Sunday, September 11, 2011

SENO GUMIRA AJIDARMA DAN NAGABUMI

Sore itu, Mas Seno—begitu saya memanggilnya—tampil santai dengan kaus, jeans, dan sepatu kanvas hitam. Ia duduk di belakang meja dengan dua buku bertumpuk. Yang teratas berjudul The Real Tripitaka karya Arthur Waley. Ia telah siap untuk wawancara.
Apakah buku itu untuk riset Nagabumi?
Ha-ha-ha. Ya, salah satunya.
Mas Seno, bisa ceritakan awal penulisan novel ini?
Dulu, saya pernah punya impian untuk menulis cerita silat bersambung. Ambisinya, ingin membuat cerita silat yang memenuhi kriteria estetik. Lalu, saya dapat tawaran untuk menulis cerita silat Jawa di koran. Saya bilang, saya tidak tertarik dengan cerita silat seperti itu. Saya tidak bisa. Tapi, kalau silat Indonesia bisa. Akhirnya, saya menulis sebuah cerita silat Indonesia tanpa latar belakang tempat. Namun, lama-lama, saya merasa cerita ini butuh itu. Saya pun memilih setting yang jarang dipakai orang, yaitu Jawa abad 8–9 M. Sejak itu, saya mulai riset sambil menulis Nagabumi.
Apa yang membedakan Nagabumi dari cerita silat lain?
Ya, itu tadi. Saya tidak mau membuat cerita silat yang hanya asal gebuk. Tapi, silat sebagai sastra. Dan, awalnya ini dibuat 'bernyali' oleh adanya film-film silat yang artistik, seperti Crouching Tiger Hidden Dragon atau Hero. Wah, itu kan bukan action, itu puisi. Itulah ideal saya.
Tokoh Anda, si pendekar tanpa nama, berusia 100 tahun dan pernah membantai seratus lawan dalam semalam. Saya melihat pengaruh cerita silat China yang kental di sini. Tanggapan Anda?
Iya, dong. Dulu, kan, tidak ada DVD segala. Dan, film-film masih jelek. Dunia remaja jadul itu, ya, cerita atau komik silat seperti karya Kho Ping Hoo atau R.A. Kosasih. Silat itu bagian dari tradisi anak laki-laki zaman dulu.
Mengapa tokohnya tidak murni protagonis layaknya cerita silat kebanyakan?
Nah, itu salah satu pengaruh sastra modern. Sastra klasik, kan, tentang orang-orang hebat. Kalau modern justru orang-orang yang kalah. Menurut saya, ini menarik. Kita bisa 'bermain' di situ.
Banyak isu dalam Nagabumi yang merefleksikan keadaan negara ini, seperti konflik agama dan politik. Apa memang ada maksud ke arah sana?
Itu tergantung pembaca saja. Pembaca kan tidak pasif dan konsumtif, tapi aktif dan produktif. Jadi, tergantung mereka memaknai cerita itu sebagai apa. Entah sekadar cerita, sejarah, atau apa saja. Mereka harus diberi kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas.
Tantangan apa yang muncul saat mengerjakan buku ini?
Saya ingin memunculkan apa yang selama ini tidak pernah ada dalam cerita silat Indonesia, yaitu sisi intelektual manusianya. Sesungguhnya, selain pesilat, banyak sekali karakter yang menarik, seperti pengarang buku, pengajar, politikus, hingga pemberontak. Cerita silat ini mengadung esai yang meliputi banyak aspek kehidupan.
Perspektif orang pertama yang Anda gunakan dalam bertutur tidak lazim dalam cerita silat. Ada alasan khusus?
Karena itu belum dilakukan orang. Biasanya, cerita silat kan yang bercerita Tuhan (perspektif orang ketiga). Nah, kalau ini yang bercerita manusia. Dengan begitu, tokoh bisa bercerita lebih banyak dan personal. Kita pun bisa lebih mengerti pergolakan batin yang terjadi dalam dirinya. Di situlah sastra modernnya; bermain dengan sudut pandang.
Bicara tentang Tuhan, apa tanggapan Anda mengenai anggapan bahwa sastra merupakan jalan spiritual?
Ya, boleh-boleh saja. Kalau mau dijadikan hiburan boleh, mau dipakai buat gaya omongan saja juga boleh. Tapi, serius juga boleh. Mereka, kan, mencari makna dalam bacaan. Bisa juga.
Pertanyaan terakhir. Mengapa nama Seno Gumira Ajidarma lekat dengan kata 'perlawanan'?
Bukannya hidup seperti itu? Kita tidak bisa mengingkari bahwa sebetulnya kebudayaan itu isinya hanya perlawanan kelompok bawahan melawan kelompok yang dominan. Ini seperti menangkap ayam. Mana ada, sih, ayam yang mau ditangkap untuk disembelih? Nah, saya melakukannya dengan cara tidak menjadi seperti yang lain.

Sumber AREAMAGZ



Monday, August 22, 2011

5 Film Perampokan Bank Terbaik


Banyak kisah kehidupan manusia yang menjadi inspirasi dalam pembuatan film. Tak terkecuali kisah kriminal seperti perampokan bank. Kantor berita Associated Press (AP) memilih lima film yang khusus menceritakan secara spesifik perampokan bank. Bukan film yang hanya adegan perampokan sebagai fitur tambahan.

Berikut adalah lima film perampokan bank terbaik:

1. 'Dog Day Afternoon' (1975)

Film 'Dog Day Afternoon' merupakan salah satu karya terbaik sutradara Sidney Lumet. Film ini sudah tidak diragukan lagi pasti masuk dalam daftar film perampokan bank terbaik. Di film 'Dog Day Afternoon', aktor watak Al Pacino berhasil memerankan seorang perampok bank bernama Sonny yang memerlukan uang untuk membiayai operasi trans gender kekasihnya. Dalam film tersebut, Sonny sukses memberikan kejutan, terutama saat ia berinteraksi dengan penjaga bank dan teller. Meski seorang perampok, Sonny justru terlihat peduli dengan mereka. Akting Al Pacino di film ini dianggap sebagai yang terbaik sepanjang kariernya.

2. 'Bonnie and Clyde' (1967)

Film klasik garapan sutradara Arthur Penn ini sukses membawa nama Bonnie dan Clyde identik dengan kejahatan yang yang diselingi nuansa romantis. Film ini dinilai sangat hidup, lucu sekaligus menegangkan. Akting Faye Dunaway dan Warren Beatty sebagai perampok bank sangat menarik untuk disimak. Film ini sukses meraih 10 nominasi Academy Awards dan memenangkan dua penghargaan untuk kategori aktris pembantu terbaik (Estelle Parsons sebagai saudari ipar Clyde) dan sinematografi.

3. 'Heat' (1995)

Film berdurasi hampir tiga jam ini menampilkan karya terbaik sutradara Michael Mann, mulai dari visual hingga aksi kekerasan. Film ini mengeksplorasi area abu-abu dimana pria jahat dan pria baik sulit dibedakan. Film bertema perampokan bank ini lagi-lagi dibintangi Al Pacino. Berbeda denganperannya di film 'Dog Day Afternoon', dalam film ini, Al Pacino justru memerankan seorang polisi detektif Los Angeles. Sementara karakter antagonis atau perampok bank diperankan Robert De Niro. Film ini juga dinilai menampilkan adegan baku tembak yang epik.

4. 'Inside Man' (2006)

Film yang dirilis pada 2006 silam ini benar-benar menunjukkan karakter sang sutradara, Spike Lee. Film ini berkisah tentang perampokan yang direncanakan dengan sangat cermat oleh sekelompok bandit. Sedikit humor membuat film ini menjadi lebih santai dan sedap ditonton. Denzel Washington memerankan detektif NYPD yang bernegosiasi dengan para perampok bank. Sementara Clive Owen sukses memerankan pimpinan perampok yang berkarakter tenang dan sombong. Film ini juga didukung aktor dan aktris bertalenta seperti Jodie Foster, Christopher Plummer, Chiwetel Ejiofor, serta Willem Dafoe.

5. 'Point Break' (1991)

Jauh sebelum sutradara Kathryn Bigelow memenangkan Piala Oscar untuk film 'The Hurt Locker', ia adalah salah seorang wanita yang gemar membuat film aksi. Film 'Point Break' menjadi salah satu karya Kathryn Bigelow yang patut ditonton. Dalam film ini, aktor Keanu Reeves berperan sebagai agen FBI bernama Johnny Utah. Ia melakukan penyamaran dalam rangka menangkap sekelompok perampok bank yang selalu mengenakan topeng Presiden AS dalam setiap aksinya. Adapun pimpinan perampok diperankan Patrick Swayze dengan apik. (Rudy Bun) (adi)
• VIVAnews

Monday, August 15, 2011

Mengapa Film Horor Disukai?


Di Amerika Serikat (AS), jutaan orang rela menghabiskan banyak uang demi kesenangan menakutkan seperti Halloween. Berikut penjelasan mengapa orang menyukai sensasi ketakutan.

Mulai dari rumah berhantu hingga film horor, remaja hingga dewasa nampaknya menyukai ketakutan yang ‘menyenangkan’. “Orang menonton film horor karena ingin takut,” ungkap editor ‘Why We Watch: The Attractions of Violent Entertainment’ Jeffrey Goldstein.

Profesor sosial dan psikologi organisasi di University of Utrecht, Belanda, ini mengatakan, orang memilih hiburan yang bisa mempengaruhinya. “Itulah alasan orang memilih produk hiburan seperti film horor,” ujarnya.

Sensasi Sinister

Menurut dekan College of Social and Behavioral Science David Rudd di University of Utah, orang-orang menikmati perasaan takut dan mencari-cari perasaan itu karena, jauh di lubuk hati, mereka tahu mereka tak sedang dalam bahaya nyata.

Orang-orang ini memahami risiko nyata kegiatan tersebut. Yakni, marjinal, dan karena kesadaran mendasarinya, orang-orang ini mengalami kegembiraan bukan ketakutan yang sebenarnya, jelas Rudd.

Inilah sebabnya orang menikmati saat pergi ke wahana taman hiburan yang mengerikan dan menyurusi rumah hantu bertema Halloween. Kebanyakan orang dewasa dan remaja mampu mengukur secara realistis tingkat aktual ancaman yang mampu merangsang ketakutan mereka dan mengaitkannya dengan tingkat keselamatan mereka.

Misalnya, menonton film horor tak menimbulkan ancaman fisik. Karena hanya ada ancaman psikologis kecil, mereka hanya akan mendapat mimpi buruk sebagai akibat menonton film itu. Karenanya, sebagian besar penonton merasa aman menonton film seperti itu, dan bersemangat karenanya, bukan takut.

Skala toleransi terror

Beberapa orang dewasa dan kebanyakan anak kecil tak bisa mengukur hal tersebut dengan benar dan mereka pun merasakan ancaman yang lebih tinggi daripada itu. “Pengalaman ketakutan ‘nyata’ terjadi saat penilaian ancaman lebih besar dari keselamatan,” ujar Rudd.

Orang-orang yang takut terbang menilai ancaman kecelakaan dalam mode yang tak realistis dan tak proporsional karena itu sebenarnya lebih aman dari menyetir, lanjutnya. “Sebagai hasil penilaian yang salah, mereka mengalami ketakutan”.

Inilah mengapa anak-anak bisa dengan mudah menjadi ketakutan dibanding orang dewasa. Hal ini dikarenakan pengalaman yang kurang saat mengukur keselamatan dari hal-hal seram yang mereka lihat, mulai dari kostum raksasa mengerikan hingga kerangka berbicara.

Anak kecil bisa melihat Halloween yang menyenangkan sebagai ancaman serius pada keselamatannya, dan menjadi benar-benar ketakutan. Orang dewasa sudah terbiasa dari waktu ke waktu dan jauh lebih baik dalam menilai, ujar Rudd.

“Semuanya hanyalah terkait penilaian risiko, orang dewasa jauh lebih baik dari anak-anak. Hal ini merupakan sesuatu yang kita pelajari dari waktu ke waktu, hal ini merupakan bagian kematangan”.

Thursday, June 16, 2011

Trilogi Film Konflik Indonesia


Erasmus Huis, Jakarta, akan mengadakan pemutaran film karya sutradara Leonard Retel Helmrich pada 30 Juni hingga 2 Juli nanti. Ia adalah sineas pertama yang telah menerima penghargaan dari International Documentary Festival Amsterdam (IDFA), dan satu- satunya orang Belanda yang pernah memenangkan hadiah utama pada festival film Sundance.

Helmrich membuat trilogi film tentang keluarga yang berusaha tetap hidup pada saat konflik politik dan agama di Indonesia. Trilogi film tersebut berjudul The eye of the day (2001), Shape of the moon (2004), dan Position Among the Stars (2010).

Helmrich mulai mengikuti kehidupan keluarga Syamsuddin yang tinggal di daerah kumuh Jakarta. Tak tanggung-tanggung selama 12 tahun. Ia mengambil periode reformasi dimana saat itu kondisi masyarakat bergejolak setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Gerakan reformasi ini membawa kemiskinan, pemberontakan dan ketidakstabilan bagi Indonesia, termasuk dialami keluarga Syamsuddin.

Sekuel pertama, The eye of the day (2001), bercerita tentang bagaimana keluarga Syamsuddin mengalami masa transisi ini. Tiap empat kali setahun, nenek Rumidjah pulang kampung untuk membantu keluarganya dengan hasil panen.Bagi putra-putranya, kota ini merupakan dunia mereka. Si bungsu Bakti menghabiskan waktunya dengan berjudi, memelihara burung dara dan bergabung dengan protes mahasiswa terhadap rezim militer. Bakti harus mencari pekerjaan dan melibatkan diri dalam politik dengan cara yang “normal” lewat pemilu demokratis. Retel Helmrich menunjukkan semua aspek kehidupan sehari-hari keluarga ini tanpa wawancara, narasi atau cara lainnya.

Dalam Shape of the moon (2004), sebagai film kedua dari trilogi ini, Helmrich menunjukkan perubahan baru di Indonesia melalui mata keluarga Syamsuddin. Nenek Rumidjah adalah seorang wanita Kristen di ibukota Jakarta dengan mayoritas Islam. Ia ingin meninggalkan kota yang penuh hiruk pikuk ini dan kembali ke desanya untuk menikmati masa tuanya. Namun itu berarti ia harus meninggalkan cucunya Tari di kota. Kehidupan Rumidjah itu tidak menjadi lebih mudah ketika anaknya Bakti masuk Islam karena ingin menikah.

Sekuel terakhir dari trilogi ini bercerita tentang pola-pola kehidupan masyarakat Indonesia setelah 12 tahun masa transisi politik itu. Sehingga dengan bidikan kameranya, penonton akan mampu menangkap permasalahan penting dalam masyarakat yang dengan cepat berubah : korupsi, konflik antar agama,kecanduan berjudi, kesenjangan generasi, dan perbedaan antara miskin dan kaya yang semakin besar.

Meski tiga film jelas saling berhubungan, setiap film sama kuat sebagai sebuah film lepas. Kita tidak perlu melihat film Helmrich sebelumnya untuk menikmati sekuel terakhir ini.

Berikut jadwal pemutaran trilogi film tersebut, Kamis (30 Juni 2011) pukul 19.30 WIB akan diputar film Eye of the Day (2001). Kemudian Jumat (1 Juli 2011) pukul 19.30 WIB akan diputar film Shape of the moon (2004). Sedangkan Position Among the Stars (2010) akan diputar pada hari Sabtu (2 Juli 2011) pukul 15.00 WIB. Pemutaran film tersebut akan dihadiri oleh sang sutradara, Helmrich.

ISMI WAHID/TEMPOINTERAKTIF

Wednesday, June 8, 2011

SAM (10)


BAB 10

 

Jun Maher memasukan Abusono ke dalam kamar yang sudah disiapkan. Masih dengan penutup mata. Abusono di dudukkan. Masuk ke ruangan itu Mustajab dan Syahrial Anwar. Parwata masuk dan membisikan sesuatu ke Jun Maher. Parwata dan Syahrial Anwar diberi kode untuk tetap di ruangan itu. Jun Maher mengajak Mustajab keluar kamar itu.
     Warsito sudah menungu dan berkata, “Beny dan Tigor dibawa ke Polres.”
     “Operasi kita bocor,” Kata Jun Maher yakin. “Mustajab, kau bebaskan Beny dan Tigor. Warsito, hubungi Pusat, aku mau malam ini juga ke Jakarta.”
     “Pangkalan Udara Wirasaba sudah dikuasai mereka, Pak.”
     “Gila.” Jun Maher menoleh ke arah Mustajab yang bersiap keluar rumah. “Mustajab, tunggu dulu.”
     Mustajab kembali lagi.
     Ruangan itu senyap.
     Jun Maher duduk terpaku.
     Otaknya bekerja.
     Lalu menoleh ke Mustajab,  “Tolong panggilkan Parwata.”
     Mustajab bergegas ke arah kamar dimana Abusono berada. Sesat kemudian datang dengan Parwata.
     “Pak Parwata, pergilah dengan Mustajab,” kata Jun Maher memberi perintah. “Gunakan koneksi di Polres untuk bebaskan Tigor dan Beny malam ini juga.”
     “Saya tidak yakin, Pak,” ujar Parwata dengan nada dingin. “Sedikit sekali informasi yang bisa kita percayai disini.”
     “Lakukan saja.”
     Parwata nampak bimbang. “Biar saya lakukan ini sendiri.
“   
     “Bapak pergi dengan Mustajab.”
     “Baiklah.” Parwata langsung keluar rumah itu tanpa berkata lagi.
     Mustajab menatap Jun Maher seolah ada yang hendak dikatakannya. Seolah mengantar Mustajab keluar, Jun Maher membisikan sesuatu kepada Mustajab.
     “Jangan percayai siapapun.”
     Mustajab disergap ketakutan. Jangan percayai siapapun. Kalimat itu sangat serius dan atasannya sendiri yang mengatakannya. Diam-diam ia berdoa agar Tuhan melindunginya.
     Saat Parwata dan Mustajab sudah pergi, Jun Maher berkata kepada Warsito, “Kita pindahkan tawanan.”
     “Saya tidak yakin jalan kita aman, Pak.”
     “Lakukan tugasmu. Aku tidak mau ada satu informasi sekecil apapun yang kau lewatkan di radio. Siapkan mobil.”
     “Baik, Pak.”
        Warsito bergegas keluar.
     Jun Maher masuk kedalam kamar itu dan segera menarik Abusono. Syahrial Anwar segera mengerti begitu ada kode dari Jun Maher untuk meninggalkan tempat itu. Syahrial Anwar bergegas keluar kamar itu. Satu-satunya pekerjaan yang harus dilakukannya adalah melakukan pembersihan tempat itu. Ia sudah sering mengikuti operasi rahasia seperti itu. Jadi kondisi darurat seperti itu sudah sangat biasa baginya. Lima menit kemudian tempat itu telah kosong dan meninggalkan kesunyian malam yang masih panjang.
     Warsito membawa mobil dengan hati-hati. Jalur yang dilaluinya adalah jalur yang belum beraspal. Jun Mahher sudah mendapatkan semua rute jalan kecil didaerah itu dari Mustajab. Tidak ada yang tahu ia mengetahui jalur tersebut dari Mustajab. Tidak ada percakapan didalam mobil itu. Abusono sepertinya mengerti ia harus diam. Ia diapit Jun Maher dan Syahrial Anwar.
     Saat mereka keluar dari base camp, Jun Maher sudah mengirimkan pesan rahasia kepada seseorang yang akan membantunya saat keadaan tidak berjalan seperti rencana utama. Umar Yusuf sendiri yang memberikan nama dan alamat seseorang itu. Saat ada jawaban bahwa orang itu akan menunggunya dalam waktu setengah jam, Jun Maher menjadi bernafas lega.
     Mobil yang dibawa Warsito muncul di jalan yang sama ketika mereka menjalankan rencana B, persis sebelum jembatan yang menyeberangi sungai Serayu. Saat sampai di mulut jalan tembus itu, Warsito mengambil jalan ke kanan sesuai kode Jun Maher. Mereka sebelumnya mengambil jalan ke kiri, untuk menuju base camp. Begitu mengambil jalur ke kanan, kembali masuk ke jalan perkampungan, bukan jalan aspal. Meskipun kemudian juga harus mengambil jalan aspal kembali, saat ada jalan ke arah kampung Jun Maher memberi perintah masuk melewati jalan kampung. Meskipun itu memakan waktu lebih lama, Jun Maher harus melakukannya.
     Sampai kemudian mobil itu melewati sebuah tugu desa bertuliskan Lengkong, Jun Maher teringat bahwa desa itu tempat kelahiran Mustajab. Tapi lagi-lagi mereka harus masuk ke jalan yang lebih kecil, bertanah dan berliku-liku. Tapi Jun Maher lega karena semua jalur yang diberikan Mustajab sangat persis dan tidak ada yang salah satu jengkalpun. Saaat keluar, mobil sudah memasuki desa Tapen. Didepannya adalah sebuah perempatan yang luas. Dan Jun Maher menghentikan mobilnya sebelum perempatan itu.
     Jun Maher tegang.
     Tidak ada jalan lain selain harus melewati perempatan itu untuk menuju tempat yang harus ditujunya. Warsito menatap Jun Maher yang jelas sekali tegang mukanya. Tapi Jun Maher tidak bisa menunggu lagi. Ia memberi kode Syahrial Anwar untuk turun. Sebelum turun, Jun Maher memberi kode sepuluh kepada Warsito, lalu menarik Abusono dan segera masuk ke lorong gelap rumah penduduk. Warsito tahu apa yang harus dilakukannya. Jun Maher mengambil jalan aman dengan jalan kaki melewati rumah-rumah penduduk dan akan muncul di seberang perempatan.
     Warsito dihinggapi ketegangan. Perempatan itu adalah jalan maut baginya. Paling tidak setelah dipastikan bahwa operasi mereka diketahui pihak lain. Dan pihak lain itu pasti bukan teman mereka.  Tapi ia tidak punya pilihan lain. Setelah menunggu sepuluh menit, Warsito menjalankan mobilnya. Ia meraba pistol dipinggangnya. Saat operasi mereka dalam bahaya, standar operasi harus dijalankan. Salah satu dengan mempersenjati diri sebagai bentuk perlindungan. Satu-satunya hal yang sering ia dengar adalah jangan sampai tertangkap.   
     Ia juga tidak mau tertangkap.
     Mobil tinggal melewati tiga rumah tapi didepanya muncul dari arah kanan sebuah mobil patroli polisi dengan lampu rotator menyala berkilauan. Tapi hanya sekali. Setelah itu lima petugas polisi berseragam menuju tengah jalan dan mencegat mobil Warsito. Mereka sudah mengambil senjata masing-masing dari pinggangnya. Warsito tahu ia tidak bisa lari. Dan ia memang tidak berniat lari. Ia berhenti.
     Kelima polisi itu mengepung mobil dan menodongkan senjata mereka.
     “Keluar dari mobil. Cepat.”
     Warsito keluar dari mobil.
     Kelima polisi itu saling pandang.
     “Mana yang lain?”
     Mereka memang sudah tahu.
     “Saya sendiri, Pak.”
     Warsito ditendang kaki belakangnya dan ditelungkupkan dan di ambil pistolnya.
     “Maaf Pak Polisi, boleh tahu apa salah saya?”
     “Mana ada teroris mengaku.”
     Sempurna sudah  tuduhan itu.
     Salah satu polisi menghidupkan radio. “Hanya satu orang, Ndan.”
     “Bawa saja dan lanjutkan penyisiran ke arah timur.”
     “Siap, laksanakan.”
     Warsito di gelandang masuk ke dalam mobil patroli. Salah seorang polisi membawa mobil Warsito. Dua mobil itu melaju ke arah timur, jalan dimana seharusnya Jun Maher lewati. Belum lima menit, Jun Maher keluar dari salah satu pinggiran rumah penduduk, di arah timur perempatan itu. Ia berhasil lolos dan ia tahu Warsito sudah ditangkap Polisi. Ia tahu sekarang sendirian. Seharusnya ia tidak menyuruh Mustajab dan Parwata pergi. Ditangkapnya Warsito memperjelas bahwa ada pihak lain yang lebih kuat untuk ikut bermain. Dan cara bermain mereka sangat pintar dengan memperalat Polisi.
Siapa yang mampu menggerakan Polisi?           
     Ia tahu jarak yang harus ditempuhnya untuk sampai ditempat orang yang ditujunya masih cukup lama. Dengan mobil saja butuh waktu tidak lebih tigapuluh menit. Dengan jalan kaki, bisa fajar baru sampai. Tapi sebuah senter menyala di pinggir jalan diarah depan, sekitar limabelas meter didepannya. Senter itu terus dinyalan beberapa kali. Seperti kode. Dan Jun Maher tahu kode apa itu. Bergegas ia membawa Abusono diikuti Syahrial Anwar ke arah lampu senter itu berada.
     Seorang lelaki tua muncul dari kegelapan.
     Jun Maher menatap lelaki tua itu dan memperlihatkan catatan nama dikertasnya. Ahmad Najib Burhani membaca namanya ditulis dikertas itu dengan alamat rumahnya. Lelaki tua itu mengangguk tanpa bersuara. Ia kenal Abusono dan tidak mungkin harus mengeluarkan suaranya. Ia memberi kode mengikutinya. Mereka terus berjalan kaki menyusuri jalan setepak disamping stadion sepak bola itu sampai kemudian terdengar suara air seperti di laut. Angin kencang menerpa mereka. Jun Maher melihat didepannya ada tembok tinggi dan di balik tembok itu adalah sebuah waduk. Waduk PLTA Mrica.
     Mereka menuju sebuah rumah yang letaknya paling pinggir disamping bendungan itu. Beberapa rumah lain berjarak agak jauh. Ahmad Najib Burhani masuk ke dalam rumah itu. Terus menuju sebuah kamar yang kelihatan sudah dipersiapkan. Jun Maher memasukkan Abusono ke dalam kamar itu. Syahrial Anwar terus mengikutinya. Ahmad Najib Burhani menutup pintu kamar itu dari luar dan tidak ikut berada dalam kamar itu.
     Jun Maher mendudukan Abusono diranjang tua terbuat dari kayu yang terdapat sebuah kasur kapuk yang sudah kempes karena sudah sangat lama.
     “Apakah sudah aman?” Tanya Abusono tiba-tiba.
     “Sudah.” Jun Maher membuka tutup mata Abusono, lalu menoleh kepada Syahrial Anwar. “Tolong periksa.”
     Syahrial Anwar membuka tas perbekalannya dan mengambil stetoskop. Abusono nampak kaget berada diruangan yang tidak terang itu. Wajahnya dihinggapi kepanikan sesaat. Lalu memicingkan matanya menatap Jun Maher dan Syahrial Anwar yang sedang memeriksanya.
     “Sediakan air minum,” kata Syahrial Anwar kepada Jun Maher.
     “Ya, aku haus sekali,” ujar Abusono
     Jun Maher langsung keluar kamar itu dan tidak berapa lama masuk lagi membawa sebuah teko terbuat dari tanah dan sebuah gelas. Menuangkan air ke dalam gelas itu dan berikan kepada Abusono. Syahrial Anwar selesai memeriksa dan menoleh kepada Jun Maher.
     “Jantungnya lemah.”
     “Ya, jantungku memang lemah. Aku dulu perokok,” kata Abusono terus bicara. “Oya namaku Abusono.”
     “Saya tahu nama bapak bukan Abusono tapi Sam,” kata Jun Maher mantap dan menatap kedua mata Abusono dengan dalam.
     “Sam?”
     “Bapak mempunyai lima nama samaran. Dimin, Jiman, Karman, Ali Muchtar dan Ali Sastra,” kata Jun Maher dengan lancar.
     “Kurang dua.”
     “Apa?” Jun Maher hampir berteriak.
     “Syamsudin dan Kamarul Saman.”
      Ya Tuhan, lelaki ini benar-benar Sam
“Kau lahir di Tuban?” Syahrial Anwar tiba-tiba bertanya.
“Tentu saja.” Abusono menjawab dengan senang. Lalu menatap Jun Maher. “Persisnya dimana kau tahu?”
“Randublatung.”
Abusono tertawa.
Hanya sebentar. Lalu dia minum air putih itu lagi. “Boleh aku memakai kacamataku? Kau tahu aku harus memakai kaca mata.”
“Silahkan.” Jun Maher terus menatap lelaki itu. Tapi sesaat kemudian dia mengambil perbekalan didalam tasnya. Sebuah borgol dan tali. Dia lalu mengambil kedua tangan Abusono setelah lelaki itu memakai kacamatanya.
“Saya harus melakukan ini. Maaf.” Kata Jun Maher sambil memborgol kedua tangan Abusono dan mengikat kedua kaki dengan tali dan diikatkan ke dua ujung bawah tempat tidur. “Saya ingin bapak istirahat. Dan sebaiknya bapak jangan berpikir untuk lari.”
“Aku juga tidak mau orang lain yang menangkapku.”
“Jadi bapak tahu ada pihak lain yang sedang mengincar bapak?”
“Tentu saja. Kalau boleh aku mau tidur. Aku capek dari pagi buta sudah pergi dari rumah. Boleh aku tidur?”
Jun Maher menatap kepada Syahrial Anwar.
“Biar saya menjaganya,” kata Syahrial Anwar.
Jun Maher terus keluar ruangan itu dan Ahmad Najib Burhani sudah menunggunya.
“Saat ini saya nyaris tidak percaya siapapun.”
“Memang kau harus melakukan itu.” Ahmad Najib Burhani menatap Jun Maher. “Anggotamu pasti tertangkap.”
“Ya. Menurut bapak siapa dibelakang penangkapan mereka?”
“CIA.”
“Bapak benar sudah pensiun?”
“Menurutmu?”
“Menurut saya belum.”
Ahmad Najib Burhani tersenyum. “Sebelum jam enam, kita harus meninggalkan rumah ini.”
“Bagamana caranya kita mendapatkan mobil?”
“Aku sudah siapkan.” Ahmad Najib Burhani beranjak. “Aku akan lihat keadaan diluar. Jagalah tawananmu.”
“Terimakasih.”
Terimakasih Ya Tuhan.    

(bersambung) 

Monday, May 23, 2011

'The Tree of Life', Film Terbaik Festival Film Cannes 2011


Minggu 22 Mei adalah hari terakhir digelarnya Festival Film Cannes 2011. Robert De Niro yang menjadi pimpinan juri serta Jude Law dan Uma Thurman sebagai anggota, mengumumkan bahwa penganugrahan tertinggi diberikan pada film "The Three of Life" yang dibintangi Brad Pitt bersama %CSean dan Jessica Chastain.

Film drama keluarga ini diarahkan sutradara Terrence Malik. Namun sayangnya, sang sutradara tak hadir di Perancis untuk menerima penghargaan Palme 'Or (Golden Palm).

Kirsten Dunst juga mendapat penghargaan sebagai aktris terbaik untuk perannya dalam film "Melancholia". Awalnya aktris berusia 29 tahun ini pesimis ia akan mampu memenangkan penghargaan tersebut karena ulah sang sutradara film "Melancholia", Lars Von Trier. Sutradara berusia 55 tahu tersebut sempat dikritik karena komentarnya tentang Nazi. Namun tak disangka, Kirsten ternyata menang.

"Ia (Lars) adalah pembuat film hebat, kadang-kadang saya merasa harus membiarkan film-filmnya berbicara sendiri," kata Kirsten. "Saya mengerti sedikit dari apa yang Justine lalui."

Sementara aktor Perancis, Jean Dujardin, dinobatkan sebagai aktor terbaik untuk film "The Artist". Untuk sutradara terbaik, penghargaan diberikan pada Nicolas Winding Refn, pengarah film "Drive" yang dibintangi Ryan Gosling.

Berikut daftar pemenang Festival Cannes 2011:

- Palme d'Or - "The Tree of Life" (Terrence Malick, U.S.)
- Grand Prix - "Once Upon a Time in Anatolia" (Nuri Bilge Ceylan, Turkey) and The Kid With a Bike (Jean-Luc and Pierre Dardenne, France)
- Sutradara - Nicolas Winding Refn ("Drive", U.S.)
- Penghargaan Juri - "Polisse" (Maiwenn, France)
- Aktor Terbaik - Jean Dujardin ("The Artist", France)
- Aktris terbaik - Kirsten Dunst ("Melancholia", Denmark-Sweden-France-Germany)
- Naskah - Joseph Cedar ("Footnote", Israel)
- Camera d'Or - "Las acacias" (Pablo Giorgelli, Argentina-Spain)
- Palme d'Or, Film Pendek - "Cross" (Maryna Vroda)

Wednesday, April 27, 2011

SAM (9)


BAB 9

JUN Maher berdiri dengan tegang. Semuanya telah bersiap. Waktu buat mereka bergerak sudah ditentukan. Tidak bisa lagi ditawar.
     “Beny Reza menempatkan mobil utama menghadap timur di selatan jalan raya, di sudut lapangan, disebelah barat jalan masuk ke rumah target,” kata Jun Maher memberi pengarahan. “Saat target menyebrang jalan, mobil maju persis dimana target menyebrang dan Tigor menyergapnya lalu memasukan ke dalam mobil. Dan mobil Parwata di sebelah utara jalan, duapuluhmeter dibelakang mobil utama, menghadap timur. Kita akan berhenti di terminal Mandiraja dan berganti mobil. Kalau semua berjalan lancar, kita akan kembali ke base camp melewati jalan yang sama. Kalau ada masalah, kita jalankan rencana B lewat daerah Rakit.”
     “Dimana posisi Mustajab?” Tanya Warsito.
     “Mustajab dari Purwokerto akan turun di terminal Mandiraja dan menunggu kita. Ada pertanyaan?”
     “Saya lebih suka mobil utama masuk ke jalan arah rumah target,” ujar Tigor memberi pendapat. “Lalu lintas masih belum aman seratus persen.”
     “Posisi itu memang lebih aman karena tidak terlihat dari arah barat, tapi akan makan waktu lebih lama. Waktu maksimal kita adalah limabelas detik.”
     “Pastikan saja kau tidak salah menginjak rem, Beny.”
     “Oke.”     
     “Warsito, kau beri tanda kami situasi sekitarnya,” kata Jun Maher yakin. “Kami tidak mau ada orang mengganggu kami sebelum target diambil.”
     “Siap, Bos.”
     “Tidak ada kata gagal. Kita harus berhasil.” Kata Jun Maher memastikan. “Semoga Tuhan melindungi kita semua.”
     Lalu semua keluar.
     Hanya dokter Syahrial Anwar yang tinggal didalam rumah itu. Beny Reza membawa satu mobil dan Jun Maher serta Tigor Naipospos. Parwata dan Warsito Abdul Khamid berada di satu mobil lainnya dan didalam mobil mereka tersimpan semua senjata. Warsito yang membawa mobilnya. Dua mobil itu melintasi jalan aspal yang dingin.
     Hanya beberapa menit kemudian mobil sudah berada dalam posisi masing-masing. Beny Reza membuka kap mobilnya dan harus sibuk mengotak-atik seolah mogok. Jun Maher dan Tigor Naipospos diam didalam mobil. Berjarak duapuluh meter di arah baratnya, disebelah utara jalan, mobil Parwata berhenti dengan mesin mati. Warsito tegang mendengarkan suasana sekitar lewat radio dan dia mendengarkan lewat headphone.
     Jun Maher mengangkat telpon pribadinya. Seperti biasa ia berkata, “Aku sudah dalam posisi.”
     “Tiga menit lagi sampai di Serayu.” Terdengar suara Mustajab dan langsung terputus hubungan telpon itu.
     Tigor mengetuk kaca depan mobilnya untuk memberi tanda kepada Beny Reza diluar. Tapi Beny sendiri sedang menenangkan diri karena seorang lelaki separuh baya memakai kain sarung dan membawa lampu senter berjalan ke arahnya. Sudah pasti lelaki paruh baya itu akan bertanya kepada Beny dan memperhatikan mobil yang dikiranya mogok.
     “Mobilnya kenapa, Mas?” Tanya lelaki separuh baya itu.
     “Oh, hanya kehabisan air radiator Pak. Sudah selesai,” Jawab Beny sambil menutup kap mobilnya buru-buru.
     “Tidak perlu bantuan?”
     Sudah pergi saja. “Tidak, Pak. Terimakasih.”  
     Beny sudah masuk ke dalam mobilnya dan membunyikan mobilnya. Lelaki separuh baya itu dengan sendirianya pergi begitu saja. Beny mengelap keringat yang muncul di mukanya.
     “Bisnya datang,” kata Jun Maher melihat ke belakang.
     “Saya siap,Bos,” kata Beny begitu saja.
     Warsito dan Parwata bukan tidak tahu apa yang terjadi dengan Beny saat lelaki paruh baya itu datang. Parwata jauh lebih tenang. Warsito yang gelisah karena ia yakin lelaki paruh baya itu akan tetap berada didekat Beny sebelum Beny menutup kap mobilnya. Saat bis itu melewati mobil mereka, ketegangan jauh lebih merambat di kepala mereka.
     “Itu bisnya,”ujar Parwata.
     “Ya. Itu mobilnya.” Suara Warsito gemetar.
     Bis jurusan Purwokerto Semarang itu berjalan melambat dan benar-benar berhenti di seberang lapangan itu. Tidak berapa lama Abusono turun seorang diri. Lalu menunggu bis itu pergi agak jauh dan lelaki tua itu menoleh kanan kiri. Dia sempat memperhatikan mobil Jun Maher di ujung jalan. Tapi ia lebih serius melihat kanan kiri dan menyebrang jalan dengan langkah pendek. Saat jarak aspal dan tanah tinggal tiga langkah, mobil Beny Reza maju dan berhenti persis didepan Abusono. Pintu belakang terbuka dan turun Tigor dan tangan kekarnya mencengkeram Abusono dan menariknya seperti karung beras. Tidak sampai delapan detik, Abusono sudah dalam mobil Jun Maher.
     Beny Reza sudah menjalankan mobilnya dengan senormal mungkin begitu pintu tertutup. Mobil Parwata mengatur jarak sudah berjalan juga. Tidak sampai setengah menit, nampak Noor Amini keluar dari rumahnya dan berjalan ke depan rumahnya dan melihat ke arah jalan raya. Wanita itu terus berdiri disana dan kemudian berjalan ke arah jalan raya.
     Wanita itu tahu seharusnya suaminya sudah sampai di rumah. Tapi kesunyian di tempat itu tidak bisa menjawab pertanyaannya.

JUN Maher sudah memasang penutup mata ke muka Abusono. Tanpa ada omongan satu kata pun keluar dari mulut mereka. Tigor Naipospos duduk melihat ke belakang dengan tegang. Beny Reza menambah laju mobilnya. Setelah selesai mengikat tangan Abusono dengan kain, Jun Maher baru bisa bernafas lega. Sengaja dia tidak memakai borgol.
     Senyap dalam mobil itu.
     “Siapa kalian?” Abusono berkata tiba-tiba.
     Jun Maher tidak menjawabnya.
     Tigor terus melihat ke belakang dan melihat ke jam tangannya. Lalu memberi kode aman kepada Jun Maher. Setelah itu Jun Maher menepuk bahu Beny Reza sekali sebagai tanda aman. Delapan menit kemudian Beny Reza menghentikan mobil persis di samping mobil yang sudah disiapkan di terminal Mandiraja. Mustajab sudah dibelakang setir. Posisi mobil sama-sama menghadapkan pintu mobil. Jadi saat Tigor membuka pintu dan Mustajab membuka pintu dari dalam, tidak akan terlihat saat  Tigor menarik Abusono. Jun Maher mengikuti dan menutup pintunya. Tigor juga sudah menutup pintu mobil pertamanya dan kembali berada dibelakang Beny dan langsung pergi. Mustajab melihat Abusono dibelakangnya dan Jun Maher memberi kode supaya jalan. Mustajab menjalankan mobilnya.
     Mobil Parwata di luar terminal dan diam menunggu. Warsito mendengarkan pantauan udaranya dengan serius, dan dia mendadak memutuskan lain.
     “Jalankan rencana B,” kata Warsito di radio kepada Jun Maher.
     Jun Maher mendengarkan ditelinganya dengan tegang. Lalu dia menepuk bahu Mustajab dua kali. Tanpa berpikir dua kali Mustajab mengarahkan mobil keluar dari terminal dan menyebrang jalan dan masuk ke jalan kecil ke arah utara terminal.
     “Beny, tetap dengan rencana A ke base camp,” terdengar kata Warsito mengingatkan.
     “Roger,” Tigor Naipospos menjawab singkat dan menatap ke depan. “Aku tidak melihat ada gerakan lain.”
     “Mungkin bukan lawan,” jawab Beny membawa mobilnya melewati jalur semula.
      Mustajab tahu jalan yang harus dilewati. Ia lahir di kota itu dan jalan yang dilewatinya adalah jalan saat dari kecil ia lewati dengan ayahnya dengan motor. Dibelakangnya mengikuti mobil Parwata. 
     Apa yang di khawatirkan Tigor terbukti. Didepan sana, nampak berhenti mobil Polisi dan sedang mengadakan razia.
     “Warsito hebat,” bisik Tigor melihat ke arah polisi yang menghentikan mobilnya. Beny menurunkan kaca mobilnya.
     “Selamat malam, bisa lihat SIM dan STNK?”
     Beny mengeluarkannya.
     “Pak Ahmad Turmudi?” Tanya Polisi itu melihat SIM Beny Reza.
     “Ya.”
     “Anda tinggal di Jakarta Timur ya?”
     “Sesuai tertera di SIM, Pak.” Beny terus tersenyum
     “Sebentar ya.”
     Polisi itu membawa STNK dan SIM Beny ke arah mobil patrolinya. Lalu dia menjulurunkan tangannya ke dalam mobil. Tampak ada bayangan seseorang didalam mobil polisi itu.
     “Ada yang tidak beres,” Tigor berkata lirih.
     “Kita ikuti saja.”
     Polisi itu sudah kembali.
     “Maaf Pak Ahmad Turmudi, silahkan keluar. Juga teman bapak.”
     “Ada apa, Pak?”
     “Mobil yang bapak bawa adalah mobil curian.”
     Ada yang tahu operasi ini, batin Tigor keluar mobil.
     “Silahkan masuk ke bagian belakang,” kata Polisi itu masuk mobil ke belakang setir.
     Beny dan Tigor masuk mobil kembali ke belakang.
     “Kita mau dibawa kemana?” Tanya Tigor Naipospos penasaran.
     “Polres, Pak.”
     Lalu kembali ke arah timur. Juga mobil patroli polisi itu. Tidak ada lagi patroli jalan raya. Polisi hanya menghentikan mereka.
     (bersambung)

Monday, April 25, 2011

SAM (8)


BAB 8


JAM menunjukkan pukul tiga dinihari. Jun Maher berdiri disamping whiteboard dan memegang spidol dan menggambar denah lokasi penyergapan dan dua mobil yang harus berada di posisinya. Semuanya mendengarkan dan melihat dengan serius. Termasuk Dokter Syahrial Anwar.
     “Saat target turun dari bis, biarkan sampai menyebrang jalan. Sebelum dia turun dari aspal, kita sergap dan masukkan ke dalam mobil. Beny, mobil kau hadapkan ke arah timur, pinggir jalan, persis di mulut jalan masuk ke arah rumah target. “
     “Kenapa ke arah timur? Bukankah itu menjauhi base camp dan pangkalan udara?” Tigor bertanya dengan yakin.
     “Kita bawa dulu target jalan untuk mengaburkan lokasi base camp.”
     “Buang-buang waktu.”
     “Kau lupa kalau teman-teman kita sudah berada disini?” Jun Maher memberikan alasan. “Mereka pasti melacak kita dan aku tidak mau saat kita kembali ke base camp, mereka sudah menunggu kita dengan senjata Magnum ditangan mereka.”
     “Lalu mobil saya di terminal Mandiraja?” Tanya Mustajab belum paham.
     “Jika terjadi sesuatu dengan rencana A, kita jalankan rencana B. Kita pindahkan target dan langsung menuju pangkalan udara. Ada sebuah jalan di sebelah utara terminal Mandiraja menuju daerah bernama Rakit. Dari daerah Rakit ini kita ke arah barat dan langsung menuju pangkalan udara Wirasaba. Akses jalan cukup bagus tapi sempit. Jarak tempuh ke pangkalan udara enam kilometer melewati tiga desa.”
     “Kita harus mempunyai rencana C.” Parwata memberikan pendapat. “Saya yakin teman-teman kita mempunyai rencana A dan B seperti rencana kita. Rencana C adalah membiarkan target masuk ke dalam rumahnya dan kita ambil paksa dari sana.”
     “Sejak pertama kita sudah putuskan tidak melibatkan keluarga.” Warsito mengingatkan.
     “Saya setuju rencana C.”
     “Kalau rencana C juga gagal?” Tanya Beny Reza.
     “Kita gunakan rencana D,” jawab Tigor mantap.
     “Apa itu rencana D?” Mustajab penasaran.
     “Kita gunakan jalan senjata dengan perbekalan yang baru dikirim. Buat apa Pak Umar jauh-jauh hanya mengantarkan Pak Syahrial Anwar seorang diri?”
     “Kau pikir aku tidak penting?” Syahrial Anwar berkata dingin.
     “Bukan begitu, dokter,” Tigor berkata sopan. “Saya hanya mengingatkan soal pentingnya operasi ini.”
     “Baiklah,” Jun Maher mengambil alih pembicaraan. “Dari semua rencana kita, yang paling besar risiko buat kita adalah rencana C. Tingkat kegagalan dan kebocoran terlalu tinggi. Kita tetap dengan rencana pertama kita.”
     “Saya ingin target diikuti saat pergi ke Purwokerto,” kata Parwata memberikan usul. “Terlebih lagi saat pulang naik bis. Saya tidak mau ada teman kita mengambilnya lebih dulu.”
     “Rencana yang bagus. Siapa yang akan ke Purwokerto?”
     “Kau Mustajab.” Tigor berkata tegas seolah memberi perintah.
     Mustajab menoleh ke Jun Maher.
     “Ya. Itu tugasmu.”
     Mustajab mengangguk.
     “Ada usul, saran, pertanyaan atau yang lain? Dokter?”
     “Tidak ada,” jawab Syahrial Anwar santai.
     “Satu jam sebelum jam H, kita akan terus berada di tempat masing-masing pengintaian.” Jun Maher menghapus semua tulisan dalam whiteboard. “Kita punya waktu untuk istirahat beberapa jam.”
     Lalu semua buar.
     Ruangan itu lalu sepi.
     Tapi Jun Maher tidak bisa memejamkan matanya. Ia sedang mempertaruhkan karirnya. Bukan hanya terhadap karirnya tetapi karir Umar Yusuf. Sejujurnya ia ingin operasi kali ini dipersembahkan untuk atasannya itu, agar memasuki masa pensiunnya dicatat dengan tinta emas. Umar Yusuf menjadikannya seorang yang  banyak belajar menjadi benar. Dunianya adalah dunia gelap. Umar Yusuf membuatnya selalu bisa mencari ketenangan batinnya. Tidak ikut masuk ke dalam dunia pekerjaanya.
     Jun Maher berjalan ke arah pintu keluar. Ia harus keluar untuk melihat keadaan. Ia tidak bisa memejamkan mata sebelum targetnya benar-benar sudah berada di tangannya. Saat pintu hendak terbuka, dibelakangnya muncul Mustajab.
     “Boleh saya temani, Pak?”
     Jun Maher melihat Mustajab yang serius.
     “Tentu saja.”
     Tak berapa lama mereka sudah berjalan pelan dipinggir jalan, ditengah rel kereta api peninggalan Belanda. Sama-sama merokok dan di pagi subuh itu, belum terlihat lalu lintas yang berarti kecuali sepeda ontel dan sepeda motor yang membawa sayuran menuju pasar.
     “Apa yang terjadi selanjutnya setelah target ditangan kita?” Tanya Mustajab memulai pembicaraan.
     “Apapun bisa terjadi.”
     “Saya tidak yakin sejarah kita bisa selesai hanya dengan keterangan Sam.”
     “Tidak akan pernah bisa selesai.” Jun Maher menghisap rokoknya dalam-dalam. “Aku tidak mengharapkan Sam meluruskan sejarah negeri ini. Kalaupun dia nanti bicara peristiwa Gerakan 30 September 1965, tidak lebih sebagai salah satu catatan pelengkap.”
     “Lalu untuk apa kita melakukan operasi ini?”
     “Kau tahu kenapa Amerika menjadi besar? Mereka menciptakan musuh-musuhnya sendiri. Mereka menciptakan ketakutan yang mereka bangun sendiri agar musuh-musuh mereka jauh lebih takut.”
     “Seperti peristiwa 11 september?”
     “Seperti peristiwa yang jauh lebih besar yang terjadi.”
     “Saya takut kita gagal.”
     “CIA pernah gagal. BIN juga sering gagal. Tapi kita jangan sampai gagal.”
     Lalu mereka menyebrang jalan dan duduk di jembatan kecil di sudut lapangan, di jalan menuju rumah Abusono alias Sam. Mereka terus merokok untuk mengusir kantuk dan udara dingin.
     “Kau lahir disini?”
     “Betul, Pak. Desa kelahiran saya bernama Lengkong.”
     “Apa artinya?”
     “Tidak jelas benar sejarah desa saya kenapa diberi nama Lengkong. Ada yang berkelakar itu singkatan leng dan kong. Leng itu lobang, kong adalah kependekan dari bangkong atau katak. Jadi kalau ada bencana apapun, kita katanya bisa selamat karena berada dalam lobang.”
     Jun Maher tertawa.
     “Bapak lahir di Solo?”
     “Ya. Desa Bekonang.”
     “Desa yang terkenal.”
     “Tapi tidak seterkenal Desa Pathuk atau Desa Kemusuk di Yogyakarta.”
     Mereka tertawa bersama.
     Tapi langsung berhenti saat itu juga.
     Abusono keluar dari dalam rumah.
     Jun Maher berdiri dan berkata. “Sebaiknya aku pulang.”
     “Saya langsung berangkat ke Purwokerto.”
     “Kita akan terus berhubungan.”
     Jun Maher langsung pergi begitu saja dan menyebrang jalan.
     Mustajab berdiri di pinggir jalan, bersikap seolah menunggu bis yang akan datang dari arah timur. Dia melihat ke arah timur yang masih diselimuti kabut. Ia tidak bisa pergi lagi dari tempatnya. Jalan satu-satunya ia harus tetap berada ditempatnya. Abusono benar-benar berjalan ke arahnya dan ditemani Istrinya. Abusono memakai jaket dan topi dan membawa tas kulit yang dipegangnya seperti membawa buku.
     Abusono dan istrinya nampak mengobrol sesuatu tapi lantas berhenti begitu mendekati Mustajab. Istri Abusono seorang wanita berusia enampuluh enam tahun bernama Noor Amini, seorang wanita yang nampak pendiam dan memperlihatkan sikap yang sangat sopan. Melihat Mustajab mereka nampak berusaha untuk bersikap tenang.
     “Saya sedang menunggu bis ke Purwokerto,” Mustajab memulai pembicaraan lebih dulu. “Bapak mau ke arah Purwokerto atau ke arah Wonosobo?”     
     “Ke arah barat, Purwokterto ya…”Abusono menjawab seolah meyakinkan tujuannya benar. “Tinggal dimana?” 
     “Di sebrang, di belakang kantor Pos.”
     “Ooo…”
     “Ibu pulang saja,” pinta Abusono ke Istrinya. “Aku sudah ada teman perjalanan. Jangan khawatir.”
     “Hati-hati, Pak.”
     “Ya, pasti.”
     Noor Amini lalu mencium pipi kanan kiri Abusono lantas berjalan ke arah rumahnya lagi.
     “Bilang Dodo jangan lupa kasih makan ayam jago dibelakang.”
     “Iya. Bapak juga jangan sampai terlambat makan, obat dan vitamin ada di saku tas.” Wanita itu sepertinya berat melepaskan kepergian Abusono sendirian. Sampai beberapa lama terus melihat ke arah suaminya. 
     “Bapak biasa berangkat pagi-pagi begini?” Mustajab berusaha akrab.
     “Tidak juga. Menghindari bis penuh saja sama anak sekolah sama orang bekerja. Apalagi harus berdiri dan berdesak-desakan.” Abusono tergelak. “Kau tahu, umurku…”
     Lalu mereka diam.
     Tidak berapa lama bis yang mereka tunggu datang dan berhenti. Mustajab memberikan kesempatan lebih dulu Abusono naik bis. Didalam bis, Abusono berjalan ke arah depan. Mustajab duduk di kursi paling belakang dan paling pojok. Baru juga duduk, Abusono menoleh kepadanya dan memberinya tanda untuk duduk disebelahnya yang kosong. Mustajab menurutinya.
     “Temani aku saja,” ujar Abusono. “Aku takut ketiduran dan lupa turun.”
     Aku juga ngantuk, batin Mustajab. “Saya akan bangunkan bapak kalau sampai.”
     “Terimakasih.”
Belum sampai tiga menit, Abusono tertidur. Mustajab sendiri mengatupkan mata, dan menunggu, merasakan ketegangan di otot leher dan punggung serta linu di kaki yang baru dirasakannya. Tidur akan sangat nikmat, apalagi waktu tigapuluh menit sangat cukup baginya sebelum sampai di tempat tujuan. Tapi ia tidak berani melakukannya. Lelaki disampingnya adalah Sam.

(bersambung)