Wednesday, April 27, 2011

SAM (9)


BAB 9

JUN Maher berdiri dengan tegang. Semuanya telah bersiap. Waktu buat mereka bergerak sudah ditentukan. Tidak bisa lagi ditawar.
     “Beny Reza menempatkan mobil utama menghadap timur di selatan jalan raya, di sudut lapangan, disebelah barat jalan masuk ke rumah target,” kata Jun Maher memberi pengarahan. “Saat target menyebrang jalan, mobil maju persis dimana target menyebrang dan Tigor menyergapnya lalu memasukan ke dalam mobil. Dan mobil Parwata di sebelah utara jalan, duapuluhmeter dibelakang mobil utama, menghadap timur. Kita akan berhenti di terminal Mandiraja dan berganti mobil. Kalau semua berjalan lancar, kita akan kembali ke base camp melewati jalan yang sama. Kalau ada masalah, kita jalankan rencana B lewat daerah Rakit.”
     “Dimana posisi Mustajab?” Tanya Warsito.
     “Mustajab dari Purwokerto akan turun di terminal Mandiraja dan menunggu kita. Ada pertanyaan?”
     “Saya lebih suka mobil utama masuk ke jalan arah rumah target,” ujar Tigor memberi pendapat. “Lalu lintas masih belum aman seratus persen.”
     “Posisi itu memang lebih aman karena tidak terlihat dari arah barat, tapi akan makan waktu lebih lama. Waktu maksimal kita adalah limabelas detik.”
     “Pastikan saja kau tidak salah menginjak rem, Beny.”
     “Oke.”     
     “Warsito, kau beri tanda kami situasi sekitarnya,” kata Jun Maher yakin. “Kami tidak mau ada orang mengganggu kami sebelum target diambil.”
     “Siap, Bos.”
     “Tidak ada kata gagal. Kita harus berhasil.” Kata Jun Maher memastikan. “Semoga Tuhan melindungi kita semua.”
     Lalu semua keluar.
     Hanya dokter Syahrial Anwar yang tinggal didalam rumah itu. Beny Reza membawa satu mobil dan Jun Maher serta Tigor Naipospos. Parwata dan Warsito Abdul Khamid berada di satu mobil lainnya dan didalam mobil mereka tersimpan semua senjata. Warsito yang membawa mobilnya. Dua mobil itu melintasi jalan aspal yang dingin.
     Hanya beberapa menit kemudian mobil sudah berada dalam posisi masing-masing. Beny Reza membuka kap mobilnya dan harus sibuk mengotak-atik seolah mogok. Jun Maher dan Tigor Naipospos diam didalam mobil. Berjarak duapuluh meter di arah baratnya, disebelah utara jalan, mobil Parwata berhenti dengan mesin mati. Warsito tegang mendengarkan suasana sekitar lewat radio dan dia mendengarkan lewat headphone.
     Jun Maher mengangkat telpon pribadinya. Seperti biasa ia berkata, “Aku sudah dalam posisi.”
     “Tiga menit lagi sampai di Serayu.” Terdengar suara Mustajab dan langsung terputus hubungan telpon itu.
     Tigor mengetuk kaca depan mobilnya untuk memberi tanda kepada Beny Reza diluar. Tapi Beny sendiri sedang menenangkan diri karena seorang lelaki separuh baya memakai kain sarung dan membawa lampu senter berjalan ke arahnya. Sudah pasti lelaki paruh baya itu akan bertanya kepada Beny dan memperhatikan mobil yang dikiranya mogok.
     “Mobilnya kenapa, Mas?” Tanya lelaki separuh baya itu.
     “Oh, hanya kehabisan air radiator Pak. Sudah selesai,” Jawab Beny sambil menutup kap mobilnya buru-buru.
     “Tidak perlu bantuan?”
     Sudah pergi saja. “Tidak, Pak. Terimakasih.”  
     Beny sudah masuk ke dalam mobilnya dan membunyikan mobilnya. Lelaki separuh baya itu dengan sendirianya pergi begitu saja. Beny mengelap keringat yang muncul di mukanya.
     “Bisnya datang,” kata Jun Maher melihat ke belakang.
     “Saya siap,Bos,” kata Beny begitu saja.
     Warsito dan Parwata bukan tidak tahu apa yang terjadi dengan Beny saat lelaki paruh baya itu datang. Parwata jauh lebih tenang. Warsito yang gelisah karena ia yakin lelaki paruh baya itu akan tetap berada didekat Beny sebelum Beny menutup kap mobilnya. Saat bis itu melewati mobil mereka, ketegangan jauh lebih merambat di kepala mereka.
     “Itu bisnya,”ujar Parwata.
     “Ya. Itu mobilnya.” Suara Warsito gemetar.
     Bis jurusan Purwokerto Semarang itu berjalan melambat dan benar-benar berhenti di seberang lapangan itu. Tidak berapa lama Abusono turun seorang diri. Lalu menunggu bis itu pergi agak jauh dan lelaki tua itu menoleh kanan kiri. Dia sempat memperhatikan mobil Jun Maher di ujung jalan. Tapi ia lebih serius melihat kanan kiri dan menyebrang jalan dengan langkah pendek. Saat jarak aspal dan tanah tinggal tiga langkah, mobil Beny Reza maju dan berhenti persis didepan Abusono. Pintu belakang terbuka dan turun Tigor dan tangan kekarnya mencengkeram Abusono dan menariknya seperti karung beras. Tidak sampai delapan detik, Abusono sudah dalam mobil Jun Maher.
     Beny Reza sudah menjalankan mobilnya dengan senormal mungkin begitu pintu tertutup. Mobil Parwata mengatur jarak sudah berjalan juga. Tidak sampai setengah menit, nampak Noor Amini keluar dari rumahnya dan berjalan ke depan rumahnya dan melihat ke arah jalan raya. Wanita itu terus berdiri disana dan kemudian berjalan ke arah jalan raya.
     Wanita itu tahu seharusnya suaminya sudah sampai di rumah. Tapi kesunyian di tempat itu tidak bisa menjawab pertanyaannya.

JUN Maher sudah memasang penutup mata ke muka Abusono. Tanpa ada omongan satu kata pun keluar dari mulut mereka. Tigor Naipospos duduk melihat ke belakang dengan tegang. Beny Reza menambah laju mobilnya. Setelah selesai mengikat tangan Abusono dengan kain, Jun Maher baru bisa bernafas lega. Sengaja dia tidak memakai borgol.
     Senyap dalam mobil itu.
     “Siapa kalian?” Abusono berkata tiba-tiba.
     Jun Maher tidak menjawabnya.
     Tigor terus melihat ke belakang dan melihat ke jam tangannya. Lalu memberi kode aman kepada Jun Maher. Setelah itu Jun Maher menepuk bahu Beny Reza sekali sebagai tanda aman. Delapan menit kemudian Beny Reza menghentikan mobil persis di samping mobil yang sudah disiapkan di terminal Mandiraja. Mustajab sudah dibelakang setir. Posisi mobil sama-sama menghadapkan pintu mobil. Jadi saat Tigor membuka pintu dan Mustajab membuka pintu dari dalam, tidak akan terlihat saat  Tigor menarik Abusono. Jun Maher mengikuti dan menutup pintunya. Tigor juga sudah menutup pintu mobil pertamanya dan kembali berada dibelakang Beny dan langsung pergi. Mustajab melihat Abusono dibelakangnya dan Jun Maher memberi kode supaya jalan. Mustajab menjalankan mobilnya.
     Mobil Parwata di luar terminal dan diam menunggu. Warsito mendengarkan pantauan udaranya dengan serius, dan dia mendadak memutuskan lain.
     “Jalankan rencana B,” kata Warsito di radio kepada Jun Maher.
     Jun Maher mendengarkan ditelinganya dengan tegang. Lalu dia menepuk bahu Mustajab dua kali. Tanpa berpikir dua kali Mustajab mengarahkan mobil keluar dari terminal dan menyebrang jalan dan masuk ke jalan kecil ke arah utara terminal.
     “Beny, tetap dengan rencana A ke base camp,” terdengar kata Warsito mengingatkan.
     “Roger,” Tigor Naipospos menjawab singkat dan menatap ke depan. “Aku tidak melihat ada gerakan lain.”
     “Mungkin bukan lawan,” jawab Beny membawa mobilnya melewati jalur semula.
      Mustajab tahu jalan yang harus dilewati. Ia lahir di kota itu dan jalan yang dilewatinya adalah jalan saat dari kecil ia lewati dengan ayahnya dengan motor. Dibelakangnya mengikuti mobil Parwata. 
     Apa yang di khawatirkan Tigor terbukti. Didepan sana, nampak berhenti mobil Polisi dan sedang mengadakan razia.
     “Warsito hebat,” bisik Tigor melihat ke arah polisi yang menghentikan mobilnya. Beny menurunkan kaca mobilnya.
     “Selamat malam, bisa lihat SIM dan STNK?”
     Beny mengeluarkannya.
     “Pak Ahmad Turmudi?” Tanya Polisi itu melihat SIM Beny Reza.
     “Ya.”
     “Anda tinggal di Jakarta Timur ya?”
     “Sesuai tertera di SIM, Pak.” Beny terus tersenyum
     “Sebentar ya.”
     Polisi itu membawa STNK dan SIM Beny ke arah mobil patrolinya. Lalu dia menjulurunkan tangannya ke dalam mobil. Tampak ada bayangan seseorang didalam mobil polisi itu.
     “Ada yang tidak beres,” Tigor berkata lirih.
     “Kita ikuti saja.”
     Polisi itu sudah kembali.
     “Maaf Pak Ahmad Turmudi, silahkan keluar. Juga teman bapak.”
     “Ada apa, Pak?”
     “Mobil yang bapak bawa adalah mobil curian.”
     Ada yang tahu operasi ini, batin Tigor keluar mobil.
     “Silahkan masuk ke bagian belakang,” kata Polisi itu masuk mobil ke belakang setir.
     Beny dan Tigor masuk mobil kembali ke belakang.
     “Kita mau dibawa kemana?” Tanya Tigor Naipospos penasaran.
     “Polres, Pak.”
     Lalu kembali ke arah timur. Juga mobil patroli polisi itu. Tidak ada lagi patroli jalan raya. Polisi hanya menghentikan mereka.
     (bersambung)

Monday, April 25, 2011

SAM (8)


BAB 8


JAM menunjukkan pukul tiga dinihari. Jun Maher berdiri disamping whiteboard dan memegang spidol dan menggambar denah lokasi penyergapan dan dua mobil yang harus berada di posisinya. Semuanya mendengarkan dan melihat dengan serius. Termasuk Dokter Syahrial Anwar.
     “Saat target turun dari bis, biarkan sampai menyebrang jalan. Sebelum dia turun dari aspal, kita sergap dan masukkan ke dalam mobil. Beny, mobil kau hadapkan ke arah timur, pinggir jalan, persis di mulut jalan masuk ke arah rumah target. “
     “Kenapa ke arah timur? Bukankah itu menjauhi base camp dan pangkalan udara?” Tigor bertanya dengan yakin.
     “Kita bawa dulu target jalan untuk mengaburkan lokasi base camp.”
     “Buang-buang waktu.”
     “Kau lupa kalau teman-teman kita sudah berada disini?” Jun Maher memberikan alasan. “Mereka pasti melacak kita dan aku tidak mau saat kita kembali ke base camp, mereka sudah menunggu kita dengan senjata Magnum ditangan mereka.”
     “Lalu mobil saya di terminal Mandiraja?” Tanya Mustajab belum paham.
     “Jika terjadi sesuatu dengan rencana A, kita jalankan rencana B. Kita pindahkan target dan langsung menuju pangkalan udara. Ada sebuah jalan di sebelah utara terminal Mandiraja menuju daerah bernama Rakit. Dari daerah Rakit ini kita ke arah barat dan langsung menuju pangkalan udara Wirasaba. Akses jalan cukup bagus tapi sempit. Jarak tempuh ke pangkalan udara enam kilometer melewati tiga desa.”
     “Kita harus mempunyai rencana C.” Parwata memberikan pendapat. “Saya yakin teman-teman kita mempunyai rencana A dan B seperti rencana kita. Rencana C adalah membiarkan target masuk ke dalam rumahnya dan kita ambil paksa dari sana.”
     “Sejak pertama kita sudah putuskan tidak melibatkan keluarga.” Warsito mengingatkan.
     “Saya setuju rencana C.”
     “Kalau rencana C juga gagal?” Tanya Beny Reza.
     “Kita gunakan rencana D,” jawab Tigor mantap.
     “Apa itu rencana D?” Mustajab penasaran.
     “Kita gunakan jalan senjata dengan perbekalan yang baru dikirim. Buat apa Pak Umar jauh-jauh hanya mengantarkan Pak Syahrial Anwar seorang diri?”
     “Kau pikir aku tidak penting?” Syahrial Anwar berkata dingin.
     “Bukan begitu, dokter,” Tigor berkata sopan. “Saya hanya mengingatkan soal pentingnya operasi ini.”
     “Baiklah,” Jun Maher mengambil alih pembicaraan. “Dari semua rencana kita, yang paling besar risiko buat kita adalah rencana C. Tingkat kegagalan dan kebocoran terlalu tinggi. Kita tetap dengan rencana pertama kita.”
     “Saya ingin target diikuti saat pergi ke Purwokerto,” kata Parwata memberikan usul. “Terlebih lagi saat pulang naik bis. Saya tidak mau ada teman kita mengambilnya lebih dulu.”
     “Rencana yang bagus. Siapa yang akan ke Purwokerto?”
     “Kau Mustajab.” Tigor berkata tegas seolah memberi perintah.
     Mustajab menoleh ke Jun Maher.
     “Ya. Itu tugasmu.”
     Mustajab mengangguk.
     “Ada usul, saran, pertanyaan atau yang lain? Dokter?”
     “Tidak ada,” jawab Syahrial Anwar santai.
     “Satu jam sebelum jam H, kita akan terus berada di tempat masing-masing pengintaian.” Jun Maher menghapus semua tulisan dalam whiteboard. “Kita punya waktu untuk istirahat beberapa jam.”
     Lalu semua buar.
     Ruangan itu lalu sepi.
     Tapi Jun Maher tidak bisa memejamkan matanya. Ia sedang mempertaruhkan karirnya. Bukan hanya terhadap karirnya tetapi karir Umar Yusuf. Sejujurnya ia ingin operasi kali ini dipersembahkan untuk atasannya itu, agar memasuki masa pensiunnya dicatat dengan tinta emas. Umar Yusuf menjadikannya seorang yang  banyak belajar menjadi benar. Dunianya adalah dunia gelap. Umar Yusuf membuatnya selalu bisa mencari ketenangan batinnya. Tidak ikut masuk ke dalam dunia pekerjaanya.
     Jun Maher berjalan ke arah pintu keluar. Ia harus keluar untuk melihat keadaan. Ia tidak bisa memejamkan mata sebelum targetnya benar-benar sudah berada di tangannya. Saat pintu hendak terbuka, dibelakangnya muncul Mustajab.
     “Boleh saya temani, Pak?”
     Jun Maher melihat Mustajab yang serius.
     “Tentu saja.”
     Tak berapa lama mereka sudah berjalan pelan dipinggir jalan, ditengah rel kereta api peninggalan Belanda. Sama-sama merokok dan di pagi subuh itu, belum terlihat lalu lintas yang berarti kecuali sepeda ontel dan sepeda motor yang membawa sayuran menuju pasar.
     “Apa yang terjadi selanjutnya setelah target ditangan kita?” Tanya Mustajab memulai pembicaraan.
     “Apapun bisa terjadi.”
     “Saya tidak yakin sejarah kita bisa selesai hanya dengan keterangan Sam.”
     “Tidak akan pernah bisa selesai.” Jun Maher menghisap rokoknya dalam-dalam. “Aku tidak mengharapkan Sam meluruskan sejarah negeri ini. Kalaupun dia nanti bicara peristiwa Gerakan 30 September 1965, tidak lebih sebagai salah satu catatan pelengkap.”
     “Lalu untuk apa kita melakukan operasi ini?”
     “Kau tahu kenapa Amerika menjadi besar? Mereka menciptakan musuh-musuhnya sendiri. Mereka menciptakan ketakutan yang mereka bangun sendiri agar musuh-musuh mereka jauh lebih takut.”
     “Seperti peristiwa 11 september?”
     “Seperti peristiwa yang jauh lebih besar yang terjadi.”
     “Saya takut kita gagal.”
     “CIA pernah gagal. BIN juga sering gagal. Tapi kita jangan sampai gagal.”
     Lalu mereka menyebrang jalan dan duduk di jembatan kecil di sudut lapangan, di jalan menuju rumah Abusono alias Sam. Mereka terus merokok untuk mengusir kantuk dan udara dingin.
     “Kau lahir disini?”
     “Betul, Pak. Desa kelahiran saya bernama Lengkong.”
     “Apa artinya?”
     “Tidak jelas benar sejarah desa saya kenapa diberi nama Lengkong. Ada yang berkelakar itu singkatan leng dan kong. Leng itu lobang, kong adalah kependekan dari bangkong atau katak. Jadi kalau ada bencana apapun, kita katanya bisa selamat karena berada dalam lobang.”
     Jun Maher tertawa.
     “Bapak lahir di Solo?”
     “Ya. Desa Bekonang.”
     “Desa yang terkenal.”
     “Tapi tidak seterkenal Desa Pathuk atau Desa Kemusuk di Yogyakarta.”
     Mereka tertawa bersama.
     Tapi langsung berhenti saat itu juga.
     Abusono keluar dari dalam rumah.
     Jun Maher berdiri dan berkata. “Sebaiknya aku pulang.”
     “Saya langsung berangkat ke Purwokerto.”
     “Kita akan terus berhubungan.”
     Jun Maher langsung pergi begitu saja dan menyebrang jalan.
     Mustajab berdiri di pinggir jalan, bersikap seolah menunggu bis yang akan datang dari arah timur. Dia melihat ke arah timur yang masih diselimuti kabut. Ia tidak bisa pergi lagi dari tempatnya. Jalan satu-satunya ia harus tetap berada ditempatnya. Abusono benar-benar berjalan ke arahnya dan ditemani Istrinya. Abusono memakai jaket dan topi dan membawa tas kulit yang dipegangnya seperti membawa buku.
     Abusono dan istrinya nampak mengobrol sesuatu tapi lantas berhenti begitu mendekati Mustajab. Istri Abusono seorang wanita berusia enampuluh enam tahun bernama Noor Amini, seorang wanita yang nampak pendiam dan memperlihatkan sikap yang sangat sopan. Melihat Mustajab mereka nampak berusaha untuk bersikap tenang.
     “Saya sedang menunggu bis ke Purwokerto,” Mustajab memulai pembicaraan lebih dulu. “Bapak mau ke arah Purwokerto atau ke arah Wonosobo?”     
     “Ke arah barat, Purwokterto ya…”Abusono menjawab seolah meyakinkan tujuannya benar. “Tinggal dimana?” 
     “Di sebrang, di belakang kantor Pos.”
     “Ooo…”
     “Ibu pulang saja,” pinta Abusono ke Istrinya. “Aku sudah ada teman perjalanan. Jangan khawatir.”
     “Hati-hati, Pak.”
     “Ya, pasti.”
     Noor Amini lalu mencium pipi kanan kiri Abusono lantas berjalan ke arah rumahnya lagi.
     “Bilang Dodo jangan lupa kasih makan ayam jago dibelakang.”
     “Iya. Bapak juga jangan sampai terlambat makan, obat dan vitamin ada di saku tas.” Wanita itu sepertinya berat melepaskan kepergian Abusono sendirian. Sampai beberapa lama terus melihat ke arah suaminya. 
     “Bapak biasa berangkat pagi-pagi begini?” Mustajab berusaha akrab.
     “Tidak juga. Menghindari bis penuh saja sama anak sekolah sama orang bekerja. Apalagi harus berdiri dan berdesak-desakan.” Abusono tergelak. “Kau tahu, umurku…”
     Lalu mereka diam.
     Tidak berapa lama bis yang mereka tunggu datang dan berhenti. Mustajab memberikan kesempatan lebih dulu Abusono naik bis. Didalam bis, Abusono berjalan ke arah depan. Mustajab duduk di kursi paling belakang dan paling pojok. Baru juga duduk, Abusono menoleh kepadanya dan memberinya tanda untuk duduk disebelahnya yang kosong. Mustajab menurutinya.
     “Temani aku saja,” ujar Abusono. “Aku takut ketiduran dan lupa turun.”
     Aku juga ngantuk, batin Mustajab. “Saya akan bangunkan bapak kalau sampai.”
     “Terimakasih.”
Belum sampai tiga menit, Abusono tertidur. Mustajab sendiri mengatupkan mata, dan menunggu, merasakan ketegangan di otot leher dan punggung serta linu di kaki yang baru dirasakannya. Tidur akan sangat nikmat, apalagi waktu tigapuluh menit sangat cukup baginya sebelum sampai di tempat tujuan. Tapi ia tidak berani melakukannya. Lelaki disampingnya adalah Sam.

(bersambung)

Sunday, April 10, 2011

KISAH 13 PEMBUNUH


inilah film yang merupakan karya penyutradaraan terbaru Takashi Miike; sineas Jepang yang tingkat kepopulerannya di kalangan insan perfilman sudah sangat mendunia. Sineas asal negeri matahari terbit ini sangat terkenal dengan karya penyutradaraannya yang kontroversial karena kecenderungannya untuk menyajikan adegan kekerasan maupun muatan seksual yang ekstrim dan mengejutkan, meski ia juga sudah terbukti piawai menggarapfilm-film yang ‘ramah dan aman dikonsumsi’. Kali ini Miike mengadaptasi ulang film lawas berjudul sama yang dulu diproduksi di tahun 1963.

Pada masa menjelang akhir periode Edo di Jepang, seorang pejabat dari wilayah Akashi; Tosho Mamiya (Uchino) melakukan aksi bunuh diri di depan gerbang Roju bernama Lord Doi (Hira). Seraya melakukan aksinya, Mamiya sempat menuduh penguasa wilayah Akashi; Naritsugu Matsudaira (Inagaki) melakukan tindak kejahatan seperti pembunuhan dan pemerkosaan.

Adapun, Matsudaira sendiri; yang berstatus sebagai adik kandung Shogun bernama Ieyoshi, akan bergelar Roju pada tahun berikutnya. Klan Shogun yang mendengar peristiwa itu merasa terusik dengan kasus itu dan yakin bahwa pemimpin Akashi itu merupakan ancaman serius bagi stabilitas dan kedamaian negeri. Lord Doi kemudian memutuskan untuk melakukan aksi pembunuhan terhadap Matsudaira dengan mengutus seorang samurai; Shinzaemon Shimada (Yakusho) sebagai pengemban mandatnya.

Untuk mensukseskan misinya, Shimada mengumpulkan 11 orang pria, termasuk di antaranya keponakannya sendiri; Shinrokuro Shimada (Yamada) yang sangat menggemari berjudi, alkoholik, dan main perempuan.Rencana pembunuhan itu sampai juga ke telinga kepala samurai kubu Matsudaira; Hanbei Onigashira (Ichimura), yang bertahun-tahun lalu berguru ilmu pedang bersama-sama dengan Shinrokuro, namun perbedaan ideologi antara keduanya, memutus tali pertemanan mereka.

Shinzaemon percaya bahwa peluang terbaik untuk menghabisi Matsudaira ada dengan melakukan serangan mendadak di kota Ochlai, kala sang target kembali dari Edo. Dalam proses menjalankan rencana ini ke-12 samurai ini berjumpa dengan Koyata Saga (Iseya) yang kemudian bergabung menjadi anggota ke-13 mereka.

Saat datangnya melancarkan misi, di luar dugaan mereka, pihak lawan ternyata sudah menyiapkan pasukan samurai beranggotakan lebih dari 200 orang Pertempuran berdarah tak lagi bisa dihindarkan. Karya penyutradaraan Miike ini jalinan kisahnya agaknya bisa membuat para insan perfilman maupun publik sedikit banyak akan teringat pada salah satu karya masterpiece Akira Kurosawa yang berjudul THE SEVENTH SAMURAI. Sebagai informasi di film yang disarati nama-nama kondang dunia perfilman Jepang masa kini ini berhasil menuai sambutan yang menggembirakan dari kalangan kritikus, ketika diputar dalam berbagai festival film internasional.

Starring : Mikijiro Hira, Goro Inagaki, Koji Yakusho, Tsuyoshi Ihara, Takayuki Yamada, Masachika Ichimura, Yusuke Iseya, Ikki Sawamura, Kazue Fukushi, Mitsuki Tanimura, Sousuke Takaoka, Arata Furuta
Directed by : Takashi Muke


TRAILER:

http://www.youtube.com/watch?v=e0xbHPE79kQ

Friday, April 8, 2011

LIMITLESS: JIKA SEORANG PENULIS KEHABISAN IDE


Eddie Morra (Bradley Cooper) seorang penulis yang sedang kehabisan ide, baru putus dari pacarnya. Meski ia sudah tak lagi jadi pecandu kokain namun masa depannya bisa dibilang tak jauh dari kata suram. Sampai ketika Eddie bertemu dengan teman lamanya yang memberinya sebuah obat yang tidak biasa; obat yang mampu mengaktifkan seluruh sel dan kemampuan otak manusia. masa depan Eddie tiba-tiba saja berubah total.Obat itu bernama MTD-48, obat yang konon bisa memacu kerja otak sehingga kita bisa memanfaatkan 100% dari kemampuan otak kita. Ternyata, janji itu bukan sekedar omong kosong. Eddie memang berubah. Ia bisa menulis buku hanya dalam waktu satu hari saja. Ia bisa belajar bahasa asing dalam waktu sangat singkat dan tak ada hal yang tak bisa ia pelajari dalam waktu cepat.

Eddie lantas memanfaatkan kemampuan supernya ini untuk mendapatkan uang dengan cara cepat. Sayangnya, ada orang yang cukup peka untuk melihat kemampuan Eddie ini. Orang itu adalah Carl Van Loon (Robert De Niro) yang kemudian mencoba untuk memanfaatkan kemampuan Eddie untuk keuntungan pribadinya. Celakanya itu bukan satu-satunya masalah Eddie. Masih ada polisi dan sekelompok penjahat yang ternyata juga mengincar Eddie untuk tujuan yang sama.

ide yang baru.

Monday, April 4, 2011

Bunuh Diri Kebudayaan


Ada ungkapan penyair Jerman, Heinrich Heine, ”Di mana mereka membakar buku, ujung-ujungnya mereka akan membakar manusia”. Memang demikian. Memusnahkan teks-teks historikal dan kultural bukan sekadar membakar kertas; untuk mengatakannya dengan mengerikan, ini adalah upaya satu pihak menghapus total pihak-pihak yang dibencinya. Rezim revolusioner Maximilien Robespierre (1793-1794), yang memenggal 16.000 kepala, tercatat menghancurkan dua pertiga dari satu miliar dokumen sejarah Perancis. Menyingkirkan feodalisme Louis XVI diidentikkan menghabisi segala catatan masa lalu.

Contoh serupa, di antara para akademisi Irak, tersebar pandangan pemerintahan George Bush sengaja tak menugaskan tentara menjaga situs-situs bersejarah saat pasukan AS masuk—perlakuan beda terhadap Kementerian Perminyakan.Tank Amerika melabrak masuk Akademi Ilmu Pengetahuan Irak. Penjarah mengikutinya. Sebanyak 170.000 koleksi Museum Nasional Irak, termasuk artefak tulisan-tulisan pertama peradaban manusia, rusak. Lenyap.

PDS Jassin

Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan kabinet Bush, menganggap media melebih-lebihkan kekacauan dan luput mengangkat kebebasan serta demokrasi yang dibawa ke jalanan Irak pascatumbangnya patung- patung diktator Saddam Hussein. ”Keberhasilan militer paling mencengangkan dalam sejarah manusia”—menyitir istilah penyiar berita stasiun FOX yang mendukung invasi itu. Bagi para cendekiawan Irak, itu kekerasan dan penghinaan amat brutal.

Paling jelas, jejak-jejak sejarah bangsa Irak—berbagai peninggalan tak ternilai kunci pembuka episode kehidupan manusia yang masih kabur—takkan pernah kembali. Alasan mengutuk biblioklasme, genosida kebudayaan, perusakan artefak historis amat jelas—apakah misi demokrasi AS yang disokong artileri baja membenarkan pelibasan habis-habisan jejak orang- orang Irak menjadi dirinya? Apa yang lebih sadis dari satu tindakan yang membuat sekian juta pendahulu bangsa itu seakan tak pernah ada atau dilahirkan?

Ada lagi kesadisan serupa yang berpilin keteledoran luar biasa. Tentang dokumen-dokumen historis di Indonesia yang merana di hadapan rencana konstruksi gedung DPR yang spektakuler; tentang artefak-artefak, yang menceritakan apa yang mengonstitusi siapa diri kita kini, yang diabaikan dan terancam punah di hadapan kemewahan elite politik.PDS HB Jassin yang tiba-tiba mencuri perhatian para elite politik adalah puncak gunung es situasi miris pusat-pusat dokumentasi di Indonesia. Liputan Kompas (27/3) memberi nama sejumlah gudang sejarah yang terancam dan mati.

Dicuri negeri asing

Masih banyak halaman gelap sejarah Indonesia. Pertengahan 1960-an salah satunya, yang usai reformasi diembus angin segar penerbitan teks-teks memoar maupun penelusuran historis.Juga periode kerajaan di Kepulauan Nusantara yang memperlihatkan kehidupan maritim yang kosmopolit, terbuka, disangga mekanisme check and balance kekuasaan—di masa jauh sebelum demokrasi. Itu kini gelap dan jauh karena ulah kolonial dan Orde Baru yang memperlakukan Indonesia semata daratan untuk dikuasai terpusat, satu, utuh, melingkar di Jakarta.

Penulisan sejarah pun mengeksklusikan kelompok Tionghoa-Indonesia, menempatkannya semata ancaman perekonomian pribumi atau kesatuan negara. Telaah Claudine Salmon, Pramoedya Ananta Toer, Leo Suryadinata, sebaliknya, mencatat peran signifikan kelompok ini membentuk gagasan keindonesiaan awal abad ke-20, lewat perdebatan di media cetak maupun karya-karya sastra.

Bagaimana jika kilau historis yang tak dapat tempat sepantasnya dalam imajinasi keindonesiaan kita itu hilang karena jamur kertas atau genteng gudang sejarah yang bocor?Tak heran, pada harinya nanti, diri kita tak lagi punya kita. Milik negeri asing, entah Amerika, Eropa, China, atau Arab. Mereka yang mencuri dan menyimpan data terbaik kita. Sementara kita berproses yang tak lebih dari bunuh diri sosiohistoris. Membiarkan sejarah kita hancur bersama waktu.

GEGER RIYANTO Penulis Esai-esai Humaniora; Alumnus Sosiologi FISIP UI; Aktivis Bale Sastra Kecapi

KOMPAS Senin 4 April 2011

Friday, April 1, 2011

SAM (7)

BAB 7



JUN Maher berada dalam sebuah kamar di rumah base camp. Kamar yang akan dipersiapkan untuk menempatkan Abusono atau Sam. Ia menata sendiri letak ranjang, bantal, jenis kasurnya dan seprei serta satu bantal. Ia bahkan memilih sendiri jenis ranjangnya. Sengaja dipilihnya dari jenis besi dan ukurannya single atau hanya untuk satu orang. Di ujung ranjang pada kedua sisinya ia memasang dua buah borgol kaki. Ia juga mengukur letak nakas dan jaraknya dari tempat tidur saat tangan menjangkau sesuatu dari tempat tidur. Jendela adalah kelemahan utama kamar itu untuk meloloskan diri. Makanya ia mematikan kunci jendela kaca itu dan menutupnya dengan kain tebal mirip korden. Ia menjauhkan ranjang dari jendela menghindari jangkauan tangan dan kepala kalau tiba-tiba terjadi tindakan nekat seperti menjebol kaca jendela dengan tangan dan kepalanya. 
     Beny Reza sudah berdiri di pintu kamar itu dan menatap Jun Maher.
     “Ada yang harus saya lakukan?”
     “Oya. Jam duapuluhempat, kau jemput Pak Umar Yusuf ke Pangkalan Udara Wirasaba. Mustajab, kau bawa mobil kedua.”
     “Baik, Pak,” jawab Mustajab.
     “Ada yang sangat penting rupanya.” Beny Reza nampak heran.
     “Hanya mengantarkan seorang dokter buat kita.” Jun Maher menoleh ke Mustajab lagi. “Besok aku butuh satu mobil lagi. Carikan yang bisa lebih lari dari dua mobil yang sudah ada.”
     “Besok saya dapatkan.”
     Kedua lelaki itu pergi begitu saja.
     Lalu masuk Tigor dan melihat apa yang sudah dilakukan Jun Maher dengan kamar itu.
     “Kenapa Tigor?”
     “Bagaimana kalau kita jalan-jalan, Bos?”
     Jun Maher menatap Tigor . “Oke.”
     “Jalan kaki sepertinya menyenangkan.”
     “Ide bagus.”
     Limabelas menit kemudian, Jun Maher dan Tigor sudah berjalan kaki menyusuri pinggir jalan provinsi. Ada rel kereta api peninggalan Belanda di pinggir jalan itu. Lalu lintas sudah mulai sepi. Hanya motor yang mengisi jalan itu dengan jadwal yang tidak padat. Tidak seperti kota besar, jam duapuluh satu sudah sangat sepi. Hampir tidak ada aktifitas orang lagi di jalan. Jadwal hidup orang-orang sudah sangat disiplin. Tenaga mereka bekerja saat siang hari, di istirahatkan total saat malam hari. Kebutuhan delapan jam maksimal tidur terpenuhi.
     Mereka melihat lapangan di seberang jalan dimana nampak rumah Abusono alias Sam juga terlihat sepi dan tidak ada tanda-tanda orang di sekitarnya. Mereka menyeberang jalan dan kemudian duduk di jembatan kecil di sudut lapangan, persis di jalan masuk ke arah rumah Abusono alias Sam. Tigor terus menerus merokok. Jun Maher terus menerus melihat ke jalan raya.
     “Ini terlalu mudah, Bos.”
     “Maksudmu?”
     “Untuk target sebesar ini, sepertinya kita tidak punya perlawanan dan tidak punya lawan.”
     “Aku lebih suka begitu.”
     “Tapi tidak mungkin.”
     “Tinggal sehari semalam. Aku tidak mau ada kesalahan.”
     “Bos percaya target kita sedang tidur didalam rumahnya itu?”
     “Bisa jadi dia sedang mempesiapkan pelariannya berikutnya.”
     “Jadi orang itu benar-benar selalu lari?”
     “Aku yakin begitu.”
     “Tapi kali ini arah larinya tidak masuk akal.”
     “Dia sangat sayang dengan anak lelakinya yang menjadi dokter.” Jun Maher menjelaskan. “Dia mungkin khawatir anak kebanggaannya menjadi dokter di desa kecil di daerah yang jauh.”
     “Jauh dari mana? Perancis?”
     “Bisa jadi.”
     “Tapi kelihatannya orang ini tidak mau kembali.”
     “Mungkin dia betah. Atau bisa jadi dia merasa bahwa dia tidak akan lari lagi karena sudah capek. Lebih dari itu, bisa jadi dia berpikir tidak ada lagi orang yang akan mengenalinya.”
     “Bodoh sekali kalau dia punya pikiran begitu.”
     “Semua itu akan jelas besok malam.” Jun Maher melihat jam tangannya. “Kondisi seperti ini bagus sekali untuk mengambil target.”
     “Kenapa tidak sekarang saja?”
     “Kau pikir kita melakukan pekerjaan amatiran. Ada apa denganmu Tigor, kenapa tiba-tiba otakmu jadi tidak karuan begitu?”
     “Entalah, Bos. Aku merasa tugas kita ini jadi terlalu menegangkan.”
     “Anggaplah kita sedang bersilaturahim dengan saudara disini.”
     Lalu mereka diam.
     Tidak lama mereka meninggalkan tempat itu.
     Saat jam menunjukkan pukul satu dinihari, Umar Yusuf datang bersama seorang lelaki berumur limapuluhlima tahun. Berwajah klimis dan tenang. Rambutnya rapi disisir ke belakang dan matanya tajam. Semua menyambut kedatangan Umar Yusuf dan berkumpul di ruangan dalam yang lebih luas dan lebih tenang. Beny Reza dan Mustajab masuk ke dalam rumah dengan menenteng tas cukup besar. Tas perbekalan berisi senjata.
     “Ini dokter Syahrial Anwar,” kata Umar Yusuf memperkenalkan lelaki yang dibawanya. “Waktu kita semakin sempit. Saya ingin target langsung dibawa ke Jakarta begitu diambil.”
     “Saya ingin target berada disini menunggu situasi,” kata Jun Maher membantah. “Saya tidak ingin membawa bangkai ke Jakarta, Pak.”
     “Aku baru dapat kepastian, CIA dan MI6 turun. Mungkin sekarang mereka sudah disini.”
     “Benar-benar gila ini. Huh.” Tigor Naipospos berseru.
     “Aku bawakan kalian perbekalan untuk persiapan.” Umar Yusuf menunjuk dua tas cukup besar yang dibawa masuk Beny Reza dan Mustajab. “Tapi saya tetap inginkan tidak ada satupun peluru yang keluar. Lingkungan disini kelihatan nyaman dan diam, tapi saat kalian melakukan kesalahan, kalian bisa jadi tidak akan sanggup keluar dari wilayah ini.”
     Tigor mengambil salah satu tas itu dan membukanya. Sebuah senjata otomatis diambilnya dan diperlihatkannya.
     “Dengan senjata macam begini, apakah mereka juga akan tetap berdiri ditengah jalan, Bos?” tantang Tigor menatap Umar Yusuf.
     “Berharap saja kita lebih beruntung kali ini. Ada pertanyaan?”
     Tidak ada pertanyaan.
     “Saya datang hanya ingin memberi kalian keyakinan, bahwa yang akan kalian tangkap adalah sebuah sejarah. Lakukan dengan benar tanpa ada kesalahan. Selamat malam.”
     Umar Yusuf langsung pergi meninggalkan ruangan itu.
     Jun Maher mengikutinya.
     Sampai diluar rumah, seorang lelaki berbadan tinggi besar menunggu disamping mobil. Pengawal Umar Yusuf.
     “Kapan kau ambil dia, Jun?”
     “Besok malam.”
     “Lakukan dengan benar. Ini bisa jadi taruhan karir kita.”
     “Maksud Bapak?”
     “Setelah kasus ini selesai, aku mau pensiun, Jun.” Umar Yusuf memandang Jun Maher serius. “Sudah terlalu lama aku memegang DIK. Dan kau yang aku harapkan menggantikan posisiku.”
     “Saya yakin Presiden akan mengambil dari angkatan.”
     “Mungkin iya, mungkin tidak…..tergantung kekuatan siapa yang mampu mempengaruhi keputusan Presiden, dan itu jelas bukan aku.”
     “Hati-hati, Pak.”         
     Umar Yusuf tersenyum dan kemudian masuk ke dalam mobil. Beny Reza sudah masuk ke belakang setir. Pengawal Umar Yusuf masuk kedalam mobil sebelah kiri depan. Jun Maher masuk ke dalam rumah.
     Lalu sepi.
     Malam itu berlalu tanpa ada kejadian yang berarti.  
(bersambung)