Sunday, August 9, 2009
ANTARA MERANTAU, ONG BAK dan TOM YUM GOONG
Hari-hari belakangan ini, yang di mulai tanggal 6 Agustus 2009, film MERANTAU di tayangkan di jaringan bioskop Cineplex 21. Ini film Indonesia asli, dengan latar belakang budaya Indonesia, pemain juga orang Indonesia, Produsernya orang Indonesia, tapi penulis dan sutradara asal Inggris. Film ini bukan cuma soal Indonesia tapi mengangkat hal yang lebih spesifik, yaitu Pencak Silat, beladiri asli Indonesia. Dari sejak film ini mulai di produksi, saya menunggu untuk menontonnya.
Di antara film-film Indonesia yang nyaris semua mengambil setting horror, MERANTAU mampu sebagai film yang layak di apresiasi. Hilangkan dulu factor penulis dan sutradaranya yang bukan orang Indonesia. Tapi bahwa film ini merupakan film dengan laga Pencak Silat pertama saat ini yang menjadi lain. Mungkin tidak ada pembuat film Indonesia saat ini yang memikirkan tema ini. Ini menyangkut soal selera dan juga gengsi. Sineas kita masih lebih bangga bikin film horror daripada membuat film Pencak Silat. Di samping karena selera penonton ‘menurut’ sineas kita masih membutuhkan film horror dan bukan film Pencak Silat.
Hal lain adalah biasanya film laga Indonesia tidak menggunakan tekhnik beladiri Pencak Silat tapi Kung Fu, Karate dan Tae Kwon Do. Hal ini lebih banyak karena factor instrukturnya adalah orang-orang dari Hongkong dan Cina. Faktor lainnya karena Produser Indonesia belum percaya dengan instruktur laga asli Indonesia, apalagi yang menguasai Pencak Silat. Jadilah film laga indonesia dengan cita rasa Jacki Chen. Hal ini bahkan sampai kepada sinema elektronik (sinetron) laga seperti Angling Darma dan jaka Tingkir.
Jauh Sebelum MERANTAU muncul, di Thailand muncul Film Ong Bak : The Thai Warrior tahun 2003 dan kemudian Tom Yum Goong tahun 2005. Ada kesamaan ketiga film ini, yaitu sama-sama film laga. Kalau Ong Bak dan Tom Yum Goong kental sekali dengan beladiri Thailand dan cerita yang sangat local Thailand. Saya tidak tahu apakah penulis dan sutradara film MERANTAU begitu terinspirasi kedua film Thailand tersebut. Tapi ada beberapa kesamaan elemen cerita MERANTAU dengan kedua film thailand yang lebih dulu muncul.
Di mulai dari karakter tokoh-tokohnya. Tokoh utama adalah seorang jago beladiri dan berasal dari ‘kampung’. Musuh Utama orang asing atau setidaknya ada hubungannya dengan bisnis orang asing. Tokoh Utama perempuannya adalah wanita dengan profesi dalam dunia hiburan.
Dalam Ong Bak, tokoh utama perempuannya tidak begitu ditonjolkan karena ada dua wanita kakak beradik dan salah satunya terlibat dalam jaringan narkotika. Sedangkan dalam Tom Yum Goong, tokoh utama wanitanya juga tidak begitu di tonjolkan perannya kecuali sebagai seorang penghibur orang-orang penting dan kaya dan menjadi saksi pembunuhan. Kedua wanita dalam film Thailand tersebut tidak mempunyai hubungan spesial dengan tokoh utama laki-lakinya. Dalam film MERANTAU, tokoh Astri adalah penari klub yang kemudian dijadikan wanita yang akan di perdagangkan keluar Indonesia. Tokoh Utama, Yudha, memang tidak terlibat begitu dalam dengan Astri dan menjalin hubungan serius, tapi keduanya kelihatan mempunyai ikatan emosional. Cerita di bangun keduanya harus selalu bertemu dalam keadaan yang berbahaya terus menerus. Tapi begitulah sifat film laga, tokoh wanitanya, secantik apapun, hanya menjadi pemanis. Karena yang utama adalah berantemnya.
Yang berbeda dari MERANTAU dengan dua film Thailand diatas adalah endingnya. Sebagaimana film-film Hollywood yang selalu happy ending, begitulah dua film Thailand, sang tokoh utama mampu mengatasi halangannya dan pulang kampung dengan membawa kemenangan mutlak. Tapi akhir/ending MERANTAU memilih unhappy ending. Meskipun Yudha berhasil menyelematkan Astri tapi Yudha harus mati. Sebagai sebuah pilihan, barangkali ending seperti ini jauh lebih berkesan di hati penonton daripada misalnya Astri berhasil diselamatkan Yudha dan pulang ke Padang terus kawin dan memetik buah tomat bersama. Happy sekali. Ideal dan impian setiap orang dan Hollywood sekali.
Tapi MERANTAU memilih unhappy ending. Apakah ini sebuah pilihan bisnis atau idealis para pembuat MERANTAU? Ataukah memang realitas orang Indonesia di mata Penulis dan Sutradara Inggris tersebut?
Label:
budaya,
film,
Merantau,
Minangkabau,
resensi film
Saturday, August 1, 2009
1998 (4)
BAB LIMA
Fajar sebenarnya merasa harus
mulai menjauhi keluarga Hartawan karena disana ia tidak pernah diperlakukan
sebagai manusia yang mempunyai harga diri. Sudah lama ia menginginkan keluar
dari rumah itu tapi kesadarannya benar-benar muncul setelah ia melakukan demonstrasi
bersama teman-temannya. Ia merasa hidupnya selama ini berada di bawah
bayang-bayang Nyonya Hartawan, yang selalu menyuruhnya melakukan apasaja tanpa
harus menimbang baik dan buruk. Sudah lama ia tertekan dan ia tidak pernah bisa
melawannya.
Sekarang
ia sudah yakin dan bertekad bulat untuk merubahnya, seperti yang ia lakukan
bersama teman-temannya di kampus.
Walaupun terlambat dan barangkali akan kehilangan pekerjaannya. Walaupun
sangat mungkin ia akan kehilangan Inaya. Terlalu berat pertaruhannya tapi ia
harus bertekad merubah kelas sosial keluarganya, seperti keinginan ayahnya.
Fajar
memasuki halaman rumah yang kosong. Mobil Hartawan belum pulang. Akhir-akhir
ini Hartawan, seorang Purnawirawan Angkatan Darat berpangkat Letnan Jenderal,
sering bepergian dan pulang terlambat. Fajar sering dibisiki Pak Trimo, sopir
Hartawan, majikannya itu sering bertemu para Purnawirawan lain untuk
membicarakan kondisi negara.
Beberapa
saat kemudian Fajar menghadapi Nyonya Hartawan. Wanita itu berdiri disamping
kursi goyangnya dengan penampilan angkuh dan sombong, berkuasa atas orang lain
dengan garis-garis kekejaman di sekitar mulutnya. Wanita berumur empat puluh
delapan tahun yang nampak lebih tua dari usia sebenarnya. Berpakaian kebaya
warna gelap dengan rambut yang selalu disanggul, seolah ia tidak pernah
kelelahan membawa rambut palsu dibelakang kepalanya. Wajahnya yang kelihatan
putih bersih dilapisi bedak mahal, tetap tak bisa menyembunyikan judes-nya. Bulu mata yang
lentik dan sepasang matanya yang bening juga tidak mampu menghilangkan kesan
kegalakannya.
Noni Gayatri
ikut duduk, tapi nampak sudah siap pergi dengan pakaian modis. Celana hitam
panjang ketat dari bahan kulit. Baju atasnya menutupi sebagian saja, dan
sedikit mempertontonkan payudaranya yang putih bersih. Noni satu-satunya kakak
Inaya, berumur dua puluh enam tahun. Kulit wajahnya kencang dan putih
bercahaya, membuatnya seperti boneka porselen cina dengan kegarangan wajahnya
yang menjengkelkan. Rambutnya pendek dan di cat merah sementara tubuhnya kurus
tinggi menjulang seperti
galah. Ia sudah menyelesaikan
kuliahnya di Manajemen Akuntansi dengan hasil lulus biasa-biasa saja. Seperti
halnya Ibunya, ia galak, masa bodoh dan tidak memiliki intelektualitas untuk
berdebat dengan Inaya dalam hal apapun.
Inaya duduk
menunduk. Ia merasa akan dihancurkan oleh dua orang yang sangat dekat dengannya
itu. Tapi ia mulai merasa mereka orang yang paling siap ia musuhi sekarang. Ia
hanya sedang menghawatirkan Fajar yang duduk di kursi, agak jauh darinya. Ia yakin
Ibunya akan menumpahkan semua kemarahannya terhadap Fajar, dengan cara yang
sangat kasar.
“Kamu mau
demonstrasi, mau orasi, terasi atau mau apasaja, itu urusan kamu.” Suara Nyonya
Hartawan menggelegar. “Kerjakan sendiri, tapi jangan bawa-bawa Inaya. Aku tidak
peduli kau orang sok penting di kampus, tapi kamu tetap sopir disini dan
tugasmu adalah mengantarkan Inaya pulang sebelum jam sembilan. Dengan mobil
utuh, tidak tergores sedikitpun.”
Fajar menahan
diri untuk tidak menjawab atau membuat pernyataan lainnya. Ia tidak melihat ada
gunanya melakukan itu. Nyonya Hartawan bukan jenis orang yang bisa diajak
berdebat dengan adil. Lebih baik menahan amarah daripada mengeluarkan kata-kata
yang akan menambah sakit di dadanya.
“Aku tidak mau besok kamu
mengulangi lagi hal ini, karena ini peringatan terakhir. Mobilnya juga sudah
harus bagus kembali dalam satu hari. Setelah itu aku bisa melakukan apasaja,
termasuk memecatmu!”
Keputusan
itu yang mestinya keluar sekarang, batin Fajar. Memang lebih
baik ia sekalian saja keluar dari rumah itu. Mulai tipis batas kesabarannya dan
mulai memuncak kesadarannya untuk tidak lagi menghormati Nyonya Hartawan. Maka
tanpa basa-basi lagi ia meninggalkan ruangan itu. Ia masih sempat mendengar
kalimat terakhir Nyonya Hartawan.
“Lihat
tingkahnya yang mulai berani kurangajar itu. Pergi saja tidak pamit.”
Inaya merasa
bahwa Ibunya bukan lagi Ibunya yang dulu ketika ia masih kecil. Ia tidak tahu
apa yang dilihat Ibunya sekarang pada dirinya. Apakah sangat menyebalkan
menjadi dewasa. Sebentar lagi ia akan kehilangan sosok seorang Ibu yang baik
dan ia telah siap untuk memusuhinya habis-habisan.
“Semua
itu ada tempatnya masing-masing, Inaya.” Suara Nyonya Hartawan kembali
menyentakkan. Sengit dan kelihatan sedang menahan kemarahan. “Langit diatas dan
bumi dibawah. Tidak pernah terbalik tempatnya.”
Noni
menambahkan dengan genit, “Pembantu ya pembantu, majikan ya majikan. Dari dulu
sudah begitu aturannya. ”
Bukan
hanya Inaya yang mendengarkan dengan menahan dadanya yang bergolak. Ibu Fajar
dibalik pintu belakang sudah gemetar. Bibit air mata mulai muncul di mata
tuanya. Ia sudah berada disana sejak pertama kali Fajar masuk ruangan itu.
Dadanya sakit sekali anaknya telah diperlakukan begitu keji. Sebagai orang yang
mengandungnya dan membesarkannya, belum pernah ia memperlakukan anaknya dengan
cara seperti itu.
Inaya
berusaha menahan airmatanya. “Rupanya bergaul juga harus diatur.”
“Minum obat
saja ada aturannya, apalagi bergaul.”
“Bapak
mengajarkan semua manusia sama.”
“Bapakmu
tidak bisa membaca sejarah.”
“Bapak
kebanyakan baca buku cerita silat.” Noni makin bergairah. Ia mau meneruskan
bicaranya ketika ponsel-nya berbunyi. Wajahnya jadi riang. “Jason? Ok,
honey, i'm coming. “ Menuju Ibunya dan mencium pipi. “Saya ditunggu
Jason didepan.”
“Hati-hati
dan cepat pulang.”
Inaya
melirik kakaknya dengan kemarahan di ubun-ubun. Ia segera berlari menuju lantai
atas dengan menahan tangisnya. Ibunya terus menghardiknya.
“Mau
kemana kamu Inaya?”
“Kenapa
Ibu tidak tanya Noni mau kemana. Ini waktu saya untuk tidur. Bukan untuk
keluyuran sama laki-laki bule. Apalagi belum menjadi suami istri.”
Kalau
saja Noni belum keluar ruangan, akan terjadi pertengkaran hebat. Dan Nyonya
Hartawan pasti akan membela Noni. Inaya mulai tidak suka dengan suasana
rumahnya. Menjadi dewasa ternyata tidak mudah. Ketika kecil ia dan Noni sering
dipuji sebagai sepasang anak yang layak diteladani. Karena kerukunannya dan
baktinya pada orangtua. Sampai mereka dewasa dan bisa mencintai laki-laki. Soal
pilihan sering membuat orang bersitegang. Dan Inaya sadar ia sedang hidup
ditengah keluarga yang menuntut kepatuhan. Tapi ia mulai berhitung ketika
Ibunya memperlakukan mereka berbeda. Seringkali Inaya harus mengalah atas
kehendak kakaknya. Pada mulanya Inaya merasa harus belajar mengalah untuk
menghormati orang yang lebih tua. Tapi lama kelamaan apa yang dilakukan
kakaknya sudah melampaui batas kewajaran. Apalagi Ibunya juga membiarkan saja
hal itu terjadi. Maka ia mulai bersikap tegas dan hal itu menimbulkan
pertentangan yang sengit. Ayahnya cenderung untuk membelanya, tapi agaknya
Ayahnya tidak selalu siap melindunginya karena terus menerus bepergian. Inaya
merasa rumahnya telah menjadi tungku api yang membakarnya.
***
Di
halaman rumah, Fajar membiarkan saja Noni membuka pintu gerbang sendiri.
Ubun-ubun kepalanya menguap. Ia terus menatap wanita muda itu menuju sebuah
mobil Mercedez Bens Roadster yang diatasnya duduk anak muda berkulit putih
berambut perak serta berhidung panjang. Noni yang sempat melirik Fajar menjadi
nampak takut dan bergegas jalannya. Setelah mobil mewah itu pergi, datang mobil
volvo Hartawan. Fajar buru-buru
menuju pintu gerbang dan melebarkan pintu sambil mengubah warna mukanya. Selain
Inaya, Hartawan adalah orang yang masih menganggapnya manusia berguna. Ia
sering diajak bicara tentang apasaja, duduk sama-sama di kursi, minum air kopi
yang sama, makan kue yang sama dan bisa tertawa dengan bebas.
Tapi
itu terjadi dulu ketika Hartawan belum mengetahui Fajar mencintai Inaya.
Setelah laki-laki berumur lima puluh tujuh tahun itu mengetahui bahwa putrinya
mencintai pembantu rumahnya, sikapnya mulai berubah. Walaupun Hartawan masih
menyapa dan tersenyum, tapi sudah berbeda air mukanya. Laki-laki yang keras kemauannya,
sekeras kulit wajahnya yang gelap dan menyisakan belang di pelipis kiri karena
terserempet peluru ketika berperang di Timor Timur melawan pemberontak bersenjata.
Seperti teman-teman tentara lainnya, ia juga melakukan bisnis. Sebagai bekas
seorang perwira tinggi, namanya digunakannya untuk mendapatkan kemudahan
berbisnis. Bisnisnya legal tapi ia melakukan semuanya dengan cara militer.
Akhir-akhir
ini ia sedang tidak serius dengan bisnisnya, walaupun ia selalu pulang
malam. Hartawan jarang pulang
malam, kecuali untuk acara bisnisnya. Dan sekarang, urusan bisnis ia
kesampingkan lebih dulu karena ada urusan yang lebih penting yang menuntut
tenaganya. Urusan panggilan hati nurani melihat negerinya yang sedang bergerak
untuk berubah. Seperti mahasiswa yang berkumpul, ia juga berkumpul dengan
sesama teman perwira tinggi lainnya.
Ia menunggu
Fajar menutup pintu gerbang.
“Selamat
malam, Pak.”
“Ada
kemajuan demonstrasinya?”
“Maksud
bapak?”
“Belum
berpikir untuk berdemo di depan istana?”
“Mahasiswa
butuh mukjijat untuk bisa sampai kesana, Pak.”
Hartawan
tertawa. Tawa yang penuh canda. Tidak ada bibit permusuhan sedikit pun pada
Fajar. Hartawan tetap merasa nyaman berbicara dengan anak muda itu. Apa yang ia
sering dibicarakan dulu hanya soal bisnis dan perdagangan. Fajar sering menjadi
tempat bertanya baginya. Tentara memang tidak diajarkan bagaimana berdagang
yang baik. Ia hanya punya nama untuk bisa bisnis. Lagipula hal seperti itu
sudah biasa di negeri ini. Yang aneh kalau ada bekas perwira tinggi yang tidak
bisa mencari sumber pendapatan lain di luar karirnya.
Hartawan
tahu persis perkembangan didalam rumahnya, terutama soal Fajar dan Inaya.
Baginya soal itu bukan menjadi masalah benar, tapi ia tahu istrinya terlalu
serius menghadapinya. Ia tidak pernah menganggap itu suatu masalah, tapi sebuah kasus yang menarik. Ketika
menjadi prajurit, ia tidak pernah bisa membantah sekalipun harus masuk sarang
musuh paling depan. Disiplin militer itu telah membuatnya bersyukur bisa
menikmati sisa hidupnya untuk tidak buta dan tuli terhadap sekelilingnya. Ia
tidak dengan serta merta melarang Inaya berhubungan dengan Fajar. Tapi kalau
untuk menjadi suami istri, ia lebih suka menjodohkan putrinya dengan laki-laki
dari keluarga berkedudukan di masyarakat. Tetap ada sebagian dirinya yang tidak
rela anak gadisnya menikah dengan anak pembantu rumahnya. Walaupun bukan suatu
aib, tapi ia tidak bisa membuat dirinya malu. Bagaimana memberikan pengertian
itu yang berat baginya. Ia yakin Fajar bisa menerima penolakannya, walaupun
akan sangat menyakitkan. Ia juga siap dimusuhi. Tapi kepada Inaya, ia masih
membutuhkan banyak akal untuk mencari berbagai macam alasan. Dan ia tidak siap
dimusuhi putrinya sendiri.
"Maaf,
Pak," Fajar ragu-ragu. "Mobil Ibu bemper belakang penyok. Sewaktu
pulang tadi, diseruduk mobil lain."
"Tapi
masih bisa diperbaiki kan?"
"Besok
saya akan perbaiki."
"Ibu
sudah tahu?"
"Sudah,
Pak."
Hartawan
terus masuk. Fajar merasa bebannya berkurang. Ia bisa jujur kepada Hartawan
karena reaksinya pasti menyenangkan. Walaupun ia tidak jujur mengenai sebabnya.
Ia merasa itu adalah urusannya sendiri.
(bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)