Sunday, December 12, 2010

Sapardi Mempertanyakan Kebenaran


Sapardi Djoko Damono adalah sosok sastrawan Indonesia yang lengkap. Dia seorang penyair, pengamat sastra, dan pendidik yang tekun—bahkan sempat menjadi birokrat kampus. Lebih menarik lagi, hingga usianya yang ke-70 tahun, lelaki ini tetap aktif berkarya. Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus. Hingga kini, karya-karya semacam itu terus lahir darinya. ”Saya terus menulis. Kalau tidak menulis, sepertinya ada sesuatu yang hilang. Praktis tiap hari saya di depan komputer, pokoknya tak-tuk, tak-tuk...,” katanya seraya memeragakan orang mengetik.

Kami ngobrol santai di rumahnya yang bersahaja di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia (UI) di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, pertengahan November lalu. Malam itu gerimis. Udara lembab dari Setu Gintung di belakang rumahnya sesekali menyelinap masuk lewat jendela. Seniman itu tampak segar dan bersemangat. Maklum saja, tak banyak sastrawan yang dikaruniai umur panjang dan tetap punya energi besar untuk berkarya. Dia sempat menjalani operasi katarak di matanya beberapa waktu lalu, tetapi kini sudah sembuh.

Setiap hari lelaki ini biasa bangun subuh. Setelah sarapan, kerap kali dengan masak sendiri, dia minum kopi. Kalau ada jadwal mengajar, seperti di UI atau Institut Kesenian Jakarta, dia segera berangkat ke kampus. Kalau tidak, dia kerap memilih tinggal di rumah. ”Saya membuat puisi, kadang menulis cerita, atau menerjemahkan teks sastra Inggris,” katanya. Sapardi menunjukkan puisi terakhirnya, Sajak dalam Sembilan Bagian, yang terbit di Kompas, pekan sebelumnya. Baginya, menulis adalah pekerjaan yang tak kenal pensiun.

Kapan pertama kali menulis puisi?

Saya pertama kali membuat puisi tahun 1957 saat umur saya 17 tahun. Tapi, puisi saya baru diterbitkan tahun 1958 di Majalah Mimbar Indonesia. Setelah itu sampai sekarang saya terus menulis puisi. Saat kuliah di Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta (tahun 1958-1964), saya berlatih sandiwara, menjadi sutradara, dan bergabung dengan kelompok WS Rendra. Kadang, saya juga menerjemahkan drama dari sastra Inggris.

Bagaimana proses kreatif selanjutnya?

Saya hijrah ke Jakarta tahun 1973 untuk menjadi redaktur Majalah Horison dan mengajar sastra di UI. Bagi saya, masa itu paling kreatif. Sastra Indonesia bangkit dengan banyak inovasi atau eksperimen. Buku kumpulan puisi saya pertama, duka-Mu Abadi, terbit tahun 1969. Sejak awal, bahasa saya memang sudah liris, penuh penghayatan perasaan.

Tahun 1974, terbit dua buku lagi, yaitu Mata Pisau dan Akuarium. Saya mengambil bentuk, yang oleh pengamat sastra asal Belanda, Prof A Teeuw, disebut ”belum ada namanya”. Puisi, tetapi mirip dongeng. Benda-benda menjadi hidup, seperti manusia. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1984, baru terbit lagi Perahu Kertas. Karakter puisinya lebih dikendalikan, lebih halus, selain masuk juga hal-hal baru. Banyak imaji masa kanak-kanak. Tahun 1989, terbit buku Hujan Bulan Juni. Puisinya lebih rapi, menggunakan perlambangan, imaji, seperti hujan. Suasananya sendu, tenang.

Bagaimana kemudian puisi Anda dikenal sebagai puisi liris?

Banyak orang lebih menyukai puisi saya yang liris, seperti tentang hujan dan cinta. Beberapa puisi semacam itu kemudian terkenal, seperti Hujan Bulan Juni atau Aku Ingin. Puisi itu populer karena ada musikalisasi puisi. Banyak anak muda yang hanya kenal lagu itu. Bahkan, ada orang bikin undangan pernikahan yang memuat sajak itu dengan keterangan karya Kahlil Gibran. Puisi ini juga pernah dibaca artis sinetron di televisi, tanpa tahu siapa pengarangnya.

Sapardi menambahkan, sebenarnya puisinya beragam. Tahun 1998, misalnya, dia mengeluarkan buku puisi Arloji, kemudian Ayat-ayat Api (tahun 2000), Mata Jendela (2002), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002). Sebagian puisi di dalamnya bernada protes sebagai respons terhadap suasana pergolakan sosial-politik saat itu, termasuk tentang pembunuhan buruh Marsinah atau pendudukan kantor PDI-P. Namun, yang lebih dikenal orang memang puisi-puisi cinta.

Pendidik

Sosok Sapardi juga lekat dengan dunia pendidikan. Begitu selesai kuliah di UGM tahun 1964, dia bekerja sebagai guru. Lelaki ini pernah menjadi guru Bahasa Inggris di Kursus B1 Saraswati, Solo, mengajar Bahasa Inggris di IKIP Madiun, kemudian di Jurusan Inggris Universitas Diponegoro, Semarang. Pindah ke Jakarta, dia lantas mengajar sastra di UI sejak tahun 1973. Ia kemudian dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra UI tahun 1995-1999.

Bagaimana pengalaman Anda selama menjadi dekan?

Itu, kan, seperti arisan dan kebetulan saya yang dapat giliran. Begitu terpilih sebagai dekan, saya tak bisa menolak. Saya belajar manajemen agar bisa masuk dengan pas. Dengan sistem yang sudah jadi, saya fokus membuat gagasan. Kan, nanti ada pegawai-pegawai yang melaksanakannya. Saya pernah memimpin lembaga dari tingkat lebih rendah. Sebelumnya, saya menjadi pembantu dekan III dan pembantu dekan I. Pekerjaan sastrawan itu, kan, tidak setiap hari dan bisa dikerjakan secara sambilan. Beberapa sastrawan lain pernah menduduki jabatan, seperti Umar Khayam atau Budi Darma.

Sastra pop

Sapardi juga dikenal sebagai pengamat sastra. Beberapa esainya kemudian terbit, seperti Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), dan Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990). Sebagai pengamat, seniman ini bisa memetakan perkembangan sastra Indonesia secara lebih jernih karena dia sendiri menjadi bagian dan saksi sejarah sastra selama lebih dari 50 tahun. Teori sastra ditekuni lewat pendidikan akademis hingga tingkat doktoral dan kemudian menjadi guru besar bidang sastra di UI tahun 1994.

Bagaimana Anda melihat perkembangan sastra zaman sekarang?

Sastra berkembang cepat. Buku sastra diterbitkan di mana-mana. Ada kumpulan puisi, cerpen, atau novel. Apalagi sekarang ada media dunia maya di internet yang memungkinkan siapa saja menulis sastra, entah lewat blog, Facebook, Twitter, atau e-mail. Media ini luar biasa karena membuat sastra mudah tersebar ke mana-mana. Semua itu berpengaruh besar terhadap tumbuhnya minat baca dan menulis serta pengembangan bahasa.

Kualitasnya bagaimana?

Jumlah karya sastra banyak dan di antaranya ada yang bagus. Sebagian anak muda serius menguasai bahasa. Yang menarik, para pengarang itu tak terpaut hanya pada bahasa baku, tetapi bahasa sehari-hari, seperti bahasa gaul yang sangat luwes.

Bagaimana dengan sukses pasar novel Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi, misalnya?

Sastra itu bukan barang sakral. Semua orang bisa ambil bagian karena sastra milik kita semua. Dua novel itu termasuk sastra populer. Dalam arti, keduanya mengandung sesuatu yang disukai, pesannya jelas, mencoba untuk luruskan keadaan, dan mengusung kesimpulan jelas: yang benar harus diberi hadiah dan yang salah dihukum. Mungkin ada misi dakwah yang disampaikan secara gamblang. Di luar negeri, sastra populer juga diminati, seperti novel The Da Vinci Code karangan Dan Brown, Twilight karya Stephenie Meyer, atau Harry Potter karya JK Rowling. Karya-karya sastra pop belum tentu jelek dan karya sastra eksperimental juga belum tentu bagus. Itu perkara selera. Biarkan pembaca menilai. Iklimnya sekarang jauh lebih demokratis.

Bagaimana perkembangan sastra yang tidak populer?

Marak juga, tetapi tak banyak yang mengeroyok. Ada perkembangan baru, seperti dari karya Nukila Amal, Djoko Pinurbo, Linda Christanty, dan Ayu Utami. Namun, jangkauannya terbatas. Mungkin Saman karya Ayu Utami bisa jadi contoh sastra inovatif yang laku. Saya menyebutnya sebagai sastra inovatif karena berniat mempertanyakan norma umum, kebenaran. Penulis menyajikan masalah secara baru, mengungkapkan kompleksitasnya, dan mencoba mempertanyakan segala sesuatu, termasuk nilai yang disepakati bersama. Itu pula yang dilakukan Armijn Pane lewat novel Belenggu tahun 1940-an, Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, 1950-an), dan NH Dini (Pada Sebuah Kapal, tahun 1970-an). Mereka mempertanyakan nilai-nilai yang berkembang saat itu, entah soal rumah tangga, perjuangan, atau hubungan antarmanusia.

Nah, pada tahun 2000-an sekarang, beberapa pengarang berusaha mempertanyakan soal seksualitas, agama, hubungan perempuan-perempuan, dan atau membongkar nilai-nilai lain. Di sini, pembaca seperti diajak untuk ikut menulis, menciptakan dunia sendiri yang baru. Teks sastra hanya semacam godaan yang merangsang pemikiran.

Apa relevansi sastra bagi kehidupan sekarang?

Kebutuhan akan sastra itu naluriah. Tak mungkin orang hidup tanpa sastra. Orang tak bisa hidup tanpa dongeng, cerita, atau gosip. Manusia membutuhkan semua itu agar menjadi manusia. Sastra itu, kan, teks cerita yang tercetak dalam buku. Namun, sebenarnya dongeng itu juga bisa berbentuk audio visual, seperti film atau sinetron. Itu bentuk lain sastra. Bahkan, kitab suci agama juga diturunkan dalam bentuk dongeng, seperti kisah Adam dan Hawa. Dari dongeng itu, kita memperoleh nilai, mempertanyakan kebenaran, dan menolong kita untuk menemukan diri sendiri.

Kompas Cetak 12 desember 2010
Oleh Ilham Khoiri

Monday, December 6, 2010

Wiro dan Sindrom Kolonial




Kwik Ing Hoo meninggalkan dunia ini pada Minggu 28 November setelah mencapai usia 89 tahun. Para pelayat di rumah duka Dharma Agung, Teluk Buyung, Bekasi, pada hari itu kemungkinan besar hanya mengenalnya sebagai seorang Rahmat Junus, ayahanda Toni Junus, dan bukan ilustrator komik Wiro, Anak Rimba Indonesia, yang digubahnya bersama Lie Djoen Liem sebagai penulis teks, yang telah pindah ke Amerika Serikat. Padahal, Wiro adalah komik Indonesia yang monumental. Ada selapis generasi di Indonesia, yang pada masa kecilnya di tahun ’50-’60-an begitu bangga berkalung katapel sembari berayun dari dahan ke dahan, tiada lain karena membaca Wiro.

Komik seri Wiro yang terbit dalam sepuluh jilid sejak tahun 1956 adalah komik Indonesia yang paling unik, paling terkenal, dan paling penting di antara para ”Tarzan lokal” karena keberhasilannya membumikan karakter Tarzan ke dalam sebuah konteks Indonesia. Dengan pengakuan terbuka di dalam naratif atas sumber inspirasinya, yakni komik dan film-film tentang Tarzan dari Amerika Serikat, Wiro bahkan seperti membalikkan sudut pandang ”meniru” itu dengan pembukaan: berbagai surat kabar ”di seluruh dunia”, seperti Herald, World Gazette, Saturday Post, dan Morning Post, memberitakan ditemukannya Wiro, yang film tentang dirinya itu, Wiro, The Jungle Boy, diputar di bioskop Rex, Luxor, ataupun Capitol.

Bioskop itu tentulah maksudnya berada di Amerika Serikat, dan film itu tentulah sebuah film dokumenter produksi The American Motion Picture Coy, hasil pekerjaan Dr Watson, yang bersama Miss Lana, seorang ahli serangga, melakukan perjalanan keluar-masuk rimba raya Indonesia. Mereka nyaris terbunuh ketika ditawan ”gerombolan orang-orang liar” di dalam hutan Sumatera Utara jika tidak diselamatkan Wiro, yang kemudian bergabung untuk menjelajahi rimba seperti cita-citanya. Ya, Wiro adalah seorang murid sekolah dasar yang kurang bagus prestasinya di kelas, tetapi akrab dengan binatang, hebat dalam olahraga, dan selalu membaca komik-komik Tarzan di bawah sinar lampu tempel sampai jauh malam.

”Mungkinkah aku berhadapan dengan Tarzan? Siapakah dikau adanya,” tanya Dr Watson ketika ikatan tangannya dibuka Wiro.

”Aku bukan Tarzan, tetapi …. Wiro anak Indonesia,” jawab Wiro dengan tenang.

Prasangka rasis dan eksotisisme

Berbeda dengan pendahulunya, Tarzan of the Apes karya Edgar-Rice Burroughs pada 1912 yang tidak luput dari prasangka rasis, bahwa orang kulit putih lebih superior dibandingkan dengan orang kulit hitam, maka keberadaan Wiro sebagai anak Indonesia yang menggantikan posisi Tarzan jelas mengubah oposisi tersebut, karena dalam perubahan dari wacana kolonial menuju wacana pascakolonial memang tampak berlangsung politik identitasnya sendiri dalam proses pelepasan ikatan dari sindrom kolonial.

Dalam proses, prasangka tidak langsung menghilang. Jika Tarzan adalah bayi manusia yang dirawat kera, maka Wiro meninggalkan rumah dan masuk hutan setelah mengalami tindak kekerasan dari ayah tirinya. Melalui pengembaraannya di dalam hutan, para penggubah komik ini berpeluang menampilkan segenap fauna dengan semangat majalah National Geographic (meski terdapatnya badak di Papua tentu menimbulkan tanda tanya), yakni memperkenalkannya sebagai bagian dari keindahan alam ataupun hukum rimba, yang terpaksa dicampuri Wiro ketika mendapatkan sahabat-sahabatnya: Tesar, harimau yang terjebak akar; Kongga, induk orangutan yang anaknya diselamatkan Wiro dari sambaran ular; dan Sambo, gajah sumatera yang ditolongnya setelah tertimpa batu besar. Adapun monyet kecil Kala, didapatkan Wiro pertama kali sebelum masuk hutan, karena memang dijual di pasar. Demikianlah Wiro menjadi komik Tarzan yang Indonesia sentris.

Dalam jenis ilustrasi naratif alias komik tanpa balon, teks dan gambar tampak cocok, seperti ada kerja sama yang saling menanggapi, sehingga bagaikan tiada bagian gambar yang tidak dijelaskan. Segala kewajaran yang membuat pembacaan tidak terganggu, menunjukkan keterampilan tinggi yang tidak begitu mudah ditandingi, yang tentu juga menunjuk kepada tingkat keahlian Kwik Ing Hoo sebagai ilustrator yang tidak dapat pula diingkari. Namun, justru terhadap ”kewajaran” sebagai wacana, pendekatan realisme yang meyakinkan sebagai ”kenyataan” ini, harus dilakukan sikap kritis.

Posisi Dr Watson dan Miss Lana, misalnya, jelas tetap teracu kepada wacana kolonial, dalam oposisi biner klasik bahwa kulit putih superior dan dalam Wiro ini ”pribumi” tetap inferior; seperti ditunjukkan dalam berbagai bentuk: teknologi kamera, buku-buku ilmu pengetahuan, arsenal senapan dan tank, para portir yang mirip ”jongos” (selalu berpeci), dan apalagi penggambaran suku-suku di pedalaman ataupun di pantai, yang lebih teracu kepada eksotisisme dalam komik dan film Tarzan dari Hollywood daripada suku-suku di pedalaman Indonesia itu sendiri.

Apabila kemudian rombongan ini lantas ”membasmi” sisa serdadu Jepang di Papua, semakin jelas dalam wacana pascakolonial ini pun posisi superior kulit putih tidak tergoyahkan. Masalahnya, bagaimana dengan posisi Wiro sebagai protagonis? Tidakkah Wiro bisa dianggap berada dalam posisi yang tidak lagi inferior berhadapan Dr Watson dan Miss Lana? Sejumlah kajian di lingkungan akademik tentang komik Wiro, berdasarkan penanda bahwa Wiro makan daging babi hutan, membagikan dan menjualnya kepada penduduk kampung yang tidak menolaknya, dan ketika melewati kota selalu terlihat pula arsitektur bangunan kelompok etnik Tionghoa, menyatakan bahwa Wiro berasal dari kelompok etnik tersebut.

Namun, pembuktian semacam itu belum cukup karena rumah dan kampung halaman Wiro sendiri tidak memperlihatkan penanda yang terarah ke sana. Betapa pun, karena Wiro pasti juga bukan bagian dari suku-suku pedalaman atau pantai, mungkinkah karena itu sahih sebagai representasi karakter Indonesia? Pada tahun 1956, baru 11 tahun dari proklamasi 1945, dari para penggubah berlatar etnik Tionghoa, sebuah proyek identitas setelah runtuhnya bentuk tradisional atas identitas akibat modernitas, setidaknya telah menyumbangkan salah satu sumber alternatif bagi konstruksi identitas kebangsaan Indonesia.

SENO GUMIRA AJIDARMA,Wartawan
KOMPAS, MInggu 5 Desember 2010

Sunday, December 5, 2010

SAM (1)


Pengantar
Cerita panjang yang akan hadir ini mengambil latar belakang seorang tokoh misterius dan tokoh penting pada peristiwa yang di sebut dengan G30S/PKI. Lelaki itu bernama Syam Kamaruzzaman. Banyak sekali rahasia yang menyelimuti hidupnya sampai kepada kematiannya, bahkan ada yang meyakininya masih hidup. Jadi cerita yang akan di sajikan ini bermain di wilayah teka teki ini. Tentang sosok lelaki misterius itu.

Ini jelas fiksi, jelas khayalan. Bahkan sebuah khayalan ngawur. Tapi di dalamnya ada data2 bagian dari catatan sejarah yang tersedia di berbagai arsip dan berita. Benar tidaknya sebuah data tetaplah akan menjadi perdebatan. Jadi benar dan tidaknya cerita dalam kisah ini, tetap menjadi kebenaran fiksi, tidak pernah menjadi kebenaran fakta. Jadi nikmati saja sebagai sebuah bacaan ringan. (Lihat posting sebelumnya untuk membaca riwayat Syam Kamaruzzaman)




BAB 1
 


WARUNG Dawet Ayu ‘Mbah Dolah’ terletak di sudut alun-alun kota. Warung itu terbuka dan kebanyakan meja dan kursi di letakkan di halaman. Pemiliknya seorang lelaki berumur tujuhpulah dua tahun yang dipanggil dengan sebutan Mbah Dolah. Dawet ayu adalah sebuah minuman khas kota Banjarnegara yang terbuat dari   Cendol tepung beras, gula aren, gula kelapa dan santan, yang kadang di kombinasi dengan rasa nangka atau durian . Keadaan cuaca sedang cukup panas sehingga akan menyegarkan menikmati segelas es dawet. Apalagi hari minggu seperti ini. Beberapa keluarga sedang menikmati liburan dan hidangan es dawet adalah hal paling menyenangkan. Banjarnegara adalah sebuah kota kabupaten dengan penduduk sekitar 890 ribu jiwa. Secara geografis, Kabupaten seluas 1.064,52 kilometer persegi ini adalah daerah peruntukan untuk pertanian. Sebagian besar daerahnya berupa pegunungan dan perbukitan. Itu sebabnya dinamakan Banjarnegara yang berarti kota sawah.
     Fatimah mengajak ayahnya yang bernama Ahmad Najib Burhani jalan-jalan menikmati hari libur. Ia sendiri sibuk mengajar pada hari kerja. Maka waktu luang itu ia gunakan untuk menyenangkan ayahnya untuk sekadar menikmati segelas es dawet kesukaan Ayahnya. Hanya dirinya yang masih berusaha membahagiakan ayahnya. Dua saudaranya bekerja di Jakarta dan jarang sekali pulang. Ia dan ayahnya yang telah lama pensiun tinggal berdua. Ibunya telah lama meninggal karena sakit. Membahagiakan ayahnya adalah hal terakhir yang selalu  ingin dilakukannya. Bukan karena ayahnya sekarang sudah tua dan membutuhkan teman setelah Ibunya meninggal, tapi lebih kepada pengabdiannya kepada orangtua.
     Ayahnya dulu bekerja di Jakarta. Ia tidak pernah tahu Ayahnya bekerja di bidang apa. Ayahnya hanya mengatakan bekerja di Departemen Luar Negeri. Setelah peristiwa kerusahan di Jakarta tahun 1998 dan pergantian Presiden, Ayahnya meminta pensiun. Dengan pesangon yang cukup lumayan, apalagi untuk seorang pegawai negeri dan ia sempat heran ketika itu, Ayahnya memboyong keluarga pindah ke tanah kelahirannya di Banjarnegara. Ketika didesak kenapa harus pindah, sedangkan mereka merasa tidak bermasalah dengan Jakarta, Ayahnya menjawab, “Ayah ingin tenang.”
      Seseorang ingin ketenangan biasanya karena sakit. Ia tahu persis ayahnya sangat sehat, bahkan sakit flu atau masuk angin sangat jarang dideritanya. Ayahnya disiplin berolahraga dan makan dengan teratur. Kalau hanya karena semakin bertambahnya umur menjadi alasan, banyak orang yang tetap bertahan di Jakarta.  Ayahnya adalah orang yang tegar dalam menghadapi setiap masalah yang menimpa dirinya. Pembawaan dirinya sangat tenang dan selalu menyelesaikan masalah dengan penuh perhitungan. Jadi buat Fatimah, kepindahan mereka sekeluarga ke tanah kelahiran Ayahnya masih merupakan teka-teki sampai sekarang.
     Kedua kakaknya tetap berada di Jakarta untuk bekerja karena mereka merasa di Ibukotalah tanah kelahiran mereka. Tapi ia tidak memaksakan diri seperti mereka karena menyadari hanya dirinyalah yang menjadi teman terakhir ayahnya saat Ibunya telah meninggal. Fatimah merasa bahwa ia melakukan hal yang benar. Dan ia bahagia.
     “Sudah lama aku tidak menikmati dawet ayu,” kata Ahmad Najib Burhani sambil duduk, “Entah seperti apa rasanya sekarang.”
     “Masih sama seperti terakhir ayah meminumnya,” jawab Fatimah sambil menoleh ke arah pelayan yang datang kepadanya, lalu berkata, “Minta dua es dawetnya, Mbak.”
     “Mau pesen makanan juga, Bu?”
     “Ayah mau makan juga?”
     “Ayah hanya ingin menikmati es dawet. Tidak yang lain.”
     Pelayan lantas pergi.
     Fatimah melihat Ayahnya tersenyum. “Kenapa Ayah tersenyum?”
     “Kau dengar tadi pelayan itu menyebut apa sama kamu?”
     “Tampang saya sudah seperti Ibu-ibu rupanya.”
     “Makanya cepatlah mencari jodohmu.”
     “Jodoh ditangan Tuhan.”
     “Bukan Tuhan yang mencarikanmu suami, tapi kamu sendiri.”
     Dari meja disamping Fatimah, seseorang memanggil namanya. Fatimah menoleh. Di meja sebelah duduk seorang pemuda yang sedang berdua dengan Ayahnya menikmati makanan. Fatimah mengenalnya.
     “Hai Dodo? Maaf ya, tidak tahu kamu duduk disitu.” Fatimah berdiri dan mengajak Ayahnya berdiri. “Ayah, kenalkan Dodo Sudirjo teman Fatimah.”
     Ahmad Najib Burhani menyodorkan tangannya sambil tersenyum. Teman Fatimah bernama Dodo itu menyalami dan menyebut namanya. Lalu dia juga meminta Ayahnya berdiri, “Oya, kenalkan juga Ayahku. Ayah ini Fatimah teman saya dan Ayahnya.”
     Fatimah menyalami Ayah Dodo sambil menyebutkan nama dan memberi jalan Ayahnya untuk berkenalan dan bersalaman dengan Ayah Dodo. Ayah Dodo senyum dan menyodorkan tangannya ke Ayah Fatimah.
     “Abusono….” Kata lelaki berkacamata tebal itu singkat.
     “Ahmad Najib Burhani. Tinggal dimana?” Tanya Ahmad Najib Burhani dengan tangan masih salaman, seperti sedang memahami orang yang sedang dikenalkannya. Karena ia merasa tiba-tiba mengenal wajah Abusono meski memakai kacamata tebal. Ingatan tuanya seperti memutar rekaman di kepalanya tentang wajah Abusono di masa lalunya. Dan ia meyakini apa yang dilihatnya tidak berbeda dengan ingatannya. Mengenal wajah seseorang adalah pekerjaannya, maka melihat wajah Abusono menjadi sangat mudah, meskipun wajah itu sudah berkeriput, berkacamata tebal dan kepala sedikit botak.        
     “Di Klampok….”
     “Purworejo Klampok?”
     “Ya...”
“Asli dari Banjarnegara?” Ahmad Najib Burhani berusaha terus meyakinkan dirinya agar tidak salah dengan terus bertanya untuk mendukung keyakinannya siapa orang yang berada didepannya.
     “Tidak. Saya dari Randublatung.” Jawab Abusono mulai tidak nyaman dengan cara menatap Ahmad Najib Burhani.
     “Randublatung? Pemalang?”
     “Bukan. Tuban.”
     “Oh Tuban ya? Tentu saja Randublatung di Tuban.” Ahmad Najib Burhani berusaha menutupi kekagetannya yang besar.  “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
     “Saya yakin tidak.” Abusono menjawab cepat dengan senyum ramah.
     “Saya dulu punya banyak teman dari Jawa Timur, termasuk dari Tuban, sewaktu masih di Pejambon.” Kata Ahmad Najib Burhani seperti membuka diri lebih jauh.
     “Pejambon?” Abusono mengernyitkan dahinya. “Oh Jakarta…,” lalu mukanya berubah menjadi kaget sendiri seperti tersadar dari sesuatu, dan tiba-tiba ia berkata gugup, “Ehm maaf, kami masih ada keperluan lain. Kami permisi dulu.” Wajah Abusono sangat cepat berubah menjadi tegang dan tangannya menggaet lengan anak lelakinya untuk segera pergi dari tempat itu.
     “Sampai ketemu Fatimah,” kata Dodo buru-buru berpamitan.
     Bagi Fatimah tidak ada yang aneh dan ganjil. Tapi tidak bagi Ahmad Najib Burhani. Tangannya kemudian meraba mangkok bakso di meja Abusono dan ia langsung mendapatkan kesimpulan.
“Temanmu pergi buru-buru, Fatimah.”
     “Maksud Ayah?”
     “Makanan mereka masih panas.”
     Fatimah melihat bakso dalam mangkok itu memang masih penuh dan panas. Mungkin baru dua tiga suap dimakan Abusono.
     “Kau sudah lama kenal temanmu itu?” Ahmad Najib Burhani terus melihat kepergian mereka. Rasa penasarannya semakin tinggi dan keyakinannya akan siapa Abusono semakin mantap.
     “Baru sekitar enam bulan. Dodo bekerja di Dinas Kesehatan.”
     “Dia juga bilang bukan berasal dari daerah sini?”
     “Saya tidak pernah bertanya soal itu. Jarang saya bertemu dengan dia, apalagi ngobrol sama dia. “ Fatimah merasa ada yang aneh dengan sikap Ayahnya. “Memangnya kenapa? Ayah mengenal Ayahnya Dodo?”
     “Mungkin.” Ahmad Najib mencium tangannya. “Wajahnya mengingatkan kepada seseorang yang dulu sangat aku kenal. Dulu sekali, sekitar empat puluh tahun yang lalu.”
     “Saat masih di Jakarta?”
     “Saat masih di Jakarta.”
     “Rasanya mustahil, Ayah.”
     “Menurutmu begitu?”
     “Dodo bilang, sebelum dia pindah tugas kemari, mereka tinggal di Aceh.”
     “Di Aceh? Bisa jadi begitu, tapi bisa jadi sebelum mereka berada di Aceh, mereka tinggal di Jakarta. “ Ahmad Najib Burhani terus membuat teori sendiri. “Tapi kau lihat tadi, saat Ayah menyebut Pejambon, dia langsung tahu bahwa itu nama tempat di Jakarta. Apakah itu  suatu kebetulan?”
     “Mungkin Pak Abusono dulu pernah tinggal atau bekerja di sekitar daerah Pejambon.”
     “Itu maksudku. Lelaki itu pernah tinggal di Jakarta. Empat puluh tahun yang lalu dia memang ada di Jakarta. Dan namanya juga mungkin bukan Abusono.”
     Fatimah semakin tidak mengerti pembicaraan Ayahnya. Ia sudah mulai menikmati hidangan didepannya. Tidak peduli dengan ketegangan yang menyergap Ayahnya tiba-tiba.
“Suaranya sangat aku hafal. Masih sama seperti dulu.” Ahmad Najib Burhani masih berkata lagi untuk meyakinkan dirinya. “Bau badannya bahkan sepertinya tidak aneh bagiku. Juga parfum yang dia pakai. Masih sama.”
     “Saya semakin tidak mengerti dengan maksud Ayah.”
     “Ayo habiskan minumanmu. Setelah ini Ayah harus menelpon ke Jakarta.” Ahmad Najib Burhani lantas duduk kembali untuk menghabiskan es dawet ayu. Ia tidak akan bisa lagi menikmati segarnya es dawet ayu yang sudah lama tidak dinikmatinya. Tapi seseorang yang baru saja ditemuinya, membuatnya harus segera melakukan hubungan rahasia dengan Jakarta. Meskipun ia tidak seratus persen yakin bahwa lelaki itu adalah orang yang sangat penting, yang keberadaannya sangat misterius. Bukan hanya buat dirinya sendiri. Tapi buat teman-temannya di Jakarta.
(bersambung) 

Thursday, November 18, 2010

SYAM - Si Lelaki Misterius



Catatan : (Sumber tulisan dari Wikipedia Indonesia)

Nama aslinya adalah Sjamsul Qamar Mubaidah. Dia merupakan tokoh kunci G30S dan orang nomor satu di Biro Khusus PKI yang bertugas membina simpatisan PKI dari kalangan ABRI dan pegawai negeri sipil. Sjam kelahiran Tuban, Jawa Timur pada 30 April 1924. Pendidikannya hanya sampai kelas tiga Land & Tunbow School dan Suiker-School, Surabaya. Karena Jepang keburu masuk Indonesia, Sjam tidak menamatkan sekolahnya dan pada 1943 dia masuk sekolah dagang di Yogyakarta tapi itupun hanya sampai kelas dua. Setelah proklamasi kemerdekaan, Sjam ikut berjuang memanggul senjata dalam pertempuran di Magelang tahun 1945-1946, Ambarawa dan Front Mranggen, Semarang.

Dia sempat memimpin laskar di Front Semarang Barat. Sekembalinya dari Front tersebut, ia menjadi anggota Pemuda Tani dan menjadi pemimpin Laskar Tani di Yogyakarta. Tahun 1947, menjelang Agresi Militer Belanda I, ia membentuk Serikat Buruh Mobil, sebuah organisasi buruh yang berhaluan kiri. Pada akhir 1947, ketika Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan didirikan, Sjam juga menjadi pimpinan bakhan kemudian menjadi ketua. Ia banyak mempelajari teori Marxis pada periode tersebut. Pada tahun 1950, dia menjadi Wakil Ketua Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Tahun 1951 sampai 1957, dia menjadi staf anggota Dewan Nasional SOBSI

Dan barulah semenjak 1957 dia menjadi pembantu pribadi D.N. Aidit. Mulai tahun 1960, Sjam ditetapkan menjadi anggota Departemen Organisasi PKI. Empat tahun setelah itu, dia memperkenalkan bentuk pengorganisasian anggota-anggota PKI yang berasal dari ABRI. Lahirlah apa yang disebut Biro Khusus Sentral pada tahun 1964. Ketika mulai dekat dengan Aidit, Sjam menjalin hubungan dengan anggota ABRI. 

Channelnya sangatlah mengagumkan. Ia pernah menjadi informan Moedigdo, seorang komisaris polisi, yang kelak salah satu anak Mudigdo diperistri oleh Aidit. Sjam juga disebut-sebut pernah menjadi intelnya Kolonel Soewarto, direktur seskoad pada 1958. Melalui cabang-cabang di daerah, Sjam berhasil mengadakan kontak-kontak tetap dengan kira-kira 250 perwira di Jawa Tengah, 200 di Jawa Timur, 80 sampai 100 di Jawa Barat, 40 hingga 50 di Jakarta, 30-40 di Sumatera Utara, 30 di Sumatera Barat dan 30 di Bali. 

Sjam ibarat hantu yang bisa menyusup ke mana saja ia mau. Sehingga banyak orang yang yakin bahwa ia sebenarnya agen ganda. Dia tidak hanya bekerja untuk kepentingan PKI, tapi juga bertugas sebagai spionase untuk kepentingan-kepentingan lain. Ada yang meyakini bahwa Sjam adalah agen ganda untuk KGB dan CIA. Lalu ada juga yang bilang bahwa Sjam itu adalah orang sipil yang menjadi informan tentara. Sjam dianggap sebagai tokoh terpenting dalam peristiwa G30S ini yang membuat tidak hanya PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan politik nasionalis runtuh dalam beberapa hari. Dan setelah G30S meletus dan kemudian gagal (atau didesain untuk gagal), Sjam pun menghilang. 

Menurut Mayjen Tahir, perwira pelaksana Team Pemeriksa Pusat, Sjam ditangkap di daerah Jawa Barat sekitar akhir tahun 1965 atau awal 1966. Sjam diyakini sebagai tokoh kunci dalam peristiwa ini, namun sampai sejauh mana dia berperan? Saat Presiden Soekarno sakit, Sjam dipanggil Aidit ke rumahnya pada 12 Agustus 1965. Dalam pertemuan itu, Aidit mengemukakan suatu hal yaitu “Seriusnya sakit Presiden dan kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila beliau meninggal”. Kemudian Aidit meminta Sjam untku “meninjau kekuatan kita” dan “mempersiapkan suatu gerakan”. Atas dasar instruksi tersebut maka Sjam dan rekan-rekannya dari biro khusus membicarakan ikut serta dalam “suatu gerakan”, dan memutuskan untuk mendekati Kolonel Latief, Komandan Brigade Infantry I Kodam Jaya, Letkol Untung, Komandan salah satu dari tiga batalyon pasukan pengawal istana Tjakrabirawa di Jakarta dan Soejono dari AU, komandan pertahanan pangkalan Halim Perdanakusumah. 

Petunjuk inilah yang menunjukkan bahwa Sjam adalah inisiator dari gerakan yang kemudian gagal. Sementara itu, eksekusi terhadap para jenderal,bukan atas inisiatif Sjam. Gathut Soekresno yang dihadapkan sebagai saksi atas perkara Untung tahun 1966 memberi petunjuk bahwa Doel Latief lebih berperan, kendati sebetulnya Mayor Udara Soejono adalah yang bertanggung jawab terhadap nasib para jenderal tersebut. 

Di pengadilan Sjam memang divonis mati. Tetapi banyak mantan tahanan politik di Rumah Tahanan Militer(RTM) Budi Mulia meragukan apakah Sjam betul-betul dieksekusi. Bahkan lebih banyak Sjam dilepas, ganti identitas dan hidup sebagaimana orang biasa atau bahkan sudah kabur ke luar negeri. Semua itu tidak lepas dari jasanya terhadap berdirinya Orde Baru di bawah Soeharto. Memang tidak banyak informasi yang kami dapat tentang Sjam Kamaruzzaman. 

DI MANA SYAM KAMARUZZAMAN ?

Monday, November 8, 2010

Karya Sastra Mengukuhkan Mitos


Banyak bencana alam (tsunami, gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, banjir bandang, tabrakan kereta api, kapal tengelam, busung lapar, dan lain-lain) dihubung-hubungkan dengan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan ada yang menganjurkan agar Presiden RI tersebut menyembelih kambing untuk tolak bala. Sesungguhnya hal itu merupakan lambang kebudayaan yang mengarah perlunya seorang pemimpin yang karismatik, sebagaimana yang diyakini masyarakatnya.

Guru Besar Ilmu Sastra pada Fakultas Bahasa Sastra dan Seni Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, Hasanuddin WS, mengatakan hal itu berkaitan dengan mitos yang berkembang di masyarakat tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan bencana yang beruntun terjadi di masa kepemimpinannya."Satu di antara karismatik pemimpin adalah melalui kemampuan supernatural, misalnya mampu memvisi keadaan atau mempreduksi sesuatu yang bakal terjadi. Dengan demikian, masyarakat yang dipimpinnya akan mengakui kepemimpinannya dengan ikhlas (dalam tradisi kerajaan Melayu dikenal dengan istilah Daulat )," katanya, menjawab Kompas, saat dihubungi di Padang, Minggu (7/11/2010).

Hasanuddin menjelaskan, kehidupan manusia, dan dengan sendirinya hubungan antarmanusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Dalam teks-teks sastra lama, banyak ditemui mitos-mitos tentang keajaiban dan kesaktian yang dimiliki raja, permaisuri, pangeran, dan lain-lain. Sejalan dengan itu, menjadi hal tidak aneh jika pada banyak karya sastra lama ditemukan mitos yang mengukuhkan hal-hal yang telah dipercayai masyarakat karena tuntunan masyarakatnya memang demikian.

Tidak hanya di era Susilo Bambang Yudhoyono ada mitos. Pada era Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan Gus Dur juga berkembang mitos-mitos. Bung Karno telah diramalkan akan menjadi seorang pemimpin besar, karena sewaktu beliau lahir, Gunung Agung meletus sebagai suatu pertanda telah lahir seorang calon pemimpin besar. Soeharto dimitoskan sebagai pemimpin yang mumpuni melalui cerita-cerita heroik, serta digambarkan pula bahwa beliau seorang kejawen yang baik ilmunya. BJ Habibie dan Gus Dus juga diberitakan suka mengunjungi makam-makam orang terkenal untuk menambah kemampuan supernaturalnya.

Hasanuddin berharap, baik kepada peneliti dan penelaah sastra maupun kepada satrawan, kajian kemelayuan dan keindonesiaan sebaiknyalah menyatu dan sejalan dengan kajian terhadap persoalan tradisi, mitologis, dan transformasi budaya. "Hal itu akan memberikan informasi yang memungkinkan peningkatan dan pembinaan terhadap kemampuan berapresiasi sastra," ungkapnya.

Sastrawan dan Guru Besar dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Sapardi Djoko Damono, pada acara Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, akhir Oktober lalu, mengatakan, perhatian terhadap khazanah sastra lama sudah selayaknya ditingkatkan. Sebab, kekayaan itulah yang bisa memberi keyakinan bahwa kita tidak hidup sekarang saja, tetapi benar-benar ada sejak berabad-abad yang lalu.

"Sastra lama merupakan salah satu landasan keberadaan kita sebagai suatu bangsa. Perhatian terhadap sastra lama ini sangat bermanfaat untuk meneguhkan adanya tradisi penulisan dalam sastra Indonesia; di samping itu sastra lama juga merupakan sumber acuan penting bagi karya satra masa kini," katanya. Menurut Sapardi, sastra adalah seni bahasa, dan dalam hal ini bahasa adalah mitos, istilah yang lebih keren untuk dongeng. Dongeng dihasilkan oleh masyarakat untuk menjawab begitu banyak pertanyaan yang muncul ketika mereka menghadapi dan menjalani kehidupannya.

Penulis: Yurnaldi
KOMPAS.SENIN 8 NOVEMBER 2010

Wednesday, November 3, 2010

Terorisme dan Film "in The Name of God"


Terorisme dan segala bentuk ekstimisme serta segala upaya radikalisme dan kekerasan merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan, walaupun hal itu dilakukan atas nama Tuhan, demikian kiranya pesan yang ingin disampaikan melalui sebuah film Pakistan, "In The Name of God". "Terorisme, ekstrimisme, dan radikalisme yang berbasis atas salah interpretasi terhadap ajaran Islam merupakan sesuatu yang salah, dan kami sedang mencoba mengenalkan bagaimana kehidupan warga Pakistan yang sebenarnya kepada dunia," kata Duta Besar Pakistan untuk Indonesia, Sanaullah.

Melalui acara pemutaran perdana film yang aslinya berjudul "Khuda Kay Liye", Selasa, Kedutaan Besar Pakistan di Jakarta mengajak warga Indonesia untuk mengenali Islam di Pakistan secara lebih dalam sekaligus menegaskan posisi Pakistan sebagai negara yang menentang terorisme. "Saya harap anda akan memahami maksud pesan yang disampaikan dengan menganalisa setiap pesan yang ada dalam film tersebut," kata Dubes Sanaullah."Film ini telah menjadi perdebatan di antara para politikus, petinggi agama, parlemen, sineas, bahkan warga biasa," ujarnya.

Film garapan sutradara Pakistan, Shoaib Mansoor, ini diperankan 3 bintang muda yang berakting luar biasa, Shaan (sebagai Mansoor), Fawad Khan (Sarmad), dan Imam Ali (Mary).Lokasi film ini ini pun bertemat di tiga benua, Pakistan (Asia), Chicago (Amerika) dan London (Eropa).

Mansoor dan Sarmad adalah dua orang musisi muda berbakat yang sudah punya banyak penggemar di Lahore. Karena perbedaan pendapat, kedua orang yang sebenarnya bersaudara ini jadi terpisah. Mansoor memilih tetap menjadi musisi sementara Sarmad memilih menjalani hidup sebagai muslim garis keras. Sang kakak, Mansoor yang melanjutkan sekolah Musik di Amerika kemudian menikah dengan teman sekelasnya, warga Amerika, Janie (Austin Marie Sayre), sedangkan sang adik Sarmad (Fawad Khan) yang terpengaruh oleh seorang imam Islam Fundamentalis, meninggalkan karirnya sebagi musisi dan memilih bergabung dengan jaringan teroris Taliban.

Karena alasan agama, Sarmad menikahi paksa anak dari pamannya, Mary (Iman Ali) seorang gadis warganegara Inggris keturunan Pakistan yang semenjak lahir hidup di London dengan budaya Barat. Prinsip ayah Mary (Hussain), "Pria Muslim boleh menikahi wanita non-Muslim, namun sebaliknya wanita Muslim dilarang." Ayah Mary yang tidak tahan dengan gunjingan komunitas Pakistan di London karena Marry menjalin hubungan dengan pria kulit putih akhirnya mengajak putrinya ke Pakistan, untuk secara diam-diam menikahkan putrinya dengan Sarmad. Mary pun terpaksa harus tinggal di daerah terpencil di perbatasan Pakistan-Afganistan sampai pemerintah Inggris menyelamatkannya. Kemudian terjadilah peristiwa 11 September 2001 yang merombak segalanya, bukan saja meruntuhkan Menara Kembar di New York namun banyak warga dari negara Muslim, seperti Pakistan, yang dituduh terlibat jaringan terorist Al Qaida pimpinan Osama Bin Laden.

Dalam film yang berdurasi lebih dari dua jam tersebut banyak terdapat dialog-dialog tentang pro-kontra dalam agama Islam, tidak hanya seperti yang terjadi saat ini antara Barat dengan Islam, tapi juga Muslim garis keras dengan Muslim moderat.

Shoaib Mansoor seolah mendambakan Pakistan yang lebih terbuka setelah tokoh Mary yang memenangkan hak asuh anak dan gugatan di pengadilan, walau pada akhirnya ia membatalkan tuntutan dan kembali ke wilayah pedalaman Afghanistan, tempat ia disekap selama beberapa lama.

Dalam praktiknya justru kini Taliban terus memerangi pemerintahan berdaulat Pakistan dengan menuduh pemerintah yang berlegitimasi itu sebagai "boneka" yang dikendalikan oleh Amerika Serikat, sekutu mereka di masa Perang Dingin, saat seterunya India memilih Rusia sebagai mitra yang erat.

Film "In The Name of God" sendiri telah mendapatkan sejumlah penghargaan dari berbagai festival film dunia khususnya dalam JIFFest (Jakarta International Film Festival) mendapatkan sebutan sebagai, "Film dengan Aklamasi secara Menyeluruh." "Khuda Kay Liye: In The Name of God" akan diputar di bioskop-bioskop Jakarta terhitung 4 November nanti.

KOMPAS 3 NOVEMBER 2010

Tuesday, November 2, 2010

BARET HITAM (1)



PENGANTAR

Cerita bersambung yang akan hadir ini mengambil latar belakang setelah kejadian jajak pendapat Timor Timur 1999 yang akhirnya 78,5 persen penduduk menolak otonomi khusus dan memilih untuk memisahkan diri dari NKRI. Setelah itu PBB mengirimkan International Force East Timor atau INTERFET  dibawah komando Mayor Jendral Peter Cosgrove dari Australia, dengan alasan utama mengamankan rayat Timor Timur.  Apa yang sebenarnya terjadi saat pasukan Australia itu berada di Timor Timur?

 

BAB SATU


Jalur Selatan Jawa Tengah sedang diliputi kabut asap yang lumayan mengganggu pandangan mata. Tapi Tarik memacu jeep Land Rover tuanya dengan kecepatan tinggi.  Walaupun itu juga tidak memberinya rasa yakin bahwa ia tidak akan terlambat di tempat tujuan untuk membicarakan bisnis onderdil mobil ex Singapura dengan orang-orang di pelabuhan Cilacap. Ia telah diberitahu seseorang kalau barang-barang dari negeri seberang itu sangat diminati pedagang lokal karena harganya murah dengan kualitas barang yang masih bagus. Artinya kalau ia sampai terlambat, orang lain akan dengan cepat sekali mengambil alih. Apalagi ia pemain baru di bisnis itu dan ia sudah mulai serius memikirkan akan terus menekuni bisnis itu.
     Dari radio di mobilnya terdengar suara Presiden berpidato, ".....sekalipun integrasi Timor Timur ke dalam negara Kesatuan Republik Indonesia secara legal konstitusional, tapi hal itu tidak diakui masyarakat Internasional dan Portugal masih tetap mencantumkan Timor Timur sebagai wilayahnya......"
     Tarik mematikan radionya dengan kesal. Ia mestinya tidak jadi presiden, pikirnya jengkel. Akhir-akhir ini ia tidak bisa berpikir dengan tenang. Bukan soal usaha bengkel mobilnya yang mulai berkembang, bukan pula soal dirinya yang kesepian tanpa seorang wanita yang seharusnya menjadi istrinya. Tapi ia begitu terganggu dengan berita-berita tentang Timor Timur.
     Sebuah pulau kecil yang tidak seberuntung sumber daya alamnya dari pulau-pulau lain di kepulauan Nusantara, tapi kepopulerannya jauh melebihi isu apapun di Indonesia, dengan puncak ketenarannya saat jajak pendapat yang diadakan PBB, dengan pilihan merdeka yang diberikan oleh Jakarta. Ia mendengus marah saat tahu pulau kecil itu akhirnya lepas dari Republik Indonesia. Keputusan yang salah yang diambil pada saat yang salah oleh sebuah kebijakan yang salah, pikirnya. Ia tidak tahu persis kenapa kebijakan merdeka itu harus keluar. Terlalu banyak yang dipertaruhkan kalau tetap membuat Timor Timur sebagai propinsi ke 27, tapi itu tidak berarti harus serta merta membuat keputusan yang salah.
Baginya keputusan itu salah besar. Tidak mempertimbangkan lebih dahulu apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya yang membuat pulau kecil itu menjadi benar tata pemerintahannya dan berkembang seperti halnya propinsi lain, setelah ratusan tahun di jajah Portugis dan ditinggalkan begitu saja dengan menyisakan bencana mengerikan;  perang saudara yang berdarah-darah dan kelaparan. Darah dan nyawa telah diperjuangkan dengan berbagai kekuatan, termasuk militer, untuk membuat pulau itu beradab. Barangkali salah kebijakan militer yang diterapkan dengan sangat keras. Tapi situasi telah memaksa militer lebih berperan daripada polisi, karena yang dihadapi bukan lagi kriminal jalanan, melainkan kekuatan bersenjata yang didukung oleh kekuatan asing.
Tarik telah mengikuti berbagai operasi rahasia yang dilakukan di pulau kecil itu untuk menumpas gerombolan pengacau keamanan yang sebenarnya adalah sebuah perkumpulan orang-orang terlatih baik, baik dari segi militer maupun soal diplomasi. Bukti pilihan lepas dari Indonesia adalah kemenangan terbesar mereka dengan diplomasi internasional nomer satu. Bahkan diplomat kementrian Luar Negeri di Jakarta dengan mudah didahuluinya seolah baru saja belajar bagaimana diplomasi yang cepat mendapat perhatian dunia.
Telepon genggamnya berdering. Dengan gugup diraihnya gagang telepon dan suara pegawai bengkelnya terdengar ditelinganya dengan sangat jelas.
“Ada tamu dari Jakarta, Pak.”
“Tamu dari Jakarta?"
"Benar, Pak."
"Ah…kamu tahu yang harus kamu katakan.”
“Sudah, Pak. Beliau yang meminta bapak untuk kembali.”
Belum pernah ada orang berlaku menyebalkan seperti ini, pikirnya. “Bahkan saya belum sampai di pelabuhan.”
“Katanya sangat penting, Pak.”
“Kamu pikir aku sedang menuju tempat rekreasi?”
“Beliau bilang tidak bisa menunggu lama, Pak.”
“Memangnya siapa dia?” Nada Tarik jadi meninggi.
“Beliau mengatakan namanya Wenang Pati.”
Mobilnya langsung berhenti mendadak, sehingga mobil dibelakangnya kelihatan panik dan membanting kemudi dan mendahuluinya sambil sopirnya memaki-maki. Tarik tidak mempedulikannya, bahkan andai orang itu akan mengajaknya berkelahi tidak dilayaninya meski ia bisa mudah melakukannya.
Setelah sekian lama, baginya terlalu lama, berada di sebuah daerah kecil di pantai selatan pulau Jawa, tempat ayahnya berasal, ia merasa mendapatkan gairah hidup kembali. Ia bisa tiap hari bertemu kerabat ayahnya atau orang-orang yang bersedia menjadi temannya dan melakukan apasaja dengan mereka. Tapi itu hanya membuatnya terhibur sesaat. Hidupnya kosong dan tidak berarti apa-apa. Hanya kesibukan di bengkel yang bisa melupakan semuanya, selebihnya memancing di laut atau naik gunung. 
Tapi kali ini ia mendapat kabar paling menyenangkan. Ia merasa beban pikiran yang akhir-akhir ini membuatnya terganggu, hilang dengan sendirinya. Walaupun Wenang Pati bukan orang yang diharapkannya, bahkan ia harus membencinya, tapi nama itulah yang paling ditunggunya dengan masalah Timor Timur. Ia memacu mobilnya dengan lebih kencang tanpa berpikir untuk membatalkan pembelian onderdil mobil. Ia harus membuat hatinya nyaman dengan kembali daripada melanjutkan bisnisnya dengan pikiran tegang.
Wenang Pati merupakan ayah kandungnya di militer. Banyak yang merasa iri ia menjadi anak emas Wenang Pati. Sebagai atasannya di kesatuan Kopassus, pendidikan terbaik telah diterimanya. Ia telah dilatih di sekolah komando sebelum akhirnya ia dikirim ke Fort Bragg, North Carolina untuk mendapatkan pendidikan Army Special Force, dilanjutkan di Fort Benning Georgia untuk pendidikan Advanced Infantry Officer. Sampai pendidikan terakhirnya di Jerman, ia mendapat predikat sebagai lulusan terbaik untuk gerilya kota.
Wenang Pati pernah mengatakan kepadanya bahwa suatu saat ingin melihatnya menggantikan dirinya dan bahkan lebih dari itu, menjadi Panglima Tertinggi di militer. Jalan untuk itu membentang lurus didepannya dengan bekal pendidikan yang didapatnya. Tidak ada hambatan apapun sampai kemudian datang malapetaka itu. Baginya itu malapetaka paling buruk sepanjang hidupnya daripada menyebutnya sebuah nasib sial. Wenang Pati adalah satu-satunya orang yang percaya bahwa ia tidak pernah mempunyai ambisi terselubung, apalagi keinginan menggunakan keahliannya di bidang militer untuk melakukan tipu muslihat merebut kekuasaan Presiden.
Menjadi tentara adalah keinginan terakhirnya di dunia. Ia dilahirkan di sebuah keluarga yang semuanya menyukai dunia bisnis, bahkan keluarganya telah memiliki jaringan bisnis besar yang bisa mempekerjakannya dengan kedudukan tinggi. Tapi karirnya di militer yang cepat menanjak membuatnya sadar bahwa ia telah mengambil keputusan benar sebagai jalan hidupnya. Ia merasa nyaman berada di barak, dan lebih nyaman berada di lapangan yang suasananya penuh tantangan. Terlalu berharga hidup sebagai tentara yang harus disia-siakan hanya dengan berebut kedudukan. Perkara bahwa karirnya cepat sekali naik, semata karena Wenang Pati menganggapnya terlalu berbakat menjadi tentara. Ia hanya tersenyum kecut ketika itu, dan dijawabnya, “Bakat itu urusan anak umur lima tahun yang bisa menciptakan pesawat terbang.”  Sampai kepada malapetaka yang merenggutkan karirnya, ia masih merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi tentara.
Keberuntungan yang dimilikinya adalah ia selalu dipengaruhi akar hidupnya, yaitu darah bisnis. Sejak kecil telah dihirupnya bau dunia itu karena ayahnya adalah jagoan untuk urusan dagang. Telah dipersiapkan dirinya bagaimana caranya mencari uang dengan keuntungan berlipat ganda dengan hanya duduk di belakang meja. Paling tidak hanya dengan bertemu orang, berjabat tangan dan menerima selembar cek.Tak ada pekerjaan yang lebih mudah daripada ini, pikirnya ketika itu.
Pikiran itulah yang membangkitkan semangatnya begitu karir militernya dihentikan markas besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Walaupun ia harus pergi menyingkir dan mengasingkan diri di sebuah desa di kaki gunung Menoreh di pantai selatan Pulau Jawa. Ia melakukannya untuk menghindarkan fitnah yang lebih besar. Ia terima keputusan terburuk dalam hidupnya itu karena ia tidak mau memperpanjang perdebatan siapa menyalahkan siapa. Kebenaran hanya ada didalam hati. Tidak ada yang lebih tahu tentang isi hati orang selain orang itu sendiri. Karena keyakinannya itu ia harus pergi.
“Saya mengalamai banyak tekanan batin yang mungkin orang lain tak harus memikulnya,” katanya kepada Wenang Pati sebelum ia pergi dari Jakarta.      
(bersambung)  


Monday, November 1, 2010

Anak Muda Suka Mengkhayal?


Menurut Merriam-Webster, imajinasi adalah ”kemampuan untuk membentuk citra mental dari hal-hal yang secara fisik tidak hadir atau tidak pernah dilahirkan atau diciptakan oleh orang lain”. Bahkan, imajinasi, sering kali disebut juga sebagai kemampuan kreatif dari pikiran manusia. Jika memang demikian, dengan nekat saya simpulkan bahwa tidak ada kreativitas yang tidak dimulai dari sebuah imajinasi manusia.

Mengkhayal atau berimajinasi adalah aktivitas otak yang sudah biasa kita lakukan sejak kita kecil. Jadi, ”jagoan” seperti tokoh di film-film kartun, jadi ”puteri cantik” seperti tokoh komik adalah contoh khayalan yang sering dilakukan oleh anak-anak. Yang tentunya bila dilihat dari variasi topik khayalannya, memang masih sangat terbatas karena informasi yang sudah diterima oleh anak kecil juga sangat minim. Paling-paling hanya seputar tontonan film kartun, bacaan komik, dan dongeng yang didengar.

Nah, waktu beranjak remaja hingga usia anak muda, input informasi semakin banyak dan beragam.Bisa didapat dari sekolah, lingkungan sosial, bisa lewat media cetak, maupun media elektronik. Yang paling deras saat ini di kalangan anak muda, apalagi kalau bukan internet yang menjadikan khayalan anak muda makin beragam dan tinggi sekali frekuensinya jika dibandingkan anak kecil.

Umumnya kapan sih, anak muda itu mengkhayal? Ternyata menurut pengakuan mereka, mengkhayal itu bisa terjadi kapan saja dan tergantung pada objek imaginasinya. Ada yang terjadi secara spontan dan mengalir, yang biasanya muncul saat santai alias otak sedang nganggur. Di saat seperti ini, berbagai input informasi bisa menjadi bahan khayalan. Sebagai contoh, saat santai nonton TV, acaranya tentang objek wisata yang keren banget dan eksotik. Nah, biasanya pikiran langsung spontan mengkhayal, ”enak juga ya klo bisa liburan ke sana, apalagi bisa traveling keliling dunia.....”

Ada juga jenis imajinasi yang tidak spontan, tapi memang disengaja sebagai bagian dari berfikir kreatif. Misalnya, saat membuat karya ilmiah, produk inovatif, karya seni, karya tulis, dan masih banyak lagi. Semuanya dituangkan lebih dulu di pikiran, di angan-angan sampai terbentuk citra tertentu yang nantinya akan dimanifestasikan ke bentuk yang lebih konkret. Namun, sudah pasti yang frekuensinya lebih tinggi di kalangan anak muda, ya khayalan-khayalan spontan.

Khayalan anak muda juga mengalami evolusi seiring pertumbuhan usia dan kedewasaan berpikir. Pada usia yang lebih muda, imaginasinya jauh lebih berani dan liar. Rasanya tidak ada hal yang bisa menghalangi imaginasi mereka. Imaginasi menjadi seperti sebuah impian sekaligus harapan. Dan, di usia yang lebih muda, masih banyak waktu terbentang di depan untuk mengusahakan imaginasi mereka jadi kenyataan. Buat anak muda, mengkhayal itu enak, apalagi belum terkontaminasi sama rumitnya ”hidup”. Daya imaginasinya jadi tinggi.

Semakin dewasa, masuk ke usia 20 hingga 30-an, khayalan anak muda mulai berkurang dan mengerucut dalam hal jumlah. Namun, khayalan itu mengkristal menjadi obsesi yang dikejar. Jadi, anak muda yang lebih dewasa, lebih fokus dalam berimaginasi. Ketika saya tanyakan kepada mereka, mengapa terjadi evolusi seperti itu, jawaban mereka adalah karena semakin dewasa, semakin sulit buat mengkhayal dan terbentur lagi dengan batasan-batasan realitas.

Tentu, akhirnya tidak semua khayalan masa remaja dikejar semua. Ada satu contoh soal ini. Ada seorang pemudi yang juga menjadi responden dari riset yang kami lakukan menyatakan bahwa dulu ia mempunyai banyak sekali khayalan. Bahkan, ia sempat berkhayal jadi artis terkenal. Saat itu, ”modal” cukup memadai, masih muda, cantik, dan sepertinya dia bisa akting juga.

Tapi, karena agak kurang percaya diri, takut tidak bisa tampil dengan baik, akhirnya selalu ada alasan untuk menolak setiap tawaran. Sehingga setiap kesempatan yang datang akan terlewat semua. Padahal tawaran itu datang bukan cuma sekali. Akhirnya, tiba waktunya untuk berkeluarga, punya anak, dan tanpa disadari usia terus beranjak mendekati kepala tiga, dan secara alamiah kualitas penampilannya sudah tidak ”sebaik” waktu muda. Belum lagi ditambah dengan adanya tanggung jawab sebagai istri dan sebagai ibu. Realitas seperti inilah yang akhirnya membatasi imajinasinya. Ia mulai fokus pada khayalan baru yang justru menjadi obsesi untuk dikejar, yaitu sukses dalam bisnis dan sukses sebagai istri.

Di sini, jelas polanya bahwa pada masa kecil seseorang sudah mulai berimaginasi. Ketika memasuki masa remaja dan usia anak muda, variasi dan frekuensi khayalan mencapai titik tertingginya. Inilah yang menjadi penyebab mengapa usia muda menjadi usia kreativitas. Dan, ketika semakin dewasa, frekuensi dan variasi khayalan semakin berkurang. Namun, ia lebih fokus dan seringkali bergeser menjadi sebuah obsesi yang dikejar.

Melalui Djarum Black Innovation Awards, terlihat bahwa PT Djarum berusaha memberikan wadah bagi anak muda Indonesia untuk terus berkhayal, terus berimaginasi untuk melahirkan karya-karya baru yang inovatif dan kreatif yang berguna bagi masyarakat banyak.

Lain lagi yang ditempuh oleh PT Unilever Indonesia Tbk dengan program AXE Twist Island-nya yang mengajak anak muda—khususnya laki-laki untuk mengkhayal berubah menjadi sesuatu agar pacar nggak bosen. Dengan iming-iming, pemenang program ini akan dibawa terdampar bareng AXE babes yang seksi di AXE Twist Island. Tentu saja, hadiahnya sudah menjadi imaginasi liar banyak anak muda, khususnya laki-laki. Hmm, satu cara yang kreatif, mengelitik, dan sedikit nakal dalam mewadahi anak mudah terus berkhayal.


Hermawan Kartajaya (Founder & CEO, MarkPlus, Inc)
Bersama Joseph Kristofel (Associate Research Manager, MarkPlus Insight)
KOMPAS, 14 Oktober 2010