Thursday, March 24, 2011

Negara Tanpa Sastra


Negara yang telah kehilangan sensibilitasnya terhadap sastra adalah negara yang tengah menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas.

Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad ke-21 berbasis inovasi. Sementara inovasi itu sendiri berpijak pada kreativitas dan otentisitas. Tanpa inovasi, mustahil daya saing ekonomi dan industri dapat diwujudkan. Begitu pun tanpa kreativitas dan otentisitas, mustahil inovasi dapat digelorakan. Sementara tak dapat dielakkan, sastra merupakan lahan subur tumbuhnya ”pohon” kreativitas dan otentisitas.

Sudah lebih dari cukup berbagai penjelasan menyebutkan, negara-negara berteknologi maju dewasa ini adalah negara dengan warisan (legacy) sastra. Hampir tidak ada negara maju kini miskin karya sastra. Bahkan sebuah negara mampu beranjak maju tatkala elemen ekonomi dan industri negara tersebut mampu mereguk ilham dari narasi-narasi sastra.

Tidak mengherankan pula jika biografi tokoh-tokoh bisnis dan korporasi dipenuhi penceritaan tentang kekaguman mereka terhadap buku-buku sastra. Dengan mengambil jalan estetika, sastra menginspirasi timbulnya kemajuan sebuah bangsa.

Adalah filosof Immanuel Kant yang pernah menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra. Dalam diri manusia terus-menerus timbul kerentanan justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu.

Logika yang berkuasa atas ruang-waktu acap kali menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruang-waktu sedemikian rupa mengaduk-aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberkepingan perasaan.

Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasaan manusia yang telanjur tersuruk ke dalam keterpecahan dan keberkepingan itu. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya seusai menyimak karya-karya sastra. Melalui karya sastra, manusia berpeluang menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu.

Modal kultural

Ketika masyarakat pada suatu negara terlatih memanusiakan dirinya melalui jalan sastra atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal kultural yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup adiluhung. Negara tersebut tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala harus masuk ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri, berhadapan dengan negara-negara lain di dunia.

Di sini kita berbicara ihwal relevansi sastra terhadap timbulnya the ideas of progress dalam kehidupan masyarakat di sebuah negara-bangsa.

Dewasa ini kita menyaksikan secara terang benderang betapa produk-produk berteknologi tinggi suatu negara yang berdimensi humanistik dalam penggunaannya justru semakin diwarnai oleh penampilan yang estetik. Tampak menonjol dalam produk-produk tersebut pengaruh sastra dan kesusastraan dalam totalitas proses inovasi.

Sebuah karya sastra memang tak harus dimaksudkan mengawal lahirnya sebuah produk teknologi tinggi. Namun, keagungan narasi dan keindahan literasi dalam karya sastra merupakan ilham penciptaan bagi lahirnya produk-produk berteknologi tinggi yang nikmat dalam penggunaan serta indah ditatap.

Sayang, tidak semua negara memiliki kejelasan posisi terhadap sastra. Bahkan muncul dialektika yang sedemikian rupa mengondisikan negara berjalan tanpa sastra.

Dengan menyebut ”negara tanpa sastra”, bukan berarti di negara tersebut sama sekali tidak lahir karya-karya sastra. Sangat mungkin justru karya-karya sastra telah berakumulasi menjadi warisan kesusastraan oleh suatu perkembangan jangka panjang dari generasi ke generasi. Negara tanpa sastra merupakan frasa yang mengilustrasikan tak adanya perhatian rezim yang tengah berkuasa di suatu negara terhadap arti penting sastra bagi kemajuan masyarakat dan pemerintahan di negara tersebut.

Tak pelak lagi, Indonesia sesungguhnya masuk ke dalam kategori negara tanpa sastra. Tersingkapnya fakta di seputar penelantaran Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin merupakan bukti hadirnya negara tanpa sastra di Indonesia.

Melalui penyikapan pemerintah sendiri, sastra belum dikondisikan berfungsi sebagai dasar tumbuhnya kreativitas dan otentisitas mendukung berlangsungnya inovasi ekonomi dan industri. Jangan heran pula jika ke depan Indonesia masih akan terseok-seok dalam arena persaingan antarbangsa di dunia.

Anwari WMK Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta
KOMPAS, Kamis, 24 Maret 2011

Wednesday, March 23, 2011

SAM (6)

BAB 6


 

Tigor Naipospos  duduk diatas motor yang diparkirnya di halaman kantor pos sambil merokok. Matanya terus menerus tertuju ke seberang jalan, dimana tampak deretan rumah kolonial dipinggiran lapangan. Kantor pos itu juga menempati bangunan kolonial persis dipinggir jalan propinsi. Rumah tinggal Abusono alias Sam terlihat jelas dari tempatnya berada. Tempat yang sangat terbuka, pikir Tigor. Bagaimana mungkin lelaki tua itu bisa hidup di tempat ini sejak empat puluh tahun terakhir tanpa ketahuan jati dirinya yang sebenarnya. Kalau di luar Pulau Jawa hal itu barangkali tidak menjadi aneh.
     Warsito Abdul Kahmid keluar dari dalam kantor pos dan begitu saja berkata, “Abusono bertempat tinggal disini belum genap dua tahun.”
     “Aku pikir sudah empat puluh tahun.”
     “Anak lelakinya dipindahkan tugasnya ke daerah ini dan Abusono menginginkan tempat nyaman untuk pensiun.”
     “Siapa yang mengatakannya pada kau?”
     “Seorang lelaki limapuluhlima tahun yang sedang mengambil uang wesel dari anaknya di Malaysia.” Warsito menyalakan rokoknya dengan santai dan dia berkata lagi, “Katanya mereka berasal dari Semarang.”
     “Apalagi?”
     “Apa yang kau dapat?”
     “Tidak ada.”
     Warsito menatap Tigor Naipospos yang sikapnya begitu cuek dan seenaknya. “Bagaimana kau bisa masuk DIK?”
     “Pertanyaan macam apa pula itu.”
     “Aku hanya ingin lebih akrab denganmu.”
     “Bah. Aku tidak mau tidur sekamar denganmu kalau begitu.” 
     “Kita kembali sekarang.” Warsito menahan diri dan dia membanting rokoknya yang masih panjang.
     “Aku lapar.” Tigor Naipospos juga membanting rokoknya.
     “Ada rumah makan pinggir sawah tiga kilometer lagi, setelah pasar Mandiraja” jawab Warsito naik ke boncengan.
     “Aku ingin makan tempe mendoan di pasar Mandiraja saja,” kata Tigor Naipospos menyebutkan tempat ramai sekitar tiga kilometer lagi dari tempat mereka berada.
     “Yeah, lebih baik kita memang membaur.”
     Motor mereka melaju dengan kecepatan sedang. Mereka tahu mereka melawati mobil yang dibawa Parwata yang sedang parkir di pinggir jalan, di depan sebuah rumah bergaya kolonial.
     Parwata sudah bersama seorang lelaki berkacamata berumur enampuluh lima tahun bernama Purnomo. Lelaki itu hendak menjual rumah kolonial yang telah lama dimilikinya karena jarang ditempatinya. Purnomo mempunyai rumah pribadinya di perkampungan padat tidak jauh dari tempat itu. Rumah kolonial itu dibeli anak lelakinya yang bekerja di Payakumbuh, Sumatra Barat. Tetapi karena sudah dipastikan tidak bisa bertugas di Banjarnegara, anak lelakinya menyuruh Purnomo menjualnya saja.
     “Boleh tahu untuk apa Pak Parwata membeli rumah ini?”
     “Kantor cabang, Pak.”
     “Bergerak di bidang apa?”
     “Pertambangan.”
     “Yeah, Banjarnegara memang perlu digali potensi tambangnya. Saya yakin tidak kalah dengan daerah lain.” Purnomo nampak antusias sekali. “Dan rumah ini memang sangat cocok untuk di jadikan kantor daripada untuk bertempat tinggal. Seperti kantor pos yang tidak jauh dari sini. Tapi kalau untuk showroom kerajinan keramik, kurang lapang rumah ini. Siapa tahu nanti perusahaan bapak juga tertarik untuk berbisnis keramik.”
     Cerewet sekali lelaki ini, batin Parwata.
     “Jadi berapa pasnya harga rumah ini, Pak?”
     “Sudahlah, balik modal saja, seratus limabelas juta.”
     Murah sekali, pikir Parwata sambil mengeluarkan buku cek. “Bapak menerima cek?”
     “Cek?”
     “Oh lebih baik uang cash saja ya.” Parwata menyadari kesalahannya. “Sebentar, saya ambilkan di dalam mobil.”
     “Sebentar, Pak Parwata.”
     “Ya.”
     “Tapi benar rumah ini untuk dijadikan kantor kan?”
     “Maksud Bapak?”
     “Maaf sebelumnya, bukan bermaksud buruk sangka. Tapi akhir-akhir ini kita disarankan pihak berwenang untuk hati-hati menerima kedatangan orang asing. Takutnya mereka teroris yang sedang dicari Polisi, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah.”
     Lelaki yang sangat behati-hati, pikir Parwata. “Saya pastikan, bukan untuk sarang teroris Pak.”
     Purnomo tertawa dan kembali berkata, “Kalau begitu, bagaimana kalau pembayarannya dilakukan dirumah saya saja, dibelakang rumah ini kok, hanya memutar saja. Sekalian Pak Parwata mencicipi masakan khas Banjarnegara.”
     “Apakah masakan khas Banjarnegara?”
     “Sayur lodeh.”
     Di Jakarta juga ada.
      
JAM duabelas lewat duapuluh menit, mereka sudah berkumpul dan sedang menikmati makan siang di sebuah rumah makan di sebelah selatan alun-alun kota. Yang paling rakus makan Tigor Naipospos. Tidak ada yang peduli dengan cara makan Tigor kecuali Warsito.
     “Apakah hawa sejuk kota ini membuat perutmu selalu kelaparan, Tigor?”
     “Lagi tidak enak badan aku.”
     “Buset, tidak enak badan saja rakus begitu, bagaimana kalau sehat,” kata Beny Reza menimpali. “Satu kuali kali habis.”
     “Kalian kalau masih kurang, tinggal panggil pelayan. Tidak usah usillah dengan cara makan orang lain.”
     Jun Maher tertawa.
     “Minuman ini yang disebut dawet ayu?” Tanya Parwata menoleh kepada Mustajab sambil memegang gelasnya dan meminumnya.
     “Dawet ayu adalah minuman khas Banjarnegara.”
     “Kenapa di gerobaknya gambarnya Semar, bukan seorang gadis ayu?” Saat mengeja Semar, lidah Batak Tigor sangat medok lafal e-nya, sehingga terdengar lucu.
     “Se-mar, Tigor. Bukan Semar,” ujar Warsito berusaha memberitahu tanpa merasa berdosa.
     “Lama-lama aku gantung kau di alun-alun sana, Warsito.”
     Semua tertawa. 
     “Siang ini kita lakukan latihan pengambilan target,” kata Jun Maher. “Nanti malam kita pindah di base camp. Mustajab, tugasmu memesan isi rumah.”
     “Sebelum jam delapanbelas, base camp sudah siap, Pak,” kata Mustajab yakin
     “Dimana kita akan melakukan latihan, Bos?” Tanya Warsito.
     “Di daerah PLTA Mrica. Berharap saja semoga turun hujan,” kata Jun Maher berharap sambil menoleh keluar.
     “Langit saja tidak ada tanda-tanda mendung.” Tigor Naipospos melihat juga ke arah luar. “Kalau hujan tidak turun, buat saja sesajen, Bos?”
“Kau terlalu sering nonton sinetron rupanya,” kata Beny Reza.
     “Tapi usul kau bagus juga,” sahut Jun Maher dan melihat jam tangannya. “Pak Parwata, tugasmu membayar tagihan.”
     Jun Maher langsung berdiri dan meninggalkan tempat itu diikuti yang lain.
     Saat mereka bergerak pindah dari hotel menuju base camp, hujan benar-benar turun. Di dalam mobil menuju lokasi latihan, Tigor Naipospos menatap Jun Maher dengan pandangan lain.
     “Kenapa kau menatapku begitu?” Jun Maher tahu yang dilakukan Tigor tanpa menoleh.
     “Darimana bos tahu akan turun hujan?”
     “Aku tidak tahu.”
     Dalam limabelas menit, mereka sudah melakukan simulasi latihan penyergapan di sebuah tanah lapang yang dijadikan tempat parkir oleh pengelola wisata dermaga PLTA Mrica. Selain sebagai pembangikit listrik, Bendungan  Panglima Besar Sudirman atau PLTA Mrica, di jadikan sebagai tempat rekreasi danau yang disukai pengunjung. Ada sebuah jalan aspal yang dijadikan jalan pintas oleh beberapa orang. Tapi saat hujan, tidak banyak yang memperhatikan apa yang mereka lakukan.
     Parwata yang usianya hampir sama dengan Abusono atau Sam, dijadikan peran pengganti. Sementara yang melakukan penyergapan adalah Tigor dibantu Warsito. Jun Maher didalam mobil menghitung waktu. Beny Reza dibelakang setirnya. Saat Tigor menyergap Parwata dengan membekap mulutnya dari belakang dan diseret ke arah mobil, kelihatan tidak lancar. Begitu sampai masuk ke dalam mobil, Jun Maher melihat penghitungan waktunya.
     “Masih terlalu lama. Kita harus melakukannya dalam duapuluh detik,” kata Jun Maher.
     “Saat tidak hujan, limabelas detik mudah sekali, Pak.”
     “Lakukan sekali lagi.”
     Ketiga lelaki itu kembali ke tengah lapangan.
       (bersambung)

Tuesday, March 22, 2011

NOVEL YANG TERINSPIRASI MIMPI


1. Twilight (Stephenie Meyer)
Pada bulan Juni 2003, Stephenie Meyer terbangun dari mimpi tentang sepasang kekasih muda yang berbaring di padang rumput sedang mendiskusikan mengapa cinta mereka tidak pernah bisa bersatu. Dalam website-nya, Meyers mengatakan, “Salah satu dari pasangan ini hanyalah gadis biasa, dan satu lagi adalah seorang pria yang sangat tampan, gemerlapan, dan seorang vampir. Mereka sedang membahas rintangan yang melekat bahwa mereka saling jatuh cinta satu sama lain sementara yang seorang vampir tertarik pada aroma darahnya.”

Mimpi ini ternyata menjadi salah satu seri yang paling populer dalam fiksi dewasa muda sepanjang masa. Sampai saat ini, novel Meyer telah terjual sebanyak 17 juta kopi di seluruh dunia, lebih dari 91 minggu berada dalam daftar Nеw York Times Best Seller, dan telah melahirkan 4 novel berikutnya dan 4 besar anggaran film-film Hollywood.
image3 5 Novel terkenal yang terinspirasi dari mimpi

2. Misery (Stephen King)
Stephen King adalah salah satu penulis paling produktif dan populer saat ini, sehingga mungkin akan mengejutkan Anda bahwa dia menciptakan konsep cerita dan gambar grafis dalam beberapa novel di saat dia tertidur lelap. Dalam kasus Misery, King sedang tertidur dalam pesawat dan bermimpi tentang seorang fans yang menculik pengarang favoritnya dan menjadikannya sebagai sandera. Ketika ia terbangun, King begitu ingin menangkap kisah mimpinya dan duduk di bandara dan menulis 40-50 halaman pertama dari novel ini.

Misery menjadi best-seller yang menginspirasi film-film sukses dan membuat Kathy Bates yang bermain sebagai fan Annie Wilkes, menjadi Aktris Terbaik Academy Award dan Golden Globe saat itu. King memberikan kredit pada mimpinya dengan memberinya konsep untuk beberapa novel dan untuk membantu dia untuk mengatasi saat-saat sulit dalam penulisan novelnya.

3. Frankenstein (Mary Shelley)
Pada tahun 1816, Mary Shelley hanya berusia 18 tahun ketika ia menghabiskan musim panas dengan kekasihnya, Percy Shelley, di kawasan Lord Byron di Swiss. Suatu malam, ketika mereka duduk di sekitar api, pembicaraan beralih ke topik tentang menghidupkan kembali tubuh manusia dengan menggunakan arus listrik. Shelley pergi tidur malam itu dengan bayangan mayat hidup yang berputar di kepalanya dan terbawa ke dalam mimpi. Dalam mimpinya ia melihat dengan jelas sesosok raksasa Frankenstein dan membayangkan keadaan bagaimana ia telah diciptakan. Shelley terbangun dan mulai menulis cerita pendek tentang mimpinya. Belakangan, suaminya yang juga seorang penulis, mendorongnya untuk mengembangkan ceritanya menjadi sebuah novel. Dia menurutinya, dan Frankenstein pun diterbitkan ketika Shelley baru berumur 19 tahun.

4. Dr Jekyll dan Mr Hyde (Robert Louis Stevenson)
Robert Louis Stevenson sudah menjadi penulis yang sukses ketika ia bermimpi tentang seorang dokter dengan gangguan kepribadian yang terpisah. Stevenson dengan segera mendokumentasikan adegan dari mimpinya dan kemudian menulis draft pertama novelnya dalam waktu kurang dari 3 hari. Seperti biasanya, ia mengizinkan istrinya untuk meninjau draft dan menggunakan sarannya, mengedit dan menulis ulang beberapa bagiannya. Ia menyelesaikan seluruh naskah dalam waktu 10 hari dari sejak ia terbangun dari mimpinya. Kisah Kasus Aneh Dr Jekyll dan Mr Hyde telah bertahan sepankang waktu, mengumpulkan puluhan adaptasi panggung dan layar sampai hari ini.

5. Jonathan Livingston Seagull (Richard Bach)
Pada tahun 1959, penulis Richard Bach, mendengar apa yang dia sebut sebagai “suara tanpa wujud” yang membisikkan judul novel ini ke telinganya. Dia segera menulis beberapa bab pertama sebelum kehabisan inspirasi. Dia menyimpan naskah setengah jadi sampai 8 tahun, setelah ia bermimpi tentang burung camar tituler, bahwa ia mampu menyelesaikan apa yang merupakan salah satu novel dan filosofis yang paling mendalam yang pernah ditulis.

Bach fabel adalah best seller yang mengejutkan, melampaui rekor penjualan Gone Wіth Thе Wind. Meskipun kedua bukunya dan cara yang dikandung tampaknya memiliki hubungan yang kuat dengan fenomena psikis, Bach berpendapat bahwa menulis yang baik lebih tergantung pada kerja keras daripada apa pun. Ia mengatakan, “Anda tidak akan pernah diberikan sebuah mimpi tanpa diberi kekuatan untuk membuatnya terwujud, dan Anda juga harus bekerja untuk itu.”

Friday, March 18, 2011

BARET HITAM (3)


BAB TIGA


Tarik duduk didepan layar televisi. Tidak ada kegiatan yang lebih membuatnya bergairah kecuali menonton berita perkembangan di Timor timur. Seperti layaknya menonton film western. Hanya tidak ada tokoh Protagonisnya disana. Tapi semuanya nampak sebagai serdadu-serdadu yang menyebalkan. Senjata siap menyalak dengan amunisi satu tas di punggung bercampur pakaian dalamnya. Berjalan dibawah terik matahari dengan memakai kacamata hitam dan mulut mengunyah permen karet. Layaknya hendak bersantai di pantai Kuta Bali.
     Yang membuatnya mencibir tak lebih dari persiapan perang yang dipersiapkan di Darwin. Seolah-olah mereka siap melakukan apasaja secara militer di Timor Timur. Dengan personel yang begitu banyak dan peralatan perang yang begitu besar, Timor Timur seolah akan menjadi medan perang dunia ketiga. Bahkan Amerika Serikat mengirimkan armada ketujuh-nya. Luar biasa kalau tidak mau disebut berlebihan. Kesiapan seperti itu adalah kesiagaan untuk menghadapi angkatan perang negara lain. Padahal mereka tidak akan menghadapi siapapun kecuali apa yang mereka dengar dari media soal milisi yang masih menginginkan bergabung dengan Indonesia.  
Ia telah banyak makan garam operasi-operasi militer yang digelar di Timor Timur, diantaranya Operasi Persatuan, sebuah operasi militer terbesar kedua setelah Operasi Seroja. Ia mendapatkan kepercayaan menjadi salah satu Komandan operasi untuk menyapu bersih gerombolan Fretilin dengan kekuatan utama Falintil yang terus melakukan perlawanan. Untuk beberapa tahun ia malang melintang keluar masuk hutan, turun naik gunung untuk memburu dan menangkap, kalau perlu melenyapkan, gerombolan yang terus menerus membuat panik Jakarta. Sampai ia tertangkap gerombolan itu dan langsung berhadapan dengan pimpinannya.
     Ia yakin akan dibunuh oleh gerombolan itu karena kebencian mereka kepada tentara melebihi kebencian mereka kepada iblis. Tapi pimpinannya mencegah keinginan anak buahnya untuk menggorok lehernya. Pimpinannya yang bernama Ximenes itu memberinya kenang-kenangnya yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Dengan pisau komandonya sendiri, Ximenes mengiris daging di pipi kanan dan kirinya. Sebagai manusia ia berteriak kesakitan, tapi sebagai serdadu yang sangat terlatih, ia harus menyembunyikan rasa sakit, walaupun sampai ubun-ubun kepalanya menguap. Hanya kemurahan Tuhan yang telah membuatnya bisa bertahan hidup sampai Wenang Pati datang membebaskannya.
     Ia berjanji setelah lukanya sembuh, ia akan kembali ke sarang gerombolan itu untuk membuat perhitungan sendiri. Tapi ia tidak pernah bisa melaksanakan niat itu, karena tugas baru telah menunggunya di Jakarta. Diketahui kemudian, Wenang Pati yang menghendakinya. Luka di kedua belah pipinya oleh atasannya itu harus dioperasi untuk menghilangkan bekas lukanya, walaupun ia mempertahankannya. Baginya, itu adalah oleh-olehnya yang paling berharga, selain nyawanya yang masih utuh. Ia tahu betapa Wenang Pati merasa bahwa itu adalah tamparan keras bagi kesatuannya.
     Di pesawat televisi, sang Presiden sedang berpidato didepan anggota wakil rakyat, “….bangsa Indonesia mencatat, bahwa sikap dan tindakan Australia mengenai masalah Timor Timur, sangat berlebihan dan tidak membantu upaya-upaya untuk memelihara hubungan bilateral dengan Indonesia atas dasar saling menghormati kedaulatan nasional, integritas wilayah dan kesamaan derajat serta prinsip-prinsip untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing….”
     Mereka merasa menjadi bangsa paling beradab didunia, pikir Tarik sinis.
     “…Pemerintah Indonesia juga memperhatikan perkembangan pandangan masyarakat luas Indonesia, terhadap sikap dan perilaku Australia akhir-akhir ini, mengenai masalah Timor Timur. Mempertimbangkan perkembangan itu, pemerintah sangat menyayangkan sikap Australia yang telah merusak hubungan bilateral dengan Indonesia…”
     Mereka telah dikontrak menjadi deputy sherif di Asia dan sedang bermimpi menjadi polisi dunia kedua,  pikir Tarik sambil mengemasi barang-barangnya. Presiden masih memberikan pidatonya, “…Opsi kedua yang ditawarkan pemerintah, bukanlah melepaskan Timor Timur, apalagi memerdekannya, karena Indonesia tidak pernah menjajah Timor Timur…”
     Tarik membuka lemari khusus dan mengeluarkan tas militernya, memasukkan baju dan sepatu lars dan semua keperluan militernya, kecuali senjata karena ia tidak menyimpannya kecuali pisau komando, satu-satunya senjata yang paling dibanggakannya, melebihi kesukaannya pada senapan mesin. Ia kemudian mencari Mustari, pemuda yang menemaninya di bengkel.
     "Saya akan pergi. Saya tidak tahu kapan kembali, atau mungkin tidak akan kembali. Tapi kalau memang saya tidak kembali, teruskan bengkel ini buatmu."
     Mustari kelihatan tidak bisa menyembunyikan keheranannya. "Katanya bapak tidak akan kembali ke Jakarta."
     "Siapa bilang saya akan ke Jakarta."
     "Memangnya mau kemana selain ke Jakarta?"
     "Percayalah, meski saya ke Jakarta, tapi saya tidak akan tinggal disana."
     Ia lahir dan dibesarkan di Ibukota, tapi sekarang ia sangat membenci kota itu. Banyak sekali kenangan yang menyenangkan tapi akhirnya menjadi mimpi buruk buatnya. Kalau pun ia harus ke kota kelahirannya itu, semata-mata karena disana ia masih mempunyai sahabat-sahabat yang selalu membelanya dan terutama ayah dan Ibu serta saudara-saudaranya. Anak kandung satu-satunya memang berada juga di kota itu, tapi sekarang telah bersama bekas istrinya. Dan ia tidak ingin bertemu mereka karena lebih kepada pertimbangan bekas mertuanya yang telah memandangnya dengan sebelah mata.
     Tarik kemudian menemui Wenang Pati. Ia langsung menyapa,  “Jendral, saya siap berangkat.”
     Dua jam kemudian, mereka sudah berada dalam pesawat helikopter khusus menuju Jakarta. Tak ada lagi yang dipikirkan Tarik kecuali tugas yang akan dilakukannya. Tidak juga peduli dengan pesawat khusus yang sedang mereka tumpangi. Dalam keadaan biasa, perjalanan khusus seperti ini tidak bisa dilakukan. Wenang Pati juga nampaknya tidak peduli benar soal itu. Ia meraih berkas-berkas yang telah disediakannya. Satu diberikan kepada Tarik dan satu dibacanya sendiri.
     “Pada 9 Juni 1999, militer kita menangkap adanya indikasi suplai senjata terhadap kelompok Falintil. Tanggal 14 April sebelumnya, diyakini ada dua helikopter jenis Puma tanpa identitas mendarat di salah satu desa di Viqueque. Dari hasil pantauan radar, ada lima kali penerbangan gelap masuk Timor Timur. Penerbangan itu dilakukan sebelum kedatangan Tim UNAMET.” 
     Tarik mengatupkan kedua rahangnya. “Karena alasan pendidikan dan alamnya, orang-orang barat, dan sekarang Australia, hanya memahami logika kekuatan.”
     “Apa yang telah dilakukan Canberra bisa menyudutkan kita di dunia internasional. Dan mereka sekarang mendompleng PBB dengan pasukannya masuk ke Timor Timur.”
     Wenang Pati menyalakan pesawat televisi. Sebuah pesawat angkut C-130 Hercules tampak mendarat di ujung landas pacu Bandara Komoro, Dili. Sesaat kemudian, pesawat loreng milik Angkatan Udara Australia itu memuntahkan tujuhpuluhlima tentara Australia berseragam tempur sambil menenteng senapan jenis M-16 dan Steyer. Mereka bergerak menyebar dan langsung bersiaga tempur, seolah Bandara sedang dikepung musuh yang sedang menyambut kedatangan mereka.
     Tarik tersenyum kecut. “Mereka pikir sedang main film Amerika.”
     "Kekuatan pendukung tempur Interfet adalah limabelas Helikopter Black Hawk, empat Helikopter Bell 206 Jet Ranger, Duapuluh enam tank APC, satu Tank Amphibi, Duapuluhdua Truk, Limpuluhsembilan Land Rover, Sebelas Trailer, Dua Ambulan dan empat motor roda empat."
     "Mereka sengaja menantang kita."
     "Mereka terlalu takut dengan milisi."      
     Di layar televisi itu muncul Komandan pasukan multinasional yang berasal dari Australia, berpangkat Mayor Jenderal yang memakai topi lebar. Kelihatan juga disampingnya Kepala Unamet, seorang laki-laki bermata menikam yang kelihatan bangga sekali telah melaksanakan jajak pendapat yang dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan, seperti yang diduganya jauh-jauh hari.
     Tarik menegakkan kepalanya. “Berapa yang dikirim.”
     “Hanya timmu.”
     “Kalau saya sendiri?”
     “Kita tidak sedang membuat film seperti Rambo.”
     “Yeah, lagipula itu hanya film.” Tarik tersenyum kecut. "Tapi saya butuh waktu untuk mengumpulkan kembali teman-teman saya."
     "Jangan khawatir, aku sudah tahu dimana mereka. Kau tinggal jemput mereka."
     Tarik sudah menduga hal itu dan semakin meyakinkannya bahwa tugas yang diberikannya sekarang sangat serius.
(bersambung)

Wednesday, March 9, 2011

Tidak Ada Hollywood, Masih Ada Pocongwood


Dengan beredarnya surat Dirjen Pajak tanggal 10 Januari 2011 membuat MPAA mengancam tidak akan memasukan film produksi Hollywood ke Indonesia. MPAA mengancam yang demikian bisa jadi aturan itu akan menjadi beban keuangan mereka atau mengurangi keuntungan yang diperoleh selama ini.

Bila ancaman itu benar-benar dilakukan, bisa jadi tidak akan ada lagi film-film asing yang diputar di bioskop-bioskop di Indonesia. Tentu saja hal ini selain mematikan bioskop yang ada, juga membuat usaha mall dan kantin yang menjadi usaha penyangga bioskop juga akan mengalami kerugian.

Selama ini dari jam ke jam pertunjukan bioskop-bioskop itu didominasi oleh film-film impor. Lihat saja dari perbandingan film nasional dan film impor di tahun 2009, film nasional 78 judul sementara film impor 204 judul. Pada tahun 2010, film nasional 77 judul, sangat jauh angkanya dengan film impor sebanyak 192 judul.

Tidak hadirnya film-film asing ini sebenarnya bisa menjadi peluang bagi produsen film Indonesia untuk mengisi kekosongan itu. Peluang itu semakin lebar ketika Menteri Pariwisata dan Budaya Jero Wacik mengatakan sesuai dengan UU No 33/2009 bahwa bioskop harus memutar film nasional dengan persentase sebesar 60%.

Menjadi pertanyaan sejauh mana produsen film Indonesia bisa memenuhi selera para konsumen film di Indonesia? Ketika masyarakat semakin cerdas tentu film yang diinginkan semakin bermutu. Memang ada beberapa produser dan sutradara di Indonesia yang mampu memenuhi selera konsumen film Indonesia. Para produser dan sutradara itu mampu membuat film-film yang mampu menarik hingga jutaan masyarakat untuk datang ke bioskop dan melihat film-film dalam negeri. Film-film itu seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan beberapa film lainnya.

Namun persentase produser dan sutradara pembuat film bermutu itu tidak banyak. Justru saat ini yang banyak dari produser dan sutradara film di Indonesia adalah mereka yang membuat film 'nggak karuan.' Akibatnya selain menodai film bermutu, juga mendapat penolakan dari masyarakat.

Sekelompok produser dan sutradara pembuat film nggak karuan itu memanfaatkan kepentingan sesaat dan hanya ingin meraih keuntungan semata. Untuk mencapai hal tersebut mereka sudi mendatangkan bintang-bintang film porno dari Jepang dan Amerika Serikat untuk bermain film di Indonesia. Akibatnya film itu hanya menampilkan kemolekan tubuh pemain tanpa ada muatan yang berarti dalam alur ceritanya.

Pertama kali bintang porno yang bermain di film produksi Indonesia adalah Miyabi atau Maria Ozawa. Kemudian disusul oleh Leah Yuzuki, Tera Patrick, dan Rin Sakuragi. Mereka secara leluasa bebas shooting di Jakarta dan sekitarnya untuk pembuatan sebuah film.

Adanya film yang tidak bermutu dan nggak karuan ini mengapa Kementerian Pariwisata dan Budaya tidak melakukan seleksi atau bertindak tegas? Tidak tegasnya pemerintah itulah membuat produksi film dengan melibatkan bintang porno akan terus mengalir. Dan akibatnya akan semakin memperpuruk film dalam negeri semakin ke dalam. Kalau kita belajar pada pengalaman masa lalu, pada tahun 1980-an, bangkrutnya film dalam negeri, selain maraknya budaya televisi juga maraknya film-film yang tidak berkualitas. Hal inilah yang menyebabkan runtuhnya produksi film Indonesia ketika itu.

Dalam sebuah kesempatan, Garin Nugroho menilai film-film Indonesia saat ini terlalu meremehkan penonton dengan dibuat dan dikemas seadanya sehingga membuat penonton bosan. Akibat dari itu membuat perfilman Indonesia lesu, sebab proses pembuatannya kebanyakan dilalui secara instan.

Produksi film nasional yang nggak karuan itu selain membuat masyarakat enggan menonton film dalam negeri, juga ditentang oleh masyarakat sendiri. Misalnya ketika film Miyabi yang pertama beredar, di sebuah situs, diberitakan Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Malang menolak pemutaran film Menculik Miyabi. NU mengajak semua elemen masyarakat di Malang Raya untuk menolak pemutaran film tersebut di bioskop-bioskop di Malang. Alasannya film itu secara tidak langsung akan mempengaruhi generasi muda.

Tidak hanya Film Miyabi yang ditolak, Film Arwah Goyang Kerawang yang dibintangi oleh Juliar Perez dan Dewi Persik, juga mengalami hal yang sama, yakni ditentang masyarakat. Film itu oleh masyarakat Karawang, Jawa Barat, diprotes sebab film itu menghina warga Karawang dan hanya akan menimbulkan citra jelek Kabupaten Karawang. Dulu Aa Gym juga pernah memprotes film dengan judul Buruan Cium Gue.

Produksi film dalam negeri tidak hanya didominasi dengan film-film yang hanya menonjolkan paha dan dada, namun juga menayangkan film horor yang di luar logis yang ada. Ketika kehabisan judul dan bahan cerita, mereka membuat judul yang aneh-aneh, seperti Pocong Ngesot. Menjadi pertanyaan sejak kapan pocong jalannya ngesot?

Tak hanya Pocong Ngesot yang terasa lucu judulnya, ada beberapa film horor Indonesia yang judulnya tidak logis sehingga membuat kita tertawa lucu dan mengejek, seperti Pocong VS Kuntilanak, Hantu Binal Jembatan Semanggi, Darah Janda Kalong Wewe Nafsu Pocong, Hantu Jamu Gendong, Suster Keramas, Hantu Puncak Datang Bulan. Banyaknya film-film yang peran utamanya pocong, kuntilanak, dan setan lainnya itu layak kalau produsen film di Indonesia disebut Pocongwood.

Untuk menciptakan film bermutu dan melahirkan sutradara bermutu di Indonesia memang tidak mudah. Selain mereka direcoki sutradara dan produser yang nggak karuan, diantara pihak-pihak yang mengawasi dan memantau film-film di Indonesia pun suka cekcok. Lihat saja adanya perselisihan Komite FFI (Festival Film Indonesia) terkait keanggotaan dewan juri FFI 2010. Dari imbas tersebut siapa sesungguhnya yang berhak menyandang pemenang menjadi kabur, dewan juri yang satu memenangkan memilih Alangkah Lucunya Negeri Ini dan 3 hati 2 Dunia 1 Cinta menjadi primadona. Sementara dewan juri yang lain memenangkan Sang Pencerah.

Perselisihan itu tentu akan mengganggu kenyamanan pembuat film bermutu, sebab di antara mereka bisa saling mencibir dan memuji diri mereka sendiri. Mereka mencibir film yang dimenangkan dewan juri yang satunya dan memuji film yang dibuatnya sebagai film yang paling berhak menjadi film terbaik.

Dengan kemungkinan tak adanya film Hollywood masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia tidak ada pilihan lagi untuk menonton film yang bermutu, sehingga dengan terpaksa atau tidak harus menonton film dalam negeri yang kebanyakan berbau porno dan mistik.
*) Ardi Winangun adalah pengurus Presidium Nasional Masika ICMI, tinggal di Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur.
detikNews, Rabu, 09/03/2011

Friday, March 4, 2011

Fakta Tentang Piala Oscar


Penganugerahan Piala Oscar atau Academy Awards pertama digelar di Blossom Room Hollywood Roosevekt Hotel pada 16 Mei 1929. Pemberian penghargaan ini menjadi awal kebangkitan film di Hollywood. Inilah fakta-fakta mengenai Piala Oscar.

Awal Penghargaan 1929

Artis dan Aktor Terbaik kala itu disandang Janet Gaynor dan Emil Janning. Gaynor berperan dalam film "Sunrise" dan "Seventh Heaven". Dua film yang dibuat 1927 dan "Street Angel" pada 1928. Janning bermain dalam film "The Last Command" dan "The Way of All Flesh."

Film produksi The Warner Bros. "The Jazz Singer" mendapat penghargaan khusus sebagai "pioneering outstanding talking picture, which has revolutionized the industry."

GONE WITH THE WIND Penguasa 1939

-- 1939 menjadi tahun penuh kegembiraan dalam sejara film America dengan kemunculan film klasik "The Wizard of Oz," "Stagecoach" "Mr. Smith Goes to Washington," "Ninotchka," "Wuthering Heights" dan "Goodbye Mr. Chips."

-- Film berdurasi empat jam arahan Victor Fleming "Gone with the Wind," menjadi penyabet penghargaan terbanyak, sekaligus film terpanjang pada waktu itu. Gone With the Wind merupakan film berwarna pertama yang memenangkan best picture. Film ini masuk dalam 13 nominasi dan memenangkan delapan penghargaan (dan dua pujian khusus) --. Penghargaan ini menempatkan film tersebut sebagai pemegang rekor penghargaan Oscar sampai tahun 1957 kala "Gigi" (1957) memecahkan rekornya dengan sembilan penghargaan Oscar.

-- Ini merupakan tahun pertrama pemeran yang berada di puncak merupakan artis asal Britania. Kala itu pendatang baru Vivien Leigh menang atas Scarlett O'Hara dalam "Gone with the Wind," dan Robert Donat meraih penghargaan daam "Goodbye, Mr. Chips."

Penerima Penghargaan Terbanyak

-- Pada 1959 film epik "Ben Hur" memecahkan rekor Academy Award dengan 11 Oscar yang baru disamai setelah empat dekade oleh Titanic pada 1997 dan "The Lord of the Rings: The Return of the King" tahun 2003.


-- Artis Amerika Serikat Meryl Streep memegang rekor nominasi terbanyak yakni 16, termasuk film terakhirnya pada 2009 "Julie & Julia". Dia meraih penghargaan dua kali. Katharine Hepburn mendapat 12 nominasi tetapi meraih empat pernghargaan. Ingrid Bergman meraih tiga Oscar dari tujuh nominasi.

-- Jack Nicholson menjadi aktor pemegang nominasi terbanyak dengan 12 nominasi dan meraih tiga penghargaan. Walter Brennan juga menang tiga penghargaan dari empat nominasi yang ia raih.

Oscar 2010

Pada tahun lalu Aktor terbaik jatuh pada Jeff Bridges dalam "Crazy Heart" dan Sandra Bullock dalam film "The Blind Side."

Kathryn Bigelow meraih director terbaik dalam film "The Hurt Locker," yang juga meraih penghargaan kategori gambar terbaik. Bigelow menjadi pengarah wanita pertama yang masuk Academy Award.

The Hurt Locker" meraih empat penghargaan. Avatar, the 3D arahan mantan suami Bigelow James Cameron meraih tiga penghargaan dalam kategori teknis.

Reuters | www.filmsite.org | www.Oscars.org |