Penulis cerita silat dan sejarah Nusantara memiliki
kedaulatan cerita. Sehingga karyanya tetap asli didukung dengan berbagai
fakta sejarah, demikian budayawan Arswendo Atmowiloto mengemukakan.
“Dalam skala luas mereka memiliki kedaulatan cerita yang memberikan
pengaruh besar terhadap pembacanya, pembacanya mencapai kesadaran
sejarah,” katanya setelah pembukaan ‘Borobudur Writers and Cultural
Festival’ di halaman Pendopo Manohara kompleks Taman Wisata Candi
Borobudur (TWCB) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di Borobudur, Senin. ‘Borobudur Writers and Cultural Festival’ pada 28–29 Oktober 2012
berupa pertemuan para penulis cerita silat dan sejarah Nusantara.
Sebagian besar agenda digelar di kawasan Candi Borobudur, sedangkan
lainnya di Yogyakarta.
Peserta kegiatan yang dinamai Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat
dan Sejarah Nusantara itu berjumlah sekitar 300 orang baik sebagai
peserta aktif, pasif, maupun pembicara dengan berbagai latar belakang
seperti penulis, sejarawan, akademisi, rohaniwan, budayawan, dan
arkeolog. Ia menyebut karya cerita silat sebagai ajaib dengan turut membentuk
nilai-nilai moral dan budi pekerti yang berguna untuk pembentukan
karakter generasi muda bangsa.
“Penyampaiannya dengan menyenangkan dan membawa kepada suatu kesadaran,” katanya. Pada kesempatan itu ia juga mengatakan bahwa setiap generasi
dibesarkan oleh generasi pendahulunya melalui berbagai cerita yang
kental dengan sastra. “Dulu kita dibesarkan oleh generasi mbah-mbah kita, dibesarkan dengan dongeng sastra,” katanya. Ia mengaku popularitas karya cerita silat dan sejarah Nusantara tidak secepat karya-karya lainnya seperti bersegmen remaja.
“Cerita silat tidak terlalu cepat, apalagi generasi muda masih minim menulis cerita silat,” katanya. Materi cerita silat, katanya, masih banyak berlatar belakang fakta
sejarah pada zaman yang cukup lampau, yang relatif minim konflik. Saat menjadi pembicara pada diskusi sesi pertama kegiatan itu,
Arswendo mengatakan bahwa basis kreatifitas cerita silat di tangan
penulisnya.
“Kebenaran ceritanya selalu didukung dengan fakta sejarah sehingga dongengnya menjadi hidup,” katanya. Direktur BWCF yang juga salah satu pengelola Samana Foundation
(penyelenggara festival, red.) Yoke Darmawan mengatakan para penulis
silat memiliki banyak referensi tentang fakta sejarah. Mereka, katanya, antusias mengumpulkan berbagai fakta sejarah, data,
sumber formal dan nonformal, referensi legenda, naskah, serta prasasti.
“Pertemuan ini menjadi kesempatan untuk berbagi referensi antara
generasi muda dan generasi tua, mengaktifkan komunitas untuk mengetahui
sejarah dan cerita sejarah. Banyak ruang kosong dalam perjalanan sejarah
Indonesia, penulis mengisi dengan imajinasi, memori, dan perspektif,
sehingga hasilnya kaya referensi untuk generasi muda,” katanya.
Pembukaan BWCF 2012 itu ditandai dengan pementasan performa tari,
musik, dan tembang oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi,
Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang serta pidato
oleh budayawan Sutanto Mendut. Agenda kegiatan itu antara lain diskusi, peluncuran buku, dan pemutaran film berlatar belakang sejarah Nusantara.
Sumber IPOSNEWS