Sunday, September 13, 2009

DI TEPINYA KALI CIKEAS


Harian Kompas Minggu 9 Agustus 2009 memuat berita berjudul Bom Di tepi Kali Cikeas. Perincian kalimatnya begini, Rumah yang dihuni jaringan teroris di Blok D 12 itu terletak di tepi jalan paling belakang di Perum Puri Nusa Phala, yang langsung berhadapan dengan tembok pembatas kompleks perumahan. Di seberang tembok setinggi 1,5 meter itu mengalir Kali Cikeas yang dikepung oleh semak belukar yang cukup luas.

Tidak penting benar membahas soal kali Cikeas di banding dengan membicarakan soal penangkapan terorisme saat ini. Karena memang kali Cikeas tidak terkenal sama sekali kecuali sebagai sebuah sungai yang berhulu dari Bogor dan kemudian bertemu dengan kali Cilengsi dan membentuk Kali Bekasi yang bermuara di Muara Gembong dan ikut jadi penyumbang banjir di Bekasi (karena kebetulan di lewati aliran saja). Saat musim hujan dan ancaman banjir datang, Kali Cikeas menjadi terkenal tapi kali ini kali Cikeas menjadi ikut-ikutan di sebut karena di tepinya, dibatasi dengan tembok, di Perumahan Nusa Phala terdapat ‘sarang teroris’.

Kali Cikeas juga tidak pernah di sebut-sebut saat orang dan media membicarakan Presiden SBY. Hanya karena sang presiden berumah di Puri Cikeas, maka Cikeas menjadi terkenal, tapi tidak KALI-nya. Cikeas adalah sebuah desa yang masuk wilayah kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Kurang lebih 5 Km dari Jalan Trans Yogi Cibubur. Tapi untuk ke Jakarta, jauh lebih nyaman dan bebas macet ke arah tol Gunung Putri, masuk tol Jagorawi. Cikeas menjadi terkenal setelah SBY menjadi Presiden Republik Indonesia. Prinsip ekonomi pun berlaku dengan segera. Harga tanah melonjak tinggi (membuat orang kampung berbondong-bondong menjual tanahnya), Perumahan-perumahan baru dibangun dengan segala promosi tiap akhir pekan di televisi (iklannya begini: segeralah hubungi marketing kami karena besok harga naik!), padahal minggu depan seperti itu lafgi iklan tayangannya. Semua sedang bergegas di Cikeas dan segala rencana bisnis sedang dirancang oleh orang-orang yang yang menginginkan keuntungan besar dari kepopuleran seorang Presiden.

Tapi di mana posisi Kali Cikeas? Sama sekali tidak penting di bahas karena banyak hal yang lebih penting, yaitu teroris dan bom. Tapi setidak-tidaknya, untuk sekali ini Kali Cikeas di sebut-sebut meski lagi-lagi tidak terlalu menyenangkan karena di hubungkan dengan BOM. Saya juga tidak yakin, Kali Cikeas akan memberikan inspirasi bagi musisi untuk membuat lagu berjudul Di Tepinya Kali Cikeas, sebagaimana lagu Bengawan Solo dan Di Tepinya Sungai Serayu.

Monday, September 7, 2009

MERANTAU



Ada sebuah anekdot, bahwa ketika Neil Amstrong mendarat di Bulan bersama Apallo 11, dia sangat terkejut mendapati orang Minangkabau/Padang sudah lebih duluan sampai di sana untuk membuka rumah makan Padang. Orang Minang memang terkenal karena memiliki budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku bangsa tertentu saja di Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau, etnis yang juga mempunyai budaya merantau adalah Bugis, Banjar, Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan Madura.

Menurut Sosiolog Mochtar Naim dalam bukunya Merantau,Pola Migrasi Suku Minangkabau begini: Melembaganya tradisi merantau dalam sistem sosial Minangkabau adalah efek dari sistem sosial yang tidak memberi "tempat" kaum laki-laki, dengan posisi
yang lemah, baik di rumah ibunya maupun di rumah istrinya. Harta tidak diwariskan kepada laki-laki. Di rumah ibunya laki-laki tidak mempunyai kamar, sedangkan di rumah istri ia hanya boleh datang di malam hari.

Dengan posisi yang tidak mapan, sistem sosial budaya memberi legitimasi bahwa yang di rumah itu (yang di kampung) adalah kaum perempuan, bahwa laki-laki baru menjadi laki-laki hanya dengan cara merantau. Hal itu sebagai suatu inisiasi menuju kedewasaan laki-laki, kewajiban sosial yang dipikulnya sebagai laki-laki; mencari harta, ilmu, dan pengalaman.Karena bertentangan dengan dorongan hasrat untuk berkuasa, memiliki, menetap, dan tidak mau berpisah. Kalau dia kalah dalam konflik itu, maka ia tidak akan jadi dewasa.

Inti dari merantau adalah kemampuan untuk memisahkan diri dari sesuatu yang disayangi untuk mematangkan diri, untuk jadi manusia (jadi orang), untuk menemukan jati dirinya. Kondisi sebagai perantau membuat orang harus bekerja keras, mencintai pekerjaan, mempunyai perencanaan hidup, menghargai waktu, berani menanggung risiko, jujur dan punya rasa tanggung jawab tinggi, menghormati hukum, hormat pada hak orang dan menjunjung tinggi sopan santun.

Jadi budaya Merantau orang Minang adalah Sesuatu yang menunjukkan bahwa ia datang dari budaya ibu, budaya matrilineal, system kekerabatan yang menganut garis Ibu. Kata seperti itu tidak akan sanggup diucapkan oleh seorang ibu bertradisi patrilineal. Karena, siapakah yang mau berpisah dengan anaknya. Apalagi anak kesayangan. Tradisi matrilineal menghadirkan cinta kasih sayang yang berbeda dengan patrilineal.

Merantau melahirkan budaya mudik dan itu terjadi setiap tahun sekali. Sebelum lebaran para perantau berbondong-bondong mudik ke kampung halamanya. Entahlah kebiasaan itu sejak kapan terjadi, yang pasti nenek moyang kitalah yang memberikan warisan budaya tersebut, yang begitu kental dengan ciri khas Indonesia.

Tulisan ini banyak sedikit ditulis karena terinspirasi setelah menonton film MERANTAU. Film Indonesia dengan budaya Merantau orang Minang dan pencak silat harimau, yang dibuat Sineas Inggris.