Tuesday, August 24, 2010

1998 (19)


BAB DUAPULUHLIMA



18 Mei 1998
Telah datang utusan dari berbagai Universitas di Ibukota. Kejadian yang menimpa teman-teman mereka di Universitas Trisakti menumbuhkan semangat untuk merapatkan barisan. Di ruangan itu sudah penuh dengan aneka warna jaket almamater para mahasiswa. Pada dinding ruangan terbentang spanduk besar bertuliskan FORUM MAHASISWA BERSATU. Mereka duduk membentuk formasi rapat akbar. Kilatan lampu blitz dan sorotan lampu kamera, ikut mewarnai ruangan besar itu. Seperti sedang terjadi suatu rapat penting yang ditunggu oleh setiap orang keputusannya. Inaya duduk disamping Jarot yang sedang berdiri memberikan pengalamannya.
“Saya harus tegaskan satu hal, perjuangan kita sangat mengandung bahaya, seperti  yang pernah saya alami.” Jarot bicara berapi-api. “Tapi justru untuk hal yang berbahaya itu, kita harus terus maju. Saya pikir sudah saatnya kita membuat gerakan yang lebih diperhitungkan.”
Semua setuju untuk melakukan gerakan menuju satu sasaran yang paling diperhitungkan, yaitu gedung wakil rakyat, gedung DPR/MPR. Gerakan yang sebenarnya sudah dimulai ketika terjadi penembakan terhadap Fajar. Kegagalan ketika itu telah membuka mata bahwa gerakan menuju gedung wakil rakyat harus terus dilakukan. Gedung yang nyaris tidak tersentuh oleh siapapun, kecuali oleh orang-orang sakti.

Siang harinya, saat matahati berada di ubun-ubun kepala, suara gemuruh dan sorak mahasiswa membelah jalan utama Ibukota. Mobil-mobil mewah yang sedang berlari, menyingkir oleh serbuan bis-bis kota yang dipenuhi mahasiswa dan spanduk-spanduk. Jalan utama yang setiap hari menjadi simbol kesibukan Ibukota, telah berubah menjadi konvoi panjang massa mahasiswa. Dari segala penjuru Ibukota, bis-bis kota datang dan bertemu di depan gerbang gedung wakil rakyat. Dan mereka telah disambut dengan barisan aparat keamanan yang berlapis-lapis.
Mahasiswa tahu betul mereka akan berhadapan dengan aparat keamanan. Semenjak mereka turun ke jalan, mereka sudah akrab untuk saling berhadapan.  Saling pasang badan. Siapakah yang menghendaki itu, kecuali sebuah komando yang entah dari mana datangnya. Karena seringkali tiba-tiba, massa mahasiswa dan aparat keamanan sudah saling berjibaku. Dan selalu pihak mahasiswa yang mengalami kekalahan total, karena tidak bersenjata.
Matahari yang terik diatas kepala membuat ketegangan memuncak. Masing-masing pihak bersikeras dengan tuntutannya. Tapi semangat mahasiswa yang sudah memuncak, akhirnya berhasil merobohkan pagar aparat keamanan. Benteng aparat keamanan jebol dan massa mahasiswa bersorak berlarian seperti ayam yang dibukakan pintu kandangnya. Menghirup udara kebebasan setelah di kurung dan hanya diberi makan.
Setelah menjebol barisan aparat keamanan, mahasiswa melanjutkannya dengan menjebol pagar gedung wakil rakyat itu hingga roboh. Benteng yang tidak pernah tersentuh itu akhirnya bisa ditembus juga. Para mahasiswa bersorak berlarian memasuki halaman yang begitu luas.  Seperti memasuki arena bermain yang baru pernah mereka rasakan. Mereka segera menguasai segenap sudut dari gedung itu. Beberapa jam kemudian, para mahasiswa memanjat ke kubah gedung megah itu dan mengibarkan bendera merah putih. Seperti seorang pendaki gunung yang berhasil mencapai puncak.
Tiga jam kemudian, jalan-jalan utama Ibukota telah di blokir oleh kendaraan-kendaraan lapis baja militer. Para tentara memasang pagar kawat berduri di persimpangan jalan-jalan utama Ibukota. Mereka menyandang senapan mesin, siap untuk ditembakkan karena wewenang untuk itu telah diberikan.
Ketika malam hari tiba, para mahasiswa masih datang berbondong-bondong ke gedung wakil rakyat itu. Suasananya mirip pasar malam. Aksi pidato, pembacaan puisi dan atraksi mahasiswa lainnya digelar. Spanduk dan bendera dibentangkan. Gedung wakil rakyat itu sedang menuntut menjadi pusat perhatian.
***
Rosita mengutuk atasannya yang membuatnya tidak bisa berada diantara massa mahasiswa. Baginya kejadian yang sedang berlangsung didepan matanya adalah keberhasilan besar gerakan mahasiswa. Ia yakin tuntutan mahasiswa yang lebih besar sedang berlangsung, dan ia siap menunggunya dengan kejengkelan yang luar biasa.
 Hadi sedang mengenang peristiwa tahun 66 di kepalanya. Ia melihat layar televisi dengan massa mahasiswa berdemonstrasi, seperti kembali pada masa ketika ia dulu juga ikut dalam barisan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang dimulai ketika itu menunjukkan bahwa, kampus bukanlah menara gading. Kampus lahir bukan hanya sebagai bengkel pemikiran ilmiah, tapi untuk dan berada ditengah-tengah masyarakat.
(bersambung)