Saturday, August 1, 2009

1998 (4)

BAB LIMA




Fajar sebenarnya merasa harus mulai menjauhi keluarga Hartawan karena disana ia tidak pernah diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai harga diri. Sudah lama ia menginginkan keluar dari rumah itu tapi kesadarannya benar-benar muncul setelah ia melakukan demonstrasi bersama teman-temannya. Ia merasa hidupnya selama ini berada di bawah bayang-bayang Nyonya Hartawan, yang selalu menyuruhnya melakukan apasaja tanpa harus menimbang baik dan buruk. Sudah lama ia tertekan dan ia tidak pernah bisa melawannya.
            Sekarang ia sudah yakin dan bertekad bulat untuk merubahnya, seperti yang ia lakukan bersama teman-temannya di kampus.  Walaupun terlambat dan barangkali akan kehilangan pekerjaannya. Walaupun sangat mungkin ia akan kehilangan Inaya. Terlalu berat pertaruhannya tapi ia harus bertekad merubah kelas sosial keluarganya, seperti keinginan ayahnya.
            Fajar memasuki halaman rumah yang kosong. Mobil Hartawan belum pulang. Akhir-akhir ini Hartawan, seorang Purnawirawan Angkatan Darat berpangkat Letnan Jenderal, sering bepergian dan pulang terlambat. Fajar sering dibisiki Pak Trimo, sopir Hartawan, majikannya itu sering bertemu para Purnawirawan lain untuk membicarakan kondisi negara.
            Beberapa saat kemudian Fajar menghadapi Nyonya Hartawan. Wanita itu berdiri disamping kursi goyangnya dengan penampilan angkuh dan sombong, berkuasa atas orang lain dengan garis-garis kekejaman di sekitar mulutnya. Wanita berumur empat puluh delapan tahun yang nampak lebih tua dari usia sebenarnya. Berpakaian kebaya warna gelap dengan rambut yang selalu disanggul, seolah ia tidak pernah kelelahan membawa rambut palsu dibelakang kepalanya. Wajahnya yang kelihatan putih bersih dilapisi bedak mahal, tetap tak bisa menyembunyikan judes-nya. Bulu mata yang lentik dan sepasang matanya yang bening juga tidak mampu menghilangkan kesan kegalakannya.
Noni Gayatri ikut duduk, tapi nampak sudah siap pergi dengan pakaian modis. Celana hitam panjang ketat dari bahan kulit. Baju atasnya menutupi sebagian saja, dan sedikit mempertontonkan payudaranya yang putih bersih. Noni satu-satunya kakak Inaya, berumur dua puluh enam tahun. Kulit wajahnya kencang dan putih bercahaya, membuatnya seperti boneka porselen cina dengan kegarangan wajahnya yang menjengkelkan. Rambutnya pendek dan di cat merah sementara tubuhnya kurus tinggi menjulang  seperti galah.  Ia sudah menyelesaikan kuliahnya di Manajemen Akuntansi dengan hasil lulus biasa-biasa saja. Seperti halnya Ibunya, ia galak, masa bodoh dan tidak memiliki intelektualitas untuk berdebat dengan Inaya dalam hal apapun.
Inaya duduk menunduk. Ia merasa akan dihancurkan oleh dua orang yang sangat dekat dengannya itu. Tapi ia mulai merasa mereka orang yang paling siap ia musuhi sekarang. Ia hanya sedang menghawatirkan Fajar yang duduk di kursi, agak jauh darinya. Ia yakin Ibunya akan menumpahkan semua kemarahannya terhadap Fajar, dengan cara yang sangat kasar.
“Kamu mau demonstrasi, mau orasi, terasi atau mau apasaja, itu urusan kamu.” Suara Nyonya Hartawan menggelegar. “Kerjakan sendiri, tapi jangan bawa-bawa Inaya. Aku tidak peduli kau orang sok penting di kampus, tapi kamu tetap sopir disini dan tugasmu adalah mengantarkan Inaya pulang sebelum jam sembilan. Dengan mobil utuh, tidak tergores sedikitpun.”
Fajar menahan diri untuk tidak menjawab atau membuat pernyataan lainnya. Ia tidak melihat ada gunanya melakukan itu. Nyonya Hartawan bukan jenis orang yang bisa diajak berdebat dengan adil. Lebih baik menahan amarah daripada mengeluarkan kata-kata yang akan menambah sakit di dadanya.
“Aku tidak mau besok kamu mengulangi lagi hal ini, karena ini peringatan terakhir. Mobilnya juga sudah harus bagus kembali dalam satu hari. Setelah itu aku bisa melakukan apasaja, termasuk memecatmu!”
Keputusan itu yang mestinya keluar sekarang, batin Fajar. Memang lebih baik ia sekalian saja keluar dari rumah itu. Mulai tipis batas kesabarannya dan mulai memuncak kesadarannya untuk tidak lagi menghormati Nyonya Hartawan. Maka tanpa basa-basi lagi ia meninggalkan ruangan itu. Ia masih sempat mendengar kalimat terakhir Nyonya Hartawan.
“Lihat tingkahnya yang mulai berani kurangajar itu. Pergi saja tidak pamit.”
Inaya merasa bahwa Ibunya bukan lagi Ibunya yang dulu ketika ia masih kecil. Ia tidak tahu apa yang dilihat Ibunya sekarang pada dirinya. Apakah sangat menyebalkan menjadi dewasa. Sebentar lagi ia akan kehilangan sosok seorang Ibu yang baik dan ia telah siap untuk memusuhinya habis-habisan.  
            “Semua itu ada tempatnya masing-masing, Inaya.” Suara Nyonya Hartawan kembali menyentakkan. Sengit dan kelihatan sedang menahan kemarahan. “Langit diatas dan bumi dibawah. Tidak pernah terbalik tempatnya.”
            Noni menambahkan dengan genit, “Pembantu ya pembantu, majikan ya majikan. Dari dulu sudah begitu aturannya. ”
            Bukan hanya Inaya yang mendengarkan dengan menahan dadanya yang bergolak. Ibu Fajar dibalik pintu belakang sudah gemetar. Bibit air mata mulai muncul di mata tuanya. Ia sudah berada disana sejak pertama kali Fajar masuk ruangan itu. Dadanya sakit sekali anaknya telah diperlakukan begitu keji. Sebagai orang yang mengandungnya dan membesarkannya, belum pernah ia memperlakukan anaknya dengan cara seperti itu.
Inaya berusaha menahan airmatanya. “Rupanya bergaul juga harus diatur.”
“Minum obat saja ada aturannya, apalagi bergaul.”
            “Bapak mengajarkan semua manusia sama.”
            “Bapakmu tidak bisa membaca sejarah.”
“Bapak kebanyakan baca buku cerita silat.” Noni makin bergairah. Ia mau meneruskan bicaranya ketika ponsel-nya berbunyi. Wajahnya jadi riang. “Jason? Ok, honey, i'm coming. “ Menuju Ibunya dan mencium pipi. “Saya ditunggu Jason didepan.”
            “Hati-hati dan cepat pulang.”
            Inaya melirik kakaknya dengan kemarahan di ubun-ubun. Ia segera berlari menuju lantai atas dengan menahan tangisnya. Ibunya terus menghardiknya.
            “Mau kemana kamu Inaya?”
            “Kenapa Ibu tidak tanya Noni mau kemana. Ini waktu saya untuk tidur. Bukan untuk keluyuran sama laki-laki bule. Apalagi belum menjadi suami istri.”
            Kalau saja Noni belum keluar ruangan, akan terjadi pertengkaran hebat. Dan Nyonya Hartawan pasti akan membela Noni. Inaya mulai tidak suka dengan suasana rumahnya. Menjadi dewasa ternyata tidak mudah. Ketika kecil ia dan Noni sering dipuji sebagai sepasang anak yang layak diteladani. Karena kerukunannya dan baktinya pada orangtua. Sampai mereka dewasa dan bisa mencintai laki-laki. Soal pilihan sering membuat orang bersitegang. Dan Inaya sadar ia sedang hidup ditengah keluarga yang menuntut kepatuhan. Tapi ia mulai berhitung ketika Ibunya memperlakukan mereka berbeda. Seringkali Inaya harus mengalah atas kehendak kakaknya. Pada mulanya Inaya merasa harus belajar mengalah untuk menghormati orang yang lebih tua. Tapi lama kelamaan apa yang dilakukan kakaknya sudah melampaui batas kewajaran. Apalagi Ibunya juga membiarkan saja hal itu terjadi. Maka ia mulai bersikap tegas dan hal itu menimbulkan pertentangan yang sengit. Ayahnya cenderung untuk membelanya, tapi agaknya Ayahnya tidak selalu siap melindunginya karena terus menerus bepergian. Inaya merasa rumahnya telah menjadi tungku api yang membakarnya.
***
            Di halaman rumah, Fajar membiarkan saja Noni membuka pintu gerbang sendiri. Ubun-ubun kepalanya menguap. Ia terus menatap wanita muda itu menuju sebuah mobil Mercedez Bens Roadster yang diatasnya duduk anak muda berkulit putih berambut perak serta berhidung panjang. Noni yang sempat melirik Fajar menjadi nampak takut dan bergegas jalannya. Setelah mobil mewah itu pergi, datang mobil volvo  Hartawan. Fajar buru-buru menuju pintu gerbang dan melebarkan pintu sambil mengubah warna mukanya. Selain Inaya, Hartawan adalah orang yang masih menganggapnya manusia berguna. Ia sering diajak bicara tentang apasaja, duduk sama-sama di kursi, minum air kopi yang sama, makan kue yang sama dan bisa tertawa dengan bebas.
            Tapi itu terjadi dulu ketika Hartawan belum mengetahui Fajar mencintai Inaya. Setelah laki-laki berumur lima puluh tujuh tahun itu mengetahui bahwa putrinya mencintai pembantu rumahnya, sikapnya mulai berubah. Walaupun Hartawan masih menyapa dan tersenyum, tapi sudah berbeda air mukanya.  Laki-laki yang keras kemauannya, sekeras kulit wajahnya yang gelap dan menyisakan belang di pelipis kiri karena terserempet peluru ketika berperang di Timor Timur melawan pemberontak bersenjata. Seperti teman-teman tentara lainnya, ia juga melakukan bisnis. Sebagai bekas seorang perwira tinggi, namanya digunakannya untuk mendapatkan kemudahan berbisnis. Bisnisnya legal tapi ia melakukan semuanya dengan cara militer.
Akhir-akhir ini ia sedang tidak serius dengan bisnisnya, walaupun ia selalu pulang malam.  Hartawan jarang pulang malam, kecuali untuk acara bisnisnya. Dan sekarang, urusan bisnis ia kesampingkan lebih dulu karena ada urusan yang lebih penting yang menuntut tenaganya. Urusan panggilan hati nurani melihat negerinya yang sedang bergerak untuk berubah. Seperti mahasiswa yang berkumpul, ia juga berkumpul dengan sesama teman perwira tinggi lainnya.
Ia menunggu Fajar menutup pintu gerbang.
            “Selamat malam, Pak.”
            “Ada kemajuan demonstrasinya?”
            “Maksud bapak?”
            “Belum berpikir untuk berdemo di depan istana?”
            “Mahasiswa butuh mukjijat untuk bisa sampai kesana, Pak.”
            Hartawan tertawa. Tawa yang penuh canda. Tidak ada bibit permusuhan sedikit pun pada Fajar. Hartawan tetap merasa nyaman berbicara dengan anak muda itu. Apa yang ia sering dibicarakan dulu hanya soal bisnis dan perdagangan. Fajar sering menjadi tempat bertanya baginya. Tentara memang tidak diajarkan bagaimana berdagang yang baik. Ia hanya punya nama untuk bisa bisnis. Lagipula hal seperti itu sudah biasa di negeri ini. Yang aneh kalau ada bekas perwira tinggi yang tidak bisa mencari sumber pendapatan lain di luar karirnya.
            Hartawan tahu persis perkembangan didalam rumahnya, terutama soal Fajar dan Inaya. Baginya soal itu bukan menjadi masalah benar, tapi ia tahu istrinya terlalu serius menghadapinya. Ia tidak pernah menganggap  itu suatu masalah, tapi sebuah kasus yang menarik. Ketika menjadi prajurit, ia tidak pernah bisa membantah sekalipun harus masuk sarang musuh paling depan. Disiplin militer itu telah membuatnya bersyukur bisa menikmati sisa hidupnya untuk tidak buta dan tuli terhadap sekelilingnya. Ia tidak dengan serta merta melarang Inaya berhubungan dengan Fajar. Tapi kalau untuk menjadi suami istri, ia lebih suka menjodohkan putrinya dengan laki-laki dari keluarga berkedudukan di masyarakat. Tetap ada sebagian dirinya yang tidak rela anak gadisnya menikah dengan anak pembantu rumahnya. Walaupun bukan suatu aib, tapi ia tidak bisa membuat dirinya malu. Bagaimana memberikan pengertian itu yang berat baginya. Ia yakin Fajar bisa menerima penolakannya, walaupun akan sangat menyakitkan. Ia juga siap dimusuhi. Tapi kepada Inaya, ia masih membutuhkan banyak akal untuk mencari berbagai macam alasan. Dan ia tidak siap dimusuhi putrinya sendiri.
            "Maaf, Pak," Fajar ragu-ragu. "Mobil Ibu bemper belakang penyok. Sewaktu pulang tadi, diseruduk mobil lain."
            "Tapi masih bisa diperbaiki kan?"
            "Besok saya akan perbaiki."
            "Ibu sudah tahu?"
            "Sudah, Pak."
            Hartawan terus masuk. Fajar merasa bebannya berkurang. Ia bisa jujur kepada Hartawan karena reaksinya pasti menyenangkan. Walaupun ia tidak jujur mengenai sebabnya. Ia merasa itu adalah urusannya sendiri. 
 (bersambung)

No comments: