Monday, December 31, 2012

HARI TERAKHIR

Segala sesuatu yang di mulai pastilah akan di akhiri. Gajah mati meninggalakan gading, macan mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan amal perbuatan yang baik. Ukuran baik itu sudah jelas karena ada lawan katanya berupa tidak baik. Tidak baik itu dusta, mencuri, merampok dan kategori lainnya dimana kita seharusnya sudah khatam betul perbuatan tidak baik itu seperti apa. Jadi korupsi itu sudah jelas tidak baik karena itu sama dengan merampok, mencuri dan sekaligus dusta.  

Semua manusia itu pada dasarnya baik. Itu fitrah yang diberikan Tuhan seperti halnya bayi yang baru di lahirkan itu semua suci. Tidak peduli bayi itu anak dari seorang ibu yang miskin papa atau cucu Presiden atau bahkan cucu koruptor uang rakyat. Tapi manusia baik itu belum tentu manusia benar. Artinya orang baik itu belum tentu benar tapi orang benar sudah pasti baik. Manusia untuk bisa menjadi benar itu penuh ikhtiar karena cara mencapainya itu selalu sulit. Penuh tantangan, godaan, fitnah, iri dengki dan segala macam sifat buruk manusia yang mengendap dalam hati.

Semua orang sibuk mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk berlibur akhir tahun. Bekerja keras mengumpulkan uang, memesan tiket dan membeli semua keperluan perjalanan. Begitu berartinya liburan akhir tahun. Apa yang mereka harapkan? Liburan yang indah dan menyenangkan dan akan di kabarkan kepada keluarga dan teman bahwa mereka berlibur dengan dana yang besar, tempat yang indah, makanan yang mahal dan pengalaman yang menakjubkan dan sisanya menunggu pujian berbusa-busa. 

Pertanyaannya adalah, seandainya ini adalah hari terakhir kita hidup di dunia apa yang sudah kita persiapkan? Maka Pergunakan hidupmu sebelum datang matimu. Ini perkara kelima dari 5 perkara yang di sabdakan Muhammad SAW (Sehat sebelum sakit. Muda sebelum tua. Kaya sebelum miskin Lapang sebelum sempit. Hidup sebelum mati). Ketika kita diberi kehidupan maka hidup yang diberikan pada kita itu sebenarnya merupakan kesempatan yang tiada duanya. Karena kesempatan hidup tidak akan datang untuk kedua kalinya. Kehidupan harus dijalani sesuai tuntutan kemaslahatannya. Jika ajal telah tiba, maka tidak akan ditunda ataupun dimajukan, apalagi di negosiasi. Kematian akan datang kapan saja, dimana saja, tanpa mengenal apakah orang itu kaya atau miskin, tua ataupun muda. Atau anda berada di gubuk reot atau di istana penuh emas.

Apa bekal yang sudah kita persiapkan sebelum melakukan perjalanan sesungguhnya ini?
 
segala menebal segala mengental
segala tak kukenal
selamat tinggal
---- Chairil Anwar

Selamat jalan 2012. Beristirahatlah dengan damai. 

Sunday, December 30, 2012

2012


Tidak ada pembicaraan paling serius sepanjang 2012 daripada soal kiamat. Ramalan telah membuat orang begitu sibuk. Buat orang yang mudah panik, ini malapetaka karena masih belum puas menikmati keduniaanya. Bagi yang suka humor, kiamat hanyalah soal dongeng. Seperti film 2012. Kiamat boleh datang tapi mereka tidak bisa mati karena berada di sebuah bahtera yang meniru kapal Nabi Nuh dan mereka menemukan Tanjung Harapan di Afrika dan akan melanjutkan hidup. Padahal dalam agama (islam), kiamat adalah musnahnya isi dunia. Artinya semua makhluk yang hidup akan mati.

Apa yang selalu tertinggal adalah sebuah sejarah, sebuah kenangan. Sebuah kenangan tidak selalu menyenangkan tapi akan tetap banyak kebahagiaan yang patut di syukuri. Apa yang kita ikhtiarkan itulah yang akan kita dapatkan. Sejarah juga pelajaran. Sudah seharusnya kita mendapatkan nilai yang lebih baik dan akan terus menjadi lebih baik.

Sesuatu akan lebih terasa berharga ketika kita sudah tidak memilikinya, maka hargai dan jagalah segala yang kita miliki. Sedangkan hidup adalah pilihan, tapi untuk memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa Anda dan apa yang Anda perjuangkan, ke mana Anda ingin pergi dan mengapa Anda ingin sampai di sana.


Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan menasihat-nasihati supaya menaati kebenaran dan menasihat-nasihati supaya menetapi kesabaran. (Surah Al-Ashr 103: Ayat 1-3)

Monday, December 24, 2012

MAS KAREBET 16

BAB 16



NYAI Ageng Tingkir memeluk Karebet lama sambil menangis. Airmatanya membanjiri kulit pipinya yang mulai keriput. Tidak biasanya wanita itu menangis seperti itu. Memeluk anaknya seperti baru berpisah puluhan tahun. Karebet membiarkan Ibunya menangis dan memeluknya. Padahal mereka baru berpisah tidak lebih dari limapuluh hari. Ia biasa pulang dari menyepi dan bertapa dan sambutan Ibunya biasa saja. Tapi kali ini lain. Air mata Ibunya seperti tidak bisa berhenti. Tapi Karebet berusaha memahami bahwa Ibunya sangat menyayangi dirinya. Hanya mereka berdua yang masih saling memiliki. 
Nyai Ageng Tingkir duduk dan setelah bisa mengendalikan tangisnya,  ditatapnya wajah Karebet dengan lama, seolah Karebet akan hilang dari hadapannya.
“Aku takut tidak bisa melihatmu lagi,” kata Nyai Ageng Tingkir terbata. “Sudah hampir tujuh hari terakhir ini aku bermimpi kalau kamu kesulitan mendaki sebuah gunung, Karebet. ”
“Saya toh kembali dalam keadaan sehat wal afiat, Kanjeng Ibu.”
“Umur manusia bukan kita yang menentukan, tapi kamu satu-satunya yang aku miliki, Karebet.”
Tangis Nyai Ageng kembali pecah.
Karebet  diam.
     “Ibu tidak melarangmu mencari ilmu dengan meniru orang menyepi di gunung, hutan dan goa-goa, Karebet,” kata Nyai Ageng Tingkir lagi dengan pelan. “Tapi orang-orang itu belum menganut agamanya Kanjeng Nabi. Lebih baik kamu berguru kepada orang mukmin.”
     “Maafkan kalau yang saya lakukan, membuat Kanjeng Ibu tidak berkenan,” jawab Karebet sopan. “Tapi apa yang saya lakukan selama ini, karena saya ingin mendapatkan pegangan hidup saya.”
     “Berpeganganlah kamu dengan agama Allah.” Nada Nyai Ageng Tingkir meninggi. “Ibu banyak kenal guru agama yang sudah dalam ilmunya. Kamu tinggal pilih dimana kamu akan belajar kepada mereka.”
     “Saat ini, keinginan saya ingin bertemu Sunan Kudus.”
     Nyai Ageng Tingkir menatap Karebet dengan rasa kaget yang besar. “Apa maksudmu, Karebet?”
     “Saya ingin meminta keadilan kepada Sunan Kudus.”
     “Ya Allah, keadilan apa?” Begitu tinggi nada Nyai Ageng Tingkir sampai harus berdiri.
“Saya ingin meminta keadilan atas kematian ayahanda Kebo Kenongo.”
     Kekagetan Nyai Ageng Tingkir berubah mejadi kemarahan. “Siapa yang menghasutmu untuk berbuat kurangajar seperti itu? Kamu tahu siapa Kanjeng Sunan Kudus?” Nyai Ageng Tingkir bertanya tapi kemudian menjawabnya sendiri, “Beliau itu  orang suci. Kanjeng Sultan Demak saja sangat menghormatinya.”
     “Kalau memang beliau orang suci, kenapa harus membunuh?”
     Nyai Ageng Tingkir terdiam. Lama. Jelas sekali ia menahan kemarahannya yang tiba-tiba memuncak di kepalanya. Ia tahu anaknya tidak akan memulai sesuatu kalau tidak karena disebabkab sesuatu.
     “Aku marah mendengarmu mengatakan soal ini.”
     “Kenapa kanjeng Ibu harus marah?” Karebet tidak paham dengan sikap Ibunya. “Saya hanya ingin mendapatkan jawaban yang tidak saya ketahui soal kematian ayahnda Kebo Kenongo. Apakah salah mencari kebenaran?”
     “Carilah kebenaran, tapi jangan soal kematian ayahandamu.”
     “Kenapa saya tidak boleh mendapatkan kebenaran?” Karebet semakin tidak paham jalan pikiran Ibunya. “Kalau saya tidak bisa mendapatkan jawaban dari Sunan Kudus, dari siapa lagi saya mesti tahu masa lalu saya?”
     “Dari Kanjeng Sunan Kalijaga,” jawab Nyai Ageng Tingkir tenang.
     “Ah kenapa segala hal yang menyangkut saya harus bertanya kepada Kanjeng Sunan Kalijaga?”
     “Apa maksudmu?”
     “Sewaktu saya di gunung Telomoyo, saya mendapatkan mimpi aneh dan oleh Mbah Marjo saya disuruh menemui Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mendapatkan tafsir mimpi itu.”
     “Jadi kamu sudah bertemu Kanjeng Sunan Kalijaga?”
     “Belum. Beliau sudah pergi saat saya datang.” Karebet kembali meneruskan, “Sewaktu saya di desa Pingit, saya bertemu Ki Buyut Jayadi yang mengaku dulu bekerja kepada ayahanda kebo kenongo di Pengging dan mengatakan didatangi kanjeng Sunan Kalijaga dan berpesan agar saya menemui beliau.”
     “Memang sudah waktunya kamu menemui Kanjeng Sunan Kalijaga, Karebet.” Nyai Ageng Tingkir nampak jadi cerah mukanya. “Ya,inilah waktunya kamu bertemu beliau seperti pesan beliau beberapa tahun yang lalu.”
     “Beberapa tahun yang lalu?”
     “Saat kamu berumur limabelas tahun, Kanjeng Sunan Kalijaga datang menemuiku dan mengatakan, kalau suatu waktu kamu sudah mendapatkan isyarat dari langit kamu harus menemui beliau.”
     “Isyarat dari langit?”
     “Ya.  Isyarat itu bisa berupa mimpi, bisa berupa tanda yang lain.” Nyai Ageng Tingkir menatap Karebet. “Mimpimu yang kau dapatkan di bukit Telomoyo aku yakin isyarat dari langit.”
     “Saya belum paham, kanjeng Ibu.”
     “Temuilah Kanjeng Sunan Kalijaga. Kamu akan mendapatkan semua jawaban atas semua pertanyaan yang ada dibenakmu. Beliau ingin kamu menjadi muridnya.”
      “Tapi saat ini saya hanya ingin mendapatkan penjelasan tentang kematian Ayahanda Kebo Kenongo kepada Sunan Kudus.”
     “Demi Allah, Karebet, temuilah Kanjeng Sunan Kalijaga dan lupakan bertemu kanjeng Sunan Kudus.”
     Nyai Ageng Tingkir sama sekali tidak menyangka. Setelah sekian lama ia biarkan anaknya mengembara, bertapa di berbagai daerah, tapi setelah pulang menginginkan sesuatu yang diluar jangkauan pemikirannya. Sunan Kudus adalah panglima perang Kerajaan Demak, seorang ulama besar. Tidak bisa bertemu setiap waktu dan tentu saja mustahil untuk bisa bertemu begitu saja membuat janji. Tapi Karebet mengatakan keinginannya seperti ia menginginkan bertemu dengan kepala desa.
     Yang lebih tidak dimengerti Nyai Ageng Tingkir, darimana Karebet mengetahui bahwa Sunan Kudus yang bertanggung jawab atas kematian Ki Ageng Kebo Kenongo alias Ki Ageng Pengging. Mungkin ia bertemu seseorang, batinnya.
     “Sebaiknya kamu istirahat, Karebet.”
     Karebet melihat sikap Ibunya yang tiba-tiba berubah. Ia tahu Ibunya marah tapi kelihatan ada sesuatu yang sangat mengganggunya. Ia yakin Ibunya tidak menyangka ia mempunyai permintaan bertemu Sunan Kudus. Ia sendiri merasa bahawa rasa penasarannya harus terjawab. Barangkali Aryabajageni bermusuhan dengan kerajaan Demak, tapi keterangan tentang keluarganya membuatnya terus menerus terganggu. Ia tidak mau menyakiti hati Ibunya dengan bertanya masa lalunya. Tapi rasa penasarannya harus terjawab.
     Kalau masih bertemu Mbah Marjo, mungkin akan menyuruhnya minta petunjuk Sunan Kalijaga. Tapi ia sekarang harus menjawab teka-teki ini dengan caranya sendiri. Ia tidak peduli dengan Sunan Kalijaga. Ia mempunyai tanggung jawab atas hidupnya sendiri. Ia tidak tahu akan menjadi apa kelak, tapi sekarang ia hanya ingin mendapatkan jawaban atas segenap pertanyaan di kepalanya.
     Dadung Awuk masuk ke kamar Karebet begitu saja.
     “Bet, aku banyak ditanya sama Nyai Ageng.”
     “Soal apa?”
     “Dikira aku yang menghasut kamu meminta bertemu kanjeng Sunan Kudus. Memangnya kamu kepingin bertemu kanjeng Sunan Kudus?”
     “Ya.”
     “Tapi saya ikut kalau bener kamu mau bertemu Kanjeng Sunan Kudus, Bet.”
     “Kanjeng Ibu tanya apalagi?”
     “Ya tanya kamu bertemu siapa memangnya?”
     “Kamu jawab apa?”
     “Bertemu Aryabajageni.”
     “Terus?”
     “Nyai Ageng tanya siapa Aryabajageni.”
     “Terus?”
     “Aku jawab, orang gila.”
     “Sok tahu.”
     “Lha kan memang orang itu gila. Pembunuh guru ngaji. Masa saya bilang orang suci.” 
     Karebet tidak menginginkan Ibunya terlibat dalam masalahnya. Tapi ia tahu, tidak mungkin Ibunya tinggal diam. Ibunya sangat menyayanginya. Apapun masalah yang terjadi dengan Karebet, Ibunya selalu terlibat. Barangkali merepotkan, tapi Nyai Ageng terlalu banyak berharap kepada Karebet.
(bersambung)

Sunday, December 23, 2012

MAS KAREBET 15

BAB 15



KAREBET jongkok di depan kuburan Ki Buyut Jayadi. Banyak sekali yang sebenarnya ingin ia tanyakan kepada lelaki tua bekas abdi dalem almarhum ayahnya itu. Tapi rupanya ia harus mencari jawaban atas pertanyaanya entah dimana. Ia mulai disadarkan bahwa masa lalunya ternyata masih mengandung banyak teka-teki. Akan ia cari jawaban, supaya ia bisa lebih tahu siapa dirinya. Akan ia tanyakan kepada siapa saja yang bisa memberinya jawaban.
     Salah satunya adalah Ibunya. Ia yakin Ibunya tahu semua masa lalunya. Tahu semua leluhurnya. Ia sudah harus menyusun daftar pertanyaan di kepalanya sebelum tiba di padukuhan Tingkir. Tapi darimanakah ia harus mulai bertanya? Aryabajageni memberinya banyak rahasia yang masih harus dibuktikan kebenarannya. Mimpinya di bukit Telomoyo masih terus menggangu tidurnya, meskipun telah ditafsirkan oleh Sunan Kalijaga. Tapi bagaimana ia harus mempercayai jawaban itu?
Tiba-tiba kepalanya penuh.
Ia harus buru-buru meninggalkan padukuhan Pingit ini.
     Tapi di mulut kuburan, Dadung Awuk dan Roro Sendang sudah menunggunya. Dadung Awuk membawa buntalan kain di bahunya.  Seperti hendak bepergian.
     “Kau mau pergi jauh, Dadung Awuk?” tanya Karebet.
     “Seperti kata raden, saya akan mencari ilmu.”
     Karebet senyum dan berjalan melewati Dadung Awuk.
     “Tapi saya putuskan untuk ikut raden.”
     Karebet berhenti. “Saya akan pulang ke Tingkir.”
     “Sama saja bagi saya.” Dadung Awuk berkata tegas. “Yang penting buat saya, saya akan mendapatkan ilmu kanuragan yang saya inginkan.”
     “Kau masih dibutuhkan disini untuk menggantikan Ki Buyut Jayadi.”
     “Saya tidak tahu bagaimana  memimpin rakyat dan saya tidak kepingin jadi pemimpin. Kalau saya memaksakan diri, saya takut bukan menjadi baik, malah hancur tidak karuan nanti padukuhan ini.”
     Karebet melihat Roro Sendang yang diam saja. “Bagaimana dengan Roro Sendang?”
     Dadung Awuk menatap dalam Roro Sendang, seperti menembus ke dalam matanya. “Saya memang mencintainya. Tapi seperti kata raden, saya mulai ragu akan kesetiaannya.”
     Roro Sendang kaget bukan main. “Apa?!” Matanya seperti mau loncat keluar. “Jadi kakang mau mencampakkan aku seperti sampah?!”
     Dadung Awuk menjadi gugup. “Bukan begitu, Sendang. Maksud kakang….”
     Mata Roro Sendang jadi liar menatap Dadung Awuk dan Karebet. “Kalian laki-laki, sama-sama bajingan!!”
     Roro Sendang pergi berlari sambil menumpahkan air matanya. Kelihatan sangat marah dan kecewa. Dadung Awuk tidak jadi berteriak memanggil. Ia kelihatan serba salah, tapi sikapnya sudah jelas. Ia akan mengikuti Karebet. Ia ingin menjadi teman perjalanan, bahkan ia siap untuk di jadikan pembantu.
     “Aku terbiasa berjalan sendiri,” gumam Karebet.
     “Saya tidak akan merepotkan Raden. Saya juga rela di jadikan pembantu Raden.”
     “Memangnya siapa aku membutuhkan pembantu?” Karebet melihat ketulusan niat Dadung Awuk lewat matanya.
     “Saya memaksa ikut, Raden.”
     Karebet menatap Dadung Awuk.
“Kau akan berubah pikiran di perjalanan.”
“Mungkin. Tapi setelah saya banyak menimba pengalaman bersama Raden.”
Karebet berpikir lagi tapi kemudian dia berkata, “Baiklah, kau boleh ikut.”
     “Terimakasih, Raden.” Betapa gembiranya Dadung Awuk.
     “Sayang caramu tadi sama saja membunuhku,” kata Karebet sengit.
     Dadung Awuk nyengir. “Hanya itu cara saya bisa pergi, Raden.” Matanya masih melihat menghilangnya Roro Sendang di tikungan jalan. “Cita-cita saya lebih besar dari cinta saya kepada Roro Sendang.”
     “Tapi aku jadi jelek dimata Roro Sendang.”
     “Yang penting tidak jelek di mata saya.”
     Lalu mereka dikagetkan suara gemuruh dari bukit Siaul. Mereka menoleh. Tampak langit menghitam oleh asap yang membumbung ke langit. Asap dari pembakaran. Terdengar juga suara banyak orang beteriak ramai.
     “Para penduduk sudah membakar pesantren itu.”
     “Mungkin itu lebih baik.” Karebet lantas jalan.
     “Sebenarnya bagaimana Raden bisa mengusir Aryabajageni itu?”
     “Aku juga tidak tahu.”
     “Raden mengalahkan Aryabajageni, kan?”
     “Tidak.”
     “Buktinya pesantren itu sudah kosong waktu didatangi penduduk Padukuhan.”
     “Tidak penting lagi dibahas.” Karebet berbalik menghadapi Dadung Awuk. “Jadi Kau serius mau ikut aku?”
     “Duarius.”
     “Ada syaratnya.”
     “Apapun syaratnya saya sanggup.”
     “Pertama, jangan panggil aku raden.”
     “Beres.”
     “Kedua, panggil aku Karebet.”
     “Karebet?”
     “Itu nama asliku.”
     “Ooo. Pantesan waktu diatas bukit saya mendengar nama Karebet. Tapi bukankah bangga memakai nama Jaka Tingkir?”
     “Kalau kau mau, ambil saja.”
     “Memangnya barang diambil.”
     “Karena kau dari Pingit, ganti saja namamu jadi Jaka Pingit.”
     Dadung Awuk tertawa. “Jaka Pingit? Gila, keren juga. Raden…eh maaf, kau ternyata baik hati.”
     Karebet sudah berjalan.
     “Ngomong-ngomong, habis dari Tingkir, kita pergi kemana?”
     “Syarat ketiga, jangan cerewet.”
     Dadung Awuk nyengir. “Maaf. Tapi satu lagi. Bener ini yang terakhir. Bagaimana saya memanggilmu. Bet, Kar atau Rebet?”
     “Tidak mutu blas pertanyaanmu.”
     Dadung Awuk tertawa terbahak-bahak.  
(bersambung) 

Friday, December 21, 2012

MAS KAREBET 14

BAB 14



Di depan Karebet sudah menghadang lebih dari duapuluh lelaki berseragam merah. Lengkap bersenjata dan siap untuk membunuhnya. Karebet menatap mata mereka yang buas. Ia tahu persis, mereka orang yang siap mati dalam keadaan apapun. Karebet justru lebih takut menghadapi orang semacam ini daripada orang yang sudah jelas tinggi ilmu kanuragaannya. Mereka siap melakukan cara apasaja untuk membunuh lawannya, sepanjang nyawa mereka masih ada di raga mereka. Jenis perlawanan yang dimiliki oleh ketaatan kepada pemimpinnya dan kepada ajarannya.
 “Aku hanya berurusan dengan guru kalian.”  Karebet berusaha untuk basa-basi, siapa tahu mereka masih mau mendengarnya. Tapi memang sia-sia. Mereka sudah bergerak setelah Karebet selesai bicara. Karena sudah memperkirakan serangan itu, Karebet sudah lebih dulu mengeluarkan ikat kepalanya dan dia bergerak berputar badannya menyamping.
     Para Lelaki berseragam merah itu tidak ada yang sempat melawan. Mereka jatuh dan kesakitan dalam waktu hampir bersamaan. Hampir semua tidak bisa berdiri lagi dengan cepat. Yang berdiri lagi segera akan menyerang, tapi bengong. Karebet sudah melesat lari seperti kijang. Tubuhynya bergerak menembus pepohonan lebat.
Tidak lama ia sampai di halaman rumah besar itu.
Sepi.
Angin menerbangkan dedaunan kering.       
     Karebet berdiri tegang. Ia yakin Aryabajageni tahu kedatangannya. Tanpa perlu diteriaki untuk keluar, ia yakin orang itu akan keluar sendiri. Tapi caranya keluar, Karebet tidak menduga sama sekali.
     Tanah didepannya bergetar seperti gempa bumi. Dari dalam tanah seperti ada yang sesuatu mendorong. Sesuatu yang besar sekali. Sesuatu yang hidup. Karebet mundur. Dari dalam tanah muncul seekor cacing tanah. Besar dan mengerikan wajahnya. Cacing sebesar manusia itu berguling dan berubah menjadi tubuh Aryabajageni. Duduk bersila di tanah dan tertawa.
     “Kau mampu melakukan itu?” tanya Aryabajageni meledek.
     Tenggorkan Karebet kering. Pertamakali dalam hidupnya, lawannya adalah jenis manusia yang mungkin langka. Dari kemampuannya ia tidak terlalu kagum, tapi cara hidup dan apa yang ditempuhnya adalah sesuatu yang sama sekali baru baginya. Soal kemampuannya, ia yakin masih dibawah Arybajageni. Tapi ia tidak takut. Itulah satu-satunya modalnya berdiri didepan Aryabajageni tanpa harus lari melihat cara munculnya.
“Itu hanya permainan murahan,” katanya lirih.
Aryabajageni belum sempat tertawa ketika tubuh Karebet sudah melesat dengan sangat cepat. Cara melesatnya juga bukan kebiasaan orang bertarung dari depan lawannya. Ia tahu lawannya lebih hebat. Dengan memberikan sedikit pancingan gerakan menyamping, Aryabajageni langsung serius menghadapinya. Karebet langsung mengerahkan semua kemampuannya menyerang Aryabajageni. Ia sedang melawan orang yang mungkin paling hebat sepanjang ia mengembara. Jadi ia tidak mau kesempatannya terbuang dengan sia-sia. Kalau ia tidak memulainya, ia tidak pernah tahu kapan masalahnya bisa selesai.
     Aryabajageni dipaksa melawan Karebet. Lelaki berwajah tirus itu melihat gerakan Karebet yang berbeda dari pendekar pada umumnya. Untuk itu ia kemudian memaksa Karebet bertarung dengan jurus-jurus yang tidak biasa. Jurus-jurus yang ia yakin tidak bisa diimbangi Karebet. Tapi dugaaannya meleset. Karebet bisa mengimbangi seluruh serangan balik yang datang darinya. Bahkan kemudian bisa mematahkan jurus-jurusnya.
     Karebet tidak pernah belajar silat di sebuah perguruan. Ia tidak pernah tahu dimana ia bisa mendapatkan sebuah perguruan silat yang bagus. Ia orang yang tidak pernah mau setengah-setengah. Kalau perguruan itu tidak bagus dan terkenal, lebih baik ia tidak berguru sekalian. Ia lebih banyak belajar dari pendekar yang dikenalnya di tempat bertapa, selebihnya berlatih sendiri. Jadi kalau dipaksa bertarung dengan jurus yang aneh, ia bisa jauh lebih aneh. 
     Aryabajageni mundur dan mendengus, “Ternyata kau memang mempunyai ilmu kanuragan lumayan,” katanya sengit tanpa sadar bahwa ia mengakui kehebatan Karebet. “Tapi aku tidak mau bermusuhan denganmu. Aku ingin menjadikanmu muridku.”
     “Aku akan berguru padamu kalau kau bisa mengalahkanku,” jawab Karebet tegas. Ia tahu persis ia tidak akan bisa mengalahkan lelaki didepannya itu tapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membebaskan warga padukuhan Pingit. Satu-satunya cara ia harus kelihatan jauh lebih berani untuk menutupi kelemahannya.
     “Kau tidak akan mampu mengalahkanku, Karebet. Aku juga tidak akan melukaimu. Jadi percuma saja pertarungan ini.”
     “Selama kau tidak pergi dari padukuhan ini, aku tetap akan melawanmu.” Karebet tidak bergeming. “Soal aku tidak bisa mengalahkanmu, itu bukan urusanku. Tapi aku tidak akan pergi meskipun aku kalah olehmu.”
     Aryabajageni tidak menyangka akan mendapatkan lawan Karebet. Seorang pemuda yang kelihatan tidak istimewa dan tidak hebat ilmu kanuragannya. Tapi betapa Karebet ternyata seorang pemuda yang ksatria. Pemuda itu sama sekali tidak takut menghadapinya saat semua orang menakutinya. Apa yang dibela Karebet juga orang-orang padukuhan yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Sikap ksatria Karebet membuat Aryabajageni harus mengakui ada kehebatan tersembunyi didalam diri Karebet. Dengan ilmu pamungkasnya, ia bisa saja meremukkan tubuh Karebet. Tapi ia tidak yakin pemuda itu akan binasa. Pemuda didepannya itu menyimpan suatu yang besar. Aryabajageni tidak tahu apa itu, tapi ia tiba-tiba merasakan bahwa Karebet adalah orang yang sulit ditaklukan.
     Karebet menduga Aryabajageni sedang mempersiapkan ilmu pamungkasnya untuk menutup pertarungan dengannya. Makanya kemudian ia diam-diam merapal ilmu yang dikuasainya paling tinggi. Ia menamakan ilmunya Ajian Serat Jiwa. Ilmu yang dipelajarinya dari seorang pendekar bernama Arya Kumbara yang berasal dari Madangkara. Ia tidak tahu persis dimana Madangkara tapi ilmu yang dilihatnya adalah sejenis ilmu yang sangat mematikan dan sulit dicari tandingannya. Pada mulanya ia merasa bahwa Ajian Serat Jiwa terlalu sadis dalam membunuh musuhnya. Ilmu  itu jahat seklii.
Tapi Arya Kumbara pernah berkata, “Hitam atau putih ilmu itu tergantung dari yang memakainya. Kalau ia dipakai untuk kejahatan, hitam ilmu itu. Tapi kalau dipakai untuk kebaikan, jadi putih ilmu itu.”
Sejak itu ia mulai mempelajarinya setelah diajari dasar ilmu itu oleh Arya Kumbara. Karena ada beberapa jurus yang tidak ia sukai, maka kemudian ia menciptakan sendiri ajian itu. Setelah beberapa waktu mempelajari ajian serat jiwa, ia mencobanya pada sebuah pohon trembesi. Dan pohon trembesi luluh lantak setelah dihajar ajiannya.
     “Aku ingin masalah ini cepat selesai, jadi mari kita selesaikan pertarungan ini.” Berkata begitu Karebet menyerbu.
     Aryabajageni tidak menyangka Karebet akan menyerangnya begitu deras,  serbuan tenaga yang terlalu besar. Mau tidak mau ia harus mengerahhkan ilmunya untuk membentengi dirinya. Ia merasakan hawa panas pada serangan Karebet dan ia merasakan bahwa pemuda itu tidak main-main lagi untuk menyerangnya.   Lama kelamaan ia mulai merasakan tubuh dan tenaganya tersedot oleh serangan Karebet. Ia merasakannya jelas sekali. Sendi-sendi tulangnya mulai terasa kaku dan kulitnya mulai mengeras.
     Hanya dengan merubah tata letak tangan dan kakinya, Aryabajageni sudah membendung serangan Karebet. Ia mulai tersenyum melihat pemuda itu mulai meningkatkan serangannya tapi jelas sekali seperti membentur tembok. Karebet memang merasakan serangannya mulai tidak berhasil. Baginya luar biasa sekali Aryabajageni. Dalam waktu yang sangat singkat bisa membuat ilmunya nyaris tidak bisa menembusnya.
     Karebet meningkatkan serangan Ajian Serat Jiwanya. Tapi semakin kuat juga Aryabajageni membendungnya. Ternyata semakin kuat dibendung, semakin kuat Ilmu Serat Jiwa menembus pertahanan Aryabajageni. Hal itu membuat Aryabajageni kerepotan dan tidak ada jalan lain baginya kecuali mengahiri perlawanan Karebet dengan caranya.
     Aryabajageni sangat menghormati Ki Ageng Kenongo, ayah Karebet, sebagaimana ia menghormati gurunya Syekh Siti Jenar. Ketika bertemu Karebet ia menemukan banyak harapan. Terlebih soal ajaran gurunya yang harus disebarluaskan. Selama ini ia terus diburu pihak kerajaan Demak karena menyebarkan ajaran Syekh Siti Jenar. Ia tidak tahu dimana letak kesalahan ajarannya karena berbeda pendapat menurutnya tidak ada yang bisa melarang. Sewaktu masih hidup,  Ayah Karebet sangat mendukungnya dalam soal penyebaran ajaran Syekh Siti Jenar. Dan setelah Ki Ageng Kenongo juga dihukum pihak keerajaan Demak sebagaimana Syekh Siti Jenar, ia merasa seperti sendirian dalam menyebarluaskan ajarannya.
     Ketika bertemu dengan Karebet harapannya muncul. Paling tidak ia mempunyai banyak tawaran yang bisa diterima Karebet. Perlawanan Karebet terhadap dirinya bukan dalam soal ajarannya tapi lebih kepada pembelaan kepada warga desa Pingit. Aryabajageni masih berharap banyak Karebet adalah penerus dari ajaran Syekh Siti Jenar. Makanya ketika serangan Karebet semakin gencar, ia segera berteriak mengguntur dan mengibaskan tangannya.
     Bukan sembarang kibasan tangan. Tapi kibasan tangan yang mengandung ilmu pukulan yang sangat besar. Buktinya Karebet yang sedang mengerahkan Ajian Serat Jiwanya dalam kondisi tertinggi, langsung terdorong mundur dan dadanya seperti jebol. Hanya dalam kedipan mata, Karebet mengaum keras seperti harimau lapar. Meskipun ia merasakan dadanya jebol dan badannya luluh lantak, ia masih dapat menguasai pikirannya. Sebenarnya ia ingin pura-pura terluka parah dan tidak bisa bangun, agar Aryabajageni terpuaskan tinggal menunggu serangan terakhir. Tapi nyatanya Aryabajageni tidak menyerang, jadi Karebet berubah pikiran dengan mengaum keras.
     Dengan segenap pengerahan ilmu yang pernah dipelajarinya, ia menyerbu dengan pekikan yang dahsyat, “Kau akan tahu aku tidak akan bersahabat denganmu.”
     Terjangan Karebet kali ini membuat Aryabajageni terkesiap. Ia melihat Karebet berubah dari aslinya. Pemuda itu sudah dikuasai sesuatu dan ia tahu ada sesuatu di badan pemuda itu. Auman itu menandakan ada kekuatan tersembunyi pada diri Karebet. Tapi ia belum tahu apa karena serangan Karebet benar-benar merepotkan. Hawa serangannya sangat berbeda dengan serangan awalnya.
     Karebet sendiri sesungguhnya sudah menyadari akan bahaya yang sedang mengancam dirinya. Ia sudah telanjur terbakar hangus oleh nafsu amarah. Dan ia begitu saja mengaum, merasakan ada dorongan kekuatan lain dari dalam dirinya.  Ia tidak peduli lagi dengan kesaktian Aryabajageni. Ia orang yang sedang berusaha mempertahankan kebenaran.
     Terjadi benturan hebat di udara.
     Tubuh Karebet dan Aryabajageni bertumbukan seperti dua ekor kambing saling seruduk kepala. Karebet memang terlempar lebih dulu dan lebih kencang ke belakang tapi ia bisa mendarat tanpa terjatuh. Sedangkan Aryabajageni terdorong pelan ke belakang tapi langsung jatuh telentang dan sepertinya terluka.
     Karebet melihat itu tidak percaya.
     Arayabajageni berdiri susah payah.
     Karebet bisa saja menyerang saat lelaki bermuka aneh itu berdiri, tapi ia sedang bingung apa yang terjadi dengan dirinya. Ia menjatuhkan lelaki sakti itu dengan mudah, sedangkan dirinya tidak terluka sedikitpun.
     “Apa yang ada dibalik ikat pinggangmu, Karebet?” teriak Aryabajageni bertanya.
     Karebet bingung dan meraba ikat pinggangnya.
“Aku tahu kemampuanmu tidak bisa mengatasi ilmuku. Tapi barang yang ada dibalik ikat pinggangmu itu, yang membuatmu kuat.”
     Karebet mengeluarkan barang dari ikat pinggangnya. Surat dari kulit binatang yang berasal dari Sunan Kalijaga. Dengan entengnya ia memperlihatkan barang itu.
“Hanya ini. Kulit.”
     “Darimana kau dapatkan kulit binatang itu?”
     “Itu bukan urusanmu. Sekarang apa kau masih mau bertahan didesa ini?”
     “Aku akan pergi dari desa ini setelah kau sebutkan darimana kau dapatkan kulit binatang itu.”
     “Aku tidak percaya omonganmu.”
     “Kau memegang janjiku, Karebet.”
     Karebet menatap lelaki bermua aneh itu. Lama. Lalu ia berkata, “Kulit ini sebenarnya sebuah surat. Yang memberikan Sunan Kalijaga.”
     “Aku sudah menduganya.” Aryabajageni teriak. “Tidak ada kekuatan ilmu apapun yang mampu menembus barang yang sudah disentuh Sunan Kalijaga.” 
Lalu begitu saja tubuh Aryabajageni lenyap.
     Karebet menoleh kanan kiri.
     Lalu terdengar suara Aryabajageni menggema, “Jangan kau kira aku kalah, Karebet. Aku akan terus hidup untuk menumbuhkan dendam di hatimu kepada para wali Demak. Hanya kau orang terakhir yang di takdirkan untuk menyebarluaskan ajaran guru besar Syekh Siti Jenar. Dan akulah penuntun hidupmu.”
     Lalu sepi.
     Suara angin jelas terdengar berdesir.
     Karebet tidak bereaksi apapun. Ia yakin Aryabajageni telah pergi jauh. Orang yang ilmunya menakjubkan, batinnya. Tapi ia masih saja di hinggapi keheranan dengan surat dari kulit binatang ditangannya. Benarkah sesuatu yang pernah disentuh Sunan Kalijaga memiliki kekuatan yang sangat hebat? Dengan cara apapun ia tidak percaya, karena ia tidak pernah bertemu Sunan Kalijaga. Tapi bukti didepannya, telah dikatakan oleh orang lain. Oleh orang yang ilmu kanuragannya sangat tinggi. 
     Karebet melangkah gontai dengan segenap pertanyaan yang semakin banyak memenuhi kepalanya. 
 (bersambung)

Thursday, December 20, 2012

MAS KAREBET 13

BAB 13




Tiba-tiba Karebet mengangkat kedua tangannya dan dia berteriak mengguntur ke udara. Teriakannya menggema di lembah padukuhan yang sepi itu. Mungkin gemanya sampai ke padukuhan. Beberapa burung terbang ketakutan dari pepohonan di sekitarnya. Karebet terduduk dengan kesedihan yang mendalam, kekesalan yang menumpuk dan kenangan yang tidak bisa diingatnya.
     Menjadi dewasa tidak menyenangkan. Ia harus menanggung beban yang mulai menjadi berat. Bertemu Aryabajageni adalah mimpi terburuk yang tidak pernah ia inginkan hadir dalam hidupnya. Pertemuan dengan orang yang mengaku adik seperguruan Ayahnya telah membuat hidupnya siap berantakan. Ia hanya ingin pulang dan bertemu Ibunya. Ia tidak suka kesenangan-kesenangan yang disukai banyak pemuda seusianya.
     Ia hanya suka bertapa.
     Mencari ilmu kanuragan.
     Tapi sekarang ia bertemu Aryabajageni.
     Apakah semua yang dikatakannya benar?
     “Raden…”
     Karebet menghapus sudut matanya yang berair.
     Ki Buyut Jayadi sudah dibelakangnya. Kelihatan khawatir. “Jangan hati Raden diselimuti amarah hanya karena hasutan orang yang tidak jelas asal usulnya,” katanya gemetar. “Kalau Raden mau tahu semua hal yang menyangkut Ayahanda Raden almarhum, bertanyalah kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.”
     Sunan Kalijaga lagi?
     “Sewaktu Raden menuju bukit Siaul, Kanjeng Sunan Kalijaga mendatangi saya dan mengatakan bahwa Radenlah yang bisa mengusir Aryabajageni.”
Karebet sudah tidak peduli. “Memangnya siapa Sunan Kalijaga itu? Kenapa dia tidak menemui saya sendiri? Kenapa harus lewat Paman? Siapa memangnya Sunan Kalijaga itu ha?!”
Karebet benar-benar kesal.
     Ki Buyut Jayadi mengerti kegundahan Karebet.
     “Beliau adalah salah satu dari anggota Wali Songo, penasehat agama Kanjeng Sultan Demak.” Ki Buyut tetap menjelaskan.
     “Apa benar Ayahanda dibunuh Sunan Kudus?”
     Ki Buyut Jayadi kaget.
     “Apakah Sunan Kudus anggota Wali Songo?”
     Ki Buyut masih diam.
     “Barangkali Aryabajageni benar.”
     Ki Buyut Jayadi berdiri. “Raden, ayo kita pulang.”
     “Kalau masih ada yang mau Paman sampaikan, selesaikan saja disini.”
     “Bicaralah di rumah, disini banyak yang mendengar.”
     Karebet melihat sekeliling. Hanya pepohonan lebat dan kesunyian yang terhampar disekeliling lembah itu. Ki Buyut Jayadi sudah berjalan. Sepertinya memang tidak mau bicara lagi. Apakah lelaki tua itu merasa ada yang sedang mendengar pembicaraan mereka?
     Karebet tidak mau tahu lagi.
     Pikirannya kacau balau.
     Ia hanya ingin tenang.
     Kamar Ki Buyut Jayadi ternyata begitu tenang. Hampir tidak terdengar suara apapun dari luar. Ki Buyut Jayadi tahu Karebet membutuhkan ketenangan. Ia duduk dan menyalakan sentir, sejenis lampu dengan minyak jarak. Lalu ia meraih sadak dan mengunyahnya. Wajah tuanya menjadi lebih tenang. Sementara Karebet duduk santai masih menikmati kesenyapan kamar itu.
     “Raden, saya hanya menyampaikan amanat Kanjeng Sunan Kalijaga soal Aryabajageni,” kata Ki Buyut Jayadi memulai. “Paling tidak, Raden akan tahu sedang berhadapan dengan siapa.”
     “Kenapa tidak langsung disampaikan kepada saya? Sunan Kalijaga takut kepada saya?”
     “Nanti Raden tahu kenapa. Aryabajageni masih keturunan Prabu Udara yang merebut Majapahit dan menobatkan dirinya menjadi Prabu Brawijaya terakhir. Aryabajageni tidak suka dengan Demak yang menurutnya telah meruntuhkan Majapahit. Aryabajageni lalu berguru kepada Syekh Siti Jenar untuk menghancurkan Demak dari dalam, lewat ajarannya yang sesat dan menyesatkan.”
     Karebet mendengarkan.
     “Syekh Siti Jenar itu orang yang kesaktiannya luar biasa tinggi. Dia berguru kepada beberapa anggota Wali Songo. Bahkan ilmu kebatinannya mampu menggungguli Wali Songo. Dia menyebarkan ajarannya dengan leluasa dan islam yang diajarkan anggota Wali Songo mulai ditinggalkan masyarakat.”
     “Siapa yang bisa mengalahkan Syekh Siti Jenar?”
     “Hanya Kanjeng Sunan Kalijaga. Meskipun Kanjeng Sunan Kalijaga itu bersahabat baik dengan Syekh Siti Jenar.”
     “Apakah Aryabajageni sehebat Syekh Siti Jenar?”
     “Itu aku tidak tahu.”
     “Aku seperti menghadapi hantu.”
     “Entah kenapa Kanjeng Sunan Kalijaga tidak mau menemui Raden. Tapi beliau berpesan, kalau Raden ingin tahu lebih banyak soal Ayahanda Raden, temuilah beliau.”
     “Dimana?”
     “Tidak tahu.”
     “Tidak tahu?”
     “Kanjeng Sunan Kalijaga bilang Raden akan menemukannya sendiri.”
     “Orang yang selalu aneh.”
     “Memang beliau aneh.”
     Karebet diam. Pikirannya semakin dijejali banyak pertanyaan. Ia tiba-tiba harus menghadapi kejadian yang tidak pernah bisa dimengertinya ini.
     “Istirahatlah di kamar ini, Raden…”
     Karebet berdiri. “Tidak, Paman, saya ingin keluar jalan-jalan.”
     “Raden, tenangkan diri, dan mohonlah petunjuk Gusti Allah, mintalah petunjuk yang benar dan jangan dengarkan setan.”
     Karebet tersenyum dan keluar.
     Ki Buyut Jayadi membuang kinang dalam mulutnya. Dadanya plong. Semua yang menjadi beban pikirannya terlepas. Ia tidak ingin Karebet terbebani dengan berbagai pertanyaan setelah bertemu Aryabajageni. Belum sempat ia beranjak, didepannya sudah duduk Aryabajageni. Benar-benar muncul begitu saja. Lelaki berwajah tirus itu tersenyum penuh kebusukan. Ki Buyut Jayadi panik.
     “Oh…siapakah kisanak?”
     “Aryabajageni.”
     Jantung Ki Buyut Jayadi seperti mau meledak.
     “Akulah setan itu, tua bangka.”
     Ki Buyut Jayadi terlambat bereaksi, tangan kanan Aryabajageni sudah terangkat dan sebuah pedang tajam muncul di genggaman tangannya. Mata Ki Buyut Jayadi berkilat. Ia tidak sempat berteriak, pedang itu sudah menghujam dadanya. Tapi pedang itu seketika lenyap begitu dihujamkan ke dada tua itu. Aryabajageni tertawa dan seketika menghilang dari tempat itu.
     Suara jatuhnya tubuh Ki Buyut Jayadi cukup keras. Pintu kamarnya terbuka kembali dan Karebet masuk dengan ketegangan di kepalanya. Mengejar Ki Buyut Jayadi yang sekarat.
     “Paman….Paman, apa yang terjadi?”
     “Aryabajageni….”
     Karebet melihat ruangan itu kosong. Jendela tertutup rapat. Tidak ada celah lain kecuali pintu.
     “Raden….”
     “Aku akan balaskan ini, Paman!”
     “Balaskan untuk ketentraman padukuhan ini…” Suara Ki Buyut Jayadi melemah. “Raden harus Amar ma’ruf nahi munkar…” Kepala Ki Buyut Jayadi lunglai. Lukanya begitu parah sampai tubuh rentanya tidak kuat lagi menanggung kesakitannya. Ki Buyut Jayadi mati dengan tersenyum.
     Karebet geram. Aryabajageni memang sengaja ingin bermusuhan dengan padukuhan ini. Dengan menggunakan kekuatannya, padukuhan ini telah dijadikan ladang pembantaian untuk tujuan yang tidak jelas dengan alasan yang tidak masuk akal. Di pintu muncul Dadung Awuk yang segera berteriak tertahan.
     “Apa yang terjadi Raden?”
     “Aryabajageni membunuhnya.”
     “Oh….Jahanam.”
     Jagabaya muncul kemudian. Kegeramannya tidak bisa disembunyikannya tapi ia harus bertindak. Ia lalu mengumpulan warga padukuhan dan bergotong royong mengurus jenazah pemimpin mereka. Semua warga berduka. Ki Buyut Jayadi adalah lelaki yang dihormati karena memimpin dengan welas asih tapi tegas. Siapa yang salah di hukum, siapa yang lalai di tegur. Semua persoalan di tumpahkan kepada Ki Buyut Jayadi untuk dicari jalan keluarnya. Dan semua harus menghormati apapun keputusannya.
     Jenazah Ki Buyut Jayadi di arak ke pemakaman dengan tangisan. Padukuhan Pingit kehilangan pemimpin yang langka. Setua itu dia harus melindungi warga padukuhan dari segala masalah, termasuk dari keganasan Aryabajageni.
     Karebet tidak terima itu.
     Saat semua orang ke pemakaman, ia menuju bukit Siaul. Ia harus melakukan perlawanan. Barangkali ia nekat. Tapi ia punya niat baik. Meskipun niat baik saja tidak cukup, tapi ia tetap akan melawan Aryabajageni. Lawannya itu jelas orang sakti. Hebat ilmu kanuragannya. Kalah dan menang baginya biasa dalam sebuah pertarungan. Soal hidup dan mati juga bukan urusannya. Sehebat apapun lawannya, kalau ia belum di takdirkan mati, maka ia akan tetap hidup.   
(bersambung)
    

Wednesday, December 19, 2012

MAS KAREBET 12

BAB 12



DI DEPAN mereka berdiri sebuah bangunan yang megah. Untuk ukuran di ditengah hutan, di atas bukit, di sebuah padukuhan kecil seperti Pingit, bangunan itu terlalu mewah. Karebet melihat betapa seriusnya orang yang mendirikan bangunan ini. Sepertinya hendak mendirikan sebuah tempat untuk berkuasa. Tapi sekelilingnya sepi. Tidak ada kegiatan apapun. Halaman rumah itu bersih dan rapi. Siapa orang ini sebenarnya, tanyanya dalam hati.
Dadung Awuk sudah melotot begitu melihat bangunan itu. “Ini rumah orang apa rumah hantu?”
Karebet tegang.
“Kenapa tidak ada orang?”
“Tapi kita sedang mereka awasi.”
“Jangan bikin takut saya, Raden.”
“Coba saja kau kabur. Begitu kau melewati pintu gerbang keluar, badanmu yang gemuk itu jadi sasaran empuk mereka.”
Dadung Awuk semakin ketakutan. Ia merasa benar-benar sedang diantar ke kuburan. Tadinya ia ikut untuk mendapatkan pengalaman. Ia pergi dengan Karebet, orang hebat yang baru dikenalnya. Tapi sekarang ia memilih tinggal di padukuhan ketimbang datang ke tempat pesantren yang menyeramkan ini.
“Aku sudah menunggumu, Jaka Tingkir alias Karebet.”
Karebet menoleh ke Dadung Awuk karena dikiranya pemuda itu yang bicara. Tapi Dadung Awuk sedang ketakutan. Suara itu entah darimana datangnya, tapi persis di telinganya.
“Kau mendengar suara itu, Dadung?”
“Aku hanya mendengar suara detak jantungku yang mau copot.”
“Masuklah, Karebet.”
Kali ini suara itu lebih jelas dan Dadung Awuk kaget. Menoleh ke Karebet. “Karebet? Siapa Karebet?”
“Tunjukkan siapa kisanak,” kata Karebet tegas.
Bersamaan selesai kalimat itu, didepan mereka muncul Aryabajageni. Dadung Awuk melompat mundur karena begitu kaget. Aryabajageni tersenyum kepada Karebet dan kelihatan bahagia.
“Inilah pertemuan yang aku sudah tunggu lebih dari empatpuluh malam.”
“Orang ini seperti hantu, Raden,” bisik Dadung Awuk gemetar.
“Aku adik seperguruan almarhum ayahmu. Masuklah, tapi hanya kamu sendiri.” Kalimat itu selesai dan tubuh Aryabajageni ikut menghilang begitu saja.    
     Dadung Awuk masih berdiri kaku.
     Karebet tidak percaya dengan pendengarnya. Aku adik seperguruan almarhum ayahmu. Darimana orang ini tahu siapa dirinya dan ayahnya? Hal yang sangat mustahil. Bertemu Ki Buyut Jayadi saja ia baru pertama kali, karena ia tidak pernah ingat lagi masa kecilnya. Dan ia juga baru tahu kalau Ki Buyut Jayadi pernah menjadi abdi ayahnya. Tidak mungkin semua ini kebetulan. Ia tidak pernah percaya dengan kebetulan.
     “Kalau Raden masuk seorang diri, saya bagaimana?” Wajah Dadung Awuk pucat pasi.
     “Kau tidak akan kenapa-kenapa. Aku jamin.” Karebet langsung pergi ke arah pintu rumah besar itu. Dadung Awuk berdiri seorang diri semakin panik. Tapi ia lega karena Karebet menjamin keselamatannya. Ia harus percaya itu. Paling tidak agar hatinya jauh lebih tenang.
     Karebet masuk ke sebuah ruangan besar.
     Di ujung sana, duduk Aryabajageni, di sebuah kursi besar.
     Karebet berhenti di ujung ruangan, dekat dengan pintu keluar. Ia belum yakin dengan lelaki kurus bermuka menakutkan itu.
     “Duduklah dekatku, Karebet,” kata Aryabajageni meminta. “Akan aku ceritakan apa yang menjadi pertanyaanmu.”
     “Aku datang bukan untuk bertanya.”
     Aryabajageni tertawa.
     “Kau sudah membuat permusuhan dengan warga padukuhan Pingit.”
     “Siapa bilang? Kau hanya terhasut, Karebet. Mereka hanya tidak senang ajaran agama islam yang aku bawa.”
     “Kalau kau mengajar agama islam, kenapa guru ngaji di desa kau bunuhi?” Karebet bertanya dengan sengit. “Artinya kau bukan mengajar agama islam.”
     “Ah itu nanti saja kita bahas. Aku disini sebenarnya menunggu untuk bertemu denganmu.” Aryabajageni tetap saja tersenyum senang. “Aku hanya mau mengingatkanmu kalau aku adik seperguruan almarhum ayahmu. Kita dulu sama-sama berguru kepada guru besar Syekh Siti Jenar.”
     “Kenapa aku dengar kau sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar?”
     “Namaku Aryabajageni, tapi aku penjelmaan guruku, karena Syekh Siti Jenar tidak pernah mati dan tidak bisa mati.” Kalimat itu terdengar sangat tegas. “Karebet, satu hal yang harus kau tahu kalau kau belum tahu, almarhum ayahmu dibunuh Sunan Kudus…”
     Karebet  mendadak disergap ketegangan baru. Sejak kecil ia sudah diboyong dari Kadipaten Pengging ke Padukuhan Tingkir oleh Nyai Ageng Tingkir. Ia hanya tahu ia pindah dan diangkat sebagai anak oleh Nyai Ageng Tingkir karena ia akan mendapatkan kehidupan yang lebih tenang. Ia tidak pernah tahu di Pengging keadaannya tidak tenang. Ia juga tidak pernah tahu kalau Ayahnya sedang berselisih paham dengan Istana Demak Bintoro. Ia juga tidak pernah tahu kalau Ibu kandungnya begitu menderita setelah kematian ayahnya dan akhirnya meninggal dunia.
     Ia hanya tahu bahwa ia anak Nyai Ageng Tingkir, seorang saudagar paling kaya di padukuhan Tingkir. Ia dibesarkan di lingkungan yang sangat memanjakan dirinya. Semakin dewasa ia semakin paham bahwa ia berbeda dengan Nyai Ageng Tingkir yang dianggap Ibunya. Ia tidak suka dagang sama sekali. Ia hanya suka dengan ilmu kanuragan. Kemudian Ibunya membayar seorang guru silat di desa itu. Karebet hanya bertahan tiga hari. Guru silat itu hanya mencari uang dan bukan sungguh-sungguh mengajarinya ilmu kanuragan.
     Sampai kemudian dia suka pergi ke tempat-tempat sepi dan diajari bertapa. Ia sudah lupa siapa yang mengajarkannya. Sepertinya ia ditunjukkan jalannya begitu saja. Semakin dewasa, ia semakin banyak bepergian. Bertemu siapa saja dan mendapatkan ilmu kanuragan berbagai macam. Sampai kemudian ia sampai di padukuhan Pingit, dan di bukit Siaul ini telinganya panas mendengar siapa yang membunuh almarhum ayahnya.
     Ia menatap Aryabajageni.
     “Sudah sepantasnyalah kau tunjukkan baktimu sebagai anak, Karebet,” kata Aryabajageni menegaskan lagi. “Mintalah keadilan dan pertanggungjawaban Sunan Kudus.”
     Siapa Sunan Kudus?
     Mendengar namanya saja baru kali ini.
     “Kenapa aku harus percaya padamu?” tanya Karebet dingin.
     “Aku satu-satunya yang berani bicara ini padamu. Kakekmu adalah Pangeran Handayaningrat, keturunan Prabu Brawijaya terakhir yang bertahkta di kerajaan Agung Majapahit….”
     Karebet diam mendengarkan.   
     “Ayahmu ditakuti Sultan Demak karena mempunyai banyak pengikut, maka dia disingkirkan dengan cara yang keji.” Aryabajageni terus bicara. “Kau harus ingat Karebet, apa yang didapat Ayahmu adalah kematian yang menyakitkan. Sampai Ibumu tidak kuat menanggung kesedihan dan akhirnya juga meninggal!!”
     Karebet mukanya memerah. “Ayo kita bertarung di luar!!!” Suaranya mengguntur menahan luapan amarahnya. Penjelasan Aryabajageni memang membuatnya  tertarik. Tapi isi kepalanya semakin dipenuhi berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi kalap.
     Aryabajageni tetap tersenyum. Tidak marah sama sekali. “Buat apa kita bertarung? Kita tidak bermusuhan. Aku hanya ingin mengingatkanmu supaya kau tidak lupa asal usulmu!”
     “Hidupku adalah urusanku. Kau tidak punya hak apapun ikut campur!”
     “Jangan sampai kau menjadi anak durhaka, Karebet. Jangan khawatir, aku selalu akan membantumu. Begitu juga sebaliknya, kau bisa ikut menyebarkan ajaran guru besar Syekh Siti Jenar seperti Ayahmu.”
     “Rupanya kau hanya memanfaatkan aku.” Karebet mengepalkan tangannya. “Kita tentukan saja, apakah kau bisa menyuruhku.” Karebet berbalik jalan.
     “Aku tidak mau.”
     Karebet terus berjalan.
     Aryabajageni menatap pemuda itu. “Kau merasa jauh lebih hebat daripada Senopati Demak yang aku kirim mayatnya itu?”
     Karebet berhenti. Menoleh.
“Aku lebih hebat daripada dia.” Lalu terus berjalan keluar. Tapi pintu didepannya langsung menutup dengan sendirinya. Karebet merasa pertempurannya akan berlangsung didalam ruangan.
     “Sudahlah, Karebet. Kau boleh melanjutkan perjalananmu pulang. Tinggalkan saja padukuhan ini.”
     “Aku akan melanjutkan perjalananku, kalau kau juga sudah pergi dari sini.”
     “Kau tidak mungkin mau membantu orang-orang padukuhan yang bodoh itu.”
     “Aku sudah berjanji kepada mereka.”
     Aryabajageni tertawa. “Kau persis Ayahmu.”
     “Jangan bawa nama Ayahku!”
     “Tapi kita tidak mungkin berhadapan sebagai musuh.”
     “Selama kau tidak meninggalkan padukuhan ini, kita akan tetap bermusuhan.” Karebet menatap lelaki bermuka aneh itu. “Kalau kau tidak mau melawanku sekarang, aku tunggu sampai kapan kau siap.”
     Karebet pergi.
     Aryabajageni tetap tersenyum dan membiarkan pemuda itu pergi.
     (bersambung)