Sunday, December 12, 2010

Sapardi Mempertanyakan Kebenaran


Sapardi Djoko Damono adalah sosok sastrawan Indonesia yang lengkap. Dia seorang penyair, pengamat sastra, dan pendidik yang tekun—bahkan sempat menjadi birokrat kampus. Lebih menarik lagi, hingga usianya yang ke-70 tahun, lelaki ini tetap aktif berkarya. Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus. Hingga kini, karya-karya semacam itu terus lahir darinya. ”Saya terus menulis. Kalau tidak menulis, sepertinya ada sesuatu yang hilang. Praktis tiap hari saya di depan komputer, pokoknya tak-tuk, tak-tuk...,” katanya seraya memeragakan orang mengetik.

Kami ngobrol santai di rumahnya yang bersahaja di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia (UI) di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, pertengahan November lalu. Malam itu gerimis. Udara lembab dari Setu Gintung di belakang rumahnya sesekali menyelinap masuk lewat jendela. Seniman itu tampak segar dan bersemangat. Maklum saja, tak banyak sastrawan yang dikaruniai umur panjang dan tetap punya energi besar untuk berkarya. Dia sempat menjalani operasi katarak di matanya beberapa waktu lalu, tetapi kini sudah sembuh.

Setiap hari lelaki ini biasa bangun subuh. Setelah sarapan, kerap kali dengan masak sendiri, dia minum kopi. Kalau ada jadwal mengajar, seperti di UI atau Institut Kesenian Jakarta, dia segera berangkat ke kampus. Kalau tidak, dia kerap memilih tinggal di rumah. ”Saya membuat puisi, kadang menulis cerita, atau menerjemahkan teks sastra Inggris,” katanya. Sapardi menunjukkan puisi terakhirnya, Sajak dalam Sembilan Bagian, yang terbit di Kompas, pekan sebelumnya. Baginya, menulis adalah pekerjaan yang tak kenal pensiun.

Kapan pertama kali menulis puisi?

Saya pertama kali membuat puisi tahun 1957 saat umur saya 17 tahun. Tapi, puisi saya baru diterbitkan tahun 1958 di Majalah Mimbar Indonesia. Setelah itu sampai sekarang saya terus menulis puisi. Saat kuliah di Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta (tahun 1958-1964), saya berlatih sandiwara, menjadi sutradara, dan bergabung dengan kelompok WS Rendra. Kadang, saya juga menerjemahkan drama dari sastra Inggris.

Bagaimana proses kreatif selanjutnya?

Saya hijrah ke Jakarta tahun 1973 untuk menjadi redaktur Majalah Horison dan mengajar sastra di UI. Bagi saya, masa itu paling kreatif. Sastra Indonesia bangkit dengan banyak inovasi atau eksperimen. Buku kumpulan puisi saya pertama, duka-Mu Abadi, terbit tahun 1969. Sejak awal, bahasa saya memang sudah liris, penuh penghayatan perasaan.

Tahun 1974, terbit dua buku lagi, yaitu Mata Pisau dan Akuarium. Saya mengambil bentuk, yang oleh pengamat sastra asal Belanda, Prof A Teeuw, disebut ”belum ada namanya”. Puisi, tetapi mirip dongeng. Benda-benda menjadi hidup, seperti manusia. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1984, baru terbit lagi Perahu Kertas. Karakter puisinya lebih dikendalikan, lebih halus, selain masuk juga hal-hal baru. Banyak imaji masa kanak-kanak. Tahun 1989, terbit buku Hujan Bulan Juni. Puisinya lebih rapi, menggunakan perlambangan, imaji, seperti hujan. Suasananya sendu, tenang.

Bagaimana kemudian puisi Anda dikenal sebagai puisi liris?

Banyak orang lebih menyukai puisi saya yang liris, seperti tentang hujan dan cinta. Beberapa puisi semacam itu kemudian terkenal, seperti Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin. Puisi itu populer karena ada musikalisasi puisi. Banyak anak muda yang hanya kenal lagu itu. Bahkan, ada orang bikin undangan pernikahan yang memuat sajak itu dengan keterangan karya Kahlil Gibran. Puisi ini juga pernah dibaca artis sinetron di televisi, tanpa tahu siapa pengarangnya.

Sapardi menambahkan, sebenarnya puisinya beragam. Tahun 1998, misalnya, dia mengeluarkan buku puisi Arloji, kemudian Ayat-ayat Api (tahun 2000), Mata Jendela (2002), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002). Sebagian puisi di dalamnya bernada protes sebagai respons terhadap suasana pergolakan sosial-politik saat itu, termasuk tentang pembunuhan buruh Marsinah atau pendudukan kantor PDI-P. Namun, yang lebih dikenal orang memang puisi-puisi cinta.

Pendidik

Sosok Sapardi juga lekat dengan dunia pendidikan. Begitu selesai kuliah di UGM tahun 1964, dia bekerja sebagai guru. Lelaki ini pernah menjadi guru Bahasa Inggris di Kursus B1 Saraswati, Solo, mengajar Bahasa Inggris di IKIP Madiun, kemudian di Jurusan Inggris Universitas Diponegoro, Semarang. Pindah ke Jakarta, dia lantas mengajar sastra di UI sejak tahun 1973. Ia kemudian dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra UI tahun 1995-1999.

Bagaimana pengalaman Anda selama menjadi dekan?

Itu, kan, seperti arisan dan kebetulan saya yang dapat giliran. Begitu terpilih sebagai dekan, saya tak bisa menolak. Saya belajar manajemen agar bisa masuk dengan pas. Dengan sistem yang sudah jadi, saya fokus membuat gagasan. Kan, nanti ada pegawai-pegawai yang melaksanakannya. Saya pernah memimpin lembaga dari tingkat lebih rendah. Sebelumnya, saya menjadi pembantu dekan III dan pembantu dekan I. Pekerjaan sastrawan itu, kan, tidak setiap hari dan bisa dikerjakan secara sambilan. Beberapa sastrawan lain pernah menduduki jabatan, seperti Umar Khayam atau Budi Darma.

Sastra pop

Sapardi juga dikenal sebagai pengamat sastra. Beberapa esainya kemudian terbit, seperti Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), dan Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990). Sebagai pengamat, seniman ini bisa memetakan perkembangan sastra Indonesia secara lebih jernih karena dia sendiri menjadi bagian dan saksi sejarah sastra selama lebih dari 50 tahun. Teori sastra ditekuni lewat pendidikan akademis hingga tingkat doktoral dan kemudian menjadi guru besar bidang sastra di UI tahun 1994.

Bagaimana Anda melihat perkembangan sastra zaman sekarang?

Sastra berkembang cepat. Buku sastra diterbitkan di mana-mana. Ada kumpulan puisi, cerpen, atau novel. Apalagi sekarang ada media dunia maya di internet yang memungkinkan siapa saja menulis sastra, entah lewat blog, Facebook, Twitter, atau e-mail. Media ini luar biasa karena membuat sastra mudah tersebar ke mana-mana. Semua itu berpengaruh besar terhadap tumbuhnya minat baca dan menulis serta pengembangan bahasa.

Kualitasnya bagaimana?

Jumlah karya sastra banyak dan di antaranya ada yang bagus. Sebagian anak muda serius menguasai bahasa. Yang menarik, para pengarang itu tak terpaut hanya pada bahasa baku, tetapi bahasa sehari-hari, seperti bahasa gaul yang sangat luwes.

Bagaimana dengan sukses pasar novel Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi, misalnya?

Sastra itu bukan barang sakral. Semua orang bisa ambil bagian karena sastra milik kita semua. Dua novel itu termasuk sastra populer. Dalam arti, keduanya mengandung sesuatu yang disukai, pesannya jelas, mencoba untuk luruskan keadaan, dan mengusung kesimpulan jelas: yang benar harus diberi hadiah dan yang salah dihukum. Mungkin ada misi dakwah yang disampaikan secara gamblang. Di luar negeri, sastra populer juga diminati, seperti novel The Da Vinci Code karangan Dan Brown, Twilight karya Stephenie Meyer, atau Harry Potter karya JK Rowling. Karya-karya sastra pop belum tentu jelek dan karya sastra eksperimental juga belum tentu bagus. Itu perkara selera. Biarkan pembaca menilai. Iklimnya sekarang jauh lebih demokratis.

Bagaimana perkembangan sastra yang tidak populer?

Marak juga, tetapi tak banyak yang mengeroyok. Ada perkembangan baru, seperti dari karya Nukila Amal, Djoko Pinurbo, Linda Christanty, dan Ayu Utami. Namun, jangkauannya terbatas. Mungkin Saman karya Ayu Utami bisa jadi contoh sastra inovatif yang laku. Saya menyebutnya sebagai sastra inovatif karena berniat mempertanyakan norma umum, kebenaran. Penulis menyajikan masalah secara baru, mengungkapkan kompleksitasnya, dan mencoba mempertanyakan segala sesuatu, termasuk nilai yang disepakati bersama. Itu pula yang dilakukan Armijn Pane lewat novel Belenggu tahun 1940-an, Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, 1950-an), dan NH Dini (Pada Sebuah Kapal, tahun 1970-an). Mereka mempertanyakan nilai-nilai yang berkembang saat itu, entah soal rumah tangga, perjuangan, atau hubungan antarmanusia.

Nah, pada tahun 2000-an sekarang, beberapa pengarang berusaha mempertanyakan soal seksualitas, agama, hubungan perempuan-perempuan, dan atau membongkar nilai-nilai lain. Di sini, pembaca seperti diajak untuk ikut menulis, menciptakan dunia sendiri yang baru. Teks sastra hanya semacam godaan yang merangsang pemikiran.

Apa relevansi sastra bagi kehidupan sekarang?

Kebutuhan akan sastra itu naluriah. Tak mungkin orang hidup tanpa sastra. Orang tak bisa hidup tanpa dongeng, cerita, atau gosip. Manusia membutuhkan semua itu agar menjadi manusia. Sastra itu, kan, teks cerita yang tercetak dalam buku. Namun, sebenarnya dongeng itu juga bisa berbentuk audio visual, seperti film atau sinetron. Itu bentuk lain sastra. Bahkan, kitab suci agama juga diturunkan dalam bentuk dongeng, seperti kisah Adam dan Hawa. Dari dongeng itu, kita memperoleh nilai, mempertanyakan kebenaran, dan menolong kita untuk menemukan diri sendiri.

Kompas Cetak 12 desember 2010
Oleh Ilham Khoiri

Monday, December 6, 2010

Wiro dan Sindrom Kolonial




Kwik Ing Hoo meninggalkan dunia ini pada Minggu 28 November setelah mencapai usia 89 tahun. Para pelayat di rumah duka Dharma Agung, Teluk Buyung, Bekasi, pada hari itu kemungkinan besar hanya mengenalnya sebagai seorang Rahmat Junus, ayahanda Toni Junus, dan bukan ilustrator komik Wiro, Anak Rimba Indonesia, yang digubahnya bersama Lie Djoen Liem sebagai penulis teks, yang telah pindah ke Amerika Serikat. Padahal, Wiro adalah komik Indonesia yang monumental. Ada selapis generasi di Indonesia, yang pada masa kecilnya di tahun ’50-’60-an begitu bangga berkalung katapel sembari berayun dari dahan ke dahan, tiada lain karena membaca Wiro.

Komik seri Wiro yang terbit dalam sepuluh jilid sejak tahun 1956 adalah komik Indonesia yang paling unik, paling terkenal, dan paling penting di antara para ”Tarzan lokal” karena keberhasilannya membumikan karakter Tarzan ke dalam sebuah konteks Indonesia. Dengan pengakuan terbuka di dalam naratif atas sumber inspirasinya, yakni komik dan film-film tentang Tarzan dari Amerika Serikat, Wiro bahkan seperti membalikkan sudut pandang ”meniru” itu dengan pembukaan: berbagai surat kabar ”di seluruh dunia”, seperti Herald, World Gazette, Saturday Post, dan Morning Post, memberitakan ditemukannya Wiro, yang film tentang dirinya itu, Wiro, The Jungle Boy, diputar di bioskop Rex, Luxor, ataupun Capitol.

Bioskop itu tentulah maksudnya berada di Amerika Serikat, dan film itu tentulah sebuah film dokumenter produksi The American Motion Picture Coy, hasil pekerjaan Dr Watson, yang bersama Miss Lana, seorang ahli serangga, melakukan perjalanan keluar-masuk rimba raya Indonesia. Mereka nyaris terbunuh ketika ditawan ”gerombolan orang-orang liar” di dalam hutan Sumatera Utara jika tidak diselamatkan Wiro, yang kemudian bergabung untuk menjelajahi rimba seperti cita-citanya. Ya, Wiro adalah seorang murid sekolah dasar yang kurang bagus prestasinya di kelas, tetapi akrab dengan binatang, hebat dalam olahraga, dan selalu membaca komik-komik Tarzan di bawah sinar lampu tempel sampai jauh malam.

”Mungkinkah aku berhadapan dengan Tarzan? Siapakah dikau adanya,” tanya Dr Watson ketika ikatan tangannya dibuka Wiro.

”Aku bukan Tarzan, tetapi …. Wiro anak Indonesia,” jawab Wiro dengan tenang.

Prasangka rasis dan eksotisisme

Berbeda dengan pendahulunya, Tarzan of the Apes karya Edgar-Rice Burroughs pada 1912 yang tidak luput dari prasangka rasis, bahwa orang kulit putih lebih superior dibandingkan dengan orang kulit hitam, maka keberadaan Wiro sebagai anak Indonesia yang menggantikan posisi Tarzan jelas mengubah oposisi tersebut, karena dalam perubahan dari wacana kolonial menuju wacana pascakolonial memang tampak berlangsung politik identitasnya sendiri dalam proses pelepasan ikatan dari sindrom kolonial.

Dalam proses, prasangka tidak langsung menghilang. Jika Tarzan adalah bayi manusia yang dirawat kera, maka Wiro meninggalkan rumah dan masuk hutan setelah mengalami tindak kekerasan dari ayah tirinya. Melalui pengembaraannya di dalam hutan, para penggubah komik ini berpeluang menampilkan segenap fauna dengan semangat majalah National Geographic (meski terdapatnya badak di Papua tentu menimbulkan tanda tanya), yakni memperkenalkannya sebagai bagian dari keindahan alam ataupun hukum rimba, yang terpaksa dicampuri Wiro ketika mendapatkan sahabat-sahabatnya: Tesar, harimau yang terjebak akar; Kongga, induk orangutan yang anaknya diselamatkan Wiro dari sambaran ular; dan Sambo, gajah sumatera yang ditolongnya setelah tertimpa batu besar. Adapun monyet kecil Kala, didapatkan Wiro pertama kali sebelum masuk hutan, karena memang dijual di pasar. Demikianlah Wiro menjadi komik Tarzan yang Indonesia sentris.

Dalam jenis ilustrasi naratif alias komik tanpa balon, teks dan gambar tampak cocok, seperti ada kerja sama yang saling menanggapi, sehingga bagaikan tiada bagian gambar yang tidak dijelaskan. Segala kewajaran yang membuat pembacaan tidak terganggu, menunjukkan keterampilan tinggi yang tidak begitu mudah ditandingi, yang tentu juga menunjuk kepada tingkat keahlian Kwik Ing Hoo sebagai ilustrator yang tidak dapat pula diingkari. Namun, justru terhadap ”kewajaran” sebagai wacana, pendekatan realisme yang meyakinkan sebagai ”kenyataan” ini, harus dilakukan sikap kritis.

Posisi Dr Watson dan Miss Lana, misalnya, jelas tetap teracu kepada wacana kolonial, dalam oposisi biner klasik bahwa kulit putih superior dan dalam Wiro ini ”pribumi” tetap inferior; seperti ditunjukkan dalam berbagai bentuk: teknologi kamera, buku-buku ilmu pengetahuan, arsenal senapan dan tank, para portir yang mirip ”jongos” (selalu berpeci), dan apalagi penggambaran suku-suku di pedalaman ataupun di pantai, yang lebih teracu kepada eksotisisme dalam komik dan film Tarzan dari Hollywood daripada suku-suku di pedalaman Indonesia itu sendiri.

Apabila kemudian rombongan ini lantas ”membasmi” sisa serdadu Jepang di Papua, semakin jelas dalam wacana pascakolonial ini pun posisi superior kulit putih tidak tergoyahkan. Masalahnya, bagaimana dengan posisi Wiro sebagai protagonis? Tidakkah Wiro bisa dianggap berada dalam posisi yang tidak lagi inferior berhadapan Dr Watson dan Miss Lana? Sejumlah kajian di lingkungan akademik tentang komik Wiro, berdasarkan penanda bahwa Wiro makan daging babi hutan, membagikan dan menjualnya kepada penduduk kampung yang tidak menolaknya, dan ketika melewati kota selalu terlihat pula arsitektur bangunan kelompok etnik Tionghoa, menyatakan bahwa Wiro berasal dari kelompok etnik tersebut.

Namun, pembuktian semacam itu belum cukup karena rumah dan kampung halaman Wiro sendiri tidak memperlihatkan penanda yang terarah ke sana. Betapa pun, karena Wiro pasti juga bukan bagian dari suku-suku pedalaman atau pantai, mungkinkah karena itu sahih sebagai representasi karakter Indonesia? Pada tahun 1956, baru 11 tahun dari proklamasi 1945, dari para penggubah berlatar etnik Tionghoa, sebuah proyek identitas setelah runtuhnya bentuk tradisional atas identitas akibat modernitas, setidaknya telah menyumbangkan salah satu sumber alternatif bagi konstruksi identitas kebangsaan Indonesia.

SENO GUMIRA AJIDARMA,Wartawan
KOMPAS, MInggu 5 Desember 2010

Sunday, December 5, 2010

SAM (1)


Pengantar
Cerita panjang yang akan hadir ini mengambil latar belakang seorang tokoh misterius dan tokoh penting pada peristiwa yang di sebut dengan G30S/PKI. Lelaki itu bernama Syam Kamaruzzaman. Banyak sekali rahasia yang menyelimuti hidupnya sampai kepada kematiannya, bahkan ada yang meyakininya masih hidup. Jadi cerita yang akan di sajikan ini bermain di wilayah teka teki ini. Tentang sosok lelaki misterius itu.

Ini jelas fiksi, jelas khayalan. Bahkan sebuah khayalan ngawur. Tapi di dalamnya ada data2 bagian dari catatan sejarah yang tersedia di berbagai arsip dan berita. Benar tidaknya sebuah data tetaplah akan menjadi perdebatan. Jadi benar dan tidaknya cerita dalam kisah ini, tetap menjadi kebenaran fiksi, tidak pernah menjadi kebenaran fakta. Jadi nikmati saja sebagai sebuah bacaan ringan. (Lihat posting sebelumnya untuk membaca riwayat Syam Kamaruzzaman)




BAB 1
 


WARUNG Dawet Ayu ‘Mbah Dolah’ terletak di sudut alun-alun kota. Warung itu terbuka dan kebanyakan meja dan kursi di letakkan di halaman. Pemiliknya seorang lelaki berumur tujuhpulah dua tahun yang dipanggil dengan sebutan Mbah Dolah. Dawet ayu adalah sebuah minuman khas kota Banjarnegara yang terbuat dari   Cendol tepung beras, gula aren, gula kelapa dan santan, yang kadang di kombinasi dengan rasa nangka atau durian . Keadaan cuaca sedang cukup panas sehingga akan menyegarkan menikmati segelas es dawet. Apalagi hari minggu seperti ini. Beberapa keluarga sedang menikmati liburan dan hidangan es dawet adalah hal paling menyenangkan. Banjarnegara adalah sebuah kota kabupaten dengan penduduk sekitar 890 ribu jiwa. Secara geografis, Kabupaten seluas 1.064,52 kilometer persegi ini adalah daerah peruntukan untuk pertanian. Sebagian besar daerahnya berupa pegunungan dan perbukitan. Itu sebabnya dinamakan Banjarnegara yang berarti kota sawah.
     Fatimah mengajak ayahnya yang bernama Ahmad Najib Burhani jalan-jalan menikmati hari libur. Ia sendiri sibuk mengajar pada hari kerja. Maka waktu luang itu ia gunakan untuk menyenangkan ayahnya untuk sekadar menikmati segelas es dawet kesukaan Ayahnya. Hanya dirinya yang masih berusaha membahagiakan ayahnya. Dua saudaranya bekerja di Jakarta dan jarang sekali pulang. Ia dan ayahnya yang telah lama pensiun tinggal berdua. Ibunya telah lama meninggal karena sakit. Membahagiakan ayahnya adalah hal terakhir yang selalu  ingin dilakukannya. Bukan karena ayahnya sekarang sudah tua dan membutuhkan teman setelah Ibunya meninggal, tapi lebih kepada pengabdiannya kepada orangtua.
     Ayahnya dulu bekerja di Jakarta. Ia tidak pernah tahu Ayahnya bekerja di bidang apa. Ayahnya hanya mengatakan bekerja di Departemen Luar Negeri. Setelah peristiwa kerusahan di Jakarta tahun 1998 dan pergantian Presiden, Ayahnya meminta pensiun. Dengan pesangon yang cukup lumayan, apalagi untuk seorang pegawai negeri dan ia sempat heran ketika itu, Ayahnya memboyong keluarga pindah ke tanah kelahirannya di Banjarnegara. Ketika didesak kenapa harus pindah, sedangkan mereka merasa tidak bermasalah dengan Jakarta, Ayahnya menjawab, “Ayah ingin tenang.”
      Seseorang ingin ketenangan biasanya karena sakit. Ia tahu persis ayahnya sangat sehat, bahkan sakit flu atau masuk angin sangat jarang dideritanya. Ayahnya disiplin berolahraga dan makan dengan teratur. Kalau hanya karena semakin bertambahnya umur menjadi alasan, banyak orang yang tetap bertahan di Jakarta.  Ayahnya adalah orang yang tegar dalam menghadapi setiap masalah yang menimpa dirinya. Pembawaan dirinya sangat tenang dan selalu menyelesaikan masalah dengan penuh perhitungan. Jadi buat Fatimah, kepindahan mereka sekeluarga ke tanah kelahiran Ayahnya masih merupakan teka-teki sampai sekarang.
     Kedua kakaknya tetap berada di Jakarta untuk bekerja karena mereka merasa di Ibukotalah tanah kelahiran mereka. Tapi ia tidak memaksakan diri seperti mereka karena menyadari hanya dirinyalah yang menjadi teman terakhir ayahnya saat Ibunya telah meninggal. Fatimah merasa bahwa ia melakukan hal yang benar. Dan ia bahagia.
     “Sudah lama aku tidak menikmati dawet ayu,” kata Ahmad Najib Burhani sambil duduk, “Entah seperti apa rasanya sekarang.”
     “Masih sama seperti terakhir ayah meminumnya,” jawab Fatimah sambil menoleh ke arah pelayan yang datang kepadanya, lalu berkata, “Minta dua es dawetnya, Mbak.”
     “Mau pesen makanan juga, Bu?”
     “Ayah mau makan juga?”
     “Ayah hanya ingin menikmati es dawet. Tidak yang lain.”
     Pelayan lantas pergi.
     Fatimah melihat Ayahnya tersenyum. “Kenapa Ayah tersenyum?”
     “Kau dengar tadi pelayan itu menyebut apa sama kamu?”
     “Tampang saya sudah seperti Ibu-ibu rupanya.”
     “Makanya cepatlah mencari jodohmu.”
     “Jodoh ditangan Tuhan.”
     “Bukan Tuhan yang mencarikanmu suami, tapi kamu sendiri.”
     Dari meja disamping Fatimah, seseorang memanggil namanya. Fatimah menoleh. Di meja sebelah duduk seorang pemuda yang sedang berdua dengan Ayahnya menikmati makanan. Fatimah mengenalnya.
     “Hai Dodo? Maaf ya, tidak tahu kamu duduk disitu.” Fatimah berdiri dan mengajak Ayahnya berdiri. “Ayah, kenalkan Dodo Sudirjo teman Fatimah.”
     Ahmad Najib Burhani menyodorkan tangannya sambil tersenyum. Teman Fatimah bernama Dodo itu menyalami dan menyebut namanya. Lalu dia juga meminta Ayahnya berdiri, “Oya, kenalkan juga Ayahku. Ayah ini Fatimah teman saya dan Ayahnya.”
     Fatimah menyalami Ayah Dodo sambil menyebutkan nama dan memberi jalan Ayahnya untuk berkenalan dan bersalaman dengan Ayah Dodo. Ayah Dodo senyum dan menyodorkan tangannya ke Ayah Fatimah.
     “Abusono….” Kata lelaki berkacamata tebal itu singkat.
     “Ahmad Najib Burhani. Tinggal dimana?” Tanya Ahmad Najib Burhani dengan tangan masih salaman, seperti sedang memahami orang yang sedang dikenalkannya. Karena ia merasa tiba-tiba mengenal wajah Abusono meski memakai kacamata tebal. Ingatan tuanya seperti memutar rekaman di kepalanya tentang wajah Abusono di masa lalunya. Dan ia meyakini apa yang dilihatnya tidak berbeda dengan ingatannya. Mengenal wajah seseorang adalah pekerjaannya, maka melihat wajah Abusono menjadi sangat mudah, meskipun wajah itu sudah berkeriput, berkacamata tebal dan kepala sedikit botak.        
     “Di Klampok….”
     “Purworejo Klampok?”
     “Ya...”
“Asli dari Banjarnegara?” Ahmad Najib Burhani berusaha terus meyakinkan dirinya agar tidak salah dengan terus bertanya untuk mendukung keyakinannya siapa orang yang berada didepannya.
     “Tidak. Saya dari Randublatung.” Jawab Abusono mulai tidak nyaman dengan cara menatap Ahmad Najib Burhani.
     “Randublatung? Pemalang?”
     “Bukan. Tuban.”
     “Oh Tuban ya? Tentu saja Randublatung di Tuban.” Ahmad Najib Burhani berusaha menutupi kekagetannya yang besar.  “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
     “Saya yakin tidak.” Abusono menjawab cepat dengan senyum ramah.
     “Saya dulu punya banyak teman dari Jawa Timur, termasuk dari Tuban, sewaktu masih di Pejambon.” Kata Ahmad Najib Burhani seperti membuka diri lebih jauh.
     “Pejambon?” Abusono mengernyitkan dahinya. “Oh Jakarta…,” lalu mukanya berubah menjadi kaget sendiri seperti tersadar dari sesuatu, dan tiba-tiba ia berkata gugup, “Ehm maaf, kami masih ada keperluan lain. Kami permisi dulu.” Wajah Abusono sangat cepat berubah menjadi tegang dan tangannya menggaet lengan anak lelakinya untuk segera pergi dari tempat itu.
     “Sampai ketemu Fatimah,” kata Dodo buru-buru berpamitan.
     Bagi Fatimah tidak ada yang aneh dan ganjil. Tapi tidak bagi Ahmad Najib Burhani. Tangannya kemudian meraba mangkok bakso di meja Abusono dan ia langsung mendapatkan kesimpulan.
“Temanmu pergi buru-buru, Fatimah.”
     “Maksud Ayah?”
     “Makanan mereka masih panas.”
     Fatimah melihat bakso dalam mangkok itu memang masih penuh dan panas. Mungkin baru dua tiga suap dimakan Abusono.
     “Kau sudah lama kenal temanmu itu?” Ahmad Najib Burhani terus melihat kepergian mereka. Rasa penasarannya semakin tinggi dan keyakinannya akan siapa Abusono semakin mantap.
     “Baru sekitar enam bulan. Dodo bekerja di Dinas Kesehatan.”
     “Dia juga bilang bukan berasal dari daerah sini?”
     “Saya tidak pernah bertanya soal itu. Jarang saya bertemu dengan dia, apalagi ngobrol sama dia. “ Fatimah merasa ada yang aneh dengan sikap Ayahnya. “Memangnya kenapa? Ayah mengenal Ayahnya Dodo?”
     “Mungkin.” Ahmad Najib mencium tangannya. “Wajahnya mengingatkan kepada seseorang yang dulu sangat aku kenal. Dulu sekali, sekitar empat puluh tahun yang lalu.”
     “Saat masih di Jakarta?”
     “Saat masih di Jakarta.”
     “Rasanya mustahil, Ayah.”
     “Menurutmu begitu?”
     “Dodo bilang, sebelum dia pindah tugas kemari, mereka tinggal di Aceh.”
     “Di Aceh? Bisa jadi begitu, tapi bisa jadi sebelum mereka berada di Aceh, mereka tinggal di Jakarta. “ Ahmad Najib Burhani terus membuat teori sendiri. “Tapi kau lihat tadi, saat Ayah menyebut Pejambon, dia langsung tahu bahwa itu nama tempat di Jakarta. Apakah itu  suatu kebetulan?”
     “Mungkin Pak Abusono dulu pernah tinggal atau bekerja di sekitar daerah Pejambon.”
     “Itu maksudku. Lelaki itu pernah tinggal di Jakarta. Empat puluh tahun yang lalu dia memang ada di Jakarta. Dan namanya juga mungkin bukan Abusono.”
     Fatimah semakin tidak mengerti pembicaraan Ayahnya. Ia sudah mulai menikmati hidangan didepannya. Tidak peduli dengan ketegangan yang menyergap Ayahnya tiba-tiba.
“Suaranya sangat aku hafal. Masih sama seperti dulu.” Ahmad Najib Burhani masih berkata lagi untuk meyakinkan dirinya. “Bau badannya bahkan sepertinya tidak aneh bagiku. Juga parfum yang dia pakai. Masih sama.”
     “Saya semakin tidak mengerti dengan maksud Ayah.”
     “Ayo habiskan minumanmu. Setelah ini Ayah harus menelpon ke Jakarta.” Ahmad Najib Burhani lantas duduk kembali untuk menghabiskan es dawet ayu. Ia tidak akan bisa lagi menikmati segarnya es dawet ayu yang sudah lama tidak dinikmatinya. Tapi seseorang yang baru saja ditemuinya, membuatnya harus segera melakukan hubungan rahasia dengan Jakarta. Meskipun ia tidak seratus persen yakin bahwa lelaki itu adalah orang yang sangat penting, yang keberadaannya sangat misterius. Bukan hanya buat dirinya sendiri. Tapi buat teman-temannya di Jakarta.
(bersambung)