Monday, February 28, 2011

BARET HITAM (2)



BAB DUA
    
Sesaat dipandangnya lelaki tua berumur limapuluh tahun itu dengan ketidakpercayaan. Ia sama sekali tidak mengharapkan kehadiran lelaki yang sangat dihormatinya itu saat ia tidak sedang senang. Terutama setelah adanya berita-berita tentang Timor Timur. Tidurnya selalu terganggu jadwalnya dan menaikkan tekanan darahnya.
     “Kau kelihatan gemuk, Tarik.” Suara Wenang Pati bergetar, lalu memeluknya.
“Apa kabar, Jenderal.” 
Halaman rumah itu lalu sepi, seperti semula ketika belum ada siapa-siapa. Tidak ada suara apapun kecuali desisan angin gunung.  Tarik menjadi canggung dan seolah itu halaman rumah seseorang yang tidak dikenalnya. Sejenak ia mengira ada seseorang memanggil, tapi kemudian ia sadar bahwa suara itu adalah degup jantungnya sendiri.
     “Susah sekali mencarimu.”
     Masih suka becanda seperti dulu, pikirnya. Mencari seseorang yang diinginkannya adalah semudah membalik telapak tangan, walaupun orang itu sembunyi dalam lobang semut sekalipun. Keberadaannya di desa terpencil ini ia yakin sudah diketahui bekas atasannya itu dengan baik. Dimana ia tinggal dan apa yang dikerjakannya, bahkan kebiasaannya pergi diketahui dengan sangat jelas. Apa jadwal kesehariannya dan lebih dari itu, apa yang dimakannya tiap hari telah dicatat dengan baik.
     Kegilaan seperti itulah yang sangat disukainya. Ia menyebutnya gila karena nyaris mustahil jenis pekerjaan itu, kalau bukan malaikat yang melakukannya. Tapi itulah dunia intelijen militer. Rumit, menegangkan tapi menyenangkan. Tidak seperti dunia bisnis yang hanya mengandalkan intuisi tajam dan selebihnya bisa apasaja, termasuk membeli orang dengan uanganya.
     “Ada misi yang harus kamu selesaikan di Timor Timur.”
     "Jenderal adalah orang pertama di bumi ini yang saya tunggu kedatangannya hari ini. Tapi tidak termasuk yang terakhir itu."
     "Itulah maksud kedatanganku kemari."  
     “Saya tidak punya karir lagi, Pak.”
     “Tidak bagiku. Dalam tiga jam terakhir kau sudah harus terbang bersamaku ke Jakarta. Berkemaslah.”
     “Terlalu mendadak, saya tidak bisa memutuskan sekarang."
     "Sayang sekali kau tidak punya waktu lagi."
     Tarik diam saja.
     Wenang Pati melihat bekas anak buahnya dengan sangat serius. “Kamu berubah.”
     “Semua hal berubah. Saya juga harus berubah.”
     “Tapi kau jadi dingin.”
     “Desa ini di kaki gunung, mungkin itu yang membuat saya begitu.”
     “Kau terlalu berharga disini.”
     “Tapi saya dihargai sebagai manusia disini.”
     “Begini,” Wenang Pati berdiri, berusaha menghindari kepedihan hati bekas anak buahnya itu. “Lima jam sebelum interfet mendarat di Timor Timur, wakil panglima darurat militer, Kolonel Alfonso, hilang dalam patroli.”
     “Cepat sekali anak Timor Timur itu naik pangkat.”
     “Dugaan kita, dia diculik kelompok radikal Fretilin, Brigade Negra. Lokasinya sudah kita pastikan di Viqueque, sarang Falintil.”
     Tarik mendengus, terdiam agak lama. Pandangan matanya redup.
     “Kamu pernah mengobrak-abrik sarang Falintil dan membuatnya kocar-kacir. Operasi yang pernah kamu pimpin, adalah operasi yang paling berhasil yang pernah dilakukan disana.”
     Tarik telah begitu kecewa dengan vonis yang dijatuhkan markas besar buatnya. Keinginan terakhirnya di dunia sudah pupus. Tidak ada lagi kebanggaan yang dimilikinya. Bahkan istrinya yang ia harapkan mengerti, tidak juga memberinya perlindungan. Karir militernya selesai, istrinya minta bercerai. Sebuah kejadian yang baginya merupakan malapetaka terburuk dalam hidupnya.
     Apa yang telah dilakukannya bersama beberapa anak buahnya hanya melaksanakan tugas. Situasi pemerintahan mulai tidak stabil setelah diterpa badai krisis ekonomi tahun 1997. Dari pertama ia menolak tugas itu karena bukan wewenang pasukan khusus. Tapi adanya perintah  yang tidak bisa dibantah oleh siapapun, termasuk Wenang Pati, membuatnya tidak bisa tidak melakukan operasi itu. Ia dan beberapa anak buahnya dengan mudah membekuk Gembong gerakan bawah tanah yang dicurigai akan melakukan operasi klandestein, melakukan gerakan bawah tanah untuk melawan pemerintah. Beberapa hari kemudian koran ramai memberitakan hilangnya gembong itu yang oleh media dikatakan sebagai pembela demokrasi yang sedang memperjuangkan demokrasi.
Mulanya ia yakin tidak bakal bisa dilacak peristiwa sebenarnya oleh LSM dan lembaga hukum yang mengatasnamakan hak asasi manusia. Tapi rupanya jaman sedang bergerak, semuanya minta bergerak. Mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Dengan mudah kasus itu terlacak dan masuk pengadilan. Gembong itu nyanyi-nyanyi tentang prosedur penangkapannya. Gembong itu tahu bukan polisi yang menangkapnya. Dan penyelidikan yang kemudian berlangsung, menyeret anak buah Tarik sebagai tersangka. Ia sendiri bisa lolos karena Wenang Pati tidak mau melepasnya.
     Tarik tidak bisa melupakannya, walaupun ia telah berada jauh dari Jakarta. 
     “Saya tahu kamu sangat kecewa, tapi berilah kesempatan kedua untuk karirmu.”
     “Saya sudah tidak punya karir, Pak.”
     Wenang Pati terdiam. Ia tahu bekas anak buahnya itu keras kepala. Satu-satunya sifat yang masih ada pada bekas anak buahnya itu. Sekali lagi dipandanginya wajah Tarik. Wajah yang tampan tapi mengesankan rasa duka oleh sebuah luka yang dalam, terus menerus serius dengan kedua matanya yang menikam. Dia memang telah berubah, pikir Wenang Pati. 
        (bersambung)

Tema Penyakit dalam Film, Fakta atau Hiperbolik?


Kisah kepedihan, perjuangan, bahkan kematian dalam melawan penyakit menjadi salah satu tema yang banyak diangkat ke layar lebar. Sebut saja Tom Hanks dalam film Philadelphia yang melawan HIV/AIDS, Jack Nicholson's yang menderita obsessive-compulsive dalam As Good as It Gets, atau cerita tentang obesitas dalam Super Size Me. Akan tetapi, meski cerita tersebut berhasil mengaduk-aduk emosi penontonnya, bukan berarti film tersebut akurat, dari sisi medis. Itu sebabnya berkaitan dengan pemberian piala Oscar, kami sajikan uraian dari pakar kesehatan mengenai film-film yang bercerita tentang penyakit.

Diabetes tipe 1

Judul film: Steel Magnolias (1989) Film ini bercerita mengenai penderita diabetes tipe 1 yang diperankan Julia Roberts, yang hamil di luar rencana. Meski tim dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilannya, ia kekeuh mempertahankan bayinya dan harus membayarnya dengan nyawa karena ginjalnya gagal berfungsi.

Dari sisi medis, film ini dinilai "sangat, sangat jauh dari kenyataan," kata Richard Hellman, MD, ahli endokrin. "Banyak wanita yang menderita diabetes jadi takut untuk hamil setelah menyaksikan film ini karena mereka takut mati. Kenyataannya, meski perlu pengawasan ketat dari dokter, tapi penderita diabetes tetap boleh hamil dan melahirkan.

Serangan jantung

Judul film: Something's Gotta Give (2003) Seorang pria paruh baya yang punya selusin pacar, Harry Saborn (Jack Nicholson) diceritakan terkena serangan jantung saat sedang melakukan foreplay dengan pacarnya yang berusia 20-an. Di rumah sakit, dokter (Keanu Reeves) memberikan ia obat IV nitroglycerin. Si dokter lalu mengatakan bahwa obat tersebut akan berakibat fatal jika pasien sedang mengonsumsi viagra.

"Ada sedikit kebenaran dalam cerita tersebut. Kebanyakan kasus serangan jantung terjadi karena aktivitas fisik yang berat, termasuk hubungan seks," kata Matthew Sorrentino, ahli kardiologis dari University of Chicago Medical Center.

Gangguan tidur

Judul film: Insomnia (2002) Al Pacino berperan sebagai seorang detektif yang datang ke Alaska untuk menyelidiki kasus pembunuhan. Perasaan bersalah yang menderanya dan cuaca yang aneh, matahari bersinar terang di tengah malam, menghasilkan insomnia parah. "Cara Pacino menggambarkan penderitaan seorang penderita insomnia berat hampir mendekati akurat," kata David M.Rapoport, direktur program gangguan tidur dari NYU School of Medicine. Kombinasi antara tekanan di tempat kerja dengan lingkungan yang bisa mengganggu tidur disebutkan memang menyebabkan gejala-gejala seperti yang dialami Al Pacino.

Kanker

Judul film: Terms of Endearment Pada tahun 1983 film ini membawa pulang lima Piala Oscar, termasuk untuk kategori film terbaik, aktris terbaik dan aktor pendukung terbaik. Film yang menguras air mata ini berkisah tentang hubungan ibu dan anak perempuannya yang menderita kanker. Film ini dinilai mendekati kenyataan, terutama ketika menggambarkan pentingnya manajemen rasa sakit untuk pasien kanker di stadium akhir.

Diabetes

Judul film: Chocolat (2000) Di sebuah perkampungan di Perancis, hadir sebuah toko kecil yang menjual cokelat yang memiliki rasa ajaib. Hal yang menggiurkan namun berbahaya bagi penderita diabetes karena Judi Dench yang memerankan diabetesi meninggal setelah mengonsumsi terlalu banyak cokelat.

Menurut dr.Hellman, film ini memberi pesan bagi para diabetesi untuk tidak sembarangan mengonsumsi makanan seperti halnya orang sehat. "Tapi dampaknya sebenarnya berbeda dari kenyataan. Menderita diabetes bukan berarti Anda harus jadi pertapa yang pantang semua hal. Yang penting adalah menjaga asupan makanan agar gula darah terkendali," katanya.

Kelebihan berat badan

Judul film: Super Size Me (2004) Bila adegan penambahan berat badan di dalam film ini tampak begitu nyata, itu karena memang demikianlah faktanya. Menggunakan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan, pembuat film dokumenter Morgan Spurlock mencoba mengetahui apa yang terjadi jika seseorang makan di restoran cepat saji tiga kali sehari selama sebulan penuh. Perubahan fisik yang dialaminya sangat dramatis. Asupan kalori, karbohidrat dan lemak jenuh telah menaikkan kadar kolesterol dari 160 menjadi 230, dan berat badannya naik 11 kg dalam kurun waktu sebulan. Ia juga menderita gangguan liver dan gangguan mood.


Sumber :  KOMPAS

SAM (5)


BAB 5

PANGKALAN udara Wirasaba adalah sebuah pangkalan kecil. Terletak di Kabupaten Purbalingga, persis berbatasan dengan Banjarnegara di sebelah barat. Tidak banyak aktifitas di pangkalan udara itu karena jarang sekali di gunakan.  Pada sekitar tahun 1988 Presiden Soeharto menggunakan lapangan udara itu saat meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Air Mrica yang dinamakan Bendungan Panglima Besar Soedirman. Setelah itu, tidak banyak pendaratan yang menyita perhatian masyarakat.
     Mustajab sudah melakukan standar operasi yang biasa ia lakukan. Dua mobil telah ia sewa dan telah di siapkan di pangkalan udara Wirasaba sejak sore hari. Ia juga sudah menyiapkan kamar hotel di pusat kota. Ia sengaja menyewa hotel di pusat kota untuk menghindari kecurigaan dari siapapun. Di daerah Abusono bertempat tinggal adalah daerah perkampungan, tidak ada penginapan, apalagi sebuah hotel. 
     Entah kenapa ia merasa kali ini tegang. Mungkin karena ia melakukan operasi di tanah kelahirannya. Bukan soal takut akan ada orang yang mengenalinya, tapi ia harus melakukan pekerjaannya sekarang dengan sempurna. Ia sedang menghadapi orang yang paling dicari dalam sejarah negeri ini. Kalau boleh memilih, ia lebih suka melakukan operasi menghadapi teroris seperti kelompok Jamaah Islamiyah. Mustajab tersentak ketika radio-nya berbunyi.
     “Serayu masuk-Serayu masuk, disini  Ciliwung.” terdengar suara Jun Maher di seberang sana dengan suara setengah berteriak karena berebut dengan kebisingan suara helkopter.
     “Disini Serayu-disini Serayu,” jawab Mustajab.
     “Apakah fajar siap muncul di ufuk dalam sepuluh menit?
     “Serayu siap menjemput, Pak,” jawab Mustajab singkat dan langsung menutup radio-nya.    
     Mustajab sudah didalam mobil di pangkalan udara Wirasaba sejak enam jam terakhir dan ia tidak pernah keluar dari sana. Ia terus membuka saluran radio agar mengetahui lalu lintas pembicaraan dari manapun. Setiap percakapan didengarnya dan ia ia akan mengetahui informasi apapun yang disekitar wilayahnya meskipun ada yang menggunakan kata sandi. Sejak siang hari ia juga sudah melakukan pembersihan di wilayah di sekitar pangkalan udara Wirasaba. Ia harus memastikan wilayah pangkalan udara itu terbebas dari unsur sabotase.
     Sepuluh menit kemudian sebuah helicopter Dinas Intelijen Khusus mendarat. Lima menit kemudian terbang kembali dan menghilang di kegelapan pagi yang menjelang. Lima lelaki berbadan besar dan masing-masing menggendong ransel menuju dua mobil yang sudah di parkir. Mustajab menatap Jun Maher dan memberi kode tertentu bahwa semuanya sudah disiapkannya. Tanpa bicara sepatah katapun, mereka masuk ke dalam mobil masing-masing. Mustajab membawa satu mobil yang dinaiki Parwata dan Warsito Abdul Khamid. Beny Reza membawa satu mobil lagi dengan Jun Maher dan Tigor Naipospos. Tidak sampai lima menit, kedua mobil itu menginggalkan pangkalan udara Wirasaba.
     Sepanjang perjalanan menuju pusat kota Banjarnegara, Mustajab juga tidak membuka suara. Parwata langsung memejamkan matanya. Warsito Abdul Khamid menghitung jarak perjalanan yang ditempuhnya. Beny Reza membawa mobilnya sesantai mungkin dan merekam semua rambu lalu lintas didepannya. Jun Maher mempelajari jalur yang mereka lalui, menghitung setiap jalan simpang, jembatan dan belokan, serta menghafal setiap letak rumah, warung rokok, warung makan, pos polisi. Sementara Tigor Naipospos menikmati suasana.
     “Tempat sembunyi yang menyenangkan,” cetus Tigor Naipospos.
     Tak ada yang menimpali.
     Sunyi.
     Memasuki pusat kota Banjarnegara, Tigor Naipospos berseru kembali, “Aku hanya butuh limabelas menit sampai disini.”
     “Aku sanggup sepuluh menit dengan kecepatan seratus lima puluh kilometer perjam,” jawab Beny santai. 
     “Memangnya kita sedang mengikuti rally Paris Dakar,” kata Jun Maher menatap kedua orang itu tersenyum. Lalu turun dari mobil.
     Tanpa suara mereka juga langsung masuk ke dalam kamar hotel yang sudah disiapkan. Hanya Mustajab yang melakukan pembicaraan dengan pegawai hotel. Pegawai hotel mengantarkan sampai didepan kamar dan Mustajab memberikan uang tip supaya lekas pergi. Mustajab menyewakan tiga kamar. Seperti pengaturan masuk mobil, mereka masuk kamar hotel begitu saja. Jun Maher satu kamar dengan Mustajab. Lima menit kemudian, Beny Reza, Tigor Naipospos, Parwata dan Warsito Abdul Khamid menuju kamar Jun Maher tanpa menimbulkan suara langkah kaki.
     Mustajab sudah membentangkan kertas blue print lokasi rumah Abusono alias Sam. Catatan jarak yang ditempuh dan waktu yang dibutuhkan. Jun Maher sudah mempelajarinya begitu masuk kamar. Begitu semua agent berkumpul didepannya, ia segera melakukan tugasnya.
     “Target kita bertempat tinggal di sebuah desa bernama Purworejo Klampok. Kita sudah melewatinya tadi.” Jun Maher mulai sangat serius. “Daerah sekitar target tinggal adalah daerah terbuka. Jadi kita butuh base camp disekitar tempat tinggal target untuk memudahkan kita bergerak. Pak Parwata, jam duabelas siang sudah harus mendapatkan base camp berupa rumah kolonial di daerah sekitar target.”
     “Sebelum jam sebelas sudah saya dapatkan.” Parwata yakin sekali.
      “Warsito dan Tigor, lakukan pengintaian target dan sudah harus mendapatkan detail lingkungan tempat tinggal target.” Jun Maher lalu menoleh kepada Mustajab. “Selanjutnya, kita akan mendengarkan paparan Mustajab.”
     “Target kita tidak pernah keluar rumah. Tetangga pasif dan kondisi lingkungan aman diatas jam duapuluh satu. Dua hari lagi target pergi ke Purwokerto dan di jadwalkan pulang dengan bis jurusan Semarang jam duapuluh  dan sampai di pinggir jalan sekitar jam duapuluh satu lewat sepuluh menit Waktu Indonesia bagian Barat. Jarak pinggir jalan raya ke rumah target lima menit lebih lima detik.” Mustajab menjelaskan dengan lancar. “Saat kepulangan target, saat paling baik buat kita bergerak dan mengambilnya.”
     “Kita matangkan rencana hari ini. Target kita ambil seperti petunjuk Mustajab.” Jun Maher melihat ke semua anak buahnya.  “Ada pertanyaan?”
     “Bagaimana dengan keluarganya?” Tanya Warsito
     “Kita ambil target tanpa diketahui mereka.”
     “Mereka akan lapor polisi.” Beny Reza berpendapat.
     “Kalau benar itu Sam, tidak mungkin mereka berani lapor Polisi,” sahut Tigor Naipospos.
     “Semua kemungkinan itu kita singkirkan,” kata Jun Maher. “Kita fokuskan kepada pengambilan target. Ada pertanyaan lagi?”
     Tidak ada pertanyaan lagi.
     “Motor sudah siap?”  Jun Maher menoleh kepada Mustajab.
     “Sudah siap, Pak,” jawab Mustajab memberikan kunci motor.
     “Tigor dan Warsito, ini waktunya kalian jalan-jalan.” Jun Maher memberi perintah dan menyodorkan kunci motor kepada Tigor Naipospos.
     Tanpa menjawab kedua lelaki itu keluar ruangan tanpa menimbulkan keributan.
     “Pak Parwata, silahkan ambil kunci mobil Mustajab untuk mengunjungi tetangga.”
     Tanpa menjawab, Parwata menerima kunci mobil dari Mustajab dan keluar ruangan juga.
     “Kita lihat keadaan kota, apa yang bisa kita lakukan.” kata Jun Maher kepada Mustajab dan Beny Reza sambil keluar kamar.
Keadaan kamar kembali sepi.    
     (bersambung)

Tuesday, February 22, 2011

SAM (4)

BAB 4



WAJAH Abusono dalam foto close up itu sudah didepan Jun Maher yang duduk diam menatap wajah tuanya. Wajah yang berkeriput dan air muka tua yang menyimpan banyak beban rahasia. Sinar matanya menyisakan harapan ingin hidup lebih lama.
Benarkah laki-laki ini Sam?
Kenapa ia muncul?
     Jun Maher membangun karir intelijennya dengan mempertaruhkan dirinya sendiri. Diatas usia kepala empat, ia belum juga beristri. Bukan karena begitu banyak kasus yang harus dikerjakannya tapi ia ingin total. Barangkali teman-temannya bisa bekerja sambil mendengar rengekan anak dan istrinya, ia tidak bisa. Hidup di dunia intelijen adalah hidup di dunia yang gelap, penuh prasangka buruk dan  penuh dengan beban rahasia yang seringkali busuk. Sesuatu yang harus selalu di pegangannya adalah ”jangan percaya pada siapa pun”.
     Sam adalah sebuah sejarah gelap masa lalu. Selama lebih dari empat puluh tahun, Gerakan 30 September 1965 tetap menjadi misteri bagi banyak sejarawan, justru karena sumber-sumber primernya sangat tidak bisa diandalkan. Sejarawan yang menulis tentang peristiwa gelap itu masih saling berdebat sendiri dengan banyak teori. Diluar sejarawan, banyak ilmuwan, wartawan, penulis lepas, bahkan ahli filsafat menuliskan peristiwa itu dalam tulisan di surat kabar dan bentuk buku. Lebih dari duapuluh judul buku sudah Jun Maher baca dan semua berkesimpulan dengan teori lebih dari satu. Tidak ada yang pasti dan semuanya saling berdebat sengit mempertahankan keyakinan teorinya. 
     Barangkali semua teori yang beredar benar. Terlalu banyak yang bermain pada saat terjadinya peristiwa Gerakan 30 September. Negeri ini terlalu sayang hanya diurus oleh orang-orang lokal yang tidak tahu bagaimana mengurus negeri dengan benar. Indonesia adalah kue raksasa yang setiap orang ingin mencicipi kelezatan rasanya sejak negeri ini belum menemukan namanya sendiri. Bahkan remah-remahnya banyak yang menginginkannya.
Suatu tim cerdas-cermat yang tangguh barangkali mampu menyingkap tabir gelap Gerakan 30 September tanpa dibebani pesan sponsor manapun. Karena menulis sejarah adalah urusan para professional, bukan urusan amatir. Di zaman apapun selalu bisa ditemukan hal-hal baik, lumayan, biasa, buruk ataupun biadab. Dan selalu ada pihak yang menarik keuntungan, berpesta di atas penderitaan orang. Di setiap penggalan sejarah selalu ada pengkhianat, pahlawan, oportunis dan penonton. Dalam setiap zaman berbagai sifat itu ada dalam semua sisi yang bertengkar. Sejarah tidak kenal ampun dan catatan sejarah tidak mungkin dihapus oleh siapapun dan oleh apapun.
     Jun Maher tidak peduli dengan teori sejarah manapun. Sekarang ia hanya menginginkan Sam. Orang itu sudah terlalu lama bersembunyi. Lelaki itu harus bicara, batinnya dengan berapi-api. Ia bukan untuk hendak membuat teori sendiri tapi untuk sebuah nilai yang barangkali masih berguna untuk bangsanya. Tiba-tiba Jun Maher merasa menjadi seseorang yang sok idealis, tapi ia sedang bekerja di tempat yang mempunyai tanggung jawab meluruskan sesuatu yang bengkok.  
     Telponnya berdering dan dengan cara seperti biasa, ia mengangkatnya, “Ya…”
     “Aku tunggu sekarang di kantor,” terdengar suara Umar Yusuf di seberang sana.
     “Baik, Pak.”
     Empat puluh menit kemudian, Jun Maher sudah disebuah ruangan khusus di kantornya. Ada enam orang laki-laki lain termasuk Umar Yusuf. Ia tahu mereka semua adalah agent seperti dirinya. Tidak satu orangpun yang dikenalnya.
     “Bapak-bapak, kenalkan Jun Maher, yang akan memimpin tim ini,” kata Umar Yusuf memperkenalkan. “Jun, yang duduk di sudut itu adalah Beny Reza, ahli navigasi.”
     Jun Maher mengangguk tanpa senyum kepada lelaki berumur tigapuluha lima tahun berkulit gelap itu. Badannya gempal dan raut mukanya persis orang Ambon. Beny Reza seperti sudah tahu pertanyaan di kepala Jun Maher saat menatapnya tajam.
     “Ayah saya Jawa dan Ibu saya Padang, tapi kakek asli Maluku,” Beny Reza berkata dengan nada tinggi. “Saya kira itu yang anda pikirkan.”
     Jun Maher terpaksa tersenyum.       
     “Itu Tigor Naipospos,” tunjuk Umar Yusuf ke arah lelaki Batak berbadan besar dengan wajah keras dan mata yang liar. 
     “Nama macam apa itu Jun Maher?” Tanya Tigor Naipospos tiba-tiba.
     “Yang jelas bukan nama orang Batak,” jawab Jun Maher.
     “Yang duduk pendiam itu Pak Parwata. Kebutuhan lapangan macam apa, dia sanggup menyediakannya dengan sangat cepat. Bahkan lebih cepat dari broker rumah di Jakarta kalau kita membutuhkan base camp.”
     “Apa keahlianmu?” Tanya Jun Maher kepada Tigor Naipospos.
     “Apa saja yang kau minta,” jawabnya enteng. “Bahkan tengah malam kau butuh pentil pesawat, aku bisa bawakan sebelum matahari muncul.”
     Umar Yusuf tertawa terpingkal-pingkal.
     Seorang lelaki seumuran dirinya berdiri dan menyodorkan tangan minta bersalaman dengan Jun Maher sambil berkata, “Saya Warsito Abdul Khamid, lahir di Selo, Purwodadi, Jawa Tengah.”
     “Tempat asal Ki Ageng Selo?”
     “Beliau di namakan Ki Selo bukan karena lahir di Selo tapi bertempat tinggal di Selo sampai meninggalnya. Saya mengidolakan beliau yang lebih suka bertani daripada menerima tawaran Sultan Demak menjadi Panglima Perang. Bayangkan, jabatan sepenting itu ditolak. ”
     “Bah, seperti sedang belajar pelajaran sejarah saja,” sela Tigor Naipospos.
     “Kita berkumpul disini juga karena ada sejarah yang gelap,” Beny Reza berkata sengit.
     “Seperti muka kau itu.”
     Beny Reza malah tertawa.
     Umar Yusuf meraih remote dan sesaat kemudian muncul gambar wajah Abusono di layar. Kemudian dia berkata lantang, “Ini adalah Abusono. Tapi kita meyakini dia adalah Sam, kepala Biro Khusus Partai Komunis Indonesia yang menghilang setelah peristiwa Gerakan 30 September…”
     Semua menyimak dengan serius, tapi Tigor Naipospos menyela dengan cepat, “Sam Kamaruzzaman?”
     “Kita hanya menyebutnya Sam.”
     “Kenapa hanya Sam?” Beny Reza juga bertanya. “Kenapa tidak Samsul atau Samsir. Yang jelas tidak hanya Sam.” 
     “Karena hanya Sam.” Umar Yusuf lalu membcakan kertas yang dibawanya. “Sam alias Abusono lahir di Tuban, Jawa Timur. Tahun 1957 dia menjadi pembantu pribadi Dipa Nusantara Aidit dan tahun 1960 dia ditetapkan sebagai anggota Departemen Organisasi PKI. Empat tahun kemudian dia memperkenalkan bentuk pengoraganiasian yang berasal dari ABRI. Lahirlah kemudian yang disebut Biro Khusus Sentral.”
     Semua mendengarkan dengan serius.
     “Sam ibarat hantu yang menyusup kemana saja dia mau. Sehingga diyakini bahwa dia adalah agen ganda untuk PKI, CIA, MI6, KGB dan ABRI.”
     “Saya kira dia adalah spionase nomer satu di dunia.” Tigor Naipospos berkata dengan serius. “Bahkan saya yakin, Zulkifli Lubis yang dikatakan sebagai bapak intelijen kita saja sampai kalah.”
     “Sam ditangkap tanggal 9 Maret 1967 dan di adili di Mahmakah Militer Luar Biasa di Bandung setahun kemudian. Sam di vonis mati, tapi eksekusinya diragukan. Karena informasi yang diyakini, Sam dilepaskan dan berganti identitas. Meskipun pernah ada yang meyakini dia hidup di Perancis dan Belanda, tapi  kenyataan sekarang kita mendapatkan Sam berada di Banjarnegara, sebuah kota Kabupaten di wilayah Jawa Tengah.“
     Semua masih mendengarkan. 
“Dalam waktu Sembilanpuluh enam jam kalian akan menjemput orang ini dan di bawa ke Jakarta. Operasi ini dinamakan operasi Serayu.”
     “Maaf Bapak Direktur,” Tigor Naipospos memotong lagi. “Siapa yang meyakini kalau orang ini Sam?”
     “Dia memang diyakini Sam.”
     “Tidak mungkin selama ini tidak ada ada agent lapangan disana yang mengetahuinya,” sela Parwata yang dari tadi diam.
     “Dia dikenali oleh teman lama kita yang telah pensiun.” Umar Yusuf menoleh ke Tigor Naispospos. “Kenapa Tigor, kau takut?”
     “Tentu saja. Kalau benar orang ini Sam, CIA pasti juga menginginkannya,” kata Tigor sengit. “Mungkin KGB, MI6 juga akan turun.”
     “Saya tidak yakin CIA akan tertarik.” Kata Parwata. “Kasus ini sudah basi buat mereka dan kalaupun ada akibat yang akan ditimbulkan oleh munculnya Sam, mereka tidak bakal ambil pusing.”
     “Apa yang tidak diurusi CIA di dunia ini.”
     “Saya kira tidak perlu jadi paranoid.” Beny Reza berpendapat.
     “Kita taruhan saja kalau begitu,” tantang Tigor Naipospos.
     “Ini tugas negara Bung, bukan main lotere,” kata Warsito Abdul Khamid.
     “Sama saja bagiku. Negeri kita selama ini juga sedang dijadikan lotere oleh negara-negara yang merasa kaya dan kuat di seberang sana itu,” jawab Tigor sewot.  
     “Cukup, bapak-bapak,” Umar Yusuf berkata lagi, dengan nada yang sama. “Pukul duapuluhtiga nanti malam, kalian berangkat dari Halim.”
     “Memangnya Banjarnegara itu mempunyai lapangan udara?” Tanya Tigor lagi dengan nada mengejek.
     “Ada pangkalan udara bernama Wirasaba, tigapuluh kilometer barat kota Banjarnegara dan dua kilometer dari lokasi target,” jawab Jun Maher.
     “Kenapa tidak mendarat di Tunggul Wulung Cilacap, Pak?” Beny Reza menyela, “Saya kira itu jauh tidak menyita perhatian.”
     “Terlalu jauh dari lokasi target. Lagipula sebelum fajar, kalian sudah sampai. Semoga Tuhan melindungi kita semua. Selamat siang.” Umar Yusuf segera keluar dari ruangan itu tanpa menoleh lagi.
     Jun Maher berdiri dan berkata setelah melihat jam tangannya, “Kita masih punya waktu tujuh jam untuk persiapan. Beny Reza, kau sudah boleh ke Halim mempersiapkan diri.”
     “Baik, Bos.”
     Lalu mereka bubar.
 (bersambung)

Sunday, February 20, 2011

SAM (3)

BAB 3

“NANTI malam aku menghadap Presiden,” kata Umar Yusuf sambil berjalan dengan Jun Maher ditengah keramaian Pasar Baru. Kebisingan dan keramaian adalah tempat paling aman mereka membicarakan sesuatu yang sangat penting tanpa perlu takut ada yang mencuri dengar. Hidup dan nyawa mereka berada di mulut mereka sendiri. 
“Kabar ditemukannya Sam sebentar lagi akan menjadi komoditi yang laris di Istana,” kata Jun Maher sinis. “Lebih baik ditunda, Pak.”
     “Ini masalah serius, Jun.”
     “Kita selalu menangani kasus yang tidak pernah tidak serius. Tapi ini kasus khusus.”
“Kamu tidak percaya kepada Presiden?”
“Aku tidak percaya kepada All The Presdient Man.”
“Paling tidak aku berharap Presiden lebih bijaksana untuk lebih menutupi persoalan yang satu ini.”
     “Di negeri ini, dimana kita bisa menyembunyikan sebuah rahasia? Dinding kantor kita terlalu tipis, lebih tipis dari baju yang kita pakai. Apalagi kalau berita ini sampai di Senayan, urusannya bisa jadi lain.”
     “Jangan menyinggung perasaan orang banyak.”
     Jun Maher terbahak.
     Umar Yusuf mengambil botol air mineralnya dan meminumnya.
     “Apakah bisa dipastikan teman-teman yang lain akan keluar?”
     “Pasti. Bahkan mungkin saat ini CIA, MI6, KGB, Mossad, sudah memilih agent-agent terbaiknya untuk turun,” jawab Umar Yusuf tegas.
     “Siapa orang ini sebenarnya?” Jun Maher jadi keheranan sendiri, padahal ia sudah paham diluar kepala tentang orang ini sejak masih duduk di sekolah menengah atas. Tapi apa yang dikatakan atasannya menjadi sangat menegangkan.
     “Sam dikenal sebagai pimpinan Biro Khusus Partai Komunis Indonesia. Tapi sebenarnya dia adalah double agent, bahkan dia seorang triple agent.” Umar Yusuf seperti sedang membacakan buku pelajaran sejarah. “Peristiwa yang dikenal gerakan 30 september 1965 adalah hasil kecemerlangan otak Sam, sehingga sampai sekarang menjadi teka-teki.”   
“Menurutku dia terlalu pintar untuk merancang gerakan yang mengguncang dunia itu seorang diri.” Jun Maher berkata sinis.
     “Tentu saja dia tidak sendirian. Dokumen Gilchrist contoh paling nyata yang dibuat agent MI6 yang menyatakan adanya Dewan Jendral.”
     “Tapi penghilangan jejak pada lini-lini penting adalah khas operasi intelijen, dan itu metode klasik CIA.”
     “Itu memperkuat dugaan bahwa Sam triple agent.”
“Menurut bapak, Sam sengaja menghilang atau dihilangkan?”
“Menurutku dia sengaja disimpan.”
“Atau jangan-jangan Sam itu sebenarnya orang yang pemalu dan rendah hati.”
     Mereka tertawa.
     Suara tawa penuh kelucuan.
     “Tapi kenapa sekarang bisa ditemukan?” Jun Maher mengernyitkan dahi. “Apakah dia sengaja menampakkan diri? Lebih gila lagi dia muncul di Banjarnegara. Kenapa tidak di Perancis seperti tokoh PKI yang lain? Atau Belanda? Atau Amerika Serikat, sehingga dia layak dipanggil Paman Sam.”
     “Ada yang pernah mengatakan Sam hidup di Belanda dan Perancis. Tapi alasan kenapa dia bisa berada di Banjarnegara, kau yang harus cari tahu.”   
     “Ini pasti informasi ngawur.”
     “Foto-foto yang sampai di mejaku, sudah diteliti di lab. Semuanya menunjukkan kesamaan antara foto lama dan foto terbaru yang dikirim agen lapangan.”
     “Saat kita seharusnya mengurusi hal yang lebih penting, kita malah mengurusi orang tidak waras ini.” Jun Maher terus berkata. “Aidit dan Untung menjadi terkenal karena berita eksekusi mereka dimasukkan dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Tapi Sam? Orang ini merasa terlalu berharga untuk menjadi komoditas berita di selembar kertas pembungkus tempe.”
     Jun Maher lalu diam.
     Umar Yusuf kelihatan berpikir.
“Dalam tiga hari ini aku sudah harus mendapatkan tim untuk kau pimpin.”
     “Ada teman kita yang aktif di kota kecil itu?”
     “Aku sudah mengirimkan agent kita sejak berita ini sampai. Dan kita terus berhubungan.” Umar Yusuf meminum kembali air mineral yang dibawanya, sepertinya butuh banyak ketenangan, lalu diam sebentar dan kemudian berkata, “Aku ingin Sam dibawa secepatnya ke Jakarta. Aku tidak mau pihak lain mendapatkannya terlebih dahulu.”
     “Aku ingin ikut memilih anggota tim yang berangkat.”
     “Nanti malam data agent-agent yang harus dipilih sudah di mejaku.”
Umar Yusuf lantas berbelok masuk ke dalam sebuah Barber Shop. Jun Maher membeli sebuah rokok di penjual keliling, setelah itu ia masuk menyusul atasannya.
***
TAMAN Rekreasi dan Margasatwa Serungling Mas Banjarnegara adalah sebuah taman rekreasi dan kebun binatang yang letaknya satu kilometer dari pusat kota Banjarnegara. Taman rekreasi ini berdampingan dengan sifon atau saluran bawah tanah di bawah sungai Banjarcahyana yang dibangun Belanda tahun 1938. Dari tempat itu, pengunjung dapat menyaksikan pertemuan tiga sungai, yaitu sungai Serayu, sungai Merawu dan sungai Palet. Presiden Soekarno pernah mengunjungi bangunan itu pada tahun 1952 dan sangat mengaguminya.
Sebelumnya taman rekreasi itu merupakan hutan kota dan saat hari libur selalu ramai dikunjungi dan akan lebih banyak lagi saat liburan akhir semester anak sekolah dan saat lebaran. Sinar matahari yang terik tidak terasakan lagi saat berada di taman rekreasi ini. Rimbunnya pohon telah membuat teduh dan orang-orang menjadi nyaman berada disana.
     Mustajab membawa kamera tustelnya dengan cara dikalungkan di lehernya. Penampilannya seperti tukang foto keliling yang menawarkan jasanya kepada pengunjung taman rekreasi untuk difoto. Dengan memakai topi butut dan rompi lusuh, Mustajab meyakinkan seperti tukang foto keliling lainnya. Tidak seperti tukang foto keliling lain yang benar-benar menawarkan diri kepada pengunjung, Mustajab lebih suka kesana kemari mencari gambar yang nantinya bisa menjadi koleksi fotonya dan bisa dikirimkan ke majalah Ibukota.
     Bagi keluarga besarnya, Mustajab bekerja sebagai karyawan di Departemen Pertahanan sesuai dengan jurusan yang diambilnya saat kuliah. Saat mendapatkan perintah untuk ke Banjarnegara ia mengira sedang menghadapi lelucon. Sampai kemudian Umar Yusuf sendiri yang memberinya perintah, baru ia percaya dan langsung menuju kota kelahirannya. Seperti pulang kampung saja dan yang paling senang adalah istrinya. Kepada istri dan anaknya dan kepada kedua orangtuanya serta kepada mertuanya, dia mengatakan mendapatkan cuti dari kantornya.
Kesukaan yang diketahui keluarganya adalah ia suka memotret. Maka ketika ia pergi membawa kamera dan mengatakan ingin mencari gambar foto koleksi, tidak ada yang mencurigainya. Keluarga besarnya, bahkan istrinya tidak pernah mengetahui pekerjaan sebenarnya Mustajab adalah seorang telik sandi, seorang mata-mata yang bekerja untuk negara. Di mata keluarganya, Mustajab adalah sosok pendiam yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku sejak kecil.
     Ayahnya adalah pensiunan guru agama. Sejak sekolah dasar, ia di sekolahkan di sekolah agama sampai dengan sekolah menengah atas. Hal yang selalu membanggakan kedua orangtuanya adalah ia selalu mendapakan peringkat di tiga besar di kelasnya. Saat lulus sekolah menengah atas, kedua orangtuanya menginginkannya masuk di perguruan tinggi agama seperti kakak sulungnya yang mengambil bidang pendidikan agama. Tapi Mustajab memilih bidang Sosial Politik. Nilainya selalu tinggi di kelas dan saat baru selesai di wisuda, seseorang menghampirinya dan mengatakan ia di terima bekerja di Departemen Pertahanan. Tentu saja ia terkejut karena tidak pernah mengajukan lamaran, apalagi bukan Departemen Luar Negeri seperti keinginannya. Esok harinya ia tetap datang dan dua tahun kemudian, ia direkrut Dinas Intelijen Khusus.
     Mustajab sengaja ke tempat rekreasi Serunglingmas karena Abusono dan keluarganya sedang berada disana. Abusono membawa istrinya dan dua anaknya. Anaknya yang paling besar bernama Dodo dan adiknya seorang gadis kira-kira berumur 16 tahun. Istrinya tampak lebih tua dari umurnya yang sebenarnya, dengan rambut memutih semua. Abusono kelihatan sangat menikmati rekreasinya dengan keluarganya. Bahkan ia ikut naik gajah yang disewakan di kebun binatang itu.
     Semua kegembiraan Abusono dan keluarganya diabadikan dalam foto Mustajab. Sampai setengah hari Abusono berada di tempat rekreasi itu. Setelah itu mereka pulang. Mustajab meyakinkan terlebih dahulu mereka tidak mampir ke tempat lainnya dengan mengikuti bis yang mengangkut mereka. Saat sampai di sebuah daerah bernama Mandiraja, mereka juga tidak kelihatan turun, Mustajab segera melarikan motornya terlebih dahulu. Mandiraja adalah sebuah kota Kecataman berjarak tiga kilometer dari tempat tinggal Abusono di daerah bernama Purworejo Klampok yang berjarak hampir 30 kilometer dari pusat kota Banjarnegara.
     Rumah yang yang ditempati Abusono merupakan rumah kolonial. Di sekitarnya banyak rumah sejenis dan bukan merupakan perkampungan padat penduduk. Hanya ada beberapa rumah kolonial itu. Didepan rumahnya ada sebuah tanah lapang yang digunakan untuk keperluan tertentu selain untuk berolahraga warga sekitar. Diseberang lapangan itu juga berderet rumah kolonial yang sudah padat penduduknya. Mustajab teringat sewaktu SMP ia pernah mengikuti perkemahan di lapangan itu. Saat itu ia tidak pernah mempunyai bayangan masa depan, suatu saat harus berada di tempat yang sama untuk keperluan yang berbeda.
     Daerah Purworejo Klampok merupakan daerah yang terkenal dengan kerajinan keramik berupa guci dan souvenir lainnya. Produknya mampu bersaing dengan produk dari daerah Plered di Purwakarta atau Kasongan di Kota Gede Yogyakarta. Hanya saja industri keramik di biarkan berjalan sendiri dengan kemampuan pengrajin. Tidak diarahkan untuk menjadi sebuah industri masa depan untuk kepentingan komoditi. Hal itu bisa dilihat masih banyaknya warga sekitar yang lebih memilih pergi ke Jakarta daripada menjadi pengrajin keramik.
     Mustajab memarkir motornya di seberang jalan masuk ke arah rumah Abusono. Ia sudah mencopot atribut yang dipakai di tempat rekeasi. Rompi lusuh dan topi butut dan kamera di leher. Kamera masih ada disampingnya. Ia membongkar busi motornya. Saat itu bis yang menganggkut Abusono datang dan berhenti di tempat yang sudah diperkirakannya. Dari balik motornya, dengan posisi jongkok, Mustajab mengambil gambar Abusono menuju rumahnya. Wajah terakhir yang diambilnya dalah wajah close up Abusono saat masuk ke dalam rumahnya.  
(bersambung)

Saturday, February 19, 2011

Tak Ada Lagi Film Asing di Bioskop


Noorca Masardi, juru bicara 21 Cineplex, mengatakan bahwa semua film asing yang berada di Tanah Air telah diturunkan dari penayangan di semua bioskop (21/XXI/Blitz Megaplex).

"Mulai hari ini sudah tidak ada lagi film asing yang ditayangkan di semua bioskop, termasuk bioskop 21," ujar Noorca Masardi saat dikonfirmasi lewat telepon, Jumat (18/2/2011).

Motion Picture Associated (MPA), mewakili sejumlah perusahaan film asing, sudah resmi menarik semua film asing yang beredar di bioskop-bioskop Indonesia. Pemberlakuan penarikan juga berlaku bagi film asing yang akan beredar.

"Sudah ada koordinasi dengan pihak bioskop 21. Mereka datang dan kemarin mengumumkan. Kami dari pihak 21 Cineplex merasa sangat prihatin dengan kondisi sekarang ini," ucap Noorca.

Noorca menyesalkan adanya aksi penarikan tersebut. Hal itu dipicu oleh keputusan pemerintah melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai yang menetapkan pemberlakuan bea masuk hak edar distribusi.

"Prihatin atas keputusan pihak asing yang tidak mau lagi mendistribusikan filmnya ke Indonesia, kami yang bergerak di bidang bioskop hanya bisa berharap dan berdoa semoga pihak MPA bisa kembali mendistribusikan film ke Indonesia," ujarnya.

Noorca berharap pemerintah bisa mempertimbangkan kembali ketentuan baru tersebut sehingga bisa terus memberikan ruang kepada publik untuk mendapatkan hak hiburan seluas-luasnya.

Sebelumnya MPA menolak karena sudah ada negosiasi dan argumen tentang keberatan terhadap ketentuan itu."Namun, keputusan itu tetap diberlakukan mulai Januari kemarin," ucap Noorca Masardi.


Memacu Pertumbuhan Film Nasional

Direktur Perfilman Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Syamsul Lussa mengatakan, ada informasi yang terpotong terkait dikeluarkannya surat edaran dari Dirjen Pajak Nomor 3 Tanggal 10 Januari 2011, yang berbuntut reaksi pihak Motion Picture Association dengan menghentikan impor filmnya ke Indonesia.

"Besok kita akan 'kejar' sehingga nyambung dan mencari penyelesaiannya menyusul adanya edaran tersebut. Secepatnya pihak-pihak terkait akan segera membahasnya," katanya dihubungi di Jakarta, Jumat (18/2/2011).

Langkah pihak Motion Picture Association (MPA) untuk tidak mendistribusikan semua filmnya di Indonesia merupakan buntut dari keberatan pihak mereka terkait penetapan bea masuk atas hak distribusi film impor. Keputusan MPA tersebut dilakukan terhitung hari Kamis, tanggal 17 Februari 2011.

Menurut Ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (Ketua GPBSI) Noorca Massardi, dalam siaran persnya, Jumat (18/2/2011), pihak MPA menilai penetapan itu tidaklah lazim dan tidak pernah ada dalam praktik bisnis film di seluruh dunia.

Dikatakan Noorca, buntut dari dicabutnya hak edar distribusi sangatlah berdampak luas, antara lain Bioskop 21 Cineplex dengan sekitar 500 layar, sebagai pihak yang diberi hak untuk menayangkan film impor, akan kehilangan pasokan ratusan judul film setiap tahun. Padahal, film nasional selama ini baru mampu berproduksi 50-60 judul per tahun. "Dengan akan merosotnya jumlah penonton film (impor) ke bioskop, maka eksistensi industri bioskop di Indonesia akan terancam," ujarnya.

Tak hanya itu, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak, Pemda, Pemkot, dan Pemkab akan kehilangan rencana anggaran pendapatan dari film impor sebesar 23,75 persen atas bea masuk barang, 15 persen PPh hasil ekploitasi film impor, serta Pemda, Pemkot, dan Pemkab akan kehilangan 10-15 persen pajak tontonan sebagai pendapatan asli daerah.

Sementara itu, Syamsu justru menilai tidak adanya film impor bukan berarti harus ada kekosongan. Langkah yang diambil pihak pemerintah justru untuk memacu pertumbuhan produksi film nasional dan mendorong sineas untuk menghasilkan karya yang bermutu.

"Selama ini produksi film nasional mencapai 77 film per tahun, sedangkan impor film mencapai 140 film. Perbandingannya 36:64. Ini berbanding terbalik dengan apa yang diamanatkan undang-undang, yakni 60 untuk film nasional dan 40 untuk film asing," ujarnya.

KOMPAS,Jumat & Sabtu, 18 & 19 Februari 2011

Wednesday, February 9, 2011

SAM (2)


BAB 2


KABAR Abusono berada di Banjarnegara, sudah sampai di meja Umar Yusuf, kepala Dinas Intelijen Khusus (DIK). Gedung DIK terletak agak jauh dan menyendiri dari pusat kegiatan pemerintahan Ibukota Jakarta . Sebuah gedung yang diselimuti oleh kesan misterius dan penuh rahasia. Dikelilingi tembok tinggi dengan kawat berduri yang dialiri listrik berkekuatan tinggi, kamera rahasia dan jenis peralatan canggih lainnya yang mampu mematikan arus komunikasi di sekitarnya. Dari luar, gedung itu kelihatan tenang. Selalu tenang. Tapi didalam ruangan gedung itu, berbagai aktifitas sedang berlangsung terus menerus. Tiada waktu berhenti. Semua harus bergerak dan selalu bergerak.
     Penjagaan di setiap pintu masuk dilakukan selama duapuluhempat jam penuh oleh polisi militer berseragam sipil. Setiap orang yang masuk, harus diperiksa dengan sangat ketat melalui ruangan khusus yang telah dipasang sinar infra merah. Pada setiap sudut terdapat kamera rahasia dan alat deteksi. Tidak ada satu penyusup yang akan berhasil masuk. Bahkan untuk seekor tikus.
Umar Yusuf, Kepala DIK, masih berada didalam ruang kerjanya. Berusia enampuluh sembilan tahun, seorang laki-laki yang dingin dengan wajah penuh kerut ketuaan dan sorot mata menikam serta sarat dengan beban rahasia yang busuk. Ia seorang purnawirawan Angkatan Laut berbintang tiga. Masih nampak gagah dan menampakkan diri sebagai laki-laki yang mempunyai kharisma. Pekerjaannya membuatnya harus selalu berada dalam suatu keadaan segar bugar, penuh selidik dan mencurigai siapapun, termasuk keluarganya. Ia hanya percaya kepada dirinya sendiri. Bahkan tidak termasuk kepada Jun Maher, anak buahnya yang paling ia andalkan, yang tengah duduk didepannya.
Ia sudah memegang sebuah foto ukuran 10R dengan gambar berwarna dan disodorkan kepada Jun Maher untuk melihatnya.
     “Siapa ini?” Tanya Jun Maher manatap foto lelaki tua berkacamata tebal dengan kepala hampir botak dan bentuk wajah yang keras.
     “Kau tidak tahu dia?” Umar Yusuf mengambil foto-foto yang lain dan menyodorkannya. “Coba lihat foto-foto yang ini.”
     Jun Maher melihat satu persatu foto hitam putih itu. Gambar lain dari Abusono sewaktu masih muda dan satu foto saat berdiri di depan sidang Mahmilub di Bandung. Meskipun belum jelas benar baginya, tapi ia tahu wajah dingin dalam foto itu. Dan ia begitu saja berkata,
“Sam?”
     “Ya.”
     “Maksudnya?”
     “Dia sudah ditemukan.”
     “Sudah ditemukan?”
     “Di sebuah kota bernama Banjarnegara.”
     “Orang ini?”
     “Ya, Sam, Kepala Biro Khusus Sentral Partai Komunis Indonesia tahun 1965.” Umar Yusuf dengan lancar berkata. “Orang yang sampai detik ini tidak ada yang tahu keberadaannya sejak tanggal 30 sepetember 1986.”
“Bukankah tanggal itu dia dieksekusi di salah satu pulau di Kepualauan Seribu?”
“Ya. Tapi saat terjadi pergantian kekuasaan tahun 1998, sumber intelijen mengatakan Sam masih hidup.”  
     Jun Maher masih tidak percaya melihat foto Abusono tua, yang di foto beberapa hari sebelumnya oleh agen yang sudah berada di lapangan.
“Ini hanya kebetulan mirip, Pak.”
     “Memang butuh kepastian untuk meyakinkan bahwa lelaki tua ini adalah Sam. Tapi tim kita di laboratorium sudah meyakinkan bahwa foto terbaru itu adalah foto Sam.”
     “Siapa sumber kita?”
     “Teman lama yang telah pensiun.”
     Jun Maher tertawa. 
     “Kau tidak percaya?”
     “Tentu saja tidak,” Jawab Jun Maher mantap. “Sam itu hanya Tuhan yang tahu berada dimana sekarang setelah eksekusi yang kita tidak pernah tahu dilakukan atau tidak.”
     “Untuk itu kau harus turun sendiri meyakinkan berita penemuan ini,” kata Umar Yusuf yakin. Ia sudah mengalami banyak bahaya bersama Jun Maher dan sudah berkali-kali mempercayakan nyawa kepadanya. Jika Umar Yusuf punya anak asuh, Jun Maher-lah anak asuhnya. Tapi sedekat apa hubungannya dengan Jun Maher, Umar Yusur tak bisa sepenuhnya mengenal lelaki itu. Seperti semua agen yang baik, Jun Maher tidak membagi hidupnya dengan orang lain, hanya memperlihatkan apa yang diperlukan pada saat dibutuhkan. Persis seperti Umar Yusuf.
     “Jadi Bapak percaya orang ini sudah ditemukan?”
     “Demi Tuhan, Jun, ini penemuan paling menakjubkan setelah orang bisa mendarat di bulan,” kata Umar Yusuf berapi-api. “Kau tahu, ini juga berita pertama setelah empatpuluh tahun lebih kita tidak pernah bisa mengendus keberadaannya. Lagipula sangat sedikit yang tahu wajah orang ini sebenarnya. “
     “Menurut saya ini omong kosong.”
     “Setiap informasi sekecil apapun, sangat berharga buat kita. Apalagi untuk orang yang paling dicari keberadannya seperti Sam.”
     “Kalau pun benar, ini akan menjadi bola api liar.”
     “Dan akan memancing keluar ikan yang besar.”
     “Tetap saja saya belum percaya,” kata Jun Maher lagi.
     “Untuk itu aku akan siapkan tim untuk kau pimpin ke Banjarnegara,” katanya tegas tanpa menghiraukan ketidakpercayaan Jun Maher. Ia mengambil telpon. “Kita bicara lagi setelah ini.”
     Jun Maher tidak bisa berkata lagi. Atasannya itu sudah berbicara di telpon. Artinya ia tidak bisa membantah atau mengemukakan pendapatnya. Makanya kemudian ia memilih keluar ruangan.  Tapi saat ia hendak keluar, atasannya itu memanggil lagi.
     “Jun, kita bicara sekarang, tapi diluar.”
     Karir Jun Maher dimulai di Departemen Luar Negeri sebagai wakil Kepala Intelijen urusan Dalam Negeri. Dengan umur empatpuluh dua tahun, sebenarnya ia terlalu muda untuk menempati posisi strategis sebagai salah seorang ahli intelijen yang diperhitungkan di Dinas Intelijen Khusus, sebuah instansi baru yang sangat dirahasiakan keberadannya. Penampilannya selalu rapi dan bersih, dengan potongan rambut pendek agar bentuk wajahnya terlihat jelas. Agaknya ia orang yang mempunyai cukup waktu untuk bersolek. Tapi satu-satunya alasan ia melakukan hal itu karena belum beristri. Kebutuhan hidupnya telah tercukupi dengan sangat layak. Sebuah rumah bagus di salah satu kawasan real estat yang banyak di huni kalangan eksekutif muda, sebuah mobil jip warna hitam, dan setiap ada waktu libur ia menonton film di Planet Hollywood yang dilanjutkan dengan nongkrong di Hard Rock Cafe. Hampir semua kenikmatan bisa didapatnya dengan mudah dan ia kelihatan menikmati sekali statusnya sebagai bujangan. 
Gelar sarjana ia peroleh dari Institut Teknologi Bandung, gelar master di Universitas Indonesia, mendapatkan pelatihan dari BIN, pelatihan Kopassus,  Pelatihan pasukan khusus polisi, pelatihan bahasa dan elektronik canggih. Ia merasa bangga karena dari beberapa teman kantornya, hampir semua lulusan luar negeri. Ia bukan jenis orang yang ngotot mempertentangkan sekolah luar negeri dan dalam negeri, sepanjang apa yang dilakukannya tidak dipandang dengan perbedaan. Seperti Umar Yusuf atasannya yang sedang berjalan di sampingnya.
Umar Yusuf, purnawirawan Angkatan Laut berpangkat terakhir Letnan Jenderal Marinir, pernah memegang jabatan strategis pada masa setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1965. Dengan karir cemerlang pada masanya, ia menjadi tokoh yang banyak dibicarakan dan mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan purnawirawan, saat dominasi Angkatan Darat sangat besar pada waktu itu.
Dibalik sifatnya yang tanpa tedeng aling-aling, ia adalah seorang pemberani. Sebagai seorang anak nelayan, ia telah menikmati kehidupan yang berat di masa-masa kecilnya di Labuhan, Banten, karena penjajahan Jepang. Ia sebenarnya bisa menikmati pendidikan yang layak karena ayahnya adalah salah satu saudagar kapal. Tapi ketika ia berusia duabelas tahun, ia melihat kakak tertuanya yang suka melaut melawan serdadu Jepang tanpa memikirkan dirinya sendiri di pantai. Semenjak saat itu, ia tahu apa yang diinginkannya: menjadi pejuang dan bergabung dengan tentara yang melawan serdadu Jepang di laut. Pada usia tujuh belas tahun, ia telah pergi jauh dari tanah kelahirannya dan berjuang di Jakarta. Dari salah satu komandannya, ia disarankan bersekolah di Semarang. Ia kemudian pulang menemui ayahnya dan meminta uang untuk masuk Sekolah Tinggi Pelayaran. Dari sanalah ia akhirnya berhasil mewujudkan impiannya untuk menjadi anggota  Korps Marinir.
Dalam perjalanan karirnya sebagai serdadu, ia banyak terlibat dalam berbagai operasi. Salah satunya adalah operasi pembebasan Irian Barat dan penumpasan pemberontakan PRRI dan PERMESTA, sampai kemudian karena prestasinya, ia dikirim ke Amerika untuk mengikuti pendidikan Advance Course For Officer of Marines Corps School. Setelah pulang, ia segera menduduki jabatan-jabatan yang menurutnya bagus tapi tidak menguntungkan untuk karir militernya. Sejak saat itu, ia merasa karirnya telah selesai, tapi sebagai prajurit ia tetap harus melaksanakan kewajibannya sebaik yang bisa dilakukannya. Ia termasuk orang yang beruntung karena di didik dengan latar belakang agama yang kuat, lingkungan baik yang selalu membuatnya harus jujur dan menjunjung kebenaran.
Setelah rezim Orde Lama berakhir dan digantikan rezim Orde Baru, ia berharap segala sesuatunya akan lebih baik. Tetapi harapannya tidak terpenuhi, ia melihat banyak sekali kejadian yang bertentangan dengan hati nuraninya, akibat dari kekuasaan yang dijalankan dengan kekerasan. Jabatannya tidak mampu ia gunakan untuk merubah keadaan menjadi lebih damai buat orang banyak. Setelah ia pensiun, ia memilih tidak melibatkan diri dalam dunia politik.
Tapi saat Presiden Abdurahman Wahid berkuasa, ia diangkat menjadi Kepala Dinas Intelijen Khusus. Sebuah lembaga yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus khusus yang sulit terpecahkan oleh dinas keamanan lainnya, terutama intelijen negara.  Secara teknis, DIK berada di bawah Departemen Pertahanan, tapi Presiden menginginkan DIK menjadi lembaga intelijen yang mandiri dan terpisah dari urusan birokrasi dan langsung berada di bawah kekuasaannya. DIK diberi kewenangan untuk mengakses semua informasi dari Departemen manapun untuk kepentingan penyelidikan. Untuk menghindari kepentingan yang saling berbenturan, juga menghindari ketidaksenangan lembaga keamanan lain, DIK dirahasiakan keberadaannya. Tidak pernah disebutkan dan tidak akan pernah diakui keberadaannya, seandainya suatu saat ada pihak yang ingin membongkarnya.
Umar Yusuf nyaris tidak percaya ketika ditunjuk untuk memimpin DIK. Rupanya perjalanan karirnya dilihat serius oleh Presiden saat itu. Saat pertamakali dipangil ke Istana oleh Presiden saat ditawari jabatan itu, Presiden berkata, “Saya butuh orang-orang yang tidak terikat dengan sejarah masa lalu yang penuh kepalsuan. Saya ingin sejarah negeri ini diluruskan.”
“Maaf Bapak Presiden, kenapa Bapak mendirikan DIK?”
“Allen Dulles, pendiri CIA, pernah mengatakan, negara pasti kuat jika memiliki intelijen yang kuat. Pak Umar juga pasti lebih tahu dari saya bahwa Orde Baru kuat karena intelijennya juga kuat.”
“Tapi sudah ada BIN.”
“DIK beda. DIK mempunyai tugas khusus, yaitu meluruskan yang bengkok-bengkok supaya tidak terjadi sejarah yang bengkok di kemudian hari.”        
     “Bapak Presiden yakin saya orang yang tepat dengan jabatan ini?”
     “Tunjukkan bahwa Pak Umar Yusuf bekerja untuk kepentingan negara, bukan untuk saya. ”
     Setelah diberi waktu satu hari, Umar Yusuf menerima jabatan itu. 
(bersambung)