Wednesday, January 28, 2009

SASTRA DAN FILM

Memfilmkan karya sastra sering disebut sebagai adaptasi. Dalam bahasa Perancis disebut ekranisasi. Adaptasi tersebut memang paling cepat dan mungkin, artinya film paling dekat dengan sastra, yaitu novel (juga cerita pendek atau bentuk karya sastra lainnya yang berbentuk cerita fiksi). Hal itu dikarenakan banyak persamaan diantara film dan novel. Perbedaannya hanyalah bahwa film adalah media gambar (memperlihatkan/ditonton). Sedangkan sastra/novel adalah media cetak (menceritakan/dibaca).

Persamaan antara film dan novel adalah:

1. Tema
2. Cerita
3. Plot/alur cerita
4. Suasana/mood
5. Penokohan
6. Latar/setting
7. Gaya

Antara novel dan film juga mempunyai bahan yang berbeda. Jika modal novel adalah bahasa/kata-kata, maka film mempunyai bahan bahasa gambar, yang mempunyai tiga unsure pendukung:

- gambar
- suara
- gerak

Dimana ketiga unsure diatas harus bernilai gambar sinematik, artinya gambar yang mempunyai makna dalam suatu rangkaian.

Sebuah novel diangkat menjadi film biasanya bukan karena kekuatan filmis novel itu, tapi lebih kepada kepopuleran novel itu sendiri di masyarakat. Contoh paling mutakhir Laskar Pelangi.

Ketika film yang diadaptasi dari novel dilempar ke pasar, masih mempunyai beberapa kemungkinan. Di tonton atau di jauhi. Sebuah film ditonton boleh jadi filmnya lebih menarik dari novelnya, misalnya karena terkenal bintangnya. Tetapi jika filmnya dijauhi, karena filmnya mengejek (baca: jelek). Bukan saja masyarakat yang memaki, si penulis novel bakal mencak-mencak karena karyanya dibuat lelucon.

Menurut Joseph M.Boggs dalam bukunya Cara menilai Sebuah Film, meski novel dan film mempunyai beberapa sifat yang sama tapi keduanya mempunyai tekhnik, kebiasaan, kesadaran dan sudut pandang sendiri-sendiri. Tapi umumnya, sebuah novel memiliki lebih banyak bahan dari yang mungkin dicakup oleh sebuah film. Karena itu sebuah novel tidak dapat dterjemahkan secara lengkap ke dalam sebuah film.

Film mempunyai keterbatasan untuk menggambarkan keadaan mental dan jalan pikiran tokoh-tokohnya secara langsung. Memang film dapat menggambarkan adegan tokoh yang tengah berpikir, merasa dan bicara, tapi film tidak dapat memperlihatkan apa pikiran dan perasaan yang sedang berkecamuk di benak tokoh tersebut. Ini sangat berbeda dengan novel yang mampu mengungkap hal paling rahasia sekalipun yang dialami tokohnya.

Sementara Menurut James Monaco dalam bukunya Cara Mengkhayati sebuah Film, daya pendorong sebuah novel adalah hubungan antara materi cerita dan upaya mengungkapkannya dengan bantuan bahasa, dengan kata lain gaya itu lahir dari ketegangan cerita dan si empunya cerita. Sebaliknya, daya pendorong sebuah film kita temui dalam ketegangan yang terdapat diantara bahan cerita dan sifat obyektif dari imaji yang digunakan.

Ada satu kelemahan film yang menjadi keunggulan novel, yaitu waktu. Ketika kita tengah membaca novel dan kita terganggu dengan seekor bebek yang masuk rumah, kita bisa beranjak dan menghalau bebek tersebut keluar rumah, lalu kita melanjutkan membaca novel, bahkan mengulang beberapabaris sebelumnya. Tapi mustahil film diperlakukan seperti itu ketika kita menontonnya (kecuali menonton di rumah dengan kepingan compact disc --)

No comments: