Sunday, March 29, 2009

WAJAH PERFILMAN INDONESIA


Perkembangan film Indonesia masih dalam taraf biasa dari segi kuantitas. Sedangkan dari kualitas, film Indonesia seperti buruk muka cermin dibelah. Belum membahagiakan sebagai sebuah karya yang mestinya dibanggakan. Hanya beberapa gelintir film yang berkualitas dan layak di tonton. Itupun kalau tidak didukung promosi besar masih saja tidak bisa di lirik penonton Indonesia. Belum lagi Penonton film Indonesia 60 % justru di Jakarta. Banyak bioskop tutup di seluruh pelosok Indonesia karena kebangkrutan industri film Indonesia. Untuk memulai lagi, butuh waktu lama. Sementara bioskop di kota besar dikuasai kelompok Cineplek 21.

Melihat potensi penonton film Indonesia seharusnya industri film ini bisa maju dengan cepat. Tapi berapa banyak produser yang saat sekarang bersedia memproduksi film kalau penonton tidak mau ke bioskop. Sebuah film pertama-tama hanyalah soal dagang. Bagaimana menjual produk dan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Diluar soal karya yang bermutu, produser membuat film pastilah akan berusaha mati-matian menebak selera penonton. Tapi penonton film Indonesia adalah jenis manusia yang susah ditebak. Penonton film Indonesia itu masih menganut system latah. Orang ramai menonton suatu film, yang lain ikut menyerbunya. Soal hoby bolehlah sama, tapi soal selera mestinya berbeda. Tapi itulah realitasnya, suka dan tidak suka harus siap berhadapan dengan penonton Indonesia.

Para pembuat film Indonesia juga setali tiga uang. Saat tema kuntilanak disukai, yang lain ikut membuatnya. Bahkan dengan judul yang aneh-aneh dan isinya hantu kuburan semua. Beberapa judul yang ingin keluar dari mainstream tersebut, mati-matian menunggu di tonton. Kecuali untuk produksi yang memang sudah dikenal lebih dulu seperti Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta. Soal budaya latah pasar ini, Hollywood juga menganutnya. Tapi mereka membuat produksi dengan tema sama, tapi dengan kualitas yang pasti jauh lebih bagus. Begitu terus. Sementara di Indonesia, bukannya makin bagus, malah makin dipermudah pembuatannya dan semakin murah ongkos produksinya. Hal itu terjadi karena hanya mengejar moment –aji mumpung. Mumpung penonton masih mau.

Ada orang-orang yang begitu peduli membangun film Indonesia dengan membuat film bagus dan disukai penonton. Tapi ada juga orang-orang yang hanya ingin mencari uang sesaat, dan tidak memikirkan film Indonesia nanti akan seperti apa. Apakah akan jadi baik dan semakin maju atau bahkan malah ambruk sekalian. Industri film Indonesia memang masih seperti pabrik roti. Saat harga tepung melambung naik, pedagang roti gulung tikar. Itu juga yang terjadi dengan film Indonesia. Padahal penonton film Indonesia tidak bisa bangkrut. Buktinya film-film Hollywood masih terus ditonton. Harusnya yang dipikirkan –kalau mau— bagaimana merebut penonton film Hollywood beralih menonton film Indonesia.

Omong kosong tidak ada sineas dan produser film Indonesia yang jago buat film bagus dan disukai penonton. Hanya kemauan saja masalahnya. Saat tidak ada kemauan, maka tidak ada jalan. Tidak ada yang akan didapatkan kalau tidak melakukan sesuatu. Apapun yang terjadi dengan film Indonesia, haruslah tetap dibanggakan. Siapa lagi yang mau menonton film Indonesia kalau bukan orang Indonesia.

Selamat hari film nasional!

No comments: