BAB DUAPULUHLIMA
18 Mei 1998
Telah datang utusan dari berbagai Universitas di
Ibukota. Kejadian yang menimpa teman-teman mereka di Universitas Trisakti
menumbuhkan semangat untuk merapatkan barisan. Di ruangan itu sudah penuh
dengan aneka warna jaket almamater para mahasiswa. Pada dinding ruangan
terbentang spanduk besar bertuliskan FORUM MAHASISWA BERSATU. Mereka duduk membentuk
formasi rapat akbar. Kilatan lampu blitz dan sorotan lampu kamera,
ikut mewarnai ruangan besar itu. Seperti sedang terjadi suatu rapat penting
yang ditunggu oleh setiap orang keputusannya. Inaya duduk disamping Jarot yang
sedang berdiri memberikan pengalamannya.
“Saya harus tegaskan satu hal,
perjuangan kita sangat mengandung bahaya, seperti yang pernah saya alami.” Jarot bicara berapi-api. “Tapi
justru untuk hal yang berbahaya itu, kita harus terus maju. Saya pikir sudah
saatnya kita membuat gerakan yang lebih diperhitungkan.”
Semua setuju untuk melakukan
gerakan menuju satu sasaran yang paling diperhitungkan, yaitu gedung wakil
rakyat, gedung DPR/MPR. Gerakan yang sebenarnya sudah dimulai ketika terjadi
penembakan terhadap Fajar. Kegagalan ketika itu telah membuka mata bahwa
gerakan menuju gedung wakil rakyat harus terus dilakukan. Gedung yang nyaris
tidak tersentuh oleh siapapun, kecuali oleh orang-orang sakti.
Siang harinya, saat matahati
berada di ubun-ubun kepala, suara gemuruh dan sorak mahasiswa membelah jalan
utama Ibukota. Mobil-mobil mewah yang sedang berlari, menyingkir oleh serbuan
bis-bis kota yang dipenuhi mahasiswa dan spanduk-spanduk. Jalan utama yang
setiap hari menjadi simbol kesibukan Ibukota, telah berubah menjadi konvoi
panjang massa mahasiswa. Dari segala penjuru Ibukota, bis-bis kota datang dan
bertemu di depan gerbang gedung wakil rakyat. Dan mereka telah disambut dengan
barisan aparat keamanan yang berlapis-lapis.
Mahasiswa tahu betul mereka
akan berhadapan dengan aparat keamanan. Semenjak mereka turun ke jalan, mereka
sudah akrab untuk saling berhadapan.
Saling pasang badan. Siapakah yang menghendaki itu, kecuali sebuah
komando yang entah dari mana datangnya. Karena seringkali tiba-tiba, massa
mahasiswa dan aparat keamanan sudah saling berjibaku. Dan selalu pihak
mahasiswa yang mengalami kekalahan total, karena tidak bersenjata.
Matahari yang terik diatas
kepala membuat ketegangan memuncak. Masing-masing pihak bersikeras dengan
tuntutannya. Tapi semangat mahasiswa yang sudah memuncak, akhirnya berhasil
merobohkan pagar aparat keamanan. Benteng aparat keamanan jebol dan massa
mahasiswa bersorak berlarian seperti ayam yang dibukakan pintu kandangnya.
Menghirup udara kebebasan setelah di kurung dan hanya diberi makan.
Setelah menjebol barisan
aparat keamanan, mahasiswa melanjutkannya dengan menjebol pagar gedung wakil
rakyat itu hingga roboh. Benteng yang tidak pernah tersentuh itu akhirnya bisa
ditembus juga. Para mahasiswa bersorak berlarian memasuki halaman yang begitu
luas. Seperti memasuki arena
bermain yang baru pernah mereka rasakan. Mereka segera menguasai segenap sudut
dari gedung itu. Beberapa jam kemudian, para mahasiswa memanjat ke kubah gedung
megah itu dan mengibarkan bendera merah putih. Seperti seorang pendaki gunung
yang berhasil mencapai puncak.
Tiga jam kemudian, jalan-jalan
utama Ibukota telah di blokir oleh kendaraan-kendaraan lapis baja militer. Para
tentara memasang pagar kawat berduri di persimpangan jalan-jalan utama Ibukota.
Mereka menyandang senapan mesin, siap untuk ditembakkan karena wewenang untuk
itu telah diberikan.
Ketika malam hari tiba, para
mahasiswa masih datang berbondong-bondong ke gedung wakil rakyat itu.
Suasananya mirip pasar malam. Aksi pidato, pembacaan puisi dan atraksi
mahasiswa lainnya digelar. Spanduk dan bendera dibentangkan. Gedung wakil
rakyat itu sedang menuntut menjadi pusat perhatian.
***
Rosita mengutuk atasannya yang
membuatnya tidak bisa berada diantara massa mahasiswa. Baginya kejadian yang
sedang berlangsung didepan matanya adalah keberhasilan besar gerakan mahasiswa.
Ia yakin tuntutan mahasiswa yang lebih besar sedang berlangsung, dan ia siap
menunggunya dengan kejengkelan yang luar biasa.
Hadi sedang mengenang peristiwa tahun 66 di kepalanya. Ia
melihat layar televisi dengan massa mahasiswa berdemonstrasi, seperti kembali
pada masa ketika ia dulu juga ikut dalam barisan mahasiswa. Gerakan mahasiswa
yang dimulai ketika itu menunjukkan bahwa, kampus bukanlah menara gading.
Kampus lahir bukan hanya sebagai bengkel pemikiran ilmiah, tapi untuk dan
berada ditengah-tengah masyarakat.
(bersambung)