EPILOG
Desa Somerset, Inggris.
Beberapa minggu kemudian.
Di sebuah ruangan pondok wisata, yang dibangun
untuk menahan gempuran salju yang turun sepanjang musim dingin, sedang terjadi
pertemuan. Tungku perapian menyala menghangatkan seluruh ruangan. Tapi semua
yang hadir dan duduk mengelilingi meja persegi itu, tetap memakai baju hangat
yang mahal. Sepertinya mereka tidak terbiasa dengan hawa bermusim empat.
Sang Ketua, duduk diujung
meja. Seorang laki-laki gagah berumur empat puluh tahun, tapi nampak lebih muda
dari usianya. Ia sedang bicara dengan gaya khas orang Jawa, “Gerakan utama
telah berhasil, tapi kita akan membuat gerakan yang lebih diperhitungkan. Saya
telah mendapat rekomendasi untuk
menjadi Ketua dan organisasi gerakan ini telah dirombak secara keseluruhan.”
Semua yang hadir mendengarkan
dengan wajah serius. Mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya dan datang
dari seluruh penjuru dunia. Mereka adalah laki-laki dengan empat wanita
berwajah cantik dan bersih, berumur tidak lebih dari empat puluh tahun.
Menampakkan diri sebagai orang-orang yang berpendidikan tinggi dan berkelas.
“Rencana gerakan kita tetap
menjadikan Indonesia sebagai sasaran gerakan kita, karena beberapa agenda kita
belum tercapai, terutama untuk daerah di luar Jawa yang ingin melepaskan diri
dari Jakarta. Saya jelaskan satu aturan permainan, kita akan menggunakan nama
samaran untuk berhubungan. Dan setiap pertemuan sesuai dengan prosedur, tidak
ada rekaman, dan tidak akan pernah didiskusikan. Terimakasih, ladies and
gentlemen.”
SELESAI