Monday, May 24, 2010

1998 (14)


BAB DUAPULUH


Inaya berdiri didepan kamar bedah rumah sakit dengan tenggorokan kering. Kedua bola matanya membesar dan kelopak matanya sudah memerah kehabisan airmata. Koridor rumah sakit dipenuhi mahasiswa yang histeris.  Terdengar suara kesakitan dimana-mana. Para mahasiswa berdatangan membawa tubuh-tubuh yang penuh luka dan berdarah-darah. Rumah sakit itu seperti barak perang.
            Setiap lorong dipenuhi orang. Termasuk yang mencari perlindungan. Termasuk wartawan dan reporter. Rosita kelihatan kepayahan dan terus menerus menempel Harry yang mengambil gambar. Rosita lalu duduk menenangkan diri. Hanya beberapa detik. Matanya menangkap sosok Inaya yang menangis sendirian.
“Inaya, kamu baik-baik saja?” Rosita mengguncang bahu Inaya.
Inaya langsung memeluk Rosita. Seperti menemukan sebuah telaga untuk melepaskan dahaganya. Ia tumpahkan airmatanya lebih banyak lagi di bahu Rosita sambil menyebut nama Fajar terus menerus.
"Kenapa dengan Fajar?" Rosita histeris mengguncang tubuh Inaya, tapi Inaya sudah pingsan.      
***
Pesawat televisi sedang menayangkan kerusuhan yang terjadi disekitar  Universitas Trisakti. Semua saluran stasiun televisi hanya berisi berita seperti itu. Tidak ada iklan, tidak ada telenovela, tidak ada film India. Nyonya Hartawan begitu tegang melihat adegan-adegan kekerasan itu. Ia sudah menangis sambil menggoyang-goyang tubuh Hartawan yang duduk kaku menatap layar televisi.
Badan Hartawan begitu gemetar menahan marah yang sudah di ubun-ubun kepalanya. Kejadian ini terulang lagi, geramnya dalam hati. Kilasan kejadian tahun 1966 dan 1974 menjelma kembali di batok kepalanya. Negeri ini dilahirkan untuk menjadi sebuah pemakaman massal.
“Kangmas harus cari Inaya dan bawa pulang!” Teriak Nyonya Hartawan. “Aku tidak mau Inaya mati konyol. Kangmas jangan berdiam diri saja!”
“Biarkan Inaya mati dengan terhormat!” Hartawan berdiri dengan kepalan tangan.
“Masya Allah, kangmas malah mendoakan Inaya mati.”
“Rezim ini sudah seharusnya berakhir!”
“Persetan dengan politik. Aku mau Inaya dibawa pulang. Pak Trimooo!”
“Inaya disana karena sedang berjuang. Dan itu lebih berguna bagi Inaya daripada keluyuran seperti yang dilakukan Noni dengan bule itu!”
Pak Trimo muncul dengan tergopoh-gopoh. Ia mendengar suara majikannya seperti guntur. Tapi Hartawan yang memberi perintah.
“Pak Trimo, siapkan mobil, saya mau ke gedung Joang.”
Pak Trimo kembali lenyap keluar. Hartawan menuju istrinya dan menenangkan. “Pahamilah Inaya sedang berjuang untuk perbaikan negeri ini. Ibu tidak usah mencemaskan Inaya. Ibu justru harus cemas dengan Noni yang tidak diketahui ada dimana sekarang.” Hartawan langsung menuju pintu keluar. Dan wanita berdarah biru itu terus menerus mengeluarkan airmatanya.
Tiba-tiba ia merasa hidupnya begitu sepi. Ia yang dulu mengagungkan diri sebagai wanita yang selalu membaktikan diri untuk keluarga, telah dipaksa melihat kenyataan yang siap membuat masa tuanya suram. Ia merasa apa yang selama ini dilakukannya semata-mata demi menjaga martabat dan harga diri sebagai orang yang berpredikat darah biru. Kasih sayang telah ia berikan untuk keluarga. Apa yang lebih penting dari sebuah kasih sayang dalam sebuah keluarga? Andai saja ia tahu lebih banyak dari itu.
Andai saja ia tahu yang sedang terjadi dengan Fajar, yang sedang sekarat diatas ranjang rumah sakit. Andai saja ia tahu Inaya sedang menangis seperti orang yang baru kehilangan segala-galanya. Andai saja ia tahu yang sedang terjadi di jalan-jalan kota malam itu. Mencekam, seperti medan perang. Truk-truk tentara berlari diatas aspal malam yang masih basah. Radio-radio komunikasi menyalak dari komandan satu ke komandan lain.
***
Menjelang pagi, suasana Ibukota lebih mencekam. Sudut-sudut jalan raya sepi. Jalan protokol yang biasanya dijejali mobil-mobil mewah, lengang seperti kuburan. Pos polisi di sudut jalan hanya berisi tiupan angin pagi yang menyesakkan paru-paru. Orang-orang seperti lenyap di telan bumi.
(bersambung)