Saturday, January 16, 2010

1998 (9)

BAB EMPATBELAS


 “Ada orang-orang yang tidak menyukai kedamaian. Mereka membentuk suatu kelompok rahasia untuk menghancurkan berbagai sistem pemerintahan yang ada dengan menguasai bidang-bidang keuangan, politik, pers, pendidikan dan berbagai bidang lainnya. Mereka ada di seluruh dunia, termasuk di negeri ini.”
            “Kakek punya bukti?”
            “Bukti? Seperti apa? Dokumen? Catatan?” Hadi menarik nafas dalam-dalam. “Tidak ada hal penting yang dibuat tertulis. Hanya ada kasak kusuk, gunjingan  dan kedipan mata. Begitulah kejahatan besar direncanakan.”
            "Apakah itu hanya sekedar teori konspirasi?"
            "Persekongkolan yang baik tidak bisa di buktikan. Kalau kau bisa membuktikannya, mereka telah membuat kesalahan."
            Hadi menuju rak bukunya dan jongkok membuka kunci lemari kecil paling bawah yang kelihatannya tempat menyimpan segala sesuatu yang ingin tidak diketahui orang lain. Ia mengambil sebuah buku tebal yang dipegangnya dengan tangan gemetar dan ia ragu memberikannya kepada Rosita. "Kau boleh membacanya, setelah itu kau boleh berpendapat apasaja."
            Buku itu berjudul 'Paws In The Game' karangan William Guy Carr. Rosita menangkap kecemasan dalam wajah kakeknya yang tidak bisa lagi disembunyikan. "Apakah ini buku yang dilarang beredar?"
            "Kenapa buku yang ditulis bagus harus tidak boleh beredar?" Bibir tua Hadi gemetar. "Buku itu menyingkap suatu rahasia dibalik berbagai peristiwa dunia. Ada suatu kelompok rahasia yang tujuan utamanya menghancurkan berbagai sistem pemerintahan. Mereka menciptakan krisis demi krisis yang kemudian menimbulkan revolusi, peperangan, penindasan dan berbagai tindak amoral lainnya. Mereka telah sukses mendominasi Dunia Barat, maka sekarang mereka mengarahkan perhatiannya kepada Dunia Timur, kepada kita dengan kegiatan dan aksi yang sama."
            "Rasanya sulit sekali mempercayainya."
            "Kita tidak pernah mengetahui seperti apa bentuk udara, tapi toh kita tetap mempercayainya."
            "Maksud saya negeri kita dijadikan gelanggang pertarungan."
            "Negeri kita terlalu makmur untuk dibiarkan dinikmati orang bodoh seperti kita. Mental kita mental kuli, kepala kita kosong dan perut kita buncit."
            "Kalau saya membuat laporan seperti ini, apakah orang akan percaya?"
            "Orang percaya atau tidak bukan urusan kita. Urusan kita adalah menyuarakan hati nurani. Itu juga kalau kita masih bisa jujur."  
Di saat Rosita membutuhkan dukungan, ia hanya bisa datang kepada kakeknya.  Ketika semua pintu tertutup untuknya, kakeknya menyambutnya dengan satu pesan bahwa ia tidak boleh kehilangan semangat. Ia belajar banyak dari kakeknya soal bagaimana bisa mempertahankan hidup pada suatu rezim yang otoriter. Mempertahankan hidup memang soal perut. Soal perut sering membuat orang menjual apasaja, termasuk menjual bangsanya.
“Kita hanya punya sejarah yang buruk,” kata Hadi sambil mengambil buku lainnya, tebal, kusam dan berdebu.
“Artinya kita juga ikut buruk.” Pang Ong sedang duduk menonton film action Amerika di televisi, “Apa menghadapi kematian kita ini harus tetap buruk, Hadi?”
“Tahun 60-an tulisan-tulisanku dibakar komunis,” Hadi mulai bercerita. “Jaman Orde Baru berkali-kali aku berurusan dengan aparat keamanan karena tulisanku dianggap menghasut. Jadi kalau ada orang yang paling sakit hati soal sejarah ini, akulah orangnya.”
Hadi membawa buku kusam yang belum dijilid itu ke arah meja dimana Rosita masih ragu untuk membuka buku pertama yang diberikan kakeknya. Bukan sebuah buku sebenarnya, tapi tumpukan kertas yang mungkin akan dijadikan sebuah buku. Hadi menyodorkannya pada Rosita.
“Bukan hanya demonstrasi atau penculikan aktivis, semua borok sejarah negeri ini, ada disini.” Wajah Hadi kelihatan tegang sekali. "Tentu saja menurut penilaianku."
Pak Ong menoleh dengan memicingkan mata tuanya. “Apa itu, Hadi?”
“Ongol-ongol.”
Rosita tertawa. Pak Ong manggut-manggut saja dan nonton televisi lagi.
“Jujur saja, aku takut menerbitkannya dulu. Kalau kamu mau menerbitkannya sekarang, aku akan senang meski harus menghadapi tiang gantungan.”
Rosita membuka lembaran pertama. Tertulis SIAPA MENABUR BENIH MENUAI HASIL dan nama penulis dibawahnya tertulis ANONIM.
“Ganti saja dengan namaku.” Wajah Hadi kelihatan begitu geram. Ia telah memutuskan apa yang harus dilakukannya dengan segala risikonya.  "Kau tahu apa yang dikatakan Al Maududi ketika akan dihukum mati? Dia bilang, jika ajal bagi saya telah datang, tidak seorang pun dapat mengelakannya. Akan tetapi bila ajal itu memang belum datang,  mereka tidak dapat menggantung saya, walaupun mereka sampai menggantung diri mereka sendiri." 
Rosita ragu dan wajahnya ikut tegang.
“Bukalah.”
Rosita sadar kalau ia mulai membuka buku itu artinya ia harus siap tidak bisa tidur nyenyak. Kemanapun ia pergi akan diikuti dan semua kegiatan yang dilakukannya akan dicatat dalam sebuah agenda hitam. Jelas ia harus takut. Ibaratnya ia harus masuk kandang harimau sendirian, meski telah diberitahu pawang bagaimana cara membuat harimau itu tidak menerkamnya. Ia tidak tahu persis bentuk ancaman dan teror seperti apakah yang diterima kakeknya selama menjalani karir sebagai wartawan. Ia pernah merasakan  bahwa ia ditekan secara mental selama ia menjadi reporter pada kasus sensitif.  Bahkan untuk seorang laki-laki setegar apapun, pasti akan terguncang.
--------
Fajar juga bukan laki-laki hebat, termasuk dalam fisik. Ia begitu terguncang melihat sebuah pistol jenis baretta menyalak dan pelurunya menembus pelipis seorang Pemuda yang duduk tanpa tenaga di kursi listrik. Ruangan lalu senyap. Padahal lebih dari sepuluh pasang mata dibalik terali besi termasuk Jarot menyaksikan adegan itu. Dalam keadaan tegang itu, meja didepan Fajar digebrak sebuah tangan kekar dan meja itu pecah berantakan.
“Anda sebagai mahasiswa mestinya bicara yang intelek, bukan menghasut!” Suara itu menggelegar .
Fajar tidak tahu apakah ruangan ini seperti sebuah neraka. Ia telah begitu hebat ditekan untuk tidak bisa berpikir apapun kecuali untuk sebuah semangat bahwa ia adalah manusia merdeka dan tidak ada seorang manusiapun bisa merampasnya. Ia telah hidup dengan susah payah diantara himpitan kerasnya kota. Perlakuan paling buruk pun telah ia terima. Tapi yang sekarang dihadapinya adalah sebuah akhir yang menyadarkan dirinya, bahwa ia hidup hanya untuk sebuah hinaan.
"Memangnya siapa kalian sampai bermimpi mau merubah negeri ini?" Tangan kekar lelaki itu menjambak rambut Fajar. "Untuk makan saja kalian susah. Berpikirlah bagaimana mencari duit dengan mudah dan tidak perlu bermimpi. Mimpi hanya dimiliki oleh orang berduit, dan kalian sama sekali tidak pantas bermimpi!" Lalu dibantingnya kepala Fajar ke dinding.
“Sisa waktu hidupmu tinggal tunggu giliran. Gunakan untuk berdoa.”
Ya, berdoa. Tuhan agaknya jalan terakhir bagi orang-orang teraniaya seperti dirinya. Tapi ia bukan orang yang mudah melupakan Tuhan ketika sehat dan kesenangan didapatinya. Ia orang yang diajarkan bapaknya untuk tidak melupakan Tuhan dalam saat senang dan susah. Fajar berterimakasih kepada suara itu. Apakah orang itu juga ber-Tuhan. Ia yakin tidak ada manusia yang tidak ber-Tuhan, yang bisa melakukan perbuatan keji pada Jarot dan orang-orang dibalik sel itu. 
  


 BAB LIMABELAS


Inaya kehilangan pegangan untuk beberapa saat. Ia sudah bisa melepaskan diri dari bayang-bayang orangtuanya dan menjadikan Fajar sebagai pelabuhan berikutnya. Untuk waktu yang cukup lama, tepatnya setelah jadi mahasiswa, separuh hidup Inaya bergantung kepada Fajar. Tentu saja dalam hal kebutuhan diluar materi. Ia telah mulai membayangkan menjadi ibu rumah tangga dan segala hal yang mengikutinya. Sangat menyenangkan.
Tapi ia sekarang sedang mengalami ketegangan yang luar biasa. Ia membutuhkan orang untuk menumpahkan kisah sedihnya. Satu-satunya harapan ada pada Ibu dan Noni. Tapi agaknya hal itu tidak pernah terjadi lagi, seperti ketika ia masih kecil dulu. Kepada bapaknya, suatu hal yang sangat sulit ia dapatkan waktunya. Saat-saat tertentu, Inaya menyesali kenapa ia dilahirkan tanpa saudara yang banyak.
Di pesawat televisi, Rosita sedang berdiri dengan latar belakang Universitas dan kelihatan sangat bersemangat. “….hilangnya Fajar sebagai salah satu orator di kampusnya, justru membuat gerakan mahasiswa semakin merapatkan barisan untuk menyuarakan kebebasan…..” Di layar televisi, tampak kumpulan mahasiswa menggelar spanduk yang menuntut dikembalikannya Fajar.
Inaya tidak bisa menahan matanya untuk tidak menangis. Nyonya Hartawan yang sangat jeli melihat perubahan putrinya, langsung menghardik. “Inaya, menangisi siapa kamu. Kalau sampai orang tahu kamu menangisi pembantu, martabat kita habis!”
“Salah sendiri sok jadi orang pinter, ngomong seenaknya didepan banyak orang, ya diculik. Mati juga pantes.” Noni mencibir habis.
Inaya berdiri dengan kemarahan diubun-ubun. “Tahu apa mbak Noni soal Fajar, soal mahasiswa. Mbak Noni kan tahunya cuma pesta, diskotik dan ketagihan tidur sama bule….”
Inaya tidak sempat menyelesaikan omongannya karena Noni sudah menamparnya. Tapi secepat itu pula, Inaya membalas menampar kakaknya dengan lebih keras. Noni terlempar ke sudut.
“Inaya, jaga kelakuanmu!” Nyonya Hartawan membantu Noni berdiri.
Inaya tidak pernah kenal kekerasan fisik sejak kecil. Hidupnya diatur sedemikian rupa oleh Ibunya sebagai orang yang katanya masih berhak menyandang gelar bangsawan. Cara berjalan, berbicara, bahkan cara makan harus melalui sebuah metode yang rumit. Semua harus dilakukan dengan perhitungan seperti matematika. Begitu merepotkan aturan yang diberlakukan, bahkan dalam pergaulan. Inaya tidak pernah berniat merubah tradisi leluhurnya, tapi dalam hal tertentu ia tidak mau menjadi robot. Ia mulai menikmati makan di pinggir jalan, tertawa lepas di kampus, pulang malam dan bergaul dengan siapa saja. Dan itu hanya didapatkannya setelah mengenal Fajar.
Inaya ingat betul ketika suatu kali Fajar mengatakan, “Dunia memberi kesempatan lebih dari peraturan-peraturan yang dibuat orangtuamu, dan kamu berhak mendapatkannya.”  Dan sudah saatnya ia harus mendapatkan kesempatan yang lebih besar. Ia telah mulai siap mengatur masa depannya sendiri.
Ia harus mulai mengambil suatu risiko, termasuk untuk berpisah dari orangtuanya. Ia tidak pernah mempunyai pikiran seperti itu sebelum adanya musim demonstrasi. Hidupnya berada pada posisi yang sempurna. Tapi setelah ia kenal Fajar dan ikut dalam demonstrasi, hidup ternyata memungkinkan banyak tawaran. Diam-diam ia mengemasi bajunya dan menuju rumah Fajar. Ibu Fajar tidak percaya anak majikannya bertindak sangat nekat seperti itu.
“Saya memaksa tinggal disini. Kalau tidak boleh, saya akan kost disini. Paling tidak untuk sementara.” Inaya mau menangis.
“Saya takut ketahuan, Non.”
“Kalau Ibu tidak bilang, saya tidak bakal ketahuan.”
“Tapi kenapa harus minggat?”
"Saya hanya ingin keluar dari rumah."
Inaya tidak pernah berpikir untuk minggat. Ia hanya meninggalkan rumah karena ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi disana.  Ia tidak lagi mendapatkan teman suka dan duka dalam rumah itu. Tempat baginya mengadu sudah lain melihat dirinya. Ia sangat menyanyangi ibunya, Noni dan bapaknya. Tidak ada yang menandingi cinta kasihnya dengan apapun. Hanya karena berbeda pendapat, tiba-tiba hidupnya putus dengan masa lalunya.
Ia sedang berjuang. Bukan untuk dirinya, Fajar atau kampusnya. Tapi untuk semua orang yang menginginkan perubahan ke arah lebih baik.  Bagi sebagian orang yang sudah mapan dalam hal kedudukan dan materi, apa yang sedang terjadi justru membuat kenikmatan mereka mulai berkurang. Orang terakhir inilah yang membuat perubahan tidak cepat tercapai. Kalau perlu, mereka harus membayar dengan uangnya untuk membuat perubahan itu tidak tercapai. Kebaikan dan keburukan menjadi hal yang nyaris tidak berbeda. Siapa yang merasa benar dan siapa yang dituduh salah.
(bersambung)