Thursday, June 16, 2011
Trilogi Film Konflik Indonesia
Erasmus Huis, Jakarta, akan mengadakan pemutaran film karya sutradara Leonard Retel Helmrich pada 30 Juni hingga 2 Juli nanti. Ia adalah sineas pertama yang telah menerima penghargaan dari International Documentary Festival Amsterdam (IDFA), dan satu- satunya orang Belanda yang pernah memenangkan hadiah utama pada festival film Sundance.
Helmrich membuat trilogi film tentang keluarga yang berusaha tetap hidup pada saat konflik politik dan agama di Indonesia. Trilogi film tersebut berjudul The eye of the day (2001), Shape of the moon (2004), dan Position Among the Stars (2010).
Helmrich mulai mengikuti kehidupan keluarga Syamsuddin yang tinggal di daerah kumuh Jakarta. Tak tanggung-tanggung selama 12 tahun. Ia mengambil periode reformasi dimana saat itu kondisi masyarakat bergejolak setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Gerakan reformasi ini membawa kemiskinan, pemberontakan dan ketidakstabilan bagi Indonesia, termasuk dialami keluarga Syamsuddin.
Sekuel pertama, The eye of the day (2001), bercerita tentang bagaimana keluarga Syamsuddin mengalami masa transisi ini. Tiap empat kali setahun, nenek Rumidjah pulang kampung untuk membantu keluarganya dengan hasil panen.Bagi putra-putranya, kota ini merupakan dunia mereka. Si bungsu Bakti menghabiskan waktunya dengan berjudi, memelihara burung dara dan bergabung dengan protes mahasiswa terhadap rezim militer. Bakti harus mencari pekerjaan dan melibatkan diri dalam politik dengan cara yang “normal” lewat pemilu demokratis. Retel Helmrich menunjukkan semua aspek kehidupan sehari-hari keluarga ini tanpa wawancara, narasi atau cara lainnya.
Dalam Shape of the moon (2004), sebagai film kedua dari trilogi ini, Helmrich menunjukkan perubahan baru di Indonesia melalui mata keluarga Syamsuddin. Nenek Rumidjah adalah seorang wanita Kristen di ibukota Jakarta dengan mayoritas Islam. Ia ingin meninggalkan kota yang penuh hiruk pikuk ini dan kembali ke desanya untuk menikmati masa tuanya. Namun itu berarti ia harus meninggalkan cucunya Tari di kota. Kehidupan Rumidjah itu tidak menjadi lebih mudah ketika anaknya Bakti masuk Islam karena ingin menikah.
Sekuel terakhir dari trilogi ini bercerita tentang pola-pola kehidupan masyarakat Indonesia setelah 12 tahun masa transisi politik itu. Sehingga dengan bidikan kameranya, penonton akan mampu menangkap permasalahan penting dalam masyarakat yang dengan cepat berubah : korupsi, konflik antar agama,kecanduan berjudi, kesenjangan generasi, dan perbedaan antara miskin dan kaya yang semakin besar.
Meski tiga film jelas saling berhubungan, setiap film sama kuat sebagai sebuah film lepas. Kita tidak perlu melihat film Helmrich sebelumnya untuk menikmati sekuel terakhir ini.
Berikut jadwal pemutaran trilogi film tersebut, Kamis (30 Juni 2011) pukul 19.30 WIB akan diputar film Eye of the Day (2001). Kemudian Jumat (1 Juli 2011) pukul 19.30 WIB akan diputar film Shape of the moon (2004). Sedangkan Position Among the Stars (2010) akan diputar pada hari Sabtu (2 Juli 2011) pukul 15.00 WIB. Pemutaran film tersebut akan dihadiri oleh sang sutradara, Helmrich.
ISMI WAHID/TEMPOINTERAKTIF
Wednesday, June 8, 2011
SAM (10)
BAB 10
Jun Maher memasukan
Abusono ke dalam kamar yang sudah disiapkan. Masih dengan penutup mata. Abusono
di dudukkan. Masuk ke ruangan itu Mustajab dan Syahrial Anwar. Parwata masuk
dan membisikan sesuatu ke Jun Maher. Parwata dan Syahrial Anwar diberi kode
untuk tetap di ruangan itu. Jun Maher mengajak Mustajab keluar kamar itu.
Warsito sudah menungu
dan berkata, “Beny dan Tigor dibawa ke Polres.”
“Operasi kita bocor,”
Kata Jun Maher yakin. “Mustajab, kau bebaskan Beny dan Tigor. Warsito, hubungi
Pusat, aku mau malam ini juga ke Jakarta.”
“Pangkalan Udara
Wirasaba sudah dikuasai mereka, Pak.”
“Gila.” Jun Maher
menoleh ke arah Mustajab yang bersiap keluar rumah. “Mustajab, tunggu dulu.”
Mustajab kembali lagi.
Ruangan itu senyap.
Jun Maher duduk
terpaku.
Otaknya bekerja.
Lalu menoleh ke Mustajab, “Tolong panggilkan Parwata.”
Mustajab bergegas ke
arah kamar dimana Abusono berada. Sesat kemudian datang dengan Parwata.
“Pak Parwata, pergilah
dengan Mustajab,” kata Jun Maher memberi perintah. “Gunakan koneksi di Polres
untuk bebaskan Tigor dan Beny malam ini juga.”
“Saya tidak yakin,
Pak,” ujar Parwata dengan nada dingin. “Sedikit sekali informasi yang bisa kita
percayai disini.”
“Lakukan saja.”
Parwata nampak bimbang.
“Biar saya lakukan ini sendiri.
“
“
“Bapak pergi dengan
Mustajab.”
“Baiklah.” Parwata
langsung keluar rumah itu tanpa berkata lagi.
Mustajab menatap Jun Maher seolah ada yang
hendak dikatakannya. Seolah mengantar Mustajab keluar, Jun Maher membisikan
sesuatu kepada Mustajab.
“Jangan percayai
siapapun.”
Mustajab disergap ketakutan.
Jangan percayai siapapun.
Kalimat itu sangat serius dan atasannya sendiri yang mengatakannya. Diam-diam
ia berdoa agar Tuhan melindunginya.
Saat Parwata dan
Mustajab sudah pergi, Jun Maher berkata kepada Warsito, “Kita pindahkan
tawanan.”
“Saya tidak yakin jalan
kita aman, Pak.”
“Lakukan tugasmu. Aku
tidak mau ada satu informasi sekecil apapun yang kau lewatkan di radio. Siapkan
mobil.”
“Baik, Pak.”
Warsito
bergegas keluar.
Jun Maher masuk kedalam
kamar itu dan segera menarik Abusono. Syahrial Anwar segera mengerti begitu ada
kode dari Jun Maher untuk meninggalkan tempat itu. Syahrial Anwar bergegas
keluar kamar itu. Satu-satunya pekerjaan yang harus dilakukannya adalah
melakukan pembersihan tempat itu. Ia sudah sering mengikuti operasi rahasia
seperti itu. Jadi kondisi darurat seperti itu sudah sangat biasa baginya. Lima
menit kemudian tempat itu telah kosong dan meninggalkan kesunyian malam yang
masih panjang.
Warsito membawa mobil
dengan hati-hati. Jalur yang dilaluinya adalah jalur yang belum beraspal. Jun
Mahher sudah mendapatkan semua rute jalan kecil didaerah itu dari Mustajab.
Tidak ada yang tahu ia mengetahui jalur tersebut dari Mustajab. Tidak ada
percakapan didalam mobil itu. Abusono sepertinya mengerti ia harus diam. Ia
diapit Jun Maher dan Syahrial Anwar.
Saat mereka keluar dari
base camp, Jun Maher sudah mengirimkan pesan rahasia kepada seseorang yang akan
membantunya saat keadaan tidak berjalan seperti rencana utama. Umar Yusuf
sendiri yang memberikan nama dan alamat seseorang itu. Saat ada jawaban bahwa
orang itu akan menunggunya dalam waktu setengah jam, Jun Maher menjadi bernafas
lega.
Mobil yang dibawa
Warsito muncul di jalan yang sama ketika mereka menjalankan rencana B, persis
sebelum jembatan yang menyeberangi sungai Serayu. Saat sampai di mulut jalan
tembus itu, Warsito mengambil jalan ke kanan sesuai kode Jun Maher. Mereka
sebelumnya mengambil jalan ke kiri, untuk menuju base camp. Begitu mengambil
jalur ke kanan, kembali masuk ke jalan perkampungan, bukan jalan aspal.
Meskipun kemudian juga harus mengambil jalan aspal kembali, saat ada jalan ke
arah kampung Jun Maher memberi perintah masuk melewati jalan kampung. Meskipun
itu memakan waktu lebih lama, Jun Maher harus melakukannya.
Sampai kemudian mobil
itu melewati sebuah tugu desa bertuliskan Lengkong, Jun Maher teringat bahwa
desa itu tempat kelahiran Mustajab. Tapi lagi-lagi mereka harus masuk ke jalan
yang lebih kecil, bertanah dan berliku-liku. Tapi Jun Maher lega karena semua
jalur yang diberikan Mustajab sangat persis dan tidak ada yang salah satu
jengkalpun. Saaat keluar, mobil sudah memasuki desa Tapen. Didepannya adalah
sebuah perempatan yang luas. Dan Jun Maher menghentikan mobilnya sebelum
perempatan itu.
Jun Maher tegang.
Tidak ada jalan lain
selain harus melewati perempatan itu untuk menuju tempat yang harus ditujunya.
Warsito menatap Jun Maher yang jelas sekali tegang mukanya. Tapi Jun Maher
tidak bisa menunggu lagi. Ia memberi kode Syahrial Anwar untuk turun. Sebelum
turun, Jun Maher memberi kode sepuluh kepada Warsito, lalu menarik Abusono dan
segera masuk ke lorong gelap rumah penduduk. Warsito tahu apa yang harus
dilakukannya. Jun Maher mengambil jalan aman dengan jalan kaki melewati
rumah-rumah penduduk dan akan muncul di seberang perempatan.
Warsito dihinggapi
ketegangan. Perempatan itu adalah jalan maut baginya. Paling tidak setelah
dipastikan bahwa operasi mereka diketahui pihak lain. Dan pihak lain itu pasti
bukan teman mereka. Tapi ia tidak
punya pilihan lain. Setelah menunggu sepuluh menit, Warsito menjalankan
mobilnya. Ia meraba pistol dipinggangnya. Saat operasi mereka dalam bahaya,
standar operasi harus dijalankan. Salah satu dengan mempersenjati diri sebagai
bentuk perlindungan. Satu-satunya hal yang sering ia dengar adalah jangan sampai
tertangkap.
Ia juga tidak mau
tertangkap.
Mobil tinggal melewati
tiga rumah tapi didepanya muncul dari arah kanan sebuah mobil patroli polisi
dengan lampu rotator menyala berkilauan. Tapi hanya sekali. Setelah itu lima
petugas polisi berseragam menuju tengah jalan dan mencegat mobil Warsito.
Mereka sudah mengambil senjata masing-masing dari pinggangnya. Warsito tahu ia
tidak bisa lari. Dan ia memang tidak berniat lari. Ia berhenti.
Kelima polisi itu
mengepung mobil dan menodongkan senjata mereka.
“Keluar dari mobil.
Cepat.”
Warsito keluar dari
mobil.
Kelima polisi itu
saling pandang.
“Mana yang lain?”
Mereka memang sudah
tahu.
“Saya sendiri, Pak.”
Warsito ditendang kaki
belakangnya dan ditelungkupkan dan di ambil pistolnya.
“Maaf Pak Polisi, boleh
tahu apa salah saya?”
“Mana ada teroris
mengaku.”
Sempurna sudah tuduhan itu.
Salah satu polisi
menghidupkan radio. “Hanya satu orang, Ndan.”
“Bawa saja dan
lanjutkan penyisiran ke arah timur.”
“Siap, laksanakan.”
Warsito di gelandang
masuk ke dalam mobil patroli. Salah seorang polisi membawa mobil Warsito. Dua
mobil itu melaju ke arah timur, jalan dimana seharusnya Jun Maher lewati. Belum
lima menit, Jun Maher keluar dari salah satu pinggiran rumah penduduk, di arah
timur perempatan itu. Ia berhasil lolos dan ia tahu Warsito sudah ditangkap
Polisi. Ia tahu sekarang sendirian. Seharusnya ia tidak menyuruh Mustajab dan
Parwata pergi. Ditangkapnya Warsito memperjelas bahwa ada pihak lain yang lebih
kuat untuk ikut bermain. Dan cara bermain mereka sangat pintar dengan
memperalat Polisi.
Siapa yang mampu menggerakan Polisi?
Ia tahu jarak yang harus ditempuhnya untuk sampai
ditempat orang yang ditujunya masih cukup lama. Dengan mobil saja butuh waktu
tidak lebih tigapuluh menit. Dengan jalan kaki, bisa fajar baru sampai. Tapi
sebuah senter menyala di pinggir jalan diarah depan, sekitar limabelas meter
didepannya. Senter itu terus dinyalan beberapa kali. Seperti kode. Dan Jun
Maher tahu kode apa itu. Bergegas ia membawa Abusono diikuti Syahrial Anwar ke
arah lampu senter itu berada.
Seorang lelaki tua
muncul dari kegelapan.
Jun Maher menatap
lelaki tua itu dan memperlihatkan catatan nama dikertasnya. Ahmad Najib Burhani
membaca namanya ditulis dikertas itu dengan alamat rumahnya. Lelaki tua itu
mengangguk tanpa bersuara. Ia kenal Abusono dan tidak mungkin harus
mengeluarkan suaranya. Ia memberi kode mengikutinya. Mereka terus berjalan kaki
menyusuri jalan setepak disamping stadion sepak bola itu sampai kemudian
terdengar suara air seperti di laut. Angin kencang menerpa mereka. Jun Maher
melihat didepannya ada tembok tinggi dan di balik tembok itu adalah sebuah
waduk. Waduk PLTA Mrica.
Mereka menuju sebuah
rumah yang letaknya paling pinggir disamping bendungan itu. Beberapa rumah lain
berjarak agak jauh. Ahmad Najib Burhani masuk ke dalam rumah itu. Terus menuju
sebuah kamar yang kelihatan sudah dipersiapkan. Jun Maher memasukkan Abusono ke
dalam kamar itu. Syahrial Anwar terus mengikutinya. Ahmad Najib Burhani menutup
pintu kamar itu dari luar dan tidak ikut berada dalam kamar itu.
Jun Maher mendudukan
Abusono diranjang tua terbuat dari kayu yang terdapat sebuah kasur kapuk yang
sudah kempes karena sudah sangat lama.
“Apakah sudah aman?”
Tanya Abusono tiba-tiba.
“Sudah.” Jun Maher
membuka tutup mata Abusono, lalu menoleh kepada Syahrial Anwar. “Tolong
periksa.”
Syahrial Anwar membuka
tas perbekalannya dan mengambil stetoskop. Abusono nampak kaget berada
diruangan yang tidak terang itu. Wajahnya dihinggapi kepanikan sesaat. Lalu memicingkan
matanya menatap Jun Maher dan Syahrial Anwar yang sedang memeriksanya.
“Sediakan air minum,”
kata Syahrial Anwar kepada Jun Maher.
“Ya, aku haus sekali,”
ujar Abusono
Jun Maher langsung
keluar kamar itu dan tidak berapa lama masuk lagi membawa sebuah teko terbuat
dari tanah dan sebuah gelas. Menuangkan air ke dalam gelas itu dan berikan
kepada Abusono. Syahrial Anwar selesai memeriksa dan menoleh kepada Jun Maher.
“Jantungnya lemah.”
“Ya, jantungku memang
lemah. Aku dulu perokok,” kata Abusono terus bicara. “Oya namaku Abusono.”
“Saya tahu nama bapak
bukan Abusono tapi Sam,” kata Jun Maher mantap dan menatap kedua mata Abusono
dengan dalam.
“Sam?”
“Bapak mempunyai lima
nama samaran. Dimin, Jiman, Karman, Ali Muchtar dan Ali Sastra,” kata Jun Maher
dengan lancar.
“Kurang dua.”
“Apa?” Jun Maher hampir
berteriak.
“Syamsudin dan Kamarul
Saman.”
Ya Tuhan, lelaki ini benar-benar Sam
“Kau lahir di
Tuban?” Syahrial Anwar tiba-tiba bertanya.
“Tentu saja.” Abusono menjawab dengan senang. Lalu menatap Jun Maher.
“Persisnya dimana kau tahu?”
“Randublatung.”
Abusono tertawa.
Hanya sebentar. Lalu dia minum air putih itu lagi. “Boleh aku memakai
kacamataku? Kau tahu aku harus memakai kaca mata.”
“Silahkan.” Jun Maher terus menatap lelaki itu. Tapi sesaat kemudian
dia mengambil perbekalan didalam tasnya. Sebuah borgol dan tali. Dia lalu
mengambil kedua tangan Abusono setelah lelaki itu memakai kacamatanya.
“Saya harus melakukan ini. Maaf.” Kata Jun Maher sambil memborgol
kedua tangan Abusono dan mengikat kedua kaki dengan tali dan diikatkan ke dua
ujung bawah tempat tidur. “Saya ingin bapak istirahat. Dan sebaiknya bapak
jangan berpikir untuk lari.”
“Aku juga tidak mau orang lain yang menangkapku.”
“Jadi bapak tahu ada pihak lain yang sedang mengincar bapak?”
“Tentu saja. Kalau boleh aku mau tidur. Aku capek dari pagi buta sudah
pergi dari rumah. Boleh aku tidur?”
Jun Maher menatap kepada Syahrial Anwar.
“Biar saya menjaganya,” kata Syahrial Anwar.
Jun Maher terus keluar ruangan itu dan Ahmad Najib Burhani sudah
menunggunya.
“Saat ini saya nyaris tidak percaya siapapun.”
“Memang kau harus melakukan itu.” Ahmad Najib Burhani menatap Jun
Maher. “Anggotamu pasti tertangkap.”
“Ya. Menurut bapak siapa dibelakang penangkapan mereka?”
“CIA.”
“Bapak benar sudah pensiun?”
“Menurutmu?”
“Menurut saya belum.”
Ahmad Najib Burhani tersenyum. “Sebelum jam enam, kita harus
meninggalkan rumah ini.”
“Bagamana caranya kita mendapatkan mobil?”
“Aku sudah siapkan.” Ahmad Najib Burhani beranjak. “Aku akan lihat
keadaan diluar. Jagalah tawananmu.”
“Terimakasih.”
Terimakasih
Ya Tuhan.
(bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)