Monday, December 24, 2012

MAS KAREBET 16

BAB 16



NYAI Ageng Tingkir memeluk Karebet lama sambil menangis. Airmatanya membanjiri kulit pipinya yang mulai keriput. Tidak biasanya wanita itu menangis seperti itu. Memeluk anaknya seperti baru berpisah puluhan tahun. Karebet membiarkan Ibunya menangis dan memeluknya. Padahal mereka baru berpisah tidak lebih dari limapuluh hari. Ia biasa pulang dari menyepi dan bertapa dan sambutan Ibunya biasa saja. Tapi kali ini lain. Air mata Ibunya seperti tidak bisa berhenti. Tapi Karebet berusaha memahami bahwa Ibunya sangat menyayangi dirinya. Hanya mereka berdua yang masih saling memiliki. 
Nyai Ageng Tingkir duduk dan setelah bisa mengendalikan tangisnya,  ditatapnya wajah Karebet dengan lama, seolah Karebet akan hilang dari hadapannya.
“Aku takut tidak bisa melihatmu lagi,” kata Nyai Ageng Tingkir terbata. “Sudah hampir tujuh hari terakhir ini aku bermimpi kalau kamu kesulitan mendaki sebuah gunung, Karebet. ”
“Saya toh kembali dalam keadaan sehat wal afiat, Kanjeng Ibu.”
“Umur manusia bukan kita yang menentukan, tapi kamu satu-satunya yang aku miliki, Karebet.”
Tangis Nyai Ageng kembali pecah.
Karebet  diam.
     “Ibu tidak melarangmu mencari ilmu dengan meniru orang menyepi di gunung, hutan dan goa-goa, Karebet,” kata Nyai Ageng Tingkir lagi dengan pelan. “Tapi orang-orang itu belum menganut agamanya Kanjeng Nabi. Lebih baik kamu berguru kepada orang mukmin.”
     “Maafkan kalau yang saya lakukan, membuat Kanjeng Ibu tidak berkenan,” jawab Karebet sopan. “Tapi apa yang saya lakukan selama ini, karena saya ingin mendapatkan pegangan hidup saya.”
     “Berpeganganlah kamu dengan agama Allah.” Nada Nyai Ageng Tingkir meninggi. “Ibu banyak kenal guru agama yang sudah dalam ilmunya. Kamu tinggal pilih dimana kamu akan belajar kepada mereka.”
     “Saat ini, keinginan saya ingin bertemu Sunan Kudus.”
     Nyai Ageng Tingkir menatap Karebet dengan rasa kaget yang besar. “Apa maksudmu, Karebet?”
     “Saya ingin meminta keadilan kepada Sunan Kudus.”
     “Ya Allah, keadilan apa?” Begitu tinggi nada Nyai Ageng Tingkir sampai harus berdiri.
“Saya ingin meminta keadilan atas kematian ayahanda Kebo Kenongo.”
     Kekagetan Nyai Ageng Tingkir berubah mejadi kemarahan. “Siapa yang menghasutmu untuk berbuat kurangajar seperti itu? Kamu tahu siapa Kanjeng Sunan Kudus?” Nyai Ageng Tingkir bertanya tapi kemudian menjawabnya sendiri, “Beliau itu  orang suci. Kanjeng Sultan Demak saja sangat menghormatinya.”
     “Kalau memang beliau orang suci, kenapa harus membunuh?”
     Nyai Ageng Tingkir terdiam. Lama. Jelas sekali ia menahan kemarahannya yang tiba-tiba memuncak di kepalanya. Ia tahu anaknya tidak akan memulai sesuatu kalau tidak karena disebabkab sesuatu.
     “Aku marah mendengarmu mengatakan soal ini.”
     “Kenapa kanjeng Ibu harus marah?” Karebet tidak paham dengan sikap Ibunya. “Saya hanya ingin mendapatkan jawaban yang tidak saya ketahui soal kematian ayahnda Kebo Kenongo. Apakah salah mencari kebenaran?”
     “Carilah kebenaran, tapi jangan soal kematian ayahandamu.”
     “Kenapa saya tidak boleh mendapatkan kebenaran?” Karebet semakin tidak paham jalan pikiran Ibunya. “Kalau saya tidak bisa mendapatkan jawaban dari Sunan Kudus, dari siapa lagi saya mesti tahu masa lalu saya?”
     “Dari Kanjeng Sunan Kalijaga,” jawab Nyai Ageng Tingkir tenang.
     “Ah kenapa segala hal yang menyangkut saya harus bertanya kepada Kanjeng Sunan Kalijaga?”
     “Apa maksudmu?”
     “Sewaktu saya di gunung Telomoyo, saya mendapatkan mimpi aneh dan oleh Mbah Marjo saya disuruh menemui Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mendapatkan tafsir mimpi itu.”
     “Jadi kamu sudah bertemu Kanjeng Sunan Kalijaga?”
     “Belum. Beliau sudah pergi saat saya datang.” Karebet kembali meneruskan, “Sewaktu saya di desa Pingit, saya bertemu Ki Buyut Jayadi yang mengaku dulu bekerja kepada ayahanda kebo kenongo di Pengging dan mengatakan didatangi kanjeng Sunan Kalijaga dan berpesan agar saya menemui beliau.”
     “Memang sudah waktunya kamu menemui Kanjeng Sunan Kalijaga, Karebet.” Nyai Ageng Tingkir nampak jadi cerah mukanya. “Ya,inilah waktunya kamu bertemu beliau seperti pesan beliau beberapa tahun yang lalu.”
     “Beberapa tahun yang lalu?”
     “Saat kamu berumur limabelas tahun, Kanjeng Sunan Kalijaga datang menemuiku dan mengatakan, kalau suatu waktu kamu sudah mendapatkan isyarat dari langit kamu harus menemui beliau.”
     “Isyarat dari langit?”
     “Ya.  Isyarat itu bisa berupa mimpi, bisa berupa tanda yang lain.” Nyai Ageng Tingkir menatap Karebet. “Mimpimu yang kau dapatkan di bukit Telomoyo aku yakin isyarat dari langit.”
     “Saya belum paham, kanjeng Ibu.”
     “Temuilah Kanjeng Sunan Kalijaga. Kamu akan mendapatkan semua jawaban atas semua pertanyaan yang ada dibenakmu. Beliau ingin kamu menjadi muridnya.”
      “Tapi saat ini saya hanya ingin mendapatkan penjelasan tentang kematian Ayahanda Kebo Kenongo kepada Sunan Kudus.”
     “Demi Allah, Karebet, temuilah Kanjeng Sunan Kalijaga dan lupakan bertemu kanjeng Sunan Kudus.”
     Nyai Ageng Tingkir sama sekali tidak menyangka. Setelah sekian lama ia biarkan anaknya mengembara, bertapa di berbagai daerah, tapi setelah pulang menginginkan sesuatu yang diluar jangkauan pemikirannya. Sunan Kudus adalah panglima perang Kerajaan Demak, seorang ulama besar. Tidak bisa bertemu setiap waktu dan tentu saja mustahil untuk bisa bertemu begitu saja membuat janji. Tapi Karebet mengatakan keinginannya seperti ia menginginkan bertemu dengan kepala desa.
     Yang lebih tidak dimengerti Nyai Ageng Tingkir, darimana Karebet mengetahui bahwa Sunan Kudus yang bertanggung jawab atas kematian Ki Ageng Kebo Kenongo alias Ki Ageng Pengging. Mungkin ia bertemu seseorang, batinnya.
     “Sebaiknya kamu istirahat, Karebet.”
     Karebet melihat sikap Ibunya yang tiba-tiba berubah. Ia tahu Ibunya marah tapi kelihatan ada sesuatu yang sangat mengganggunya. Ia yakin Ibunya tidak menyangka ia mempunyai permintaan bertemu Sunan Kudus. Ia sendiri merasa bahawa rasa penasarannya harus terjawab. Barangkali Aryabajageni bermusuhan dengan kerajaan Demak, tapi keterangan tentang keluarganya membuatnya terus menerus terganggu. Ia tidak mau menyakiti hati Ibunya dengan bertanya masa lalunya. Tapi rasa penasarannya harus terjawab.
     Kalau masih bertemu Mbah Marjo, mungkin akan menyuruhnya minta petunjuk Sunan Kalijaga. Tapi ia sekarang harus menjawab teka-teki ini dengan caranya sendiri. Ia tidak peduli dengan Sunan Kalijaga. Ia mempunyai tanggung jawab atas hidupnya sendiri. Ia tidak tahu akan menjadi apa kelak, tapi sekarang ia hanya ingin mendapatkan jawaban atas segenap pertanyaan di kepalanya.
     Dadung Awuk masuk ke kamar Karebet begitu saja.
     “Bet, aku banyak ditanya sama Nyai Ageng.”
     “Soal apa?”
     “Dikira aku yang menghasut kamu meminta bertemu kanjeng Sunan Kudus. Memangnya kamu kepingin bertemu kanjeng Sunan Kudus?”
     “Ya.”
     “Tapi saya ikut kalau bener kamu mau bertemu Kanjeng Sunan Kudus, Bet.”
     “Kanjeng Ibu tanya apalagi?”
     “Ya tanya kamu bertemu siapa memangnya?”
     “Kamu jawab apa?”
     “Bertemu Aryabajageni.”
     “Terus?”
     “Nyai Ageng tanya siapa Aryabajageni.”
     “Terus?”
     “Aku jawab, orang gila.”
     “Sok tahu.”
     “Lha kan memang orang itu gila. Pembunuh guru ngaji. Masa saya bilang orang suci.” 
     Karebet tidak menginginkan Ibunya terlibat dalam masalahnya. Tapi ia tahu, tidak mungkin Ibunya tinggal diam. Ibunya sangat menyayanginya. Apapun masalah yang terjadi dengan Karebet, Ibunya selalu terlibat. Barangkali merepotkan, tapi Nyai Ageng terlalu banyak berharap kepada Karebet.
(bersambung)

4 comments:

Unknown said...

tolong di update dong kelanjutannya :D
aku suka banget cerita ini :D

Anonymous said...

Lanjutkan cerita nya gan....

Anonymous said...

Sayang yaaa .... Sampai 2018, sambungannya belum ada, padahal ceritanya sangat menarik -- bikin penasaran.

Unknown said...

Mna kelanjutanya boss.saya sdh menunggu2 dri 2thn yg lalu.