“Ada orang-orang yang tidak menyukai kedamaian. Mereka
membentuk suatu kelompok rahasia untuk menghancurkan berbagai sistem
pemerintahan yang ada dengan menguasai bidang-bidang keuangan, politik, pers,
pendidikan dan berbagai bidang lainnya. Mereka ada di seluruh dunia, termasuk
di negeri ini.”
“Kakek
punya bukti?”
“Bukti?
Seperti apa? Dokumen? Catatan?” Hadi menarik nafas dalam-dalam. “Tidak ada hal
penting yang dibuat tertulis. Hanya ada kasak kusuk, gunjingan dan kedipan mata. Begitulah kejahatan
besar direncanakan.”
"Apakah
itu hanya sekedar teori konspirasi?"
"Persekongkolan
yang baik tidak bisa di buktikan. Kalau kau bisa membuktikannya, mereka telah
membuat kesalahan."
Hadi
menuju rak bukunya dan jongkok membuka kunci lemari kecil paling bawah yang
kelihatannya tempat menyimpan segala sesuatu yang ingin tidak diketahui orang
lain. Ia mengambil sebuah buku tebal yang dipegangnya dengan tangan gemetar dan
ia ragu memberikannya kepada Rosita. "Kau boleh membacanya, setelah itu
kau boleh berpendapat apasaja."
Buku
itu berjudul 'Paws In The Game' karangan William Guy Carr.
Rosita menangkap kecemasan dalam wajah kakeknya yang tidak bisa lagi
disembunyikan. "Apakah ini buku yang dilarang beredar?"
"Kenapa
buku yang ditulis bagus harus tidak boleh beredar?" Bibir tua Hadi
gemetar. "Buku itu menyingkap suatu rahasia dibalik berbagai peristiwa
dunia. Ada suatu kelompok rahasia yang tujuan utamanya menghancurkan berbagai
sistem pemerintahan. Mereka menciptakan krisis demi krisis yang kemudian
menimbulkan revolusi, peperangan, penindasan dan berbagai tindak amoral
lainnya. Mereka telah sukses mendominasi Dunia Barat, maka sekarang mereka
mengarahkan perhatiannya kepada Dunia Timur, kepada kita dengan kegiatan dan
aksi yang sama."
"Rasanya
sulit sekali mempercayainya."
"Kita
tidak pernah mengetahui seperti apa bentuk udara, tapi toh kita tetap
mempercayainya."
"Maksud
saya negeri kita dijadikan gelanggang pertarungan."
"Negeri
kita terlalu makmur untuk dibiarkan dinikmati orang bodoh seperti kita. Mental
kita mental kuli, kepala kita kosong dan perut kita buncit."
"Kalau
saya membuat laporan seperti ini, apakah orang akan percaya?"
"Orang
percaya atau tidak bukan urusan kita. Urusan kita adalah menyuarakan hati
nurani. Itu juga kalau kita masih bisa jujur."
Di saat
Rosita membutuhkan dukungan, ia hanya bisa datang kepada kakeknya. Ketika semua pintu tertutup untuknya,
kakeknya menyambutnya dengan satu pesan bahwa ia tidak boleh kehilangan
semangat. Ia belajar banyak dari kakeknya soal bagaimana bisa mempertahankan
hidup pada suatu rezim yang otoriter. Mempertahankan hidup memang soal perut.
Soal perut sering membuat orang menjual apasaja, termasuk menjual bangsanya.
“Kita hanya
punya sejarah yang buruk,” kata Hadi sambil mengambil buku lainnya, tebal,
kusam dan berdebu.
“Artinya kita
juga ikut buruk.” Pang Ong sedang duduk menonton film action Amerika di
televisi, “Apa menghadapi kematian kita ini harus tetap buruk, Hadi?”
“Tahun 60-an
tulisan-tulisanku dibakar komunis,” Hadi mulai bercerita. “Jaman Orde Baru
berkali-kali aku berurusan dengan aparat keamanan karena tulisanku dianggap
menghasut. Jadi kalau ada orang yang paling sakit hati soal sejarah ini, akulah
orangnya.”
Hadi membawa
buku kusam yang belum dijilid itu ke arah meja dimana Rosita masih ragu untuk
membuka buku pertama yang diberikan kakeknya. Bukan sebuah buku sebenarnya,
tapi tumpukan kertas yang mungkin akan dijadikan sebuah buku. Hadi
menyodorkannya pada Rosita.
“Bukan hanya
demonstrasi atau penculikan aktivis, semua borok sejarah negeri ini, ada disini.”
Wajah Hadi kelihatan tegang sekali. "Tentu saja menurut penilaianku."
Pak Ong
menoleh dengan memicingkan mata tuanya. “Apa itu, Hadi?”
“Ongol-ongol.”
Rosita
tertawa. Pak Ong manggut-manggut saja dan nonton televisi lagi.
“Jujur saja,
aku takut menerbitkannya dulu. Kalau kamu mau menerbitkannya sekarang, aku akan
senang meski harus menghadapi tiang gantungan.”
Rosita
membuka lembaran pertama. Tertulis SIAPA MENABUR BENIH MENUAI HASIL dan nama
penulis dibawahnya tertulis ANONIM.
“Ganti saja
dengan namaku.” Wajah Hadi kelihatan begitu geram. Ia telah memutuskan apa yang
harus dilakukannya dengan segala risikonya. "Kau tahu apa yang dikatakan Al Maududi ketika akan
dihukum mati? Dia bilang, jika ajal bagi saya telah datang, tidak seorang
pun dapat mengelakannya. Akan tetapi bila ajal itu memang belum datang, mereka tidak dapat menggantung saya,
walaupun mereka sampai menggantung diri mereka sendiri."
Rosita ragu
dan wajahnya ikut tegang.
“Bukalah.”
Rosita sadar kalau ia mulai
membuka buku itu artinya ia harus siap tidak bisa tidur nyenyak. Kemanapun ia
pergi akan diikuti dan semua kegiatan yang dilakukannya akan dicatat dalam
sebuah agenda hitam. Jelas ia harus takut. Ibaratnya ia harus masuk kandang
harimau sendirian, meski telah diberitahu pawang bagaimana cara membuat harimau
itu tidak menerkamnya. Ia tidak tahu persis bentuk ancaman dan teror seperti
apakah yang diterima kakeknya selama menjalani karir sebagai wartawan. Ia
pernah merasakan bahwa ia ditekan
secara mental selama ia menjadi reporter pada kasus sensitif. Bahkan untuk seorang laki-laki setegar
apapun, pasti akan terguncang.
--------
Fajar juga
bukan laki-laki hebat, termasuk dalam fisik. Ia begitu terguncang melihat
sebuah pistol jenis baretta menyalak dan pelurunya menembus
pelipis seorang Pemuda yang duduk tanpa tenaga di kursi listrik. Ruangan lalu
senyap. Padahal lebih dari sepuluh pasang mata dibalik terali besi termasuk
Jarot menyaksikan adegan itu. Dalam keadaan tegang itu, meja didepan Fajar
digebrak sebuah tangan kekar dan meja itu pecah berantakan.
“Anda sebagai
mahasiswa mestinya bicara yang intelek, bukan menghasut!” Suara itu menggelegar
.
Fajar tidak
tahu apakah ruangan ini seperti sebuah neraka. Ia telah begitu hebat ditekan
untuk tidak bisa berpikir apapun kecuali untuk sebuah semangat bahwa ia adalah
manusia merdeka dan tidak ada seorang manusiapun bisa merampasnya. Ia telah
hidup dengan susah payah diantara himpitan kerasnya kota. Perlakuan paling
buruk pun telah ia terima. Tapi yang sekarang dihadapinya adalah sebuah akhir
yang menyadarkan dirinya, bahwa ia hidup hanya untuk sebuah hinaan.
"Memangnya
siapa kalian sampai bermimpi mau merubah negeri ini?" Tangan kekar lelaki
itu menjambak rambut Fajar. "Untuk makan saja kalian susah. Berpikirlah
bagaimana mencari duit dengan mudah dan tidak perlu bermimpi. Mimpi hanya
dimiliki oleh orang berduit, dan kalian sama sekali tidak pantas
bermimpi!" Lalu dibantingnya kepala Fajar ke dinding.
“Sisa waktu
hidupmu tinggal tunggu giliran. Gunakan untuk berdoa.”
Ya, berdoa.
Tuhan agaknya jalan terakhir bagi orang-orang teraniaya seperti dirinya. Tapi
ia bukan orang yang mudah melupakan Tuhan ketika sehat dan kesenangan
didapatinya. Ia orang yang diajarkan bapaknya untuk tidak melupakan Tuhan dalam
saat senang dan susah. Fajar berterimakasih kepada suara itu. Apakah orang itu
juga ber-Tuhan. Ia yakin tidak ada manusia yang tidak ber-Tuhan, yang bisa
melakukan perbuatan keji pada Jarot dan orang-orang dibalik sel itu.
BAB LIMABELAS
Inaya kehilangan pegangan
untuk beberapa saat. Ia sudah bisa melepaskan diri dari bayang-bayang
orangtuanya dan menjadikan Fajar sebagai pelabuhan berikutnya. Untuk waktu yang
cukup lama, tepatnya setelah jadi mahasiswa, separuh hidup Inaya bergantung
kepada Fajar. Tentu saja dalam hal kebutuhan diluar materi. Ia telah mulai
membayangkan menjadi ibu rumah tangga dan segala hal yang mengikutinya. Sangat
menyenangkan.
Tapi ia sekarang sedang
mengalami ketegangan yang luar biasa. Ia membutuhkan orang untuk menumpahkan
kisah sedihnya. Satu-satunya harapan ada pada Ibu dan Noni. Tapi agaknya hal
itu tidak pernah terjadi lagi, seperti ketika ia masih kecil dulu. Kepada
bapaknya, suatu hal yang sangat sulit ia dapatkan waktunya. Saat-saat tertentu,
Inaya menyesali kenapa ia dilahirkan tanpa saudara yang banyak.
Di pesawat
televisi, Rosita sedang berdiri dengan latar belakang Universitas dan kelihatan
sangat bersemangat. “….hilangnya Fajar sebagai salah satu orator di
kampusnya, justru membuat gerakan mahasiswa semakin
merapatkan barisan untuk menyuarakan kebebasan…..” Di layar
televisi, tampak kumpulan mahasiswa menggelar spanduk yang menuntut
dikembalikannya Fajar.
Inaya tidak
bisa menahan matanya untuk tidak menangis. Nyonya Hartawan yang sangat jeli
melihat perubahan putrinya, langsung menghardik. “Inaya, menangisi siapa kamu.
Kalau sampai orang tahu kamu menangisi pembantu, martabat kita habis!”
“Salah sendiri sok jadi orang
pinter, ngomong seenaknya didepan banyak orang, ya diculik. Mati juga pantes.”
Noni mencibir habis.
Inaya berdiri
dengan kemarahan diubun-ubun. “Tahu apa mbak Noni soal Fajar, soal mahasiswa.
Mbak Noni kan tahunya cuma pesta, diskotik dan ketagihan tidur sama bule….”
Inaya tidak
sempat menyelesaikan omongannya karena Noni sudah menamparnya. Tapi secepat itu
pula, Inaya membalas menampar kakaknya dengan lebih keras. Noni terlempar ke
sudut.
“Inaya, jaga
kelakuanmu!” Nyonya Hartawan membantu Noni berdiri.
Inaya tidak
pernah kenal kekerasan fisik sejak kecil. Hidupnya diatur sedemikian rupa oleh
Ibunya sebagai orang yang katanya masih berhak menyandang gelar bangsawan. Cara
berjalan, berbicara, bahkan cara makan harus melalui sebuah metode yang rumit.
Semua harus dilakukan dengan perhitungan seperti matematika. Begitu merepotkan
aturan yang diberlakukan, bahkan dalam pergaulan. Inaya tidak pernah berniat
merubah tradisi leluhurnya, tapi dalam hal tertentu ia tidak mau menjadi robot.
Ia mulai menikmati makan di pinggir jalan, tertawa lepas di kampus, pulang
malam dan bergaul dengan siapa saja. Dan itu hanya didapatkannya setelah mengenal
Fajar.
Inaya ingat
betul ketika suatu kali Fajar mengatakan, “Dunia memberi kesempatan lebih dari
peraturan-peraturan yang dibuat orangtuamu, dan kamu berhak
mendapatkannya.” Dan sudah saatnya
ia harus mendapatkan kesempatan yang lebih besar. Ia telah mulai siap mengatur
masa depannya sendiri.
Ia harus
mulai mengambil suatu risiko, termasuk untuk berpisah dari orangtuanya. Ia
tidak pernah mempunyai pikiran seperti itu sebelum adanya musim demonstrasi.
Hidupnya berada pada posisi yang sempurna. Tapi setelah ia kenal Fajar dan ikut
dalam demonstrasi, hidup ternyata memungkinkan banyak tawaran. Diam-diam ia
mengemasi bajunya dan menuju rumah Fajar. Ibu Fajar tidak percaya anak
majikannya bertindak sangat nekat seperti itu.
“Saya memaksa
tinggal disini. Kalau tidak boleh, saya akan kost disini. Paling tidak untuk
sementara.” Inaya mau menangis.
“Saya takut
ketahuan, Non.”
“Kalau Ibu
tidak bilang, saya tidak bakal ketahuan.”
“Tapi kenapa
harus minggat?”
"Saya
hanya ingin keluar dari rumah."
Inaya tidak
pernah berpikir untuk minggat. Ia hanya meninggalkan rumah karena ia tidak bisa
bertahan lebih lama lagi disana.
Ia tidak lagi mendapatkan teman suka dan duka dalam rumah itu. Tempat
baginya mengadu sudah lain melihat dirinya. Ia sangat menyanyangi ibunya, Noni
dan bapaknya. Tidak ada yang menandingi cinta kasihnya dengan apapun. Hanya
karena berbeda pendapat, tiba-tiba hidupnya putus dengan masa lalunya.
Ia sedang
berjuang. Bukan untuk dirinya, Fajar atau kampusnya. Tapi untuk semua orang
yang menginginkan perubahan ke arah lebih baik. Bagi sebagian orang yang sudah mapan dalam hal kedudukan dan
materi, apa yang sedang terjadi justru membuat kenikmatan mereka mulai
berkurang. Orang terakhir inilah yang membuat perubahan tidak cepat tercapai.
Kalau perlu, mereka harus membayar dengan uangnya untuk membuat perubahan itu
tidak tercapai. Kebaikan dan keburukan menjadi hal yang nyaris tidak berbeda.
Siapa yang merasa benar dan siapa yang dituduh salah.
(bersambung)