Sunday, March 28, 2010

1998 (13)


BAB SEMBILANBELAS

 
Di atap gedung pusat perbelanjaan, di sebelah selatan Universitas Trisakti, dua laki-laki tinggi besar dengan seragam hitam-hitam serta rompi tebal, menempati posisi searah dengan demonstrasi mahasiswa. Di mulut mereka terpasang alat komunikasi. Mereka membuka tas hitam dan mengeluarkan senapan yang masih terdiri dari dua bagian, yaitu bagian popor dan bagian laras. Lalu laras dan popor senapan itu dipasang dengan hati-hati tapi cepat sekali gerakannya, kemudian memasang teropong yang sanggup mendekatkan jarak sampai ratusan meter. Setelah itu dua Penembak Jitu itu mencari posisi menembak sambil menyalakan radio komunikasi.  
"Elang satu dan dua pada komando," Salah seorang dari mereka berkata sambil memperbaiki letak earphone di telinganya.
"Komando disini." Terdengar suara berat di telinga mereka.
"Kami sudah dalam posisi."
"Tunggu perintah selanjutnya."

Di bagian barat, diatas jalan layang yang telah di kosongkan, dua Penembak Jitu lain sudah menempati posisinya dan sedang mengarahkan senapan ke arah demonstrasi mahasiswa.
"Elang tiga dan empat, kalian sudah di posisi?" Terdengar suara Komando di telinga dua Penembak Jitu itu.
"Kami sudah dalam posisi, Pak."
"Tunggu perintah selanjutnya."
"Siap."

Di sebelah utara Universitas Trisakti, ada sebuah bangunan gedung tinggi yang belum jadi dan masih dalam tahap penyelesaian. Di atap gedung itu, telah dalam posisi dua Penembak Jitu dan mengarahkan teropong infra merah mereka ke arah halaman kampus di depan gedung Syarif Thayib.
"Kami dalam posisi," Salah satu dari mereka berkata.
"Tunggu perintah selanjutnya."

Hari telah menjadi sore. Matahari cepat sekali menghilang dibalik awan dan berganti dengan hujan.  Suasana tidak menyenangkan tapi para mahasiswa tampak bergerak ke luar halaman kampus, menuju jalan raya dimana aparat keamanan sudah menghadang mereka. Begitu panjang barisan aparat keamanan menutup setiap sudut jalan. Para mahasiswa yang merapatkan barisan dalam jumlah lebih banyak dari aparat keamanan, terpaksa berhenti. Pemimpin demonstrasi dan Komandan aparat keamanan mengadakan perundingan. Pemimpin demonstran berdarah muda penuh semangat dan siap mengadakan perlawanan, sedangkan Komandan keamanan adalah jenis orang yang takut dengan atasan kalau gagal menjalankan tugasnya dan lebih takut lagi apabila di mutasi ke suatu daerah terpencil yang tidak memungkinkannya mendapatkan uang tambahan setiap hari.
Semua ngotot dan saling memegang suatu keputusan yang tidak bisa ditawar. Tawaran tertinggi pihak keamanan adalah adanya senjata yang siap digunakan kalau mahasiswa terus melanjutkan niatnya. Soal kenekatan bisa dimiliki siapa saja, tapi pikiran waras hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai perhitungan. Pemimpin demonstran menyadari pihak mahasiswa  tidak dalam posisi tawar menawar yang menguntungkan, tapi kehendak teman-temannya sulit ditahan. Maka jalan tengah harus segera ditempuh. Beberapa saat kemudian, massa mahasiswa mengadakan mimbar bebas di jalan raya itu.
Fajar dan Inaya berada di depan barisan. Apa saja kemudian mereka lakukan. Menyanyi, berlari membawa bendera, membagikan bunga kepada aparat keamanan dan diletakkannya di pelatuk senapan. Mereka melakukan itu semua dengan semangat dan berusaha menarik simpati pihak keamanan yang berjajar tanpa bergerak sedikitpun. Tapi wajah-wajah aparat keamanan itu bagai patung, dengan ekspresi yang tidak bersahabat. 
***
Penembak jitu yang berada di atap gedung perbelanjaan, terus melihat lewat teropong, berkata, "Saatnya pertunjukan, Pak."
"Bersiap."
Hampir bersamaan, dua Penembak Jitu memasukkan peluru ke dalam senapan, mengokangnya dan  menegakkan senapan untuk diarahkan  ke bawah, dimana para mahasiswa berkumpul. Menggunakan sinar infra merah agar mendapatkan sasaran dan mematikan.
Dua Penembak Jitu diatas jembatan layang, sudah mencari sasaran. .
Begitu juga dua Penembak Jitu diatap gedung di sebelah utara kampus, sudah menyalakan sinar infra merah untuk mencari korban.
***
Hari sudah menjelang malam. Hujan sudah mereda dan massa mahasiswa yang berkumpul di jalan raya itu tampak mulai kepayahan. Wajah-wajah mereka kelihatan sangat letih walaupun semangatnya masih meledak-ledak. Perundingan telah selesai dan salah seorang pemimpin demonstrasi segera memegang megaphone.
“Teman-teman semua, kita disuruh masuk kembali ke dalam kampus karena situasi yang tidak mendukung kita terus berjalan…..!!!”
Para mahasiswa menyambut dengan kecewa sambil bergerak masuk kembali ke halaman kampus. Termasuk Fajar yang menggandeng Inaya. Tiba-tiba seorang laki-laki berdasi berteriak lantang, yang masih berdiri di jalan raya di dekat aparat keamanan.
“Hei, jangan jadi pengecut. Jangan masuk kampus! Semuanya pengecut!!!”
Beberapa orang mahasiswa berbalik mengejar laki-laki berdasi itu dan menghajarnya beramai-ramai. Fajar bersama beberapa pemimpin demonstrasi melerainya. Laki-laki berdasi yang dihajar itu sudah berlari kabur dan menyelinap ke arah aparat keamanan dan hilang entah kemana. Mahasiswa bergerak kembali ke dalam kampus.           
***
“Kami siap.” kata Penembak Jitu diatap gedung pusat perbelanjaan dengan bola matanya terus ditempelkan pada teleskop.
Terdengar suara Komando, “Buat situasi mendukung.”
“Ada gerakan.” Penembak Jitu di atas jalan layang berkata. Lewat teleskop ia melihat seseorang dari arah aparat keamanan berteriak-teriak ke arah mahasiswa dan tampaknya membakar emosi mahasiswa. Beberapa mahasiswa tampak terpancing dan mengejar laki-laki berdasi itu, yang lari ke arah aparat keamanan dan hilang entah kemana.
Tiba-tiba saja situasi kelihatan kacau.
“Dalam lima detik tidak ada kekacauan, buat gerakan pembuka,” Suara Komando terdengar disetiap telinga Penembak Jitu.
            ***
Keadaan sudah mulai tidak terkendali. Botol-botol minuman sudah beterbangan ke arah aparat keamanan. Disusul dengan lemparan batu dan benda apasaja yang bisa di lempar. Tidak diketahui dengan jelas benar apakah  pihak mahasiswa atau aparat keamanan yang memulainya lebih dahulu. Keadaan sudah kacau, saling lempar apasaja.
 ***
“Sasaran terkunci, Pak.!” kata Penembak Jitu diatas gedung utara.
“Selesaikan target dalam satu menit!” Suara Komando memutuskan.
***
Suasana sudah hujan batu dan botol minuman. Mahasiswa lari tunggang langgang masuk ke halaman kampus. Panik dan menabrak apasaja. Mereka tampak sekali ketakutan, karena aparat kemanan bergerak maju sambil memberondongkan senapan yang sejak pagi mereka timang-timang.
Suara tembakan terdengar dimana-mana.
Para polisi itu kelihatan begitu bernafsu melakukan serangan. Seperti sudah kehabisan kesabaran. Mereka bergerak dengan brutal. Setelah selesai menggunakan senapan, mereka memburu para mahasiswa yang terus lari tunggang langgang masuk ke halaman kampus. Dengan tongkat pemukul yang dibeli dari uang rakyat, mereka menggebuk mahasiswa.
Fajar menyeret Inaya masuk gedung Syarif Thayib. Ia tak bisa membiarkan Inaya dalam keadaan bahaya. Seorang polisi yang memburu dengan tongkat pemukul, seperti memburu musuh bebuyutannya, langsung Fajar hadapi. Bagi Fajar itu harus dilakukannya. Mestinya ia mengenal aparat itu sebagai pelindungnya, tapi yang dihadapannya sekarang adalah  orang yang kehilangan kesadaran. Ia tidak bisa menyerahkan nyawanya dengan cuma-cuma. Ia siap bertarung ketika seorang mahasiswa lain datang membantu dan melawan aparat itu. Fajar langsung menyeret Inaya lari kembali.
Terdengar suara berdesing-desing diatas kepala mereka. Peluru beterbangan seperti hujan meteor. Datangnya dari atas dan dari berbagai arah. Seperti mengepung tempat itu.
Mendadak Fajar roboh. Inaya yang berpegangan erat dengan tangan Fajar merasakan tubuh Fajar jatuh ke tanah. Dilihatnya tak ada luka apapun di dada Fajar. Tapi tangannya yang menopang punggung Fajar, merasakan darah segar keluar deras. Ketika Inaya membalik tubuh Fajar yang terkulai, dilihatnya punggung Fajar berdarah dan ada lubang lebar disana. Seperti telah kemasukan benda besar dan tajam. Inaya histeris, tapi tidak ada yang mempedulikannya.
Semua sedang sibuk dengan urusan keselamatannya sendiri. Inaya begitu saja mengangkat  Fajar yang sudah tidak sadarkan diri dan dibawanya lari. Ia yakin sebenarnya ia tidak pernah  kuat mengangkat tubuh Fajar yang sepuluh kilo lebih berat dari berat tubuhnya. Tapi ia benar-benar bisa mengangkat tubuh Fajar dan dibawanya lari. Lari menembus kepanikan mahasiswa dan peluru-peluru beterbangan. Berdesing-desing seperti pesawat pembom yang sedang beroperasi. 
(bersambung)

1998 (12)

BAB DELAPANBELAS




Universitas Trisakti,
 12 Mei 1998
Di halaman utama kampus, bendera merah putih dikibarkan setengah tiang. Lagu kebangsaan Indonesia Raya sedang dikumandangkan oleh para mahasiswa yang memenuhi halaman yang luas itu. Mereka tumpah ruah memenuhi sudut-sudut halaman. Di pintu masuk, masih saja terus berdatangan para mahasiswa Universitas itu dan juga dari Universitas lain  yang ikut bergabung.
            Pada hari itu, telah ditetapkan untuk berdemonstrasi besar-besaran dan akan dilanjutkan untuk berjalan jauh menuju gedung wakil rakyat. Pasti akan menimbulkan keramaian yang tidak biasanya. Jalanan yang biasanya macet oleh mobil-mobil, sekarang akan lebih macet dengan perjalanan mahasiswa ke gedung wakil rakyat. Demonstrasi di Universitas dan di jalanan telah selesai jadwalnya. Mereka ingin menuju gedung dimana mereka katanya di wakili untuk bersuara membela kepentingan mereka. Pada kenyataannya selama ini mereka tidak pernah mendengar mereka bersuara untuk mereka. Para wakil rakyat hanya bersuara untuk kepentingan mereka sendiri. Apa yang diperjuangkan para wakil rakyat tidak ada hubungannya dengan rakyat.
            Maka para mahasiswa menuju gedung wakil rakyat.
            Fajar Sidik dan Inaya beserta teman-temannya yang lain telah datang dan bergabung menjadi satu barisan. Tidak lagi ada perbedaan mereka datang dari mana. Mereka hanya mempunyai satu tekad untuk berubah.
Jumlah mahasiswa yang begitu banyak telah memaksa aparat keamanan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Armada Brigade Mobil telah berderet-deret membentuk pagar di jalan raya di luar kampus, seolah akan menghadapi perusuh brutal dan bersenjata. Pasukan bertuliskan PHH membentuk pagar pertahanan memanjang di tepi jalan raya. Para komandan berjalan kesana kemari sambil berteriak-teriak lewat radio komunikasinya untuk mengalihkan jalur lalu lintas yang mengalami kemacetan panjang. Semua ruas jalan telah penuh, juga di atas jembatan layang Grogol.
Kawasan itu adalah kawasan padat. Perkantoran, pusat perbelanjaan, terminal dan kampus serta jalan-jalan pintas menuju kawasan lain.  Universitas yang letaknya bersebelahan dengan terminal bis itu telah menjadi pusat perhatian masyarakat luas. Orang-orang sudah berdiri di tepi jalan, menonton. Menonton mahasiswa demonstrasi dan menonton para polisi yang begitu banyak jumlahnya dan bersenjatakan lengkap.
Rosita dan Harry berada di suatu sudut untuk pengambilan gambar. Para wartawan dan reporter sesibuk Komandan aparat keamanan yang mengatur koordinasi anak buahnya. Semua tiba-tiba begitu sibuk, hiruk pikuk dan ketegangan menjalar di setiap kepala mereka. Matahari yang beranjak siang segera menghujam ubun-ubun kepala. Dalam keadaan seperti itu, kemarahan mudah sekali keluar dan dilampiaskan.
Fajar berdiri diatas mimbar, dengan kepalan tangan sambil berteriak. “Saya membuktikan sendiri bahwa rezim ini biadab. Dan jalan satu-satunya harus ditumbangkan!!!” Teriakan Fajar segera disambut dengan gemuruh yang memenuhi seluruh halaman kampus.
Suaranya memantul ke langit.
“Hari ini kita akan berjalan jauh, ke rumah kita yang sesungguhnya, gedung wakil rakyat. Disana kita harus membuat perubahan!!!!”
Gemuruh dimana-mana.
Sorak dimana-mana.
*****
Di jalan raya, diluar pagar aparat keamanan, orang-orang yang menonton semakin banyak. Seperti sedang terjadi sebuah perhelatan akbar, mereka datang dari semua arah. Kebanyakan dari mereka hanya ingin menonton, karena bagi mereka demonstrasi mahasiswa menyenangkan. Apalagi dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi Hadi berada disana tidak hanya menjadi penonton. Nalurinya sebagai wartawan memaksanya keluar untuk melihat perubahan seperti yang pernah dilihatnya sewaktu muda dulu. Ia mengajak Pak Ong ikut serta. Jadilah mereka seperti dua orang manusia lanjut usia yang sedang tersesat jalan.
Hadi tahu betul dalam suasana seperti itu banyak berkeliaran mata-mata yang bisa bekerja untuk siapa saja. Perhatiannya lebih tertuju kepada orang-orang di sekitarnya. Mengamati setiap orang yang dilewatinya. Ia hafal diluar kepala untuk membedakan mana orang biasa dan mana mata-mata.Walaupun penampilan mereka sama dengan kebanyakan orang, tapi ada ciri-ciri tertentu mereka. Sampai kemudian matanya menangkap temannya, si doyan rokok. Kali ini lelaki seusianya itu memakai jaket hitam dan memakai baret prancis. Hadi mendekatinya. Memandangnya lama untuk menarik perhatian Sam.
"Apa kabar?"
Sam menoleh. "Baik." Air mukanya tidak berubah menjadi ramah. Tapi ia lalu melanjutkan,  "Apa kau sedang melakukan perburuan lagi?"
"Saya sudah pensiun. Sudah bau tanah. Tapi aku tahu semua sudah berubah. Kecuali barangkali dunia spionase."
Sam melihat sekeliling, dan berkata, "Sebaiknya carilah jalan keluar dari sini, Hadi."
"Oh, ada sesuatu yang akan terjadi ya?"
"Pergi saja." Ia bersiap pergi.
"Sebentar, Sam.  Benar itu namamu?"
Sam menatap Hadi dengan serius. "Apa aku pernah menyebutkan namaku?"
"Tidak pernah. Apa kau merasa kaget aku tahu namamu sementara kamu hanya dikenal dengan sebutan si doyan rokok?"
"Tidak."      
"Kalau begitu terimakasih atas peringatannya."
Sam pergi tanpa menoleh lagi, menghilang dibalik kerumunan orang banyak.
"Menurutmu dia bisa dipercaya?"
"Saat seperti sekarang, informasinya pasti benar. Tapi bagiku dia hanya seorang penghianat." Hadi mencari jalan keluar dari kerumunan. "Ayo kita pergi dari sini, Ong. Langit sebentar lagi akan mendung."
Apa yang menarik dari dunia mata-mata adalah kerahasiaannya. Sebuah dunia yang gelap dan terdiri dari manusia-manusia penuh dengan beban rahasia busuk yang mungkin akan dibawanya sampai ke liang kubur. Walaupun tidak mengenal dengan baik, mengatahui nama dan latar belakang hidupnya, dan cenderung merugikan dirinya, karena keselamatannya selalu terancam, Hadi telah mendapatkan suatu rahasia besar dibalik peristiwa besar yang menimpa negerinya. Selain karena Tuhan belum berkenan mencabut nyawanya, ia masih hidup dengan bebas dan tenang, karena ia telah berjanji secara tidak resmi kepada kenalannya itu untuk tidak mempublikasikan rahasia besar itu lewat media atau kepada orang lain. Dan Hadi memegang teguh janji itu, sampai hari dimana ia bertemu kembali dengan laki-laki yang selalu merokok itu. Tapi laki-laki itu tidak mengetahuinya bahwa ia telah menuliskan semua rahasia itu dalam bukunya yang ia berikan kepada Rosita. 
(bersambung)

1998 (11)

BAB TUJUHBELAS




Alice Springs, Australia.
Dalam sebuah bangunan kolonial yang megah, telah berkumpul semua anggota dari seluruh cabang. Mereka nampak santai dan duduk dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka berada di rumah sendiri.
            Sang Ketua duduk lebih santai. Ia sudah memberikan wewenangnya kepada Sam. Seperti biasa, Sam menyalakan rokok filter-nya terlebih dahulu, sebelum akhirnya berkata, "Saya ingin menyampaikan kabar gembira dari Jakarta. Semua berjalan sesuai rencana. Tahap terakhir rencana kita akan segera dilaksanakan dan pasti sukses. Rencana itu akan dilaksanakan di bagian Barat dari Jakarta, tanggal 12 Mei dan akan dilanjutkan dua hari kemudian dengan aksi massa untuk menciptakan chaos di Jakarta dan kota besar lainnya."
            Uncle Sam (nama sandi), bicara, "Bagaimana kemungkinan militer bertindak."
            "Kita akan memotong jalur komunikasi pada hari H untuk mengacaukan jalur komando. Dan kita telah menempatkan orang-orang kita didalamnya untuk memperlancar rencana. Ada pertanyaan?"
            Tak ada pertanyaan.
***     

            Ruangan Senat Universitas sibuk luar biasa. Jadwal demonstrasi yang padat membuat semua harus bergerak. Mereka mulai membiasakan diri bahwa kuliah bukan hanya belajar di kelas. Kampus tidak sebatas memberikan mereka masa depan dan selanjutnya terserah mau menjadi apa. Musim demonstrasi ini memberikan pilihan lain bahwa masa depan itu bisa mereka rintis menjadi seperti apa. Mereka mulai mempunyai posisi tawar menawar yang menguntungkan. Paling tidak pada saat musim demonstrasi sedang marak-maraknya.
Inaya duduk di meja rapat dengan beberapa teman aktivis. Membuka kertas-kertas undangan yang datang dari Universitas lain. Agaknya semua sedang berlomba membuat jadwal demonstrasi dan bagaimana bisa menonjol dengan didukung massa dalam jumlah banyak.
“Kita menerima undangan dari Trisakti. Mereka akan mengadakan longmarch ke gedung wakil rakyat.” Inaya memberikan pidato sambil membacakan sebuah surat.
Seorang mahasiswa berkulit gelap angkat tangan. "Maaf, Inaya."
"Saya belum selesai, Luther. Interupsi nanti saja kalau sudah selesai."
"Sama sekali bukan mau interupsi, tapi saya mau minta ijin kencing."
Ruangan tertawa.                  
Belum sampai Luther keluar, pintu didepannya terbuka dan mata Luther seperti mau keluar sambil berteriak kegirangan. "Hei, hei, lihat, siapa yang datang!! Si anak hilang!”
Semua kegiatan ruangan itu terhenti seketika. Melihat hantu pun mereka tidak akan setegang itu. Padahal yang berdiri kaku di pintu itu adalah Fajar Sidik, teman mereka yang telah hilang.  Ruangan mendadak sepi. Inaya juga berdiri kaku. Semenit kemudian ruangan berubah menjadi penuh sorak. Fajar dikerubuti seperti seorang pahlawan yang baru kembali dari medan perang.
Inaya masih berdiri kaku dan menangis. Ia mulai menyadari bahwa Fajar ternyata bukan hanya miliknya sekarang. Ia menunggu sampai teman-temannya berhenti sendiri, tapi penantiannya sia-sia karena semua orang ingin mendengar kisahnya.
Fajar menolak usul teman-temannya untuk mengadakan konferensi pers. Ia memilih pulang ke rumah dan menolak pengawalan teman-temannya yang menghawatirkan keselamatannya. Ia memilih mengajak Inaya yang telah lama menunggunya untuk berbicara. Tapi dalam perjalanan dalam taksi, mereka tidak berbicara. Seperti orang yang belum lama berkenalan dan tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
"Saya sekarang tinggal di rumahmu." Inaya tidak tahan untuk tidak berbicara.
"Kalau itu menurutmu baik, lakukan saja."
Inaya tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Biasanya yang keluar adalah pertanyaan dan bukan pilihan jawaban. Inaya melihat Fajar telah berubah. Tenang dan dingin. Ya, dingin. Inaya bisa merasakan perubahan itu.
"Apakah mereka menyakitimu?"
Fajar diam dan segera terbayang di kepalanya sebuah ruangan sempit dan gelap, orang-orang di balik terali besi, pistol menyalak dan kepala pecah dengan darah muncrat kemana-mana. Fajar tiba-tiba menggigil tubuhnya. Pandangan matanya liar dan gelisah.
Inaya memeluknya.  Dilihatnya Fajar begitu ketakutan. Menghadapi perlakuan  Ibunya yang sangat kasar saja tidak sampai begitu menderitanya. Fajar yang dikenalnya adalah orang yang tegar, paling sabar dan penuh pengertian. Tapi yang dihadapinya sekarang Fajar lain. Yang pernah hilang entah kemana dan tiba-tiba muncul begitu saja. Seperti hantu.  Ia yakin  telah terjadi sesuatu yang sangat menakutkan yang menimpa Fajar.
Sesampainya di rumah, Fajar langsung berbaring diatas tempat tidur yang telah membesarkan tubuhnya. Ia menangis bertemu kembali dengan Ibu dan dua orang adiknya. Ia ingin terus bersama mereka. Telah ia janjikan bahwa ia adalah kepala keluarga. Ia biarkan kedua adiknya terus menangis. Ia biarkan Ibunya memberikan perhatiannya yang berlebihan, seperti ketika ia masih kecil. Membelai rambut dan mengusap airmatanya. Ia tidak marah Inaya menempati kamarnya. Tiba-tiba ia merelakan semua apa yang dimilikinya dan apa yang ia tidak suka sebelumnya.
Berita kemunculan Fajar didengar banyak orang, termasuk Rosita. Ia datang sendiri dan melepas atribut reporternya. Begitu bertemu, langsung memeluk Fajar dan menangis. "Kamu orang terakhir di dunia yang saya tunggu hari ini," katanya membuat Fajar tersenyum.
Inaya melihatnya dengan perasaan yang ditekannya sedemikian rupa. Ia tahu harus cemburu pada Rosita karena wanita itu juga menangis. Dan air mata itu jelas untuk Fajar. Apalagi ketika Rosita bicara sambil menggenggam tangan Fajar.
“Kakek saya mengatakan nyawanya sedang terancam sekarang.” Rosita sudah tidak menangis. “Kakek dianggap sebagai musuh oleh penguasa negeri ini. Dua hari yang lalu saya juga baru menerima ancaman karena membuat berita penculikan kamu. Saya siap dipecat dari karir saya tapi saya tidak bisa dipisahkan oleh tekad saya.”
Inaya kalah dewasa daripada Rosita. Ia masih bisa menangis dan wanita didepannya itu begitu tegar, walaupun airmatanya sudah tumpah. Semakin tertekan perasaannya ketika Fajar menatap Rosita lama. Seperti memendam perasaan cinta yang menggelora dan segera ingin dilampiaskannya.
"Bicaralah kepada saya dan Inaya, supaya kita juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan." Rosita memohon.
"Kita sudah terlalu banyak bicara."
"Tapi kita tidak bisa menolak duduk meskipun kita tahu kursi itu berduri."
"Kita tidak perlu duduk kalau kita masih bisa berdiri."
Rosita tersenyum. "Saya memang selalu yakin kamu tidak pernah kehilangan semangat."
Inaya semakin kehilangan tempat di ruangan itu.
 (bersambung)

1998 (10)


BAB ENAMBELAS

Ruangan itu gelap, lembab dan dipenuhi oleh asap rokok yang menyesakkan paru-paru dan mengaburkan pandangan mata. Seperti sebuah ruangan yang jarang digunakan. Sinar matahari menembus di kisi jendela yang letaknya di tembok dan dua meter tingginya dari lantai ruangan. Di tengah ruangan terdapat satu kursi kayu, seperti sengaja diletakkan disana sebagai satu-satnya pengisi ruangan. Fajar duduk disana dengan kepala tertunduk dan kedua tangan terborgol ke belakang. Kedua matanya ditutup menggunakan kain hitam. Bajunya telah bercampur keringat dan darah yang mengering. Wajahnya bersih, tidak mengalami cacat luka atau kulit yang terkelupas walaupun satu inci.  Tapi cara duduknya menampakkan bahwa ia sangat tegang dan tertekan. Posisinya siap untuk menunggu apalagi yang akan terjadi dengan tubuhnya. Hanya sedikit sisa kesadaran yang dimilikinya bahwa nyawanya belum tercabut dari raganya. Hal itu ia yakinkan sendiri lewat kedua telinganya yang dipasangnya sebagai ganti penglihatannya yang tertutup.
Kolonel berbaret hitam dan memegang tongkat itu berdiri di depan Fajar. Ia diapit dua serdadu berbaret hitam juga. Wajahnya sedikit menunjukkan keramahan dan ia bicara dengan sangat tenang.
“Kami akan membebaskanmu…”
Tiba-tiba kesadaran Fajar kembali sepenuhnya. Ia merasa dirinya terlempar jauh ke langit menemukan cahaya kehidupan.
“Tapi ingat, kami sudah tahu siapa kamu. Kamu tinggal dengan ibu dan dua adikmu. Ayahmu sudah meninggal dan kamu bekerja sebagai sopir pengantar roti di toko Tan, dan juga sebagai sopir di rumah seorang purnawirawan Angkatan Darat.” Kalimat itu meluncur seperti dibacanya dari sebuah tulisan. “Tapi bukan karena kamu dekat purnawirawan itu dibebaskan. Meskipun kamu akan melapor kepada Panglima Kodam atau Panglima Tinggi sekalipun, kami tetap bisa melampauinya. Atau Kontras? Tidak, mereka tidak bisa menjagamu terus menerus. Satu hari kamu mungkin bisa lolos, satu minggu atau satu bulan,  bahkan satu tahun. Tapi dalam satu hari, satu minggu, satu bulan dan satu tahun itu, pasti ada waktu dimana kamu lengah, dan saat itulah kami selesaikan tugas kami!” 
Kesadarannya yang telah kembali tetap tidak bisa mencegah bulu kuduk Fajar berdiri. Baginya itu sebuah ancaman yang sangat amat serius. Bayangan kematian sangat jelas pada setiap kalimat yang didengarnya itu. Ia memang telah siap menghadapi kematiannya ketika pertama kali menyadari bahwa ia diculik. Sebuah kematian yang pasti tidak wajar. Mungkin ia akan dipotong tujuh belas dan mayatnya dibuang ke laut sebagai santapan ikan yang kelaparan.
Ia telah melihat kematian bapaknya sebagai akibat dari sebuah kejahatan manusia. Dalam perkelahian yang adil, ia yakin bapaknya akan menang. Tapi menghadapi beberapa orang dengan clurit dan golok setajam pisau daging, nyalinya melayang juga. Dan tubuh ayahnya terkoyak-koyak seperti tercabik cakar serigala. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada malaikat, tapi celakanya manusia diberi nafsu yang lebih kejam daripada binatang.
            Ruangan itu senyap.
            Tapi halaman Universitas itu sedang bergemuruh. Ratusan mahasiswa berkumpul untuk berteriak. Tulisan terbentang, bendera dikibarkan dan tangan terkepal. Semua menyimpan kemarahan yang meledak-ledak. Berdiri diatas mimbar, Inaya berikat kepala putih. Ia  berteriak lantang dibawah matahari pukul duabelas.
            “Kita harus terus maju. Penculikan teman-teman kita adalah bukti, rezim ini harus dilawan!!!”
            "Lawaaan!!!
Gemuruh memenuhi halaman Universitas.
Kali ini gemuruh itu disertai dengan kemarahan di ubun-ubun kepala mereka. Keadaan menjadi semakin tidak pasti. Perubahan harus terjadi.   Termasuk Inaya yang juga berubah dan telah terjun ke gelanggang tampil sebagai pengganti Fajar. Gadis itu menarik perhatian lebih banyak dari sebelumnya dari massa. Masih lebih kepada kekaguman mereka karena Inaya seorang perempuan yang cantik dan menarik, selebihnya boleh apasaja. Termasuk alasan Inaya sebagai pengganti Fajar, orang yang dicintainya.
Disudut lapangan, Rosita terharu melihatnya. Ia terpaksa harus mengakui kalau ia cemburu pada gadis itu. Diluar soal Fajar, ia lebih cemburu kepada keberanian Inaya dan kesempatan yang dimilikinya. Kalau saja ia dulu mempunyai kehidupan seperti saat dimana pergerakan mahasiswa terjadi secara besar-besaran seperti sekarang. Ia mengharapkan sepenuhnya kalau tampilnya Inaya sebagai penerus Fajar. Ia telah kehilangan tokoh, ia yakin hanya untuk sementara, dan sekarang ia menemukan kelanjutan kisahnya. Harry disampingnya sudah mengambil posisinya.
 “Kita mengambil pengantar dulu,” kata Harry memberi tahu Rosita. 
            Rosita segera mengambil posisi dengan latar belakang Inaya berpidato. Harry segera menghitung mundur. “Lima, empat, tiga, dua, satu….!”
“Saudara, patah tumbuh hilang berganti. Gerakan mahasiswa tampaknya tidak bisa dihentikan oleh hilangnya kawan mereka yang diduga kuat diculik…..”
Siaran itu mengudara ke seluruh negeri. Mengetuk setiap pintu rumah dan mengabarkan bahwa perubahan sedang terjadi dan semua orang diminta untuk bereaksi. Telah begitu lama orang tidak bisa memperoleh kabar yang jujur soal negeri ini, karena berita yang akan disampaikan oleh para pewarta telah dimanipulasi. Kebenaran telah disimpan dalam sebuah tempat yang gelap dan dijaga ketat seolah-olah merupakan benda pusaka yang harus selalu di rawat.  Selama bertahun-tahun orang hanya mengetahui negeri mereka memang aman dan nyaman untuk ditinggali. Para turis berdatangan sampai ke pelosok desa di kaki bukit, di tepi laut, dan mereka selalu kembali datang karena terkagum-kagum dengan keramahtamahan penduduknya, bahkan mereka menganggap sebagai  masyarakat paling sopan di dunia.  
Tapi kejadian di Ibukota yang disiarkan lewat televisi telah membuka seluruh kesadaran bahwa sesuatu telah terjadi dengan sangat serius.
***
Rosita dipanggil Roy Ambyah dengan mendadak. Ia segera bisa mencium bau tidak enak. Dengan suasana hati yang masih tidak menentu, ia menuju ruangan Roy. Baru saja ia melangkah masuk, Roy sudah menunggunya dengan berdiri dan menyodorkan selembar surat berkop Departemen Penerangan, dan berkata, "Saya merasa ada sesuatu yang harus kita pertimbangkan."
"Baik, Pak. Saya akan membacanya setelah saya selesai meliput nanti malam."
Roy dengan tegas mendesak, "Sita, bacalah sekarang."
Rosita merasa suasana sedang menegangkan di ruangan itu. Tanpa duduk, ia segera membacanya. Pesannya sangat jelas dan ia tidak perlu dua kali untuk membacanya, tapi ia masih tidak mempercayainya. Dengan sinis dia berkata, “Saya kira semua telah berubah."
"Siapa yang mengira belum."
"Saya tidak habis mengerti, ada persoalan besar yang mengancam keutuhan bangsa ini, tapi betapa reporter kecil seperti saya masih sempat mereka urusi?”
            “Semua orang sedang diurusi sekarang.”
            “Kali ini saya akan menggunakan hak jawab saya, meski perusahaan tidak mendukung saya.”
            “Ini bukan perkara tanya jawab, tapi peringatan keras bahwa kamu harus menghindari apa yang mereka sebutkan sebagai tuduhan yang memojokkan.”
            “Saya melaporkan kasus penculikan itu berdasarkan data Kontras.” Nada Rosita meninggi.
            “Saya sudah menjelaskannya kepada Chief Eksekutif kita.”
“Dan saya yakin beliau tidak mau tahu.” Rosita menyambung kalimat itu dengan geram. “Terimakasih, saya harus meliput demonstrasi mahasiswa.”
Rosita segera menghilang dan satu jam kemudian ia sudah kembali ditengah-tengah massa mahasiswa berdemonstrasi. Ia akan terus meliput dan menyiarkan apa yang dilihat dan dirasakannya. Ia sadar betul surat yang ditujukan kepadanya itu serius. Tapi ia harus tetap merekam seluruh kejadian yang boleh dan tidak boleh direkam. Ia akan bicara apa yang didengar dan dilihatnya, karena ia masih punya nyali untuk berkata jujur. Kebenaran tidak bisa dikalahkan kecuali oleh kebenaran itu sendiri.
(bersambung)