Pengantar
Pada tanggal 21 Mei 1998 jam 09:02:45, Jenderal Besar
Soeharto memutuskan mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia.
Mahasiswa di gedung DPR/MPR bersorak menang.Itulah tonggak awal Reformasi. Tapi apakah yang sebenarnya terjadi sebelum hari bersejarah itu di Jakarta. Ada rahasia apa di balik peristiwa yang akan merubah arah sejarah Indonesia itu?
Mungkin jawaban itu bisa di temukan di cerita bersambung di bawah ini. Cerita ini hanyalah fiktif. Di susun berdasarkan khayalan liar. Disini hanya akan di temukan kebenaran fiksi, tidak ada kebenaran fakta, kecuali peristiwa yang memang terjadi pada saat itu.
Selamat menikmati.
Bangsa Indonesia adalah
orang-orang
yang rendah hati, jujur,
beradab, berbudaya
serta taat beragama.
-
Sir Stamford Raffles
BAB SATU
15 Januari 1998
HADI JAYADI merapatkan kerah jaketnya dan semakin
mempercepat langkah kakinya menyeberang jalan di pertigaan lampu merah Tugu Pak
Tani, takut hujan akan turun lagi. Pak Ong yang berjalan bersamanya seperti
mengerti hal itu. Langkahnya lebih sigap dan cepat, padahal umur mereka tidak
jauh berbeda. Rambut mereka sudah sama-sama beruban dan perbedaan paling
mencolok adalah pada kulit muka mereka. Hadi nampak sekali sudah
berkerut-kerut, sementara Pak Ong masih nampak kencang dan bercahaya, seperti
sering bersolek. Tapi Hadi tak pernah mempersoalkan benar dirinya yang bukan
keturunan Tionghoa seperti Pak Ong atau Jawa koek seperti dirinya. Ia telah
bersahabat sejak muda dengan Pak Ong.
Mereka
sekarang melintas di depan gedung Perusahaan Listrik Negara dan selangkah
kemudian sudah berada di depan gedung Markas Polisi Militer. Telinga tua Hadi
mendengar keramaian disebelah kiri, di seberang jalan. Ia lantas menoleh.
Disana, didepan Kedutaan Besar Amerika Serikat, sedang berlangsung demonstrasi.
"Akhirnya
mereka bergerak juga." katanya seperti kepada dirinya sendiri. "Tidak
apa, daripada tidak sama sekali."
"Menurutmu
mereka terlambat?"
"Sangat
terlambat. Kenapa mereka tidak bergerak sejak setahun yang lalu. Saat
kerusuhan-kerusuhan mulai terjadi?" Hadi seperti menyesalinya.
"Mungkin
sekarang memang waktunya."
"Tanggal
limabelas Januari? Apa bedanya dengan tanggal tigapuluh?"
"Tentu
saja berbeda, Hadi. Semua berbeda."
"Maksudmu
karena hari ini sama dengan Malapetaka limabelas januari?"
"Jangan
bilang kau sudah pikun mengingat peristiwa itu, Hadi."
Tidak
ada yang istimewa dengan tanggal 15 Januari, kecuali untuk orang yang
berulangtahun pada hari itu atau hari pertama kencan dengan kekasih dan untuk sebagian orang yang pernah
mengalami peristiwa di tanggal 15 Januari 1974. Hari itu terjadi suatu
demonstrasi besar yang akhirnya meletus menjadi kerusuhan, yang kemudian
dikenal dengan nama Malapetaka Limabelas Januari atau Malari. Sudah sejak dulu,
hari-hari seperti itu dimanfaatkan oleh berbagai kelompok di luar pemerintahan
melakukan demonstrasi. Akhir-akhir ini demonstrasi berlangsung padat jadwalnya,
yang dilakukan oleh para aktivis pro demokrasi dan mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi di Jakarta.
Hadi
Jayadi paham betul sesuatu akan terjadi. Naluri dan pengalamannya sebagai
seorang wartawan mengatakan demonstrasi akan menjadi gelombang yang membesar
dalam beberapa bulan mendatang. Ia melihat sebuah spanduk yang dibentangkan
para demonstran: KAMI INGIN PERUBAHAN. Pimpinan demonstrasi sedang memberikan
pidatonya dengan memegang megaphone sambil berjalan-jalan agar suaranya bisa terdengar
meluas. Lehernya bersimbah keringat dan keluar otot-ototnya seperti pipa-pipa
minyak. Aparat kepolisian yang jumlahnya terbatas dan tidak bersenjata
berjaga-jaga dengan sangat serius didepan pintu gerbang, seolah yang dijaga
adalah sebuah gedung yang sangat
penting. Padahal kedutaan itu dilengkapi dengan sistem keamanan yang paling
canggih, bahkan lebih canggih daripada sistem keamanan Istana Merdeka yang
letaknya hanya dibatasi lapangan Monumen Nasional di sebelah utara. Gedung
kedutaan Amerika berpagar pondasi batu kali yang kokoh dan mempunyai pintu
gerbang yang sangat tinggi, yang hampir menutupi bentuk gedungnya sendiri.
Terletak persis di samping jalan layang rel kereta api dan hanya beberapa puluh
meter dari stasiun Kereta Api Gambir, dan di samping kirinya adalah gedung
Balaikota.
Letaknya
yang sangat strategis dan mudah dicapai dari berbagai penjuru jalan, membuat
penjagaan di lakukan dengan sangat menyolok. Sesaat kemudian satu mobil truk
yang berisi satu kompi polisi bersenjatakan senapan laras panjang, datang ke
arah para demonstran. Mereka bergerak cepat, membentuk pagar didepan gerbang
kedutaan, dan mengelilingi para demonstran, seperti mengepung, dengan senapan
yang siap menyalak. Komandan lapangan memegang radio yang terus menerus
menyala, entah di hubungi siapa dan menghubungi siapa, tapi kemudian ia
mendekati pimpinan demonstrasi.
Hadi
Jayadi segera membetulkan letak topinya, lalu menyeberang jalan bersama Pak
Ong, mendekati kerumunan demonstran itu. Untuk beberapa lama, ia tidak pernah
melihat aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dan aktifis pro
demokrasi. Tapi sekarang ia hanya
melihat dan mencatatnya di buku untuk disimpan, tidak untuk diturunkan di surat
kabar tempatnya bekerja dulu. Sudah banyak wartawan media cetak dan elektronik
berada di sekitar para demonstran, seperti laron yang mengerumuni cahaya lampu.
Aksi demonstrasi sekarang kelihatannya akan menjadi membesar.
"Kita
menunggu sampai mereka bubar, Hadi?"
"Tentu
saja, Ong. Siapa tahu ada kejadian penting."
"Maksudmu
bentrokan?"
"Mungkin
saja."
"Kalau
begitu aku akan pergi saja. Aku tidak mau mati konyol disini."
"Takut
amat sih. Kita toh
pernah mengalami yang lebih buruk dari itu."
"Itu
kan tigapuluh tahun lalu."
"Aku
belum pikun mengingat soal itu." Hadi Jayadi nampak sekali bersikeras
tidak mau beranjak. Apalagi kemudian ia melihat seorang lelaki tua yang merokok
dengan cara merokok yang ia sangat hafal dengan jaket tebal membungkus tubuh
tuanya. Hadi segera mendekati lelaki yang berdiri melihat para demonstran itu.
Memandangnya lama untuk menarik perhatian laki-laki itu. Ia ragu untuk menyapa
tapi akhirnya ia berkata begitu saja, "Apa kabar?"
Laki-laki
yang terus menerus merokok filter itu menoleh. Wajahnya biasa saja. "Apa
kita saling mengenal?"
"Kau
tidak ingat aku?"
"Tidak."
Laki-laki itu melirik juga kepada Ong dengan acuh tak acuh.
"Hadi
Jayadi. Wartawan. Jakarta 1965." Hadi berharap lelaki itu menyebutkan
namanya. Nama aslinya.
Laki-laki
itu mengernyitkan dahi, seperti sedang mengingat. "Oh, sudah lama sekali
ya." Lalu bersikap acuh tak acuh dan menyedot rokok filternya dengan kuat.
"Ya,
lama sekali." Hadi nampak begitu gembira. "Masih berhubungan dengan
CIA?" Ia terus memancing.
"Aku
sedang berusaha pensiun."
"Bagaimana
dengan KGB?"
"Sejak
Uni Sovyet bubar, aku diberhentikan."
"BAKIN?"
"Mereka
mengurangi pegawai."
"BAKIN
memecat pegawai?" Hadi tertawa kecil. "Hanya pabrik sepatu yang wajar
memecat buruhnya."
Laki-laki
itu tidak terpengaruh suara tawa Hadi. "Aku harus pergi."
"Masih
ngantor?"
"Aku
masih dibutuhkan." Ia membetulkan letak kerah jaketnya sebelum melangkah pergi
tanpa pamit lagi. Menuju arah dimana ia datang, menyeberangi jalan.
"Siapa
dia? Temanmu?" tanya Pak Ong penasaran.
"Kau
tidak ingat dia?"
"Mungkin
sudah tidak ingat, tapi apa dia bekerja untuk agen rahasia Amerika?"
"Dulunya."
"Sekarang
tidak lagi?"
"Entahlah."
"Siapa
namanya?"
"Aku
sendiri tidak yakin benar nama dia sebenarnya. Aku hanya pernah dengar dia
menyebut dirinya Sam."
"Sam?"
"Sam."
"Hanya
Sam?"
"Hanya
Sam."
"Masa
hanya Sam. Mungkin Sam Sarumpaet atau Sam Su, begitu?"
"Bisa
apasaja. Aku hanya hafal cara merokoknya. Aku menyebutnya si doyan rokok."
"Antik
juga namanya."
"Antik?
Barang kuno antik."
***
Hadi
Jayadi, telah berumur tujuhpuluhlima tahun, tapi badannya masih tegap sehat
dengan kulit wajahnya yang masih kencang meski keriput tidak bisa disembunyikan
lagi. Sepasang matanya tajam dengan rambut telah memutih semua. Ia barangkali
termasuk orang beruntung diberi umur panjang dan bisa melewati tiga jaman.
Kehidupan jaman revolusi dilewatinya dengan ikut berperang melawan penjajah
sebelum akhirnya merdeka. Ia merasa tidak cocok menjadi tentara dan itu
membuatnya menekuni dunia jurnalistik. Ternyata menjadi wartawan lebih banyak
memberinya keuntungan dengan mengenal banyak orang dari berbagai macam
pekerjaan. Bisa mempunyai teman di luar negeri dan itu sangat membantu dirinya
untuk maju.
Pada
tahun 1961, ia berkenalan dengan
Ong We Hok. Ketika itu umur Ong duapuluhtiga tahun dan termasuk seorang
aktivis yang masuk dalam jaringan anti Presiden Sukarno. Ong termasuk dalam salah seorang
aktivis yang tergabung dalam Gerakan Pembaharuan Indonesia yang di pimpin
Soemitro. Ong masuk dalam unit organisasi yang disebut Case Officer (CO) dan ia melibatkan dirinya
dalam infiltrasi dan penetrasi ke dalam kaum pemuda, terutama bidang kesehatan.
Setelah pemerintah berganti, Ong tidak lagi terlibat dalam urusan politik. Ia
kemudian menjadi pedagang elektronik di Glodok, disamping membuka praktek
menjadi sinshe.
Kesibukan
utama Hadi sekarang adalah menulis. Hanya itu yang selalu di lakukannya seperti
yang ia lakukan sejak menjadi wartawan. Walaupun tulisannya tidak lagi ia
publikasikan ke media massa, kecuali kalau ada permintaan dari surat kabar yang
masih mengingat dirinya, ia simpan semua dengan rapi dan ia tidak peduli orang
lain tidak membacanya. Cukup banyak tulisannya yang tidak ia keluarkan karena
bagi teman-temannya terlalu pedas dan menyinggung pemerintah dan itu sangat
membahayakan jiwanya. Ia pernah di penjara lebih dari dua tahun tanpa
pengadilan yang jujur hanya karena ia memuat berita yang menurut aparat
keamanan telah menyebarkan berita yang tidak menyenangkan dan di takutkan
menimbulkan kerawanan.
Tapi
ia tidak pernah jera, apalagi kapok menulis. Menulis adalah pekerjaan paling
menyenangkan yang bisa dilakukan orang sehat.
***
Umurnya
sudah lebih dari tujuhpuluh tahun, tapi cara jalannya masih kelihatan sehat.
Wajahnya yang tirus dan dingin. Wajah yang sarat dengan beban rahasia yang
busuk. Garis-garis di kulit mukanya menunjukkan kekejamannya. Dengan rambut
tipis lurus dan beruban, kelihatan seperti seorang pemikir sejati. Ia sudah
sampai didepan stasiun gambir. Kemudian masuk ke box telpon umum dan segera
memencet nomer.
"Ini
Sam. Saluran ini aman?"
"Selalu
aman. "
"Beberapa
aktivis mulai mengadakan demonstrasi. Segera atur pertemuan untuk semua
cabang."
"Kau
yakin?"
"Teruskan saja berita
ini."
Ia
langsung menutup telponnya dan mengganti rokoknya, kemudian menyeberangi jalan
dan masuk jalan Pejambon.
(bersambung)