Pengantar
Mulai hari ini saya akan menghadirkan cerita silat berjudul Mas Karebet. Cerita ini berdasarkan skenario sinetron serial Jaka Tingkir yang pernah di tayangkan televisi RCTI selama beberapa tahun. Tentu saja ini ditulis berdasarkan buku sejarah seperti Babad Tanah Jawa, selebihnya adalah hasil khayalan sendiri. Jaka Tingkir atau Mas Karebet adalah sejarah. Menafsirkan sebuah sejarah masa lalu dengan data yang terbatas dan masih bisa di perdebatkan kebenaranya, menjadi subyektif sekali. Jadi kalau ada pihak yang tidak berkenan atas tafsiran saya, mohon di beri maaf. Terimakasih.
Thole, kamu jangan suka ke gunung.
Ketahuilah, orang yang bertapa di
gunung itu kafir,
tidak mengikuti agama kanjeng
Nabi.
Lebih baik kamu berguru kepada orang
mukmin.
- Nyai Ageng Tingkir
BAB 1
HANTAMAN udara dingin mendera
bukit Telomoyo, menyelimuti pepohonan yang lebat dan diam seperti batu purba.
Hembusan angin pagi yang lembut menggoyangkan pucuk-pucuk pepohonan, menjatuhkan embun sisa dini hari
menuju bumi. Beberapa burung beterbangan kesana kemari seperti ingin mengusir
dinginnya udara pagi. Sudah sejak subuh Karebet bangun dari tidurnya dan terus
terjaga sampai matahari muncul di timur jauh sana.
Ia
bermimpi.
Ia
yakin semua orang penah bermimpi dalam tidurnya. Orang bermimpi dalam tidur
bukan sesuatu yang aneh, karena bisa terjadi setiap hari dan terjadi pada siapa
saja. Ia juga sering bermimpi. Tapi mimpinya kali ini berbeda. Ia sudah tiga
kali bermimpi dan mimpinya sama. Ia tidak bisa menebak apa arti mimpinya.
Diluar mimpi sebagai bunga tidur, mimpi mempunyai arti buat ahli tafsir.
Sayangnya ia tidak kenal dengan seseorang yang pekerjaannya sebagai ahli tafsir
mimpi.
Mimpi
itu melekat di kepalanya.
Sudah
lebih dari empat puluh malam ia menyepi dan bertapa di bukit Telomoyo. Ini
waktu yang cukup lama ia bisa berada di satu tempat untuk bertapa. Biasanya
tidak lebih dari duapuluh lima hari ia berada di suatu tempat untuk menyepi.
Kadang tergantung tempatnya untuk menyepi. Ada tempat dimana ia bisa merasakan
ketenangan batin luar biasa. Itu akan membuatnya lama bertapa di tempat itu.
Tapi pernah baru tiga hari berada di suatu tempat, ia memutuskan pergi karena
di dalam hatinya tidak cocok, meskipun tempat itu banyak orang bertapa dan
dianggap keramat.
Kebiasaannya bertapa
dan menyepi sudah dijalaninya sejak ia berumur limabelas tahun. Itu saja ia
merasa terlambat karena Ibunya sudah tidak bisa mencegah keinginannya untuk
menyepi dan bertapa. Ia tidak tahu kenapa ia lebih suka menyepi dan bertapa
daripada berada di rumah dan ikut mengurus perdagangan Ibunya. Ia hanya
mengikuti panggilan hatinya. Barangkali aneh karena ia hidup dengan lebih
berkecukupan. Ibunya adalah orang terkaya di desa Tingkir dan itu membuatnya
bisa mewujudkan keinginannya dalam bentuk apapun. Menjadi anak seorang saudagar
jauh lebih terkenal daripada menjadi anak seorang Lurah. Bahkan dengan
kebesaran nama Ibunya, nama desa Tingkir telah disandangnya. Nama yang juga
akhirnya dipakainya sejak ia tiba di desa itu. Ia tidak pernah tahu persisnya,
tapi nama aslinya telah disembunyikan dan digantikan dengan nama Jaka Tingkir.
Karebet tidak pernah
mempersoalkan namanya. Hanya Ibunya yang memanggilnya dengan nama aslinya,
meskipun Ibunya sendiri yang memberikan nama Jaka Tingkir kepadanya. Ia tidak
tahu kenapa dan ia tidak peduli benar sebabnya. Dengan kegiatan dagang Ibunya
yang sibuk, ia sama sekali tidak tertarik. Ia jauh lebih tertarik pergi ke
sawah dan duduk di dalam gubuk ditengah sawah. Melihat hamparan padi seperti
melihat hamparan nyawa manusia yang bergantung pada padi-padi itu.
Diantara itu semua ia
jauh lebih suka mengembara dan mencari tempat sepi untuk bertapa dan
memperdalam ilmu batinnya.
Pada
malam ke empat puluh itu, Karebet bermimpi untuk ketiga kalinya. Sebuah
rembulan jatuh ke atas dirinya diikuti bunyi halilintar bersahut-sahutan dan
memenuhi bukit Telomoyo. Beberapa saat ia harus berdiam diri untuk menenangkan
dirinya dari kejadian yang baru saja dialaminya. Ia tahu persis itu sebuah
mimpi. Tapi ia merasakannya
sebagai kejadian nyata.
Berpuluh
bahkan mungkin ratusan tempat sudah pernah ia datangi untuk menyepi dan
bertapa. Tapi hanya di bukit Telomoyo ini ia mengalami kejadian luar biasa.
Karena terus menerus mimpi itu melekat di kepalanya, ia tidak bisa lagi tidur.
Akhirnya ia putuskan tidak bisa bertahan lebih lama lagi di tempat itu.
Ia
harus pulang.
Ia
ingin mencari jawab atas pertanyaan mimpinya itu. Kalaupun Ibunya tidak
mengerti akan arti mimpinya, pasti akan dicarikan seorang pintar ahli tafsir
mimpi untuk mengutarakannya. Disamping itu rasa kangen dengan ibunya yang
sangat ia hormati dan sayangi. Meskipun ia tahu Nyai Ageng Tingkir hanyalah Ibu
angkatnya.
Ia
hanya ingat Nyai Ageng Tingkir adalah ibunya yang memberikan kasih sayang
penuh. Meskipun di hari kemudian ia mengetahui bahwa Nyai Ageng Tingkir hanya
seorang Ibu angkat, tapi rasa hormat dan sayangnya tidak berubah. Ia merasa
menjadi anak paling beruntung karena mendapatkan kasih sayang dari orang yang
tepat. Lebih dari itu, ia mendapat kelimpahan materi, meskipun ia tidak pernah
menggunakannya untuk kesenangan pribadinya. Ia merasa dunianya adalah dunia
mengembara untuk mencari ilmu kanuragan dan ilmu kesaktian. Dan ibunya tidak
pernah memaksanya untuk mengikuti kemauannya dalam hal berdagang. Karebet
merasa begitu bahagia karena diberi kebebasan memilih.
Sampai
di kaki bukit Telomoyo, Karebet berhenti. Menoleh kembali ke puncak bukit yang
sepi itu. Sering ia tidak mengerti bisa betah di tempat sepi dan jauh dari
keramaian seperti ini. Tapi panggilan hatinya membuatnya harus selalu berjalan
mencari tempat dimana ia bisa menyepi dan menemukan dirinya yang sebenarnya.
Dalam keheningan, ia menemukan kedamaian.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment