwa buku ini bisa dibilang lengkap. Tidak saja karena sistematis, memuat daftar istilah, indeks, akan tetapi juga buku ini memberikan cara memakai buku ini. Dalam kata Pengantarnya, penulis memberikan sasaran pembaca buku ini terutama kepada para pelajar, guru dan mahasiswa. Dan buku ini agaknya telah berhasil merangkul segmen pembaca tersebut.

Sedikit sayang, layout buku ini terkesan ‘berdesak-desakan’.Selain itu gambar-gambar yang dimaksudkan sebagai shot (missal di hal. 61 dan 62) mestinya berbentuk persegi panjang dan bukan persegi empat. Hal ini sesuai dengan hasil proyeksi di layar putih yang berbentuk persegi panjang.

Adalah sebuah sumbangan besar, ketika dunia perfilman kita sedang mengalami ‘koma’, buku ini justru hadir sebagai pencerahan. Kita sudah terlalu sering mendengar adanya seminar, diskusi, forum, yang membicarakan perflman Indonesia yang sedang berada di titik nadir ini. Bicara memang penting, tapi yang lebih penting adalah berbuat sesuatu.

Membiarakan masalah perfilman tidak akan selesai dengan tuntas begitu saja. Film mempunyai bentuk mekanisme yang konstelasinya begitu rumit. Untuk mencapai bentuk deal, penangannya harus disertai dengan luasnya cakrawala tentang berbagai ujud kehidupan yang sangat beragam.

Kita boleh saja menunggu fajar perfilman besok pagi, tapi siapa tahu fajar itu tak pernah benar-benar terbit. Dan sekali lagi, buku ini barangkali bisa menjadi pencerahan, walaupun masih sangat awal.

(Joko Supriyono, mahasiswa tingkat akhir Institut Kesenian Jakarta)


REALITAS (SKENARIO) INDONESIA


Di tengah beberapa persoalan perfilman Indonesia --untuk menyebut masih banyak, beberapa tahun belakangan ini film Indonesia menunjukkan kenaikan produksi. Apalagi juga digelar Festifal Film Indonesia, meskipun semakin tidak jelas arahnya kecuali hanya sebatas seremonial dan basa basi untuk mengisi waktu. Dari segi penonton, film Indonesia sesungguhnya sangat sedikit dengan mengacu jumlah penduduk. Almarhum Asrul Sani dalam sebuah wawancara tahun 1997 pernah mengatakan begini : “Film Indonesia sudah tidak ditonton lagi karena ada penggantinya di televisi. Film Indonesia banyak diputar disitu. Kenapa film Indonesia di bioskop tidak bisa bersaing dengan film Indonesia di televisi? Itu karena tekhnologinya sama, ceritanya sama sederhana, jeleknya permainan juga sama, nilai produksinya juga sama. Jadi buat apa orang menghabiskan uang, waktu dan tenaga untuk pergi ke bioskop untuk menonton hasil yang sama?”

Sampai sekarang di penghujung tahun 2008 ini, apa yang dikatakan Asrul Sani masih relevan. Bolehlah tekhnologi yang digunakan sama, pemainnya juga sama, nilai produksinya juga sama, tapi seharusnya ceritanya jangan sesederhana sinetron! Penonton datang ke bioskop tidak hanya untuk sekedar menonton, tapi harus mendapatkan kepuasan tersendiri. Paling tidak lewat cerita yang bagus. Bagian mana yang harus dibenahi dalam film Indonesia pertama kali? Jawabannya hanya penulisan skenario.

Setting cerita film Indonesia –juga sinetron, sebagian besar berlangsung di negeri antah berantah. Trend atau kecenderungan pasar kadang sangat mempengaruhinya, diantaranya karena film Indonesia tumbuh ditengah pertumbuhan selera yang dibentuk oleh film Amerika, Hongkong, India –di sinetron dibentuk oleh Taiwan, Korea, Jepang, dan Amerika latin. Jadinya cerita yang dibuat lebih banyak meniru atau bahasa halusnya adaptasi film yang laku di pasar. Disamping itu ada factor lain, yaitu sepertinya ada usaha untuk melindungi masyarakat dari kenyataan-kenyataan yang ada pada abad ke 20. Dan yang pertama kali melakukannya adalah badan sensor.

Kalau mau jujur, penyensoran –baik yang dilakukan oleh lembaga resmi atau oleh sekelompok orang, itu sebenarnya munafik, karena dilarang di satu tempat tapi beredar di banyak tempat lain. Kalau suatu film dilarang diputar di bioskop, toh masih bisa dicari lewat kepingan VCD, DVD. Kalaupun belum ada barangnya, orang bisa mencarinya di dunia maya lewat internet. Selain itu dan ini yang paling penting, Penyensoran –termasuk masih dalam tahap belum produksi, juga membatasi kreatifitas penulis skenario.

Soal yang satu ini saya pernah mengalaminya sendiri di tahun 1997 ketika menulis skenario film layar lebar berdasarkan kisah nyata. Saat saya datang ke nara sumber, belum apa-apa pejabat tersebut melarang saya menulis yang jelek-jelek tentang mereka. Padahal tidak ada plot cerita yang memang untuk menjelekkan mereka. Artinya, masyarakat kita jangan-jangan memang tidak mau melihat diri kita yang sebenarnya. Tidak mau melihat realitas keseharian kita.

Apa ada film Indonesia yang memberikan gambaran yang setiap hari disajikan di Koran-koran dan berita di televisi? Apakah tentang korupsi, kolusi, penindasan orang kecil, lintah darat dan masih banyak lagi. Jadi di masyarakat kita ada satu golongan yang disebut ‘yang tidak boleh disentuh’, tapi justu yang sangat menentukan arti masyarakat itu sendiri.

Bagaimana film Indonesia mau maju kalau dari memilih tema saja sudah dibatasi. Barangkali saat ini, tema-tema film Indonesia sudah ada yang mulai mengangkat realitas keseharian kita –meskipun bisa dihitung dengan jari. Contoh paling mutakhir adalah Laskar Pelangi. Selebihnya tema film Indonesia masih seragam, masih latah dengan tema mistik yang diartikan sebatas penampakan kuburan dan horror yang tidak menakutkan serta pornografi baik dari segi judul yang bombastis maupun dari para pemainnya yang minim kostum.

Iklim keterbukaan mengangkat tema cerita film sekarang ini semakin bagus. Begitu banyak hal bisa diangkat menjadi sebuah cerita yang kuat, setelah itu tinggal menuliskan skenarionya dengan kuat pula. Karena tanpa skenario yang berkualitas, cerita yang kuat hanya jadi diskusi omong kosong. Skenario merupakan prosedur paling awal dari sebuah kolaborasi pembuatan sebuah film. Dari skenario, kontrol kualitas sebuah film bisa dilakukan.

Kembali ke Produser sebagai pemodal, harus mempunyai referensi yang serius untuk mendapatkan penulis skenario yang tidak sekedar sebagai tukang ketik dan asal bikin dialog jalan. Setiap orang berhak menjadi penulis skenario, tetapi apakah mereka mengerti bahwa menulis skenario itu bukan hanya bikin dialog dan nama tokoh? Indonesia adalah tempat dimana segala hal mudah. Menjadi apasaja mudah. Orang bekerja tidak pernah ada hubungannya dengan ilmu yang ada di ijazahnya. Teman saya seorang insinyur pertanian menjadi koordinator editing. Dia lebih jago mengoperasikan alat editing Avid daripada menguraikan jenis-jenis pupuk. Siapa yang salah dalam hal ini? Jawabannya Produser. Para Produser –tentu saja tidak semua, mempekerjakan orang baru dan pada awalnya tidak mengerti sama sekali soal film dan tetek bengeknya, karena tidak mau menggaji orang film yang sesungguhnya dengan alas an orang film bayarannya mahal.

Apakah benar crew dan pekerja film bayarannya mahal? Sepengatahuan saya tidak juga. Tergantung jenis proyeknya dan dengan siapa bekerja. Begitu juga dengan penulis skenario. Banyak sekali penulis skenario dadakan sekarang yang datang dengan berbagai latar belakang disiplin ilmu. Dari sarjana sampai wartawan. Dari pedagang sampai petualang. Barangkali bagi mereka memang mudah membuat sebuah skenario. Apa sih susahnya bikin skenario, cuma bikin karakter tokoh dan dialog! Kalau sudah begitu, mending keponakan saya berumur 9 tahun yang menjawabnya.

Monday, December 29, 2008

PENULIS SKENARIO


Saya mempunyai kliping sebuah artikel dari sebuah koran Jakarta yang sudah tidak terbit, yang tidak ada namanya pula. Saya selalu membacanya karena menurut saya sangat bagus isinya sebagai sebuah pelajaran. Judulnya Penulis Skenario. Begini isinya:

Ternyata menjadi penulis scenario berkaliber internasional harus memiliki wawasan yang luas dan modal uang yang besar. Seperti teman saya ini, tiap tahun ia harus menyediakan uang sebesar Rp 1 milyar untuk pembiayaan riset dan pembelian buku-buku baru yang terbit di seluruh dunia. “Tiap hari aku harus menyerap isi tiga judul buku,” ujarnya dengan nada tenang.

Teman saya ini seorang anak muda asal dari sebuah desa, di Jawa Tengah. Sejak duduk di bangku SMP, ia sudah gemar menulis terutama membuat cerita-cerita fiksi. Setamat SMA, ia menjadi kelasi di sebuah kapal dagang yang berlayar ke seluruh dunia. Selama menjadi pelaut, waktu luangnya ia manfaatkan untuk membaca buku, terutama buku-buku karya seniman besar.

Dua tahun menjadi kelasi, ia turun di Amerika Serikat. Dengan bekal uang secukupnya, ia berkelana di negeri Paman Sam. Karena pandai bergaul, ia berhasil menelusup ke tengah kehidupan masyarakat perfilman disana. Ia pun mengambil kursus tentang sinematografi, memilih jurusan penulisan scenario.

Sebelum mempelajari apa itu scenario, seluruh siswa diwajibkan untuk mendengarkan musik-musik tradisional dari seluruh dunia, termasuk musik gamelan Jawa dan Bali selama enam bulan. “Kata para guru disana, lewat musik tradisional kita jadi mengenal kesenian secara luas. Sebab musik merupakan bahasa universal yang paling utuh,” ungkapnya.

Pada saat ujian akhir, ia membuat sekanrio film cerita yang memaparkan tentang kejujuran anak muda yang bercita-cita ingin menaklukkan dunia ini. Ternyata skenarionya itu mendapat pujian dari tim penilai. Dan scenario itu pun, dibeli oleh produser film seharga 500 ribu dolar AS. “Seperti mimpi saja skenarioku ada yang membeli,” kenangnya.

Dari situlah ia bisa berkenalan dengan penulis-penulis scenario yang memiliki reputasi dunia, di antaranya Lucas. Hasil dari penjualan karya perdananya itu, ia gunakan untuk melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Di Negara-negara yang dikunjungi, ia mempelajari kebudayaannya. Sepulang dari perjalanannya itu, ia membuat satu scenario film cerita tentang masyarakat pedalaman di Afrika. Ternyata skenarionya itu diminati oleh sebuah perusahaan film besar dan dibeli 1 juta dolar AS.

Karena kebutuhan sebagai penulis scenario terus meningkat, ia membayar dua orang asisten yang kesemuanya wanita cantik yang menguasai berbagai bahasa. “Dua asisten itu bertugas membicarakan buku-buku yang aku beli. Mereka juga sering aku ajak pergi ke beberapa tempat risetku,” ujarnya.

“Selama aku menjadi penulis scenario harus menyediakan dana Rp 1 milyar tiap tahunnya untuk kebutuhan riset dan buku. Tanpa riset dan buku-buku sulit membuat sebuah scenario yang baik. Sebab film-film yang pasarnya menjangkau dunia membutuhkan cerita yang kuat,”tuturnya.

“Seorang penulis scenario harus mumpuni segala ilmu. Kalau tidak, minimal harus mengenalnya. Misal, ilmu mengenai kehutanan. Sebagai penulis scenario tidak harus menguasai benar tentang hutan, tapi paling tidak harus memahami apa itu hutan beserta karakternya. Supaya dalam menciptakan tokoh yang hidupnya tidak lepas dari masalah hutan, menjadi tidak wagu, tidak kaku. Seperti sekarang ini, aku akan membuat scenario tentang kehidupan orang-orang pendaki gunung. Mau tidak mau harus mempelajari tentang gunung beserta aktifitasnya. Risetnya bisa memakan waktu bertahun-tahun,” paparnya.

Tapi di sini orang membuat scenario empat hari selesai. Ini bagaimana? “Aku juga bisa membuat scenario dalam waktu dua hari. Tapi scenario macam apa? Hasilnya pasti dangkal, tidak ada yang ingin ditawarkan kepada kehidupan ini. Kalu cuma mau sekedar bikin cerita tidak sulit. Yang sulit itu bagaimana melahirkan sebuah tokoh yang benar-benar hidup dan bisa diterima oleh masyarakat mancanegara. Karena itu dibutuhkan riset yang lama,” jelasnya.

Saya manggut-manggut. Dia terdiam sejenak. “Sebetulnya Negara kita ini kaya dengan cerita yang sangat menarik. Tapi entah kenapa perfilman di sini tidak mau menggali,” ujarnya dengan nada lirih.***

Itu sebenarnya bukan artikel serius, tapi kolom santai yang maunya memberi perenungan kepada yang membaca bahwa kondisi perfilman kita butuh penulis scenario yang serius. Pintar saja tidak cukup, bisa mengarang cerita berjilid-jilid buku pun tidak cukup. Karena menjadi penulis scenario itu berbeda sama sekali dengan penulis novel, penulis artikel, penulis kolom, apalagi hanya hoby menulis.

Seorang penulis scenario harus paham dulu teori penulisan scenario. Format atau bentuk tulisan dalam sebuah skenario boleh dengan model apasaja, tapi sebuah skenario itu sesungguhnya tidak dibaca, tapi ‘dilihat’. Dalam arsitektur dibutuhkan blue print, dengan melihatnya saja (meskipun orang awam sekalipun) sudah tergambar seperti apa bentuk bangunannya. Begitu seharusnya sebuah skenario film. Apakah blue print sebuah gedung bertingkat 66 boleh dibuat oleh seorang insinyur pertanian? Boleh saja. Tukang lontong sayur juga boleh. Tapi bisa dipastikan, bakal ambruk gedung itu –bahkan sebelum berdiri.

Tapi skenario film Indonesia…..?….??!/@$#^&+_$

Pada mulanya adalah cerita


Sekarang mari kita bicara soal Film Indonesia. Satu hal yang harus terus menerus kita pertanyakan adalah, dimanakah kelemahan film Indonesia? Pemain sudah bagus, peralatan mutakhir bisa kita beli, sutradara sudah ‘sekolahan’ dan ‘kenyang pengalaman’, tetapi kenapa film Indonesia belum juga ‘memuaskan’? Jangankan untuk menjadi bagus, menjadi jelas saja sulit?

Satu-satunya jawaban adalah penulisan skenario. Skenario adalah bahan dasar sebuah film atau blue print. Menurut Don Livingston (dalam bukunya Film and the Director) rata-rata seorang sutradara bergantung sepenuhnya kepada penulis skenario. Makanya dari sebuah skenario yang bagus, harapan lahirnya film yang bagus sangat mungkin. Karena dari sebuah skenario yang buruk, sebuah film yang bagus sulit diharapkan.


Pembuatan film membutuhkan proses yang panjang. Dimulai dari modal uang dan penyedianya bernama Produser. Idealnya seorang produser bukan hanya orang yang tahu seluk beluk dagang, tapi juga memiliki pengetahuan kesenian yang luas. Maka yang dilakukan pertama kali adalah mencari cerita. Sumber cerita bisa didapatkan dengan berbagai cara. Dari cerita pendek, novel, komik, naskah panggung, dan lain-lain.

Langkah berikutnya tentu saja menemukan penulis skenario. Bersama-sama mereka membicarakan sebuah cerita yang akan dikembangkan menjadi sebuah basic story. Sebuah basic story mengandung ide dasar yang mempengaruhi keseluruhan cerita. Dari sebuah basic story dikembangkan menjadi sebuah Sinopsis. Dalam sinopsis, semua tergambar jelas perjalanan cerita dan tokoh-tokohnya. Setelah synopsis kemudian dikembangkan menjadi sebuah treatment atau outline, yang menjadi kerangka sebuah skenario. Didalam treatment atau outline, plot atau alur cerita sudah tersusun dan karakter tokohnya sudah tergambar jelas. Setelah itu, langkah terakhir adalah menulis skenario.

Kelihatannya, prosesnya memang panjang akan tetapi prosedur tersebut dibutuhkan untuk sistematis kerja dan untuk menghasilkan penulisan skenario yang sempurna. Meskipun begitu skenario terbuka untuk perubahan, penyesuaian dan ‘jarang’ tertuang seutuhnya ke dalam layar. Skenario juga tak bisa disebut karya sastra. Keindahan dan mutunya tidak tergantung pada apa yang tertulis. Karena sebuah skenario hanya sebagai bahan dasar atau blue print. Dialog hanya bagian kecil dari keseluruhan yang mementingkan gambar.

Kembali ke awal, untuk membuat skenario diperlukan sebuah cerita -yang berasal dari ide dasar. Merumuskan ide dasar merupakan pekerjaan utama untuk menyusun sebuah cerita yang utuh. Maka seperti sebuah pondasi, ide dasar harus benar-benar kuat menopang cerita. Dari sebuah cerita yang kuat, skenario yang bagus sangat mungkin diciptakan –tergantung jago tidaknya penulis skenarionya.

Skenario sebenarnya tidak untuk dibaca, tapi dilihat. Dimana teks yang tertulis yaitu deskripsinya adalah penggambaran visual. Makanya skenario tidak butuh rangkaian kalimat puitis sebagaimana novel atau karya sastra lainnya. Skenario hanya sebagai petunjuk membuat sebuah film.

mengkhayal-sampai-mati


Apalah arti sebuah nama. Jadi tidak penting benar untuk dicari jawabannya kenapa blog ini bernama seperti ini dan kenapa tidak bernama yang lain. Tapi tentu saja saya tidak bisa memberi nama blog ini dengan bidang pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan saya. Karena saya penulis (scenario), yang urusannya membuat cerita –baik berdasarkan kisah nyata atau benar-benar rekaan, otomatis saya butuh dan harus sering mengkhayal –sambil berpikir tentunya. Karena bidang pekerjaan ini sudah saya anggap serius, maka saya ingin melakukan pekerjaan ini sampai mati. Begitu kira-kira jawaban apa adanya.

Kadang masih ada keraguan juga, apakah menjadi penulis (scenario) di Indonesia bisa hidup layak? Standart hidup layak itu kata orang bisa punya rumah, bisa punya mobil –kalau bisa punya kebon yang luas sama empang buat pembibitan gurame. Tapi kita –terutama saya, sudah dilatih hidup prihatin sejak kecil. Bisa puasa senin kamis –kalau lagi mau. Perkara hidup susah sudah bukan barang baru. Saya kira setiap orang pernah merasakan hidup susah –meskipun mereka juga orang kaya yang duitnya sekarung-karung. Yang beda adalah tingkat kesusahannya itu dan jenis kesusahannya.

Orang biasa seperti saya jenis kesusahannya kadang tidak punya duit, otomatis tidak bisa makan. Jalan keluarnya ngutang. Orang kaya jenis kesusahannya buang duitnya buat beli apalagi. Rumah sudah punya dimana-dimana, dari pondok Indah sampai ujung berung, Mobil sudah penuh di garasi yang didisain seperti museum mobil, Apartement yang baru selalu beli. Apasaja bisa dibeli. Jadi betul juga kata Rhoma Irama, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Orangtua kita masih menganggap bahwa pekerjaan yang layak itu pegawai kantoran –kalau bisa pegawai negeri sipil karena bisa dapat pensiun. Tapi industri film Indonesia memang belum aman sekali untuk dijadikan lahan mencari nafkah. Sebentar mati sebentar hidup, Sebentar ilang sebentar muncul persis Kayak bisul. Padahal ini urusan perut. Anehnya lagi urusan perut masih terus bergantung pada pemerintah. Industri Hollywood maju bukan karena campur tangan pemerintah, tapi pemerintah memberikan kebebasan sehingga industrinya bisa mandiri. Kita negerinya lain. Soal tempe bongkrek saja diurusin pemerintah, apalagi urusan yang lebih gede.

Dalam buku Proses Kreatif II (Pamusuk Eneste) Pengarang Hamsad Rangkuti mengatakan bahwa ia adalah seorang pengelamun yang parah sejak kecil. Dia suka duduk berjam-jam di atas pohon membiarkan pikirannya terbang ke mana dia suka tanpa dia mengontrolnya dan dia merasa nikmat. Hamsad Rangkuti kecil juga suka menonton Ketoprak dan ludruk dan diapun mengenal cerita Jaka Tarub. Maka dalam khayalannya dia selanjutnya, dia naik ke puncak pohon dan mengintip gadis-gadis mandi di sungai.

Mengkhayal kadang kita butuhkan supaya kita mempunyai motivasi, supaya kita punya cita-cita. Soal kita tidak menjadi apa yang kita khayalkan, toh kita masih isa terus mengkhayal –sampai mati bahkan. Jadi urusan saya menulis ini cuma mengenalkan kenapa blog ini bernama ini dan bukan yang lain. Buat saya yang penting mudah diingat dan sedikit mengharu biru. Jadi mulailah mengkhayal dari sekarang. Merdeka!