Tuesday, July 27, 2010

1998 (18)


BAB DUAPULUHEMPAT


Seperti yang telah diperkirakan jauh sebelumnya, Rosita Ibrahim akhirnya menerima surat pemecatannya. Roy Ambyah menyodorkan surat itu dengan wajah sedih seolah kehilangan kekasih yang sangat di cintainya. Rosita membacanya tanpa satu katapun tertinggal. Ia pernah membaca surat semacam itu, tapi yang ini isinya membuat batok kepalanya langsung menguap. Atasannya itu tampak berjalan kesana kemari sambil menyembunyikan kesedihan wajahnya.
“Saya terima keputusan ini.” Rosita bersiap keluar ruangan.
“Kita perlu bicara.”
“Saya pikir surat ini sudah jelas. Datang dari mabes agar saya dipecat!”
“Kamu juga tahu disitu termasuk saya.”
“Apalagi yang bapak tunggu disini. Chief toh tak bakal bisa menolong kita.”
“Masalahnya tidak sesederhana itu.”
“Bagi saya justru terlalu sepele. Kalau berpikir untuk menuntut, betapa gobloknya pikiran itu.”
“Kita akan diam saja?”
“Kakek saya pernah bilang, yang waras yang harus mengalah.” Rosita meraih pintu keluar, tapi ia masih melanjutkan bicara, “Saya merasa saya masih waras.”
Roy tampak sangat marah.
Rosita tahu gerak-geriknya telah lama di awasi. Bukan oleh atasannya yang berwenang apakah kinerjanya baik atau mengecewakan, tapi oleh suatu instansi pemerintah yang sama sekali tidak ada hubungannya. Keputusan yang justru tidak datang dari penilaian atasannya sendiri, tapi penilaian aparat keamanan. Kemerdekaan di negeri ini ternyata hanya dimiliki sebagian kecil golongan. Dan ia bukan termasuk yang beruntung memperoleh kemerdekaan yang diagung-agungkan itu, yang katanya datangnya dari kekuasaan Tuhan.
Siapakah yang ber Tuhan dan siapakah yang menghianati adanya peran Tuhan. Isi kepala Rosita bertambah satu pengetahuan. Ia perlu segera ke tempat kakeknya untuk menyimpan pengetahuan itu. Tapi kakeknya tampak sekali sedang berduka. Ia duduk ditengah ruangan yang gelap. Ketika Rosita hendak menyalakan saklar lampu, dihardiknya dengan keras.
“Biarkan lampu itu mati. Negeri ini sedang gelap.”
“Hari ini saya dipecat.”
“Kamu hanya kehilangan pekerjaan, tapi aku telah kehilangan segala-galanya.” Hadi seperti mau menangis. “Sekarang aku juga kehilangan Ong.”
“Apa yang terjadi dengan Pak Ong?”
“Dia mati kena serangan jantung mendengar cucunya di perkosa di Glodok.” Sekarang Hadi benar-benar menangis.
Baru kali ini Rosita melihat kakeknya menangis dan ia tidak bisa menahan bibit airmatanya sendiri untuk keluar. Tangis terakhir kakeknya ia lihat ketika neneknya meninggal. Pada saat-saat tertentu, kakeknya adalah laki-laki rapuh.
“Tidak perlu kau tangisi,” Hadi sudah bisa menghentikan tangisnya seketika. “Negeri ini masih butuh banyak darah lagi sebagai tumbal.”
“Saya akan meneruskan menulis buku kakek.”
“Itu mungkin lebih baik. Di negeri ini perintah dilaksanakan. Orang mati."
"Tapi kenapa?"
"Seringkali alasan tidak diperlukan."
"Apa itu berarti ada alasan lain dibelakang ini?"
"Kamu masih punya kesempatan mencari jawaban itu sendiri." 
Apa yang selama ini Rosita lakukan, itulah yang harus dia lakukan. Soal kejujuran tergantung seberapa banyak kebohongan yang ia sembunyikan. Kecuali untuk soal pribadi, Rosita merasa telah jujur sepanjang karirnya.  Mungkin kejujuran itu juga yang membuatnya dipecat dari pekerjaannya. Mungkin juga kejujuran yang membuat Fajar harus mati diujung senapan.
***
Inaya telah memutuskan untuk meneruskan apa yang selama ini Fajar lakukan. Ia dipaksa untuk memulai hidup baru. Apa yang akan dihadapinya kelak ia tidak pernah tahu. Baginya yang penting ia harus melakukan sesuatu yang berarti. Satu-satunya yang berarti sekarang adalah menggalang semangat sesama teman seperjuangan.
“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya harus lebih berarti dan diperhitungkan,” Inaya bicara didepan teman-temannya. Ia telah mendapat simpati untuk tampil sebagai penerus Fajar.
Seorang mahasiswa datang dengan tergesa-gesa dan nampaknya membawa berita, “Ada berita bahwa Jarot sudah ada di rumah orangtuanya.”
Ruangan itu langsung disergap kegaduhan.
“Dia baik-baik saja?” Inaya nampak sangat antusias.
“Yang jelas dia sehat.”
“Ada berita kapan dia akan kembali kesini?”
“Mungkin kita harus membicarakan bagaimana Jarot bisa sampai disini dengan selamat,” Seorang mahasiswa lain memberikan usulan.
“Untuk itu kita ke Kontras.” Inaya memberikan jawaban yang disetujui oleh semua yang hadir.
Jarot menjadi satu-satunya benang merah perjuangan mereka, setelah Fajar meninggal. Paling tidak Inaya merasa Jarot bisa membuka tabir apa yang telah terjadi dengan  Fajar. Ia telah banyak mendengar cerita Fajar tapi tidak pernah selesai. Jarot akan bisa melanjutkan sisa cerita Fajar yang dibawanya ke liang kubur.    
Seorang teman mahasiswa memberitahu Inaya bahwa ia ditunggu ayahnya di luar. Inilah yang tidak sedang diinginkannya. Ia sudah memutuskan untuk tidak pulang ke rumah untuk jangka waktu yang tidak bisa diperhitungkannya. Ia selalu pulang ke rumah Fajar, karena disana ia ingin berbagi kesedihan.
Inaya melihat sosok ayahnya sudah berbeda. Ia merasa pernah mengenal pada suatu masa yang lama, yang memberinya kesempatan menyebutnya bapak. Yang tidak berbeda adalah tatapan itu. Tenang. Itu yang paling disukai Inaya dari ayahnya.
“Bapak tahu kamu harus meneruskan perjuangan Fajar. Tapi pulanglah.” Nadanya meminta pengertian.
“Saya akan pulang setelah semua ini selesai.”
“Percayalah, ini tidak akan selesai secepat apa yang kalian inginkan.” Kali ini nadanya tegas. “Ibumu sakit.”
Inaya merasakan dadanya sakit seperti ditusuk.
“Kamu terus disebutnya.”
“Masih ada Mbak Noni.”
“Noni juga sakit. Jason meninggalkannya begitu saja setelah pecah kerusuhan.”
Dada Inaya semakin sakit. Bibit airmata muncul begitu saja. Ibu dan Noni telah begitu membuatnya kecewa. Sampai ia harus berpikir untuk memutuskan hubungan dengan mereka. Tapi ternyata ia tidak bisa. Ibu dan Noni telah menjadi pemicu semangat bahwa ia harus seperti sekarang. Hartawan menekan bahu Inaya, lalu pergi. Inaya menangis sendirian
(bersambung) 

Monday, July 12, 2010

1998 (17)

BAB DUAPULUHTIGA
 

Pagi itu langit berwarna kelam, seperti sengaja mengiringi suasana duka di bumi. Iring-iringan pelayat itu begitu panjang. Sebuah karnaval kematian menuju pemakaman yang telah penuh sesak. Seperti pemakaman seorang pahlawan besar dan disesali kematiannya.
Rosita tampak pucat karena kurang tidur, tapi ia memaksakan diri berdiri diantara ratusan orang pelayat yang mengantarkan keranda jenazah Fajar Sidik. Ia memaksa Roy Ambyah untuk siaran live, dengan risiko apapun. Ia rela kalau siarannya kali ini adalah siaran terakhirnya. Ia telah mempertaruhkan segalanya untuk karirnya. Bahkan nyawanya yang selembar telah ia siapkan untuk dicabut. Ia sangat siap untuk mati. Ia bergidik. Emosinya benar-benar menguasai seluruh kesadarannya. Sejauh itu ia benar-benar tidak tahu untuk apa dan siapa serta kenapa ia bersedia berkorban demikian jauh.
“Hari ini adalah saksi betapa sebuah kematian adalah sebuah kehilangan besar,” Rosita memulai siarannya setelah kamerawannya memberi kode mulai. “Fajar yang gugur sebagai pahlawan, sepantasnya sebutan itu ditujukan kepadanya, adalah bukti bahwa rezim penguasa yang mengandalkan pendekatan keamanan harus dilawan!!”

Massa mahasiswa yang bercampur dengan masyarakat, berebut keranda jenazah Fajar. Ikat kepala mereka bertuliskan REFORMASI. Inaya berjalan memapah Ibu Fajar dibantu dua adik Fajar yang terus menerus menangis. Inaya tidak peduli melihat ayahnya berada diantara para purnawirawan yang datang melayat. Bahkan andai ada Ibunya, ia tidak perlu menangis di bahunya.
Orangtuanya tidak pernah mengerti apa yang sedang di lakukannya. Mereka hanya merasa memiliki dan menguasai, tapi tidak pernah memberi penawaran.  Orangtua seringkali menginginkan anak-anaknya menjadi kebanggaannya. Tapi baginya justru itu kesalahan terbesar orangtua.
Puluhan lampu kilat, sorotan lampu kamera, taburan bunga, teriakan tangis dan kumandang doa, mengiringi kain kafan putih masuk ke dalam liang kubur. Jutaan mata di lain tempat sedang melihat hal yang sama di televisi. Barangkali di sebuah warung nasi pinggir jalan. Barangkali di terminal bis yang berisi preman dan pencuri. Barangkali di sebuah kamar sumpek Pelacur. Barangkali di sudut desa terpencil di kaki bukit.
Langit di atas mengandung badai.
***
Di sebuah ruangan, di  dalam gedung tua, wajah-wajah tua tampak murung. Hartawan duduk diantara para Purnawirawan yang telah berusia diatas tujuhpuluh tahun. Seorang laki-laki berkacamata yang rambutnya telah memutih semua  berdiri dengan wajah tegang.
“Kita harus menentukan sikap.” Suaranya gemetar. “Tidak bisa kita terus menerus diam tanpa membuat keputusan yang diperhitungkan pihak penguasa.”
“Apakah kita masih punya suara?” Seorang Purnawirawan tampak putus asa, dengan sisa kesedihan yang dalam.
“Hanya ada dua pilihan,” Hartawan berdiri dengan sigap. “Kita yang hancur atau mereka memilih berhadapan dengan kita.”
Wajah-wajah tua itu menjadi tegang.
Seorang Purnawirawan angkatan Laut menggosok-gosokkan telapak tangannya. “Berapa kekuatan yang kita miliki?”
“Siapa bilang kita akan melawan dengan senjata.”
“Ya, kita tidak akan melawan dengan senjata,” Laki-laki berambut putih itu menegaskan. 
Keputusan pun telah dibuat. Mereka yang dulu mempunyai kekuasaan untuk memberi perintah perang kepada anak buahnya, sekarang harus membuat komando perang untuk diri mereka sendiri. Dan musuh yang mereka hadapi tidak lain adalah generasi penerus mereka. Dunia militer adalah dunia yang tidak mengenal kata tidak. Putih harus putih, hitam harus hitam. Siapa yang melawan dan merubahnya, bukan termasuk dunia militer.
Akan tetapi usia ternyata bisa merubah kata tidak. Perang tetap menjadi perang, tapi otak waras masih dipergunakan untuk membuat pertimbangan bahwa hitam itu buruk dan putih itu baik. Dan berapa banyak otak waras seperti itu yang bersemayam di kepala para Purnawirawan.
 (bersambung)

1998 (16)


BAB DUAPULUHDUA


Televisi dan radio terus menerus memberitakan bahwa Ibukota telah mengalami bumi hangus secara terjadwal. Ribuan massa yang tidak jelas darimana datangnya, sepanjang hari telah turun ke jalan-jalan di wilayah pusat perdagangan dan perkantoran. Mereka mengamuk, membakar mobil,  mengajak massa masyarakat untuk menjarah toko dan kemudian membakarnya. Jalan-jalan raya penuh dengan bongkahan api dari bangkai mobil dan barang mewah lainnya. Tidak ada penjelasan di televisi dan radio alasan kejadian itu semua. Mereka hanya memberitahu. Tidak ada yang tahu tentang alasan itu.
Tapi Hartawan tahu kenapa Inaya mengeluarkan airmata untuk Fajar yang terbujur kaku di ruang operasi. Ia tidak tahu apakah istrinya dulu pernah mengeluarkan airmata kecuali saat upacara perkawinan mereka. Untuk masalah keluarga ia yakin istrinya pernah menangis, tapi untuk dirinya sendiri ia telah lupa apakah pernah menangisinya.
“Fajar mengaku diculik oleh sekelompok orang yang diyakininya sebagai tentara. Dia bilang dia disiksa seperti binatang, bahkan ada orang yang diculik ditembak kepalanya sampai pecah….” Inaya bicara dengan lancar meski airmatanya terus keluar.
Hartawan diam, menyimpan duka dan marah.
“Saya tidak tahu kita sebenarnya hidup di negeri apa.” Suara Inaya semakin tegas. “Saya yakin teman-teman saya sedang mempertimbangkan apakah mereka harus menghormati mereka yang katanya pelindung rakyat.”
Hartawan merasa harus pergi. Ubun-ubunnya sudah menguap.
“Kalau mereka yakin bahwa tindakan biadab mereka akan berlalu tanpa adanya tindakan hukum, kita boleh mengharapkan lebih banyak mahasiswa yang mati tertembak!" Inaya merasakan lega didadanya.
Inaya tidak mencegah ayahnya pergi. Ia sudah puas.

Tapi Rosita belum puas. Ia masih berkeliaran di jalan raya seperti binatang malam mencari mangsa berikutnya. Walaupun berkali-kali ditelepon lewat handphone untuk kembali ke kantor, Rosita tidak mengindahkannya. Ia merasa harus selalu di lapangan untuk meliput. Malam sudah mencekam. Lampu kota telah berubah menjadi bola api-bola api yang bertaburan dimana-mana. Kondisinya masih lebih baik dari Harry yang benar-benar kacau. Tangan dan matanya bukan mesin seperti kamera yang ditentengnya.
Rosita tahu rekannya itu sudah kepayahan. Dering handphone untuk yang kesekian puluh kalinya, akhirnya membuatnya berteriak kesal, “Ya, kami segera datang!” Ia menuju Harry, “Kita harus cepat menyingkir. Tentara mau datang!”
“Apa?!”
“Aku harus siaran!”
"Tapi sayang sekali....."
"Kita dipanggil pulang!!" Rosita sudah bergegas berlari. Harry mau tidak mau mengikutinya sambil masih terus merekam gambar apasaja yang bisa diambilnya. 
***
Beberapa jam kemudian, jalan-jalan utama Ibukota sudah dipenuhi tentara dan mobil-mobil lapis baja. Pagar kawat berduri melintang di mana-mana, menutup ruas jalan dan semakin menegaskan kepada setiap orang bahwa Ibukota sedang dalam bahaya. Mobil-mobil pribadi entah bersembunyi di benteng mana atau bahkan telah melarikan diri ke lapangan udara dan segera terbang ke negeri impian. Ketegangan menjalar di setiap sudut kota. Setiap detik berlalu dengan kecemasan. Televisi dan radio terus memberitakan ibukota dilanda kerusuhan dan aparat keamanan belum bisa mengatasinya.  
***
Rosita tidak pernah kembali ke kantornya. Tapi ke rumah sakit. Ia nyaris tidak bisa menguasai dirinya ketika mengetahui bahwa Fajar meninggal. Ia menangis sejadi-jadinya melihat laki-laki muda itu terbujur kaku. Ia tidak tahu menangis untuk Fajar atau untuk kemalangan hidupnya. Ketika memutuskan menjadikan Fajar tokoh reportasenya, ia tidak pernah menginginkan kisah tragis seperti itu. Pemuda itu mempunyai naluri yang peka, tapi nasib hidupnya terlalu buruk. Ia nyaris jatuh cinta kalau saja ia tidak tahu Inaya sudah menjadi pilihan hati pemuda itu.
 Beberapa mahasiswa sedang membacakan ayat Al Qur’an.
Inaya menangis dengan mata sudah bengkak. Badannya menggigil. Entah dimana pikirannya sekarang. Orang yang dicintainya dan pelabuhan terakhir dimana hatinya tertambat, telah mati dengan cara yang sangat menyedihkan. Hilang sudah bunga cinta yang sedang mekar di dadanya. Suara tangisnya tidak lagi bisa keluar karena tenggorokannya telah kering. Airmatanya nyaris habis dan tenaga di tubuhnya lenyap. 
Ibu Fajar telah pingsan berkali-kali sampai tubuhnya sangat lemas. Anak kebanggaannya telah pergi menyusul ayahnya ke alam kubur. Berakhir sudah babak kehidupan yang membanggakannya. Ia menyesali kenapa sempat menghalangi hubungannya dengan Inaya. Kalau boleh memilih sekarang, ia rela kehilangan pekerjaannya asal anak lelakinya bisa bahagia dengan Inaya. Bahkan seandainya ia harus di penjara karena kemiskinannya akibat tuntutan majikannya sebagai ganti Fajar menikah dengan Inaya, akan ia terima dengan senang hati. Ia rela melakukan apasaja untuk kebahagiaan Fajar. Walaupun nyawanya sebagai gantinya.
 Hawa kematian sedang memenuhi sudut-sudut rumah sakit.
***
Rosita mengajak Inaya menyingkir karena tidak bisa bertahan lama di ruang kematian itu. “Kita sama-sama menyayangi Fajar, “ Rosita membuka kebisuan.
“Atau jangan-jangan kita hanya simpati pada kesialan hidupnya.”
Rosita kaget mendengar jawaban Inaya. “Yang saya tahu kamu sangat mencintainya.”
“Fajar membuka mata saya bahwa cinta kami hanya keniscayaan jaman. Sebuah sejarah yang akan terus terulang.”
Negeri ini mempunyai banyak kisah cinta seperti Fajar dan Inaya. Perbedaan kelas sosial telah mengoyak-oyak dua manusia yang saling mencintai. Padahal perkara cinta adalah persoalan hati seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kaya dan miskin menjadi dua hal yang selalu dipertentangkan. Kemiskinan bagi si kaya adalah ikhtiar yang selalu di jauhkan, sedang bagi si miskin kekayaan bukan hanya ikhtiar yang selalu diusahakan, melainkan seberapa banyak kekayaan harus diukur karena manusia selalu merasa tidak cukup.
Rosita melihat Inaya mencintai Fajar tanpa harus mengelak bahwa ia majikannya. Tapi berapa banyak kisah seperti itu yang harus berakhir dengan kebahagiaan? Kematian adalah jalan keluar yang sering dipilih untuk memisahkan keduanya. Rosita tidak tahu apakah Fajar sengaja disingkirkan untuk memutuskan hubungan cinta dengan Inaya. Alasan itu jelas ada, tapi betapa hebatnya rencana pekerjaan itu, karena  Fajar telah menjadi tokoh yang amat diperhitungkan.
“Dia menceritakan soal penculikannya?”
“Banyak, bahkan kalau saja boleh saya akan tunjuk hidung siapa pelakunya.”
Rosita benar-benar yakin sedang berada ditengah-tengah peristiwa besar. Celakanya ia tidak pernah bisa sampai kepada kesimpulan yang mendekati kenyataan. Selalu jalan buntu yang ditemuinya. Benar kata kakeknya, negeri ini mempunyai sejarah yang gelap, sejarah yang dimanipulasi dan ditutupi. Tidak untuk masa lalu, juga untuk masa sekarang dan mungkin juga masa depan.
Ia tidak bisa membayangkan generasi masa depan negeri ini tidak pernah benar-benar tahu sejarahnya sendiri. Mereka hanya akan jadi generasi yang hilang, yang tidak pernah tahu siapa pahlawan dan penghianat negeri mereka.      
(bersambung)

Sunday, July 4, 2010

1998 (15)

BAB DUAPULUHSATU


Suara gemuruh memantul ke langit. Teriakan-teriakan massa menggetarkan jalan raya di luar halaman Universitas Trisakti. Di sana sudah berkumpul masyarakat dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak ada sudut jalan yang tidak terisi orang. Termasuk jalan layang yang terletak di sebelah selatan Universitas. Orang-orang itu seperti muncul dari dalam bumi. Mereka kelihatan diliputi dengan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun kepala dan siap melakukan apasaja. Termasuk mengajak  para mahasiswa didalam kampus untuk keluar dan menghadapi aparat keamanan yang telah berjajar kembali dalam jumlah yang lebih besar dari hari sebelumnya, dalam kesiagaan yang lebih tinggi dari hari sebelumnya.
Di halaman kampus terpampang spanduk besar bertuliskan BERDUKA CITA, dan bendera merah putih di kibarkan setengah tiang. Para mahasiswa di halaman kampus yang ditaburi bunga-bunga bertuliskan duka cita itu, tidak banyak menjawab ajakan massa masyarakat yang bersimpati. Mereka tahu, kematian rekan mereka menjadi duka orang banyak. Tapi mereka dibatasi oleh perbedaan, bahwa mereka orang yang dididik dengan perhitungan, yang harus menggunakan otak lebih dulu daripada menuruti emosi, walaupun ubun-ubun kepala mereka sendiri sudah menguap menahan amarah. Bahkan sehari sebelumnya.
Gemuruh suara massa semakin memantul ke langit menjelang pukul duabelas siang, saat matahari diatas kepala. Di suatu sudut jalan raya, seorang laki-laki berwajah kasar mengambil botol bersumbu kain dari dalam tasnya. Dengan korek api yang telah dipersiapkannya, api segera membakar sumbu botol. Dalam dua detik, laki-laki berwajah kasar itu melemparkan bom molotov itu ke sebuah kios oli yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Kios itu terbakar dan laki-laki berwajah kasar itu telah menghilang dibalik kerumunan massa yang semakin bersorak.
***
Gemuruh suara massa terjadi di depan pusat perbelanjaan Mall Ciputra, sebuah tempat orang bersuka ria memanjakan dirinya dan menjajakan dirinya, yang letaknya di seberang selatan Universitas Trisakti. Mereka bergerombol dan kelihatan siap sekali untuk melakukan kerusuhan dengan menyerbu ke dalam pusat perbelanjaan itu.
Orang-orang yang berada di dalam pusat perbelanjaan berlarian keluar. Kepanikan terjadi dimana-mana dan semua orang berlari menyelamatkan dirinya. Meninggalkan kesenangannya karena nyawa mereka sedang terancam. Mendekap harta bendanya yang bisa di bawa. Kehadiran aparat keamanan yang sudah membentuk pagar betis di halaman gedung itu, tidak juga memberi rasa aman bagi mereka. Bagi mereka keadaan sedang dalam bahaya dan pasti akan sangat mengerikan.
Massa yang bergerombol akan menyerbu ke dalam pusat perbelanjaan, gagal melangkah. Mereka tidak berani untuk beradu kekuatan dengan aparat keamanan yang bersenjatakan lengkap.
***
Diatas jembatan layang, massa yang memenuhi jalan raya menghadang sebuah mobil tangki minyak. Laki-laki dengan lengan bertato, membawa tas, merangsek maju dan mencopot selang sehingga minyak segera tumpah diatas aspal. Laki-laki dengan lengan bertato itu mengeluarkan bom molotov dan korek api yang telah dipersiapkan dari dalam tasnya. Lima detik kemudian api menjilati aspal hitam. Massa bersorak kegirangan dan laki-laki dengan lengan bertato hilang entah kemana.
***
Dua buah helikopter militer menurunkan beberapa tentara pasukan khusus berbaju hitam-hitam dengan senapan dibadan, diatas jalan raya yang kosong. Mereka kemudian menyebar, dalam formasi perang. Rupanya telah diberlakukan keadaan kota dalam siaga satu. Bukan hanya polisi yang turun ke lapangan, tapi tentara telah juga ikut serta.
Kendaraan lapis baja dalam jumlah yang banyak bergerak dengan pasukan darat yang mengiringinya. Pengerahan tentara dalam jumlah banyak itu telah membuat jalan raya lengang dan menyingkirkan semua kesibukan yang biasanya menumpuk di sekitar jalan raya. Tidak ada mobil, tidak ada kemacetan dan tidak ada polusi kendaraan yang menyesakkan dada. Orang-orang tidak lagi berjalan dengan santai. Mereka berlarian sambil berharap nyawa mereka tidak melayang dengan sia-sia. Sebagian lagi berdiri menonton karena tidak pernah ada pemandangan menarik dan sehebat itu selama ini.
***
Di daerah Pecenongan, Rosita sedang berlarian bersama Harry yang terus menerus melakukan perekaman gambar. Untuk beberapa saat ia berdiri kaku melihat pemandangan di depannya. Ia dipaksa untuk mempercayai apa yang sedang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Orang-orang sedang menjarah toko dengan gagah berani dan menenteng barang jarahannya seolah-olah itu barang miliknya sendiri.
Para pemiliknya yang kebanyakan warga keturunan Tionghoa entah sudah pergi kemana. Mereka pasti sudah ketakutan karena pergaulan mereka masih dibeda-bedakan antara pribumi dan non pribumi. Istilah yang  bagi mereka sangat menakutkan sementara mereka telah hidup beratus-ratus tahun sejak dari nenek moyang mereka di negeri ini. Mereka punya hak hidup sama dengan orang yang disebutnya pribumi.
Api sudah membakar gedung dimana-mana. Seperti muncul begitu saja api itu, seperti orang-orang yang berlarian tidak beraturan. Teriakan-teriakan orang  tidak bisa dibedakan lagi antara yang ketakutan dan yang senang karena habis menjarah. Rosita sampai didepan restoran yang dulu sempat dilihatnya bersama Fajar sewaktu pembukaan. Restoran itu tidak berumur panjang. Api sedang menjilatinya dengan buas, seperti habis diterjang rudal.
Harry menyeret Rosita yang bengong. “Jangan sentimentil!” Teriaknya.
Rosita tidak sedang berpikir tentang hubungan emosional. Ia tidak pernah mengenal pemiliknya yang kebetulan keturunan Tionghoa. Tapi ia sedang mencari jawaban, bagaimana orang-orang mampu merobohkan peradaban mereka sendiri. Dan ia tahu persis ia tidak bisa menjawabanya saat itu juga.
“Harry, ke arah sana!!” Rosita menunjuk ke arah dimana letak toko roti Pak Tan.
“Disana toko sudah dibakar semua!”
Rosita juga yakin hal itu, bahkan mungkin seluruh kota telah di bakar. Tapi ia tetap bersekiras, paling tidak ia mempunyai harapan bahwa ia saksi terakhir yang melihat toko itu masih berdiri. Harapan itu ternyata telah hancur menjadi puing. Kemarahan telah membuat toko roti itu menjadi abu. Rosita yakin ia tidak sedang berada di suatu negeri dimana orang-orang begitu murah menghargai peradaban.
Sejak kecil, ia telah bersekolah dengan salah satu mata pelajaran tentang budi pekerti dan menghormati makhluk hidup lain. Bahkan sampai ia masuk Universitas, mata pelajaran itu masih diajarkan. Betapa bagusnya sistem pendidikan yang telah diterimanya, tapi apa yang dilihatnya sekarang menjadi mata pelajaran baru baginya. Ia tidak pernah tahu ada mata pelajaran budi pekerti buruk dan tidak perlu menghormati makhluk hidup lain.  Ia telah dibohongi sepanjang pendidikannya dan betapa hebat pembuat sistem pendidikan itu. Pasti orang itu bergelar guru besar dan mungkin bersekolah di luar negeri, atau malah tidak pernah sekolah sama sekali.
“Kita harus ke Glodok!!” Harry berteriak.
Setengah jam kemudian, Rosita merasa tenggorokannya benar-benar macet untuk mengeluarkan suara. Sepasang matanya dipaksa untuk melihat begitu banyak kejadian yang baru pernah dilihatnya sepanjang hidupnya. Ia harus menangis tapi airmatanya seperti telah habis. Matanya jadi begitu liar. Seperti kamera Harry yang tidak pernah berpaling dari detik ke detik merekam kejadian yang barangkali akan disaksikan anak cucunya bertahun-tahun kemudian dan berbad-abad kemudian.
Suatu kabar duka bahwa di negeri yang mendapat julukan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, subur makmur dan aman tentram, pernah terjadi peristiwa dimana manusia sedang kehilangan kemanusiannya dan tidak perlu menanyakan alasannya kenapa. Malu bertanya akan sesat di jalan, tapi terlalu banyak bertanya akan tidak pernah punya jalan untuk pulang. Maka carilah jawabannya didalam diri sendiri.   
Rosita tidak mempunyai kesempatan untuk masuk ke lorong-lorong pasar Glodok, dimana sedang terjadi adegan brutal. Seorang Gadis Tionghoa tiba-tiba sudah terjebak di suatu lorong sepi. Mestinya ia bisa segera keluar dari sana, karena setiap hari ia melewatinya. Tapi kepanikan membuatnya tidak bisa berpikir. Ia berteriak histeris ketika tiba-tiba seorang laki-laki menerjangnya.
Ia masih sempat melihat beberapa laki-laki lain yang menenteng barang jarahan. Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, ia menyingkirkan laki-laki itu. Bersamaan dengan itu ia merasa celananya dirobek paksa, dan ia tak mempunyai sisa tenaga lagi ketika badan besar itu menindihnya dan merobek celana dalamnya. Gadis itu menjerit.   
(bersambung)