Sunday, September 11, 2011

SENO GUMIRA AJIDARMA DAN NAGABUMI

Sore itu, Mas Seno—begitu saya memanggilnya—tampil santai dengan kaus, jeans, dan sepatu kanvas hitam. Ia duduk di belakang meja dengan dua buku bertumpuk. Yang teratas berjudul The Real Tripitaka karya Arthur Waley. Ia telah siap untuk wawancara.
Apakah buku itu untuk riset Nagabumi?
Ha-ha-ha. Ya, salah satunya.
Mas Seno, bisa ceritakan awal penulisan novel ini?
Dulu, saya pernah punya impian untuk menulis cerita silat bersambung. Ambisinya, ingin membuat cerita silat yang memenuhi kriteria estetik. Lalu, saya dapat tawaran untuk menulis cerita silat Jawa di koran. Saya bilang, saya tidak tertarik dengan cerita silat seperti itu. Saya tidak bisa. Tapi, kalau silat Indonesia bisa. Akhirnya, saya menulis sebuah cerita silat Indonesia tanpa latar belakang tempat. Namun, lama-lama, saya merasa cerita ini butuh itu. Saya pun memilih setting yang jarang dipakai orang, yaitu Jawa abad 8–9 M. Sejak itu, saya mulai riset sambil menulis Nagabumi.
Apa yang membedakan Nagabumi dari cerita silat lain?
Ya, itu tadi. Saya tidak mau membuat cerita silat yang hanya asal gebuk. Tapi, silat sebagai sastra. Dan, awalnya ini dibuat 'bernyali' oleh adanya film-film silat yang artistik, seperti Crouching Tiger Hidden Dragon atau Hero. Wah, itu kan bukan action, itu puisi. Itulah ideal saya.
Tokoh Anda, si pendekar tanpa nama, berusia 100 tahun dan pernah membantai seratus lawan dalam semalam. Saya melihat pengaruh cerita silat China yang kental di sini. Tanggapan Anda?
Iya, dong. Dulu, kan, tidak ada DVD segala. Dan, film-film masih jelek. Dunia remaja jadul itu, ya, cerita atau komik silat seperti karya Kho Ping Hoo atau R.A. Kosasih. Silat itu bagian dari tradisi anak laki-laki zaman dulu.
Mengapa tokohnya tidak murni protagonis layaknya cerita silat kebanyakan?
Nah, itu salah satu pengaruh sastra modern. Sastra klasik, kan, tentang orang-orang hebat. Kalau modern justru orang-orang yang kalah. Menurut saya, ini menarik. Kita bisa 'bermain' di situ.
Banyak isu dalam Nagabumi yang merefleksikan keadaan negara ini, seperti konflik agama dan politik. Apa memang ada maksud ke arah sana?
Itu tergantung pembaca saja. Pembaca kan tidak pasif dan konsumtif, tapi aktif dan produktif. Jadi, tergantung mereka memaknai cerita itu sebagai apa. Entah sekadar cerita, sejarah, atau apa saja. Mereka harus diberi kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas.
Tantangan apa yang muncul saat mengerjakan buku ini?
Saya ingin memunculkan apa yang selama ini tidak pernah ada dalam cerita silat Indonesia, yaitu sisi intelektual manusianya. Sesungguhnya, selain pesilat, banyak sekali karakter yang menarik, seperti pengarang buku, pengajar, politikus, hingga pemberontak. Cerita silat ini mengadung esai yang meliputi banyak aspek kehidupan.
Perspektif orang pertama yang Anda gunakan dalam bertutur tidak lazim dalam cerita silat. Ada alasan khusus?
Karena itu belum dilakukan orang. Biasanya, cerita silat kan yang bercerita Tuhan (perspektif orang ketiga). Nah, kalau ini yang bercerita manusia. Dengan begitu, tokoh bisa bercerita lebih banyak dan personal. Kita pun bisa lebih mengerti pergolakan batin yang terjadi dalam dirinya. Di situlah sastra modernnya; bermain dengan sudut pandang.
Bicara tentang Tuhan, apa tanggapan Anda mengenai anggapan bahwa sastra merupakan jalan spiritual?
Ya, boleh-boleh saja. Kalau mau dijadikan hiburan boleh, mau dipakai buat gaya omongan saja juga boleh. Tapi, serius juga boleh. Mereka, kan, mencari makna dalam bacaan. Bisa juga.
Pertanyaan terakhir. Mengapa nama Seno Gumira Ajidarma lekat dengan kata 'perlawanan'?
Bukannya hidup seperti itu? Kita tidak bisa mengingkari bahwa sebetulnya kebudayaan itu isinya hanya perlawanan kelompok bawahan melawan kelompok yang dominan. Ini seperti menangkap ayam. Mana ada, sih, ayam yang mau ditangkap untuk disembelih? Nah, saya melakukannya dengan cara tidak menjadi seperti yang lain.

Sumber AREAMAGZ