Friday, November 30, 2012

MAS KAREBET 3

 BAB 3



DI pinggiran pedukuhan Karangsaga, hari sudah gelap dan mendekati tengah malam. Tapi Karta dan Istrinya sedang menuju sungai yang ada di pedukuhan itu. Sungai pedukuhan yang lebar dan airnya tenang. Pada siang hari saja sungai itu akan menyeramkan, apalagi saat malam hari. Itu sebabnya, istri Karta terus mengeluh. Meskipun Karta membawa obor sambil menggandengnya.
     "Apa sih maksudnya harus mencuci kain malam-malam begini, Kang?"
     "Jangan mengeluh begitu, ini kan syarat yang diberi mbah dukun," Karta meyakinkan istrinya. " Yang penting kita bisa punya anak."
     "Iya tapi kalau syaratnya aneh-aneh begini, masa juga kita jalani." Istri Karta tetap ngotot. "Bukannya dapat anak, kita malah bisa dianggap gila sama tetangga."
     "Jangan ngomel terus, kamu cuci saja kainnya."
     Dengan rasa takut yang ditahankan, Istri Karta jongkok diatas bambu-bambu yang menjorok ke tengah sungai untuk mencuci kain-kainnya. Ia sering ke sungai itu dan mencuci, tapi itu dilakukannya siang hari dan banyak temannya. Tapi yang ia lakukan sekarang adalah syarat dari dukun yang membantunya untuk bisa mempunyai anak. Mereka sudah menikah lebih dari lima tahun tapi belum juga dikarunia seorang anak pun. Mereka sudah berobat ke dukun mana saja dan menuruti semua syarat-syarat anehnya. Tapi hasilnya masih tidak ada. Sampai kepada dukun yang terakhir ini, yang menyarankannya untuk mencuci semua kain yang dipakainya saat tengah malam menjelang.
     Istri Karta menjerit tertahan.
Karta sigap memeganginya. "Ada apa, Nyai?"
     "Sepertinya ada sesuatu di air, kang," kata Istri Karta menunjuk ke arah tengah air.
     Karta melihat ke arah air yang nampak tenang. "Tidak ada apa-apa."
     "Aku takut, Kang."
     "Tidak ada apa-apa."
     Istri Karta jongkok lagi. Tapi belum juga sempurna duduknya, dari dalam air muncul kepala seekor buaya besar dengan mulutnya yang menganga lebar dan bergigi runcing. Istri Karta menjerit di kerongkongan. Dalam kedipan mata, buaya besar itu sudah mencaplok kepala istri Karta dan menariknya ke dalam air sungai yang gelap. Karta bukannya tidak tahu ada seekor buaya muncul, tapi ia terlambat melakukan sesuatu untuk menolong istrinya. Kekagetannya membuat refleknya tidak muncul seketika. Ia baru bergerak ketika istrinya telah lenyap didepan mata kepalanya sendiri. Lenyap ditelan buaya sungai.
Karta menjerit dan menangis.
Ia seorang laki-laki, tapi apa yang dilihat didepan matanya adalah kejadian yang memilukan hatinya. Segarang apapun laki-laki, tapi melihat besarnya buaya itu, pasti akan ketakutan juga. Karta harus menangis. Menangis ketakutan dan ketidakberdayaannya untuk menolong istrinya. Dan kata yang terakhir ia ucapkan adalah, " Ya Allah….!"
***
Penduduk pedukuhan Karangsaga berdatangan ke halaman kelurahan.
Bahkan bukan hanya penduduk Karangsaga, tapi dari beberapa pedukuhan tetangga. Nampak juga beberapa pendekar yang entah datang dari mana asalnya. Ki Lurah Warno sebagai pemimpin tertinggi pedukuhan mempunyai tanggung jawab atas keselamatan warganya. Memang ada Jagabaya sebagai kepala keamanan pedukuhan. Tapi yang terjadi di Karangsaga sekarang bukan kejadian biasa. Menghadapi buaya yang begitu besar bukanlah pekerjaan para penduduk yang kebanyakan sebagai petani. Ini sudah harus melibatkan orang yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi. Itulah sebabnya, setelah Ki Lurah Warno bermusyawarah dengan para tetua pedukuhan, akhirnya diambil keputusan untuk mengadakan sayembara.
     Biasanya sebuah sayembara akan memberikan hadiah yang begitu menggiurkan. Hadiah terbesar dari sayembara adalah seorang gadis yang akan dikawinkan apabila seorang peserta sayembara memenangkannya. Hal itu yang menyebabkan kebanyakan peserta adalah laki-laki dan hampir tidak pernah ada peserta sayembara perempuan.
     “Saudara-saudara, pedukuhan Karangsaga sekarang berada dalam keadaan bahaya karena ulah buaya sungai yang terus membuat kita tidak bisa tidur,” Ki Lurah Warno memulai pidatonya dihadapan ratusan orang yang memadati halaman kelurahan. “Saya sebagai pemimpin disini mengumumkan sayembara. Barangsiapa yang mampu membunuh buaya sungai itu, kalau perempuan akan saya angkat sebagai anak, dan kalau laki-laki saya akan jadikan menantu saya, menikah dengan Roro Anteng.”
     Setelah itu muncul seorang gadis yang belum genap berusia duapuluh tahun, berkulit bersih dan berwajah manis dengan rambut panjang. Nampak lebih dewasa daripada umurnya. Ki Lurah Warno merangkul gadis itu.
     “Inilah Roro Anteng anak saya.”
     Untuk warga pedukuhan Karangsaga, Roro Anteng adalah gadis yang istimewa. Bukan hanya karena memang cantik secara fisik, akan tetapi juga karena ia anak lurah. Sebuah jabatan paling tinggi di pedukuhan. Menjadi menantu ki lurah berarti menaikkan derajat kehidupannya. Baik moril maupun materiil. Bagi pendatang menjadi kebanggaan bukan main. Bahkan ibarat mimpi menjadi kenyataan.
     Seorang pemuda yang membawa sebuah tombak maju ke depan. Bajunya menunjukkan sebagai seorang pendekar. “Saya akan bawa buaya itu sore ini juga, Ki Lurah!”
     Semua orang menoleh kepada pemuda itu.
     “Nama saya Tunggul, dari lembah Serayu.”
     “Kau datang dari jauh, anak muda. Apa tidak lebih baik istirahat lebih dulu?”
     “Saya tidak sabar menjadi menantumu, Ki Lurah!” Mata Tunggul menatap kepada Roro Anteng dengan penuh birahi.
     “Baiklah kalau kau memaksa.”
     Tunggul kemudian berbalik pergi meninggalkan kerumunan penduduk itu. Seperti mempunyai daya tarik, hampir semua penduduk mengikuti pemuda itu pergi. Tujuannya pasti hanya menuju sungai dimana terdapat buaya pemangsa manusia itu. Dari semua orang-orang yang berkumpul di halaman itu, hanya Tunggul yang bicara lantang. Masih ada beberapa pendekar yang lain, tapi mereka lebih banyak berdiam diri.
     Bagi warga pedukuhan Karangsaga, sungai yang mengalir di pedukuhan mereka adalah sumber kehidupan. Disamping untuk mengairi sawah-sawah, sungai juga diambil pasirnya, diambil batunya dan diambil ikannya. Semua bermanfaat. Tapi sejak munculnya buaya pemangsa, semua kegiatan warga di sungai itu berhenti sendiri. Setiap anak dicegah bermain oangtuanya di sungai. Setiap perempuan tidak berani lagi mencuci dan mandi di sungai. Setiap laki-laki tidak lagi berani mengambil pasir di sungai. Sampai kepada kejadian yang menggembarkan warga saat istri Karta menjadi korban terakhir keganasan buaya sungai itu.
(bersambung)

MAS KAREBET 2

 BAB 2


SEBELUM benar-benar meninggalkan bukit Telomoyo, Karebet hendak berpamitan kepada Mbah Marjo. Lelaki tua yang selalu berada di warung makannya yang sederhana. Letaknya di pojok jalan yang menghubungkan daerah-daerah perdagangan di sekitar wilayah gunung Tidar. Hampir semua pedagang yang melewati jalan itu, tahu kelezatan makanan racikan Mbah Marjo. Langganan warungnya bukan saja para pedagang yang lewat, tapi juga para pengembara. Karebet bukan orang yang suka menonjolkan diri, tapi pertamakali datang ke warung itu, ia disambut Mbah Marjo seperti orang yang lama ditunggunya.
     Karebet baru mengerti setelah Mbah Marjo bercerita bahwa selama tiga malam berturut-turut bermimpi bertemu dengannya. Sebuah cara bertemu yang aneh. Ia dan Mbah Marjo tidak mempunyai hubungan persaudaraan. Ia bahagia bisa akrab dengan lelaki tua itu, tapi tidak mau karena keakraban itu, setiap makan jadi gratis. Justru Mbah Marjo yang menolak habis-habisan. Lelaki tua itu mengatakan bahwa bertemu dengan Karebet adalah suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa yang tidak dimilikinya saat berhubungan dengan orang lain.
     “Saya harus pulang, Mbah.”
     “Sudah selesai tapamu, Ngger?”
     “Saya bermimpi aneh, Mbah.”
     “Apakah mimpi itu mengharuskan Angger pulang?”
     “Sejak mimpi itu, saya tidak pernah bisa tidur.”
     Angger ingin tahu arti mimpi Angger?”      
     “Mbah Marjo tidak ingin tahu mimpi saya?”
     “Mimpi yang sangat mengganggu, pastilah bukan mimpi biasa. Seperti dulu aku bermimpi tiga malam bertemu Angger,” Mbah Marjo menata nafasnya, lalu melanjutkan, “Ada seseorang yang mungkin bisa membantumu, Ngger.”
     “Siapa mbah??
     “Di pedukuhan Mangli, Kanjeng Sunan Kalijaga sedang memberikan wejangan agama. Datanglah kesana dan temuilah beliau, mimpi Angger akan ditafsirkan beliau dengan gamblang.”
     Karebet pernah mendengar nama Sunan Kalijaga disebut beberapa orang penduduk desa yang ia singgahi dalam mengembara, juga pedagang keliling dan pengembara yang ditemuinya. Sepertinya Sunan kalijaga berada dimana-mana. Dan sekarang Mbah Marjo menyuruhnya menemui orang yang sering didengarnya sebagai juru dakwah agama islam itu. Apakah benar orang itu bisa menafsirkan mimpinya? 
     “Saya sering mendengar nama Sunan Kalijaga.”
     “Yah, temuilah beliau, Ngger. Temuilah.”
     “Bagaimana saya bisa tahu, Sunan Kalijaga masih di pedukuhan Mangli saat saya datang?”
     Ngger, Sunan Kalijaga memang manusia, tapi beliau itu Waliullah. Beliau itu  weruh sak sedurunge winarah.”
     Karebet sering juga mendengar kalau Sunan Kalijaga mampu menaklukan jawara-jawara di tempat-tempat yang baru di datanginya, yang menantangnya karena ia berdakwah islam. Itu saja sudah membuktikan bahwa orang itu mempunyai ilmu kanuragan tinggi. Tapi weruh sak durunge winarah adalah sesuatu yang sangat langka yang bisa dimiliki seseorang. Hanya orang-orang dengan tingkat keilmuan batin yang tinggi yang mampu melihat sesuatu sebelum kejadian. Tapi bagaimana Mbah Marjo bisa memastikan saat sekarang Sunan Kalijaga masih berada di pedukuhan Mangli yang letaknya di lereng gunung Andong. Padahal jaraknya cukup jauh dari tempatnya?
     Ia tidak pernah bertanya kepada siapapun perihal Mbah Marjo. Karena baginya Mbah Marjo hanya lelaki tua yang memilik sebuah warung makan pinggir jalan di sebuah persimpangan yang ramai di lalui orang. Ia hanya mengagumi kecerdasan Mbah Marjo memilih lokasi yang tepat untuk berdagang. Tapi Mbah Marjo seperti kenal baik dengan Sunan Kalijaga, bahkan bisa mengetahui kalau Sunan Kalijaga mampu mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Karebet ingin sekali bertanya, tapi melihat ketulusan Mbah Marjo selama ini memberinya semangat, sering memberinya makan gratis, ia tidak tega melukai hati seandainya pertanyaannya akan membuatnya tersinggung.  
     Karebet memeluk Mbah Marjo. Erat dan mulai merasakan dadanya bergemuruh. Lelaki tua ini telah memberinya ketenangan batin saat ia membutuhkan semangat. Ia langsung berbalik pergi. Ia tahu bibit air mata sudah menggenang di sudut mata tua Mbah Marjo. Seperti peprisahan seorang kakek dengan cucu kesayangannya.
     Lengkap sudah pengalaman yang didapatnya selama di bukit Telomoyo. Sebuah mimpi yang aneh dan sebuah persahabatan yang aneh pula. Sekarang ia harus ke pedukuhan Mangli. Letak pedukuhan itu ia tahu jauh. Bahkan mungkin malam hari ia baru sampai di pedukuhan itu. Tapi petunjuk Mbah Marjo seperti sebuah perintah gaib.
     Dan keanehan itu terbukti lagi. Belum seperempat hari perjalanan, Karebet melihat sebuah tugu batu pedukuhan bertuliskan Mangli. Ia benar-benar tidak percaya. Tidak mungkin jarak kaki bukit Telomoyo begitu dekat dengan pedukuhan Mangli yang berada di lereng gunung Andong. Ia tahu persis jalan yang akan dilaluinya menembus hutan belantara dan berliku. Pedukuhan Mangli berada di atas ketinggian. Ia harus memutari punggung bukit Telomoyo terlebih dahulu sebelum melewati jalan yang menuju gunung Andong. Jalur yang dilewatinya juga bukan jalur perdagangan. Bahkan untuk seorang pengembara, jalan yang ditempuhnya sering di hindari.
     Tapi sekarang ia sudah di depan tugu pedukuhan Mangli. 
Saat Karebet masih dihinggapi segenap keheranan, beberapa pedagang sambil memikul sisa dagangannya, berjalan keluar pedukuhan dan terdengar terlibat berbincang.
     “Semakin enak ya wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga.”
     “Iya. Hati ini jadi adem.”
     “Aku makin mantap masuk agama islam.”
     “Tapi aku masih belum mengerti soal sembahyang lima waktu. Gunanya apa ya?”
     “Sampeyan baru dua kali ikut wejangan, nanti juga ketemu jawabannya.”
     Karebet memberanikan diri mencegat mereka.
     Nuwun sewu….”
     Mereka berhenti. Seorang pemuda berbaju lusuh dan gagah menghentikan langkah mereka dengan bahasa yang halus. Sikap sopan Karebet membuat mereka juga jadi sopan.
     “Dimana Sunan Kalijaga memberi wejangan?”
     “Sudah selesai dari tadi.”
     “Sudah selesai?”
     “Kanjeng Sunan Kalijaga juga sudah pergi.”  
     “Pergi kemana?”
     “Tidak tahu. Beliau itu datang dan pergi tidak ada yang tahu. Seperti hantu.”
     Kaki Karebet jadi lemas dan terduduk dekat tugu pedukuhan. Perjalanannya yang jauh bisa dilewatinya dengan cukup singkat, bahkan masih memberikannya tanda tanya. Tapi tetap saja ia terlambat. Ia tidak bisa mengerti dengan waktu yang sedang terjadi dengan dirinya. Waktu yang seharusnya ditempuh masih lebih lama sampai di pedukuhan Mangli, tapi ia seperti melakukan perjalanan gaib. Ia juga yakin Mbah Marjo tidak akan memberikan petunjuk yang salah.
     Nuwun sewu, Kisanak yang bernama Karebet?”
     Seperti disambar petir di siang bolong, Karebet menatap seseorang yang mendadak sudah mendatanginya. Orang itu berdiri sambil membawa pikulan dagangannya. Siapa lelaki ini?
     Nuwun sewu, benar Kisanak bernama Karebet?” Lelaki itu mengulangi lagi pertanyaanya dengan pandangan yang tidak yakin.
     “Ya-saya Karebet…..”
     “Ini saya dapat amanat menyerahkan layang…”
     Karebet menerima surat berupa gulungan kulit kerbau. Lelaki itu terus pergi begitu saja. Karebet masih dihinggapi bingung, tapi ia harus bertanya.
     “Kisanak, dari siapa surat ini?”
     Lelaki itu berhenti dan berbalik. “Dari kanjeng Sunan Kalijaga.” Lalu pergi tergesa tanpa menoleh, sepertinya takut akan ditanya lagi.
     Kali ini kepala Karebet benar-benar penuh pertanyaan. Terlalu banyak keanehan, terlalu banyak kebetulan, dan terlalu banyak petunjuk-petunjuk aneh. Siapa yang harus menjawabnya? Ia diam beberapa saat untuk memulihkan kesadarannya. Sepanjang ia mengembara untuk bertapa dan menyepi, baru kali ia mengalami kejadian yang luar biasa tidak masuk akal. Ia sering melihat kemunculan makhluk menyeramkan dan mengerikan saat bertapa, dan ia merasa masih menganggap hal yang wajar. Ia juga pernah bertemu berbagai macam pendekar dengan ilmu yang mengagumkan.
     Tapi yang dialaminya sekarang luar biasa.
Ia tidak tahu berapa lama sampai keberaniannya muncul untuk membuka surat yang terbuat dari kulit kerbau itu. Tulisannya jelas dan mudah dibaca.
     “Pulanglah ke Ibumu. Turutilah nasehatnya. Adapun soal mimpi yang kau dapatkan di bukit Telomoyo itu membawa suatu pesan gaib dari Allah Subhanahuwata’ala. Kelak, suatu saat yang akan sampai waktunya, kau akan menjadi seorang Khalifah, seorang pemimpin.”     
     Tidak ada nama Sunan Kalijaga dibawahnya.
Karebet tidak peduli itu.
Tapi isi surat itu.
Haruskah ia mempercayainya?
Ia merasa mau pingsan.

(Bersambung)

Thursday, November 29, 2012

MAS KAREBET 1

Pengantar 
Mulai hari ini saya akan menghadirkan cerita silat berjudul Mas Karebet. Cerita ini berdasarkan skenario sinetron serial Jaka Tingkir yang pernah di tayangkan televisi RCTI selama beberapa tahun. Tentu saja ini ditulis berdasarkan buku sejarah seperti Babad Tanah Jawa, selebihnya adalah hasil khayalan sendiri. Jaka Tingkir atau Mas Karebet adalah sejarah. Menafsirkan sebuah sejarah masa lalu dengan data yang terbatas dan masih bisa di perdebatkan kebenaranya, menjadi subyektif sekali. Jadi kalau ada pihak yang tidak berkenan atas tafsiran saya, mohon di beri maaf. Terimakasih.

 
Thole, kamu jangan suka ke gunung.
Ketahuilah, orang yang bertapa di gunung itu kafir,
tidak mengikuti agama kanjeng Nabi.
Lebih baik kamu berguru kepada orang mukmin.

- Nyai Ageng Tingkir
 
 
 
BAB 1


HANTAMAN udara dingin mendera bukit Telomoyo, menyelimuti pepohonan yang lebat dan diam seperti batu purba. Hembusan angin pagi yang lembut menggoyangkan  pucuk-pucuk pepohonan, menjatuhkan embun sisa dini hari menuju bumi. Beberapa burung beterbangan kesana kemari seperti ingin mengusir dinginnya udara pagi. Sudah sejak subuh Karebet bangun dari tidurnya dan terus terjaga sampai matahari muncul di timur jauh sana.
     Ia bermimpi.
     Ia yakin semua orang penah bermimpi dalam tidurnya. Orang bermimpi dalam tidur bukan sesuatu yang aneh, karena bisa terjadi setiap hari dan terjadi pada siapa saja. Ia juga sering bermimpi. Tapi mimpinya kali ini berbeda. Ia sudah tiga kali bermimpi dan mimpinya sama. Ia tidak bisa menebak apa arti mimpinya. Diluar mimpi sebagai bunga tidur, mimpi mempunyai arti buat ahli tafsir. Sayangnya ia tidak kenal dengan seseorang yang pekerjaannya sebagai ahli tafsir mimpi.
     Mimpi itu melekat di kepalanya.
     Sudah lebih dari empat puluh malam ia menyepi dan bertapa di bukit Telomoyo. Ini waktu yang cukup lama ia bisa berada di satu tempat untuk bertapa. Biasanya tidak lebih dari duapuluh lima hari ia berada di suatu tempat untuk menyepi. Kadang tergantung tempatnya untuk menyepi. Ada tempat dimana ia bisa merasakan ketenangan batin luar biasa. Itu akan membuatnya lama bertapa di tempat itu. Tapi pernah baru tiga hari berada di suatu tempat, ia memutuskan pergi karena di dalam hatinya tidak cocok, meskipun tempat itu banyak orang bertapa dan dianggap keramat.
Kebiasaannya bertapa dan menyepi sudah dijalaninya sejak ia berumur limabelas tahun. Itu saja ia merasa terlambat karena Ibunya sudah tidak bisa mencegah keinginannya untuk menyepi dan bertapa. Ia tidak tahu kenapa ia lebih suka menyepi dan bertapa daripada berada di rumah dan ikut mengurus perdagangan Ibunya. Ia hanya mengikuti panggilan hatinya. Barangkali aneh karena ia hidup dengan lebih berkecukupan. Ibunya adalah orang terkaya di desa Tingkir dan itu membuatnya bisa mewujudkan keinginannya dalam bentuk apapun. Menjadi anak seorang saudagar jauh lebih terkenal daripada menjadi anak seorang Lurah. Bahkan dengan kebesaran nama Ibunya, nama desa Tingkir telah disandangnya. Nama yang juga akhirnya dipakainya sejak ia tiba di desa itu. Ia tidak pernah tahu persisnya, tapi nama aslinya telah disembunyikan dan digantikan dengan nama Jaka Tingkir.
Karebet tidak pernah mempersoalkan namanya. Hanya Ibunya yang memanggilnya dengan nama aslinya, meskipun Ibunya sendiri yang memberikan nama Jaka Tingkir kepadanya. Ia tidak tahu kenapa dan ia tidak peduli benar sebabnya. Dengan kegiatan dagang Ibunya yang sibuk, ia sama sekali tidak tertarik. Ia jauh lebih tertarik pergi ke sawah dan duduk di dalam gubuk ditengah sawah. Melihat hamparan padi seperti melihat hamparan nyawa manusia yang bergantung pada padi-padi itu.
Diantara itu semua ia jauh lebih suka mengembara dan mencari tempat sepi untuk bertapa dan memperdalam ilmu batinnya. 
     Pada malam ke empat puluh itu, Karebet bermimpi untuk ketiga kalinya. Sebuah rembulan jatuh ke atas dirinya diikuti bunyi halilintar bersahut-sahutan dan memenuhi bukit Telomoyo. Beberapa saat ia harus berdiam diri untuk menenangkan dirinya dari kejadian yang baru saja dialaminya. Ia tahu persis itu sebuah mimpi. Tapi ia  merasakannya sebagai kejadian nyata.
     Berpuluh bahkan mungkin ratusan tempat sudah pernah ia datangi untuk menyepi dan bertapa. Tapi hanya di bukit Telomoyo ini ia mengalami kejadian luar biasa. Karena terus menerus mimpi itu melekat di kepalanya, ia tidak bisa lagi tidur. Akhirnya ia putuskan tidak bisa bertahan lebih lama lagi di tempat itu.
     Ia harus pulang.
     Ia ingin mencari jawab atas pertanyaan mimpinya itu. Kalaupun Ibunya tidak mengerti akan arti mimpinya, pasti akan dicarikan seorang pintar ahli tafsir mimpi untuk mengutarakannya. Disamping itu rasa kangen dengan ibunya yang sangat ia hormati dan sayangi. Meskipun ia tahu Nyai Ageng Tingkir hanyalah Ibu angkatnya.
     Ia hanya ingat Nyai Ageng Tingkir adalah ibunya yang memberikan kasih sayang penuh. Meskipun di hari kemudian ia mengetahui bahwa Nyai Ageng Tingkir hanya seorang Ibu angkat, tapi rasa hormat dan sayangnya tidak berubah. Ia merasa menjadi anak paling beruntung karena mendapatkan kasih sayang dari orang yang tepat. Lebih dari itu, ia mendapat kelimpahan materi, meskipun ia tidak pernah menggunakannya untuk kesenangan pribadinya. Ia merasa dunianya adalah dunia mengembara untuk mencari ilmu kanuragan dan ilmu kesaktian. Dan ibunya tidak pernah memaksanya untuk mengikuti kemauannya dalam hal berdagang. Karebet merasa begitu bahagia karena diberi kebebasan memilih. 
     Sampai di kaki bukit Telomoyo, Karebet berhenti. Menoleh kembali ke puncak bukit yang sepi itu. Sering ia tidak mengerti bisa betah di tempat sepi dan jauh dari keramaian seperti ini. Tapi panggilan hatinya membuatnya harus selalu berjalan mencari tempat dimana ia bisa menyepi dan menemukan dirinya yang sebenarnya. Dalam keheningan, ia menemukan kedamaian. 
(Bersambung)

Wednesday, November 28, 2012

SURAT IJIN MEMBUNUH


Ia sedang membersihkan popor senapan ketika handphone-nya berbunyi. Seperti biasa ia segera membaca pesannya. Isinya juga biasa: ada deal jam lima. Janji rutin, pekerjaan rutin. Ia kembali melanjutkan pekerjaan membersihkan popor, lalu diteruskan membersihkan laras dan terakhir membersihkan teleskopnya. Benda itulah yang selalu memberinya pekerjaan tetap sebagai penembak jitu bayaran.
     Ia selalu menonton film-film Amerika yang mempertontonkan kehebatan pasukan SWAT atau para sniper-nya. Ia juga menyukai film jenis spionase dan film James Bond adalah kesukaannya. Saya merasa dunia saya adalah dunia eksklusif. Ia telah dilatih dengan berbagai keahlian ketika dulu menjadi anggauta pasukan khusus. Ia dituntut bisa menghadapi lawan yang paling tangguh sekalipun. Ia bangga dengan pekerjaan yang langka ini. Banyak teman-temannya setelah keluar dari dinas militer melakukan pekerjaan seperti dirinya. Ia tidak punya pesangon dan ia juga tidak bisa membiarkan dirinya kelaparan karena tidak punya pekerjaan. Rasanya juga menyedihkan dirinya yang dilatih menjadi mesin pembunuh, tidak bisa mencari makan dengan layak. Sampai kepada kebulatan tekadnya untuk menjadi pembunuh bayaran.
     Entah sudah berapa ratus nyawa melayang dari bidikan senapannya. Jam terbangnya boleh dibilang spektakuler. Tapi ia tidak pernah mencatatkan dalam buku setiap order yang diterimanya. Ia melakukan pekerjaan, bukan hobby yang lebih banyak unsur kesenangannya. Tugas terakhirnya adalah di Aceh selama beberapa bulan, sampai ia diperintahkan kembali setelah diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus  Nangroe Aceh Darussalam. Beberapa waktu setelah pulang dari Aceh, ia merasa muak dengan pekerjaannya. Seperti dulu setelah ia bertugas di Timor Timur sebagai serdadu dan terlibat dalam operasi khusus menumpas pemberontak bersenjata. Sampai ia memutuskan desersi.  Apa yang dilakukannya di Aceh, tidak berbeda dengan yang dilakukannya di Timor Timur. Tapi sekarang ia tidak berpikir untuk pensiun dari pekerjaannya.
     Ia pernah ditawari bekerja tetap sebagai pengawal pribadi seorang konglomerat yang sedang tersangkut masalah korupsi. Bayarannya gede dan diberi berbagai fasilitas.Tapi ia menolaknya. Ia lebih suka bekerja freelance. Tidak terikat oleh aturan apapun karena ia tidak suka diatur. Ia menikmati hidup sendiri tanpa dipusingkan dengan berbagai masalah keseharian seperti dalam sebuah keluarga. Makanya ia tidak berpikir untuk beristri. Sedangkan orangtua dan  saudaranya yang hampir semuanya berada di Sumatra, hanya mengetahui ia bekerja di sebuah perusahaan cleaning service. Tapi ia merasa memang itulah pekerjaannya. Ia hanya tukang membersihkan. Ia menerima order, melakukan pekerjaan dan menerima bayaran.
     Ia masuk barbershop itu. Pemiliknya sedang membersihkan lantai dari gumpalan rambut yang berserakan bekas orang memotong rambut. Terdengar musik jazz mengalun. Dari dulu ia berpikir kalau selera pemilik barbershop ini tinggi juga. Biasanya tukang cukur berasal dari tanah Sunda dan musik yang selalu di dengarnya musik Sunda. Tapi ini jazz.  Penikmat jazz biasanya kalangan tertentu. Orang yang merasa hidupnya telah mapan dan untuk itu membutuhkan musik yang bisa menenangkan jiwanya. Lembut dan tidak mendayu-dayu. Tempatnyapun harus tertentu. Di café atau ruang-ruang khusus. Begitulah jazz.
     Tapi ia sedang tidak begitu peduli dengan jazz, karena ia memang tidak menyukai musik jazz. Ia duduk disebelah laki-laki botak berkumis yang sedang membaca koran sore yang menyajikan headline: PAPUA TENANG SETELAH KUNJUNGAN PRESIDEN. Ia menyalakan sebatang rokoknya dan begitu saja bicara, "Aku ada permintaan."
     "Katakan saja."
     "Ada yang mau aku bicarakan."
     "Biasanya kamu ambil amplop dan terus pergi. Tidak pernah bicara." 
     "Tapi sekarang aku mau bicara."
     "Disini saja."
     "Aku mau ditempat sepi."
     "Disini juga sepi."
     Ia mendengus. "Aku butuh surat ijin."
     "Surat ijin apa?"
     "Surat ijin membunuh."
     Laki-laki botak berkumis itu menurunkan korannya. Jidatnya yang bersinar itu berkerut-kerut seperti lipatan kertas. "Mana ada surat seperti itu."
     "Selalu ada."
     "Buat apa."
     "Semua sedang berubah.”
     “Tidak ada yang berubah.”
     “Semua bisa di sentuh sekarang. Aku tidak mau mati konyol.”
      “Tidak ada surat begituan.”
     "Bapak kan tinggal minta."
     "Sinting."
     Laki-laki botak berkumis itu pergi dengan dongkol. Tapi ia tak peduli. Ia membuka laci meja disampingnya dan mengambil amplop besar dan segera ngeloyor pergi. Lalu jalan-jalan mencari makan malam. Setelah itu ia harus mencari film baru. Ia tidak pernah menonton film di bioskop tapi selalu membeli DVD. Hanya itu kesenangan yang bisa didapatkannya. Ia bisa saja pergi ke bar dan minum atau ke tempat pelacuran untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Tapi ia tidak mau melakukan pekerjaan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia itu. Ia  memang bukan orang suci, tapi ia harus selalu terus menerus waspada menjaga diri karena nyawanya setiap saat bisa terancam oleh musuh-musuhnya atau orang-orang yang tahu siapa dirinya sesungguhnya.
     Makanya sekarang ia sangat membutuhkan surat ijin membunuh itu. Ia akan berangkat ke Papua. Paling tidak, ia bisa menjalankan pekerjaannya dengan lebih tenang dengan surat itu ditangannya. Seperti halnya James Bond. Ya, hanya James Bond 007 yang mempunyai ijin membunuh. Bahkan agen CIA atau Mossad atau KGB tidak ada yang mengantongi ijin itu. Sekarang kalau ia berhasil mendapatkan surat ijin itu, maka ia orang kedua didunia yang mempunyai ijin membunuh. Bahkan mungkin pertama didunia karena ia dilengkapi dengan surat yang menandakan sahnya pekerjaan yang dilakukannya.
     Sesampai di rumah, ia buka amplop besar itu sambil menyalakan televisi yang menayangkan acara berita. Isi amplopnya bertambah satu. Biasanya berisi kertas kerja dan foto-foto, tapi sekarang tiket pesawat sudah dipersiapkan dengan tujuan Papua. Di televisi seorang pembawa berita  yang cantik berambut pendek berkacamata dengan suara merdu berkata, "Kunjungan Presiden ke Papua diharapkan mampu mempercepat proses penyelesaian konflik di wilayah itu, termasuk sekembalinya Presiden ke Jakarta….."
     Handphone-nya berbunyi, di bacanya sms: Datanglah jam sebelas di Jaksa. Rupanya permintaaannya sangat cepat di proses. Barangkali karena pekerjaan yang akan dilakukannya sangat serius kali ini. Ia mematikan televisi yang sedang menayangkan berita tewasnya seorang Kapolsek dan anggota-nya yang di bunuh oleh kelompok yang tidak diketahui. Ia segera mencari taksi karena ingin segera sampai. Biasanya ia berjalan kaki. Disamping lebih aman, juga bisa menjadikannya sebagai olahraga sehat.
     Ia minta berhenti di ujung jalan Jaksa dan meneruskannya dengan jalan kaki. Jalanan sudah sepi. Hanya beberapa orang nongkrong di warung rokok. Beberapa bule masih terlihat jalan-jalan. Ia masuk ke sebuah café. Hanya ada beberapa orang bule yang sedang minum bir. Ia melihat laki-laki botak berkumis yang duduk sendiri di sudut ruangan sedang merokok dan didepannya ada sebotol bir lokal. Ia tidak pernah melihat laki-laki botak berkumis itu merokok. Wajahnya kelihatan tegang.
     Baru saja ia duduk, laki-laki botak berkumis itu sudah bicara, "Permintaanmu ditolak."
     "Aku juga menolak order itu."
     "Kamu tahu risikonya kalau menentang."
     "Makanya berikan saja surat itu."
     "Jaga suaramu."
     "Biarin saja. Bagaimana?"
     "Mana ada surat begituan di dunia ini."
     "James Bond punya."
     "Itu kan cuma film."
     "Anggap saja kita sedang main film."
     "Dasar gila."
     Laki-laki botak berkumis itu pergi dengan geram. Tapi ia tak peduli. Ia merasa harus aman dan tenang menjalankan pekerjaannya. Setelah minum susu panas, ia segera pulang dan tidur.
***
     Seperti biasa, jam setengah lima bangun, berolahraga, memasak, nonton berita di televisi, mandi dan sarapan pagi sambil menunggu handphone-nya berbunyi. Tapi handphone-nya tidak berbunyi sampai jam sembilan. Meskipun begitu ia tetap berkemas. Hari ini ia harus berangkat ke Papua sesuai tiketnya. Kalau sampai batas waktu ia berangkat surat ijin membunuh belum juga diterimanya, ia tetap tidak berangkat. Apapun yang terjadi, ia akan menolak pekerjaannya kali ini. Bahkan mungkin ia akan berpikir untuk pensiun. Tapi pasti akan merepotkan kalau ia berhenti dari pekerjaannya. Banyak pihak yang akan memburunya sebagai musuh. Makanya ia selalu menyimpan uang hasil pekerjannya agar suatu saat bisa hidup di suatu tempat yang tidak bisa disentuh oleh orang-orang yang pernah disakitinya.
     Handphone-nya berbunyi: Aku tunggu di tempat biasa. Ia melihat jam dan masih tersisa beberapa jam sebelum pesawat berangkat ke Poso. Ia segera ke barbershop dan laki-laki botak berkumis itu sudah menunggunya. Begitu ia duduk, laki-laki botak berkumis itu menyodorkan amplop.
     "Ini suratnya."
     Ia membukanya dan membacanya. "Kenapa tidak ada tandatangan sama stempelnya?"
     "Kalau mau, teken kamu saja."
     "Berarti tidak resmi dong."
     "Yang penting kan itu surat ijin membunuh."
     "Kalu begitu aku tidak mau."
     "Ini perintah."
     "Ini pasti main-main."
     "Apalah namanya."
     "Bapak saja yang teken."
     "Mana aku berani." Laki-laki botak berkumis itu berdiri. "Nanti kamu ketinggalan pesawat." Ia segera menghilang dibalik pintu.
     Ia membacanya sekali lagi. Isinya meyakinkan dan memang seperti sangat resmi sebagai surat ijin membunuh. Tapi tidak ada satupun tanda yang membuatnya yakin kalau surat itu sah. Seperti tanda tangan dan stempel, seperti biasa surat ijin dibuat. Ia mulai ragu untuk melakukan pekerjaannya. Bisa saja ia membuat stempel dan tanda tangan palsu, tapi bukankah justru itu yang membuat surat itu kelihatan tidak sahnya. Ia segera pulang dan mengambil barangnya. Berangkat ke bandara sambil mendengarkan musik jazz lewat walkman. Enak juga musik jazz, pikirnya.
***