Nama aslinya
adalah Sjamsul Qamar Mubaidah. Dia merupakan tokoh kunci G30S dan orang nomor satu di Biro Khusus PKI yang bertugas membina simpatisan PKI
dari kalangan ABRI dan pegawai
negeri sipil. Sjam kelahiran Tuban,
Jawa Timur pada 30 April 1924. Pendidikannya hanya sampai kelas
tiga Land & Tunbow School dan Suiker-School, Surabaya. Karena Jepang keburu
masuk Indonesia, Sjam tidak menamatkan sekolahnya dan pada 1943 dia masuk
sekolah dagang di Yogyakarta tapi itupun hanya sampai kelas dua. Setelah
proklamasi kemerdekaan, Sjam ikut berjuang memanggul senjata dalam pertempuran
di Magelang tahun 1945-1946, Ambarawa dan Front Mranggen, Semarang.
Dia sempat memimpin laskar di Front Semarang Barat. Sekembalinya dari Front tersebut, ia menjadi anggota Pemuda Tani dan menjadi pemimpin Laskar Tani di Yogyakarta. Tahun 1947, menjelang Agresi Militer Belanda I, ia membentuk Serikat Buruh Mobil, sebuah organisasi buruh yang berhaluan kiri. Pada akhir 1947, ketika Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan didirikan, Sjam juga menjadi pimpinan bakhan kemudian menjadi ketua. Ia banyak mempelajari teori Marxis pada periode tersebut. Pada tahun 1950, dia menjadi Wakil Ketua Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Tahun 1951 sampai 1957, dia menjadi staf anggota Dewan Nasional SOBSI.
Dan barulah
semenjak 1957 dia menjadi pembantu pribadi D.N. Aidit. Mulai
tahun 1960, Sjam ditetapkan menjadi anggota Departemen Organisasi PKI. Empat
tahun setelah itu, dia memperkenalkan bentuk pengorganisasian anggota-anggota
PKI yang berasal dari ABRI. Lahirlah apa yang disebut Biro Khusus Sentral pada
tahun 1964. Ketika mulai dekat dengan Aidit, Sjam menjalin hubungan dengan
anggota ABRI.
Channelnya
sangatlah mengagumkan. Ia pernah menjadi informan Moedigdo,
seorang komisaris polisi, yang kelak salah satu anak Mudigdo diperistri oleh
Aidit. Sjam juga disebut-sebut pernah menjadi intelnya Kolonel Soewarto,
direktur seskoad pada 1958. Melalui cabang-cabang di daerah, Sjam berhasil
mengadakan kontak-kontak tetap dengan kira-kira 250 perwira di Jawa Tengah, 200
di Jawa Timur, 80 sampai 100 di Jawa Barat, 40 hingga 50 di Jakarta, 30-40 di
Sumatera Utara, 30 di Sumatera Barat dan 30 di Bali.
Sjam ibarat
hantu yang bisa menyusup ke mana saja ia mau. Sehingga banyak orang yang yakin
bahwa ia sebenarnya agen ganda. Dia tidak hanya bekerja untuk kepentingan PKI,
tapi juga bertugas sebagai spionase untuk kepentingan-kepentingan lain. Ada
yang meyakini bahwa Sjam adalah agen ganda untuk KGB dan CIA. Lalu ada juga
yang bilang bahwa Sjam itu adalah orang sipil yang menjadi informan tentara.
Sjam dianggap sebagai tokoh terpenting dalam peristiwa G30S ini yang membuat
tidak hanya PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan politik nasionalis runtuh dalam
beberapa hari. Dan setelah G30S meletus dan kemudian gagal (atau didesain untuk
gagal), Sjam pun menghilang.
Menurut Mayjen
Tahir, perwira pelaksana Team Pemeriksa Pusat, Sjam ditangkap di daerah Jawa
Barat sekitar akhir tahun 1965 atau awal 1966. Sjam diyakini sebagai tokoh
kunci dalam peristiwa ini, namun sampai sejauh mana dia berperan? Saat Presiden
Soekarno sakit, Sjam dipanggil Aidit ke rumahnya pada 12 Agustus 1965. Dalam
pertemuan itu, Aidit mengemukakan suatu hal yaitu “Seriusnya sakit Presiden dan
kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila beliau meninggal”.
Kemudian Aidit meminta Sjam untku “meninjau kekuatan kita” dan “mempersiapkan
suatu gerakan”. Atas dasar instruksi tersebut maka Sjam dan rekan-rekannya dari
biro khusus membicarakan ikut serta dalam “suatu gerakan”, dan memutuskan untuk
mendekati Kolonel Latief, Komandan Brigade Infantry I Kodam Jaya, Letkol
Untung, Komandan salah satu dari tiga batalyon pasukan pengawal istana
Tjakrabirawa di Jakarta dan Soejono dari AU, komandan pertahanan pangkalan
Halim Perdanakusumah.
Petunjuk inilah
yang menunjukkan bahwa Sjam adalah inisiator dari gerakan yang kemudian gagal.
Sementara itu, eksekusi terhadap para jenderal,bukan atas inisiatif Sjam.
Gathut Soekresno yang dihadapkan sebagai saksi atas perkara Untung tahun 1966 memberi
petunjuk bahwa Doel Latief lebih berperan, kendati sebetulnya Mayor Udara
Soejono adalah yang bertanggung jawab terhadap nasib para jenderal tersebut.
Di pengadilan
Sjam memang divonis mati. Tetapi banyak mantan tahanan politik di Rumah Tahanan
Militer(RTM) Budi Mulia meragukan apakah Sjam betul-betul dieksekusi. Bahkan
lebih banyak Sjam dilepas, ganti identitas dan hidup sebagaimana orang biasa
atau bahkan sudah kabur ke luar negeri. Semua itu tidak lepas dari jasanya
terhadap berdirinya Orde Baru di bawah Soeharto. Memang tidak banyak informasi
yang kami dapat tentang Sjam Kamaruzzaman.