Monday, December 21, 2009

1998 (8)


BAB DUABELAS

Sudah berkumpul perwakilan mahasiswa dari berbagai Universitas  di seluruh Ibukota. Mereka datang sebagai utusan resmi yang mewakili kampus mereka masing-masing dan mempunyai rencana yang akan dibicarakan bersama. Ruangan itu penuh dengan warna warni jaket almamater. Mereka duduk membentuk formasi rapat. Fajar sudah membenamkan diri di kursi dan diam, sementara Jarot sibuk mengatur teman-temannya mengambil tempat. Fajar tidak bisa mengikuti rapat itu dengan baik. Ia masih kelihatan belum bisa  menghilangkan kekalutannya. Jarot tahu ia harus siap menggantikan Fajar kalau teman-temannya juga tidak siap.
Pada dinding dibelakang ketua rapat, terbentang spanduk bertuliskan FORUM MAHASISWA INDONESIA. Beberapa wartawan media cetak dan elektronik mengikuti jalannya rapat itu. Seperti mengikuti rapat kabinet para Menteri di Bina Graha. Para wartawan bebas dalam hal apasaja, terutama cara berpakaian yang tidak perlu memakai dasi, juga berbagai aturan protokol lain yang tidak menyenangkan. Rosita dan Harry juga sudah berada di ruangan itu. Rosita sengaja tidak menyapa Fajar tapi terus memperhatikannya dari jauh.
“Sangat mendesak waktunya bagi kita untuk segera menyatukan tujuan gerakan kita,” Ketua rapat sudah berdiri. “Jelas gerakan yang kita lancarkan mula-mula adalah gerakan moral. Artinya, satu-satunya alasan kita melakukan gerakan ini adalah atas nama rakyat!"
Masing-masing utusan Universitas kemudian memberikan pandangannya. Rapat berlangsung lebih dari lima jam, sampai jauh larut malam. Fajar yang seharusnya  mewakili kampusnya memberikan pandangan, terpaksa diwakilkan Jarot. Ia tidak siap untuk mencurahkan seluruh kemampuannya berpikir, seperti halnya ketika ia pidato sewaktu demonstrasi. Ia cukup yakin teman-temannya mampu mewakilinya. Ia melihat Rosita kecewa ia tidak berdiri berpidato karena Harry sudah siap mengambil gambarnya. Sampai rapat selesai, ia berusaha menghindari Rosita. Tapi ternyata tidak bisa.
“Saya sangat mengharapkan kamu yang berdiri didepan tadi.”
“Hukumlah saya yang sudah  mengecewakanmu.”
“Kamu baik-baik saja?”
“Saya baik-baik saja.”
“Semoga terus begitu, karena saya masih membutuhkan kamu.”
“Saya harus pulang.”
“Saya antar.”
“Mungkin kalian masih harus mencari berita lain malam ini.” Fajar sudah berjalan karena dilihatnya Jarot sudah keluar ruangan.
“Kami sudah selesai.”
“Terimakasih, saya harus pulang dengan Jarot.”
“Mobilnya masih cukup untuk beberapa orang.” Rosita nampak begitu memaksa.
Fajar bisa menghirup parfum Rosita. Mereka begitu dekat. Fajar menatap Rosita. Ia tahu wanita ini begitu serius mengorek kisah hidupnya dan entah apalagi yang sedang dipikirkannya. Bau parfum Rosita telah mencolok lubang hidungnya dan ubun-ubunnya langsung menguap. Fantasi laki-lakinya bermain. Belum pernah segila ini pikirannya terhadap Inaya sekalipun. Tapi Rosita memberinya pandangan lain. Wanita yang dewasa dan kelihatannya membutuhkan sentuhan laki-laki.
Udara malam yang dingin menampar Fajar. “Saya tidak mau diantar. Saya takut ada hardtop yang mengejar saya lagi.” Fajar mengatakan itu pelan dan tegas.
"Hardtop? Maksudmu mobil jenis jeep hardtop pernah mengejarmu?" Rosita serius sekali.
"Itu juga akan kamu masukkan dalam laporanmu?"
"Tentu saja. Saya yakin kamu sedang diincar."
"Oleh siapa?"
"Jangan sok jago. Kamu dalam bahaya." Nadanya terdengar khawatir. "Kalau mereka sudah melakukannya sekali, kamu tinggal menunggu aksi kedua mereka dan mungkin dengan cara lain."
"Saya bisa jaga diri."
"Kamu harus saya antar."
"Saya jalan kaki saja." Fajar terus saja pergi mengejar Jarot yang sudah menunggunya di halaman Universitas yang mulai sepi. Rosita nampak begitu kesal kekhawatirannya dianggap angin lalu. Ya, ia mulai mempunyai perasaan khawatir pada Fajar. Diluar soal reportasenya, ia tidak bisa membohongi bahwa ia mulai menyukai lelaki itu.
Sepuluh menit kemudian Fajar dan Jarot sudah menyusuri trotoar kota yang sepi. Dan mereka tidak tahu jeep  hardtop itu  mengikuti.
“Kamu kejauhan buat pulang, nginep saja ditempat kostku.”
Fajar melihat jam tangannya. Sudah tak ada bis kota. Naik taksi bisa sepuluh kali lipat naik Patas AC sekalipun.   
“Aman nggak?”
“Kamu kira tempat kostku sarang maling?”
Mereka terus menyusuri trotoar kota yang semakin sepi. Tidak ada sisa-sisa kesibukan kota metropolitan siang hari. Orang-orang lebih suka berada diatas ranjangnya dan bercinta dalam gairah yang membara. Siklus hidup ternyata sama dibelahan dunia manapun. Bekerja keras dan selebihnya untuk menikmati kesenangan.
Fajar dan Jarot tidak pernah tahu bahwa jeep hardtop itu terus mengikuti sampai didepan rumah tempat kost Jarot.
---------
Tiba-tiba pintu itu jebol terkena hantaman keras dari luar. Sinar lampu menerobos masuk ke dalam kamar ukuran 4 X 3 meter yang gelap itu. Empat laki-laki dengan pakaian tebal dan penutup kepala terbuat dari wol, tinggal matanya saja yang kelihatan, menyerbu ke dalam kamar. Ditangan mereka tersandang senapan mesin. Mereka bergerak cepat tanpa keributan yang berarti.
Dalam sepuluh detik, Fajar dan Jarot dibangunkan dengan paksa dan diborgol.  Dibawah todongan senapan, mereka tidak punya kesempatan membuka mulut, lalu diseret keluar kamar dengan sangat kasar. Dua menit kemudian, kamar itu telah kosong menyisakan sebuah sepi yang panjang.
Lima puluh tiga menit kemudian, kepala Fajar dibanting ke atas meja oleh sebuah tangan kekar, lalu dijambak rambutnya dan didongakkan ke atas. Darah keluar dari hidung dan mulut yang sudah robek. Fajar tidak bisa melihat sekelilingnya. Pandangannya kabur dan merasa akan dijemput malaikat maut. Ia duduk di kursi dengan kedua tangan diborgol ke belakang sandaran kursi. Sinar lampu hanya jatuh diatas kepalanya, sementara di sekelilingnya gelap.
Samar-samar Fajar melihat ada nyala puntung rokok yang disedot seseorang didepannya yang gelap. Ia yakin ada seseorang didepannya dan dugaannya benar karena dari sanalah sebuah suara keluar.
"Kamu tahu kenapa berada disini? Karena kamu sedang bermimpi menjadi pahlawan." Suaranya ketus, lalu membentak, “Dibayar sama siapa kamu untuk menghasut orang?!”
Fajar hanya bisa menggeleng. Mulutnya kaku karena berdarah.
“Kamu tahu apa yang kamu lakukan itu menghasut? Kamu PKI ya? Komunis ya?”
Fajar menggeleng lagi. Akibatnya kepalanya dibanting lagi oleh tangan kekar itu. Lampu di sudut lain ruangan itu menyala. Seorang Pemuda duduk di kursi listrik dan kelihatan tidak bertenaga sama sekali. Disampingnya terdapat sel-sel seperti penjara dan didalamnya berisi laki-laki yang semuanya masih berusia muda dalam keadaan kepayahan. Seperti tinggal menunggu giliran dijemput malaikat maut.
Fajar tak bisa melihat kalau di salah satu sel itu terdapat Jarot,  yang sedang dalam ketakutan yang luar biasa. Kacamatanya lenyap dan itu cukup menghalanginya melihat keadaan ruangan dan siapa yang telah membuatnya terguncang seperti itu. Sisa ingatannya hanya sampai pada detik dimana ia diseret dari dalam kamarnya. Selebihnya gelap, karena matanya terus ditutupi dengan kain hitam. 




 BAB TIGABELAS

Keadaan menjadi gempar. Berita hilangnya Fajar dan Jarot cepat menjadi berita hangat di Universitas. Berita demonstrasi di kota lain di koran pagi tidak berarti banyak.  Rosita dan Harry sudah berada di ruangan yang sedang berduka itu. Rosita nampak sibuk menelpon lewat handphone-nya. Ruangan itu menghentikan kegiatannya secara otomatis. Inaya kelihatan habis menangis dan duduk di sudut ruangan sendirian.
Seorang mahasiswa yang tampaknya menonjol segera mengambil alih keadaan dan membuat suatu rapat kecil. Tegang. Seperti menghadapi perang.  “Kesimpulan sementara kita adalah, Fajar dan Jarot diculik,” katanya berapi-api. “Dan kita akan mengirimkan wakil kita untuk melapor ke Kontras. “
Penculikan bukan berita mengejutkan bagi Rosita. Aktivis partai politik yang bersuara kritis, aktivis pro demokrasi yang menginginkan perubahan atau mereka yang dianggap bersuara vokal, telah banyak yang dilaporkan hilang dan belum pernah kembali. Bahkan ada yang telah delapan bulan tidak ada kabar berita, mati atau masih hidup. Keberanian untuk berbeda pendapat dan berpikir kritis, telah menimbulkan kemarahan Penguasa. Dengan dalih mengamankan bangsa dan negara, harus dilakukan tindakan keras terhadap mereka. Penculikan dalam drama rumah tangga biasanya karena ada permintaan tebusan uang. Para aktivis dan mahasiswa seperti Fajar dan Jarot diculik, jelas bukan minta tebusan harta benda.  
Sangat sulit bagi Rosita untuk melakukan penyelidikan. Semuanya serba gelap. Yang tersisa tinggal dugaan-dugaan berdasarkan desas-desus yang berkembang dari mulut ke mulut. Entah siapa yang pertama kali mengatakan bahwa para aktivis dan mahasiswa seperti Fajar dan Jarot, diculik oleh pihak aparat keamanan. Dilihat dari bukti lapangan, desas-desus tersebut sangat beralasan. Cara operasi mereka yang sangat rapi dan tidak meninggalkan jejak.
“Saya punya keyakinan bahwa ada oknum aparat keamanan dibalik penculikan mereka,” Rosita sudah duduk didepan Roy Ambyah dan menyodorkan berkas tulisannya beberapa lembar.
“Hati-hati kalau bicara,” Roy kelihatan tegang.
“Mungkin saya terlalu gegabah. Tapi saya sudah datang ke Kontras. Saya kira saya cukup punya data.”
“Selengkap apapun datamu, kita tetap tidak bisa menyiarkannya.”
“Ini menyangkut nyawa manusia!” Nada Rosita meninggi.
“Kamu juga harus sadar siapa yang kita hadapi. Saya sudah berhasil membujuk Chief untuk siaran live. Tapi tolong singkirkan berita gila macam ini.”
Mungkin permintaannya berlebihan. Agaknya ia sedang hidup di sebuah tempat yang semuanya menuntut serba hati-hati. Ia memang tidak siap untuk diculik seperti  Fajar. Tapi ia juga tidak bisa hanya sebagai orang yang selalu berkata ya, padahal hatinya mengatakan tidak. Apalagi ini menyangkut Fajar. Untuk alasan reportasenya barangkali sangat sepele. Tapi ia telanjur mengetahui begitu banyak hal tentang anak muda itu. Tiba-tiba ia tidak rela kalau harus kehilangan Fajar.

(bersambung)