Tuesday, November 2, 2010

BARET HITAM (1)



PENGANTAR

Cerita bersambung yang akan hadir ini mengambil latar belakang setelah kejadian jajak pendapat Timor Timur 1999 yang akhirnya 78,5 persen penduduk menolak otonomi khusus dan memilih untuk memisahkan diri dari NKRI. Setelah itu PBB mengirimkan International Force East Timor atau INTERFET  dibawah komando Mayor Jendral Peter Cosgrove dari Australia, dengan alasan utama mengamankan rayat Timor Timur.  Apa yang sebenarnya terjadi saat pasukan Australia itu berada di Timor Timur?

 

BAB SATU


Jalur Selatan Jawa Tengah sedang diliputi kabut asap yang lumayan mengganggu pandangan mata. Tapi Tarik memacu jeep Land Rover tuanya dengan kecepatan tinggi.  Walaupun itu juga tidak memberinya rasa yakin bahwa ia tidak akan terlambat di tempat tujuan untuk membicarakan bisnis onderdil mobil ex Singapura dengan orang-orang di pelabuhan Cilacap. Ia telah diberitahu seseorang kalau barang-barang dari negeri seberang itu sangat diminati pedagang lokal karena harganya murah dengan kualitas barang yang masih bagus. Artinya kalau ia sampai terlambat, orang lain akan dengan cepat sekali mengambil alih. Apalagi ia pemain baru di bisnis itu dan ia sudah mulai serius memikirkan akan terus menekuni bisnis itu.
     Dari radio di mobilnya terdengar suara Presiden berpidato, ".....sekalipun integrasi Timor Timur ke dalam negara Kesatuan Republik Indonesia secara legal konstitusional, tapi hal itu tidak diakui masyarakat Internasional dan Portugal masih tetap mencantumkan Timor Timur sebagai wilayahnya......"
     Tarik mematikan radionya dengan kesal. Ia mestinya tidak jadi presiden, pikirnya jengkel. Akhir-akhir ini ia tidak bisa berpikir dengan tenang. Bukan soal usaha bengkel mobilnya yang mulai berkembang, bukan pula soal dirinya yang kesepian tanpa seorang wanita yang seharusnya menjadi istrinya. Tapi ia begitu terganggu dengan berita-berita tentang Timor Timur.
     Sebuah pulau kecil yang tidak seberuntung sumber daya alamnya dari pulau-pulau lain di kepulauan Nusantara, tapi kepopulerannya jauh melebihi isu apapun di Indonesia, dengan puncak ketenarannya saat jajak pendapat yang diadakan PBB, dengan pilihan merdeka yang diberikan oleh Jakarta. Ia mendengus marah saat tahu pulau kecil itu akhirnya lepas dari Republik Indonesia. Keputusan yang salah yang diambil pada saat yang salah oleh sebuah kebijakan yang salah, pikirnya. Ia tidak tahu persis kenapa kebijakan merdeka itu harus keluar. Terlalu banyak yang dipertaruhkan kalau tetap membuat Timor Timur sebagai propinsi ke 27, tapi itu tidak berarti harus serta merta membuat keputusan yang salah.
Baginya keputusan itu salah besar. Tidak mempertimbangkan lebih dahulu apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya yang membuat pulau kecil itu menjadi benar tata pemerintahannya dan berkembang seperti halnya propinsi lain, setelah ratusan tahun di jajah Portugis dan ditinggalkan begitu saja dengan menyisakan bencana mengerikan;  perang saudara yang berdarah-darah dan kelaparan. Darah dan nyawa telah diperjuangkan dengan berbagai kekuatan, termasuk militer, untuk membuat pulau itu beradab. Barangkali salah kebijakan militer yang diterapkan dengan sangat keras. Tapi situasi telah memaksa militer lebih berperan daripada polisi, karena yang dihadapi bukan lagi kriminal jalanan, melainkan kekuatan bersenjata yang didukung oleh kekuatan asing.
Tarik telah mengikuti berbagai operasi rahasia yang dilakukan di pulau kecil itu untuk menumpas gerombolan pengacau keamanan yang sebenarnya adalah sebuah perkumpulan orang-orang terlatih baik, baik dari segi militer maupun soal diplomasi. Bukti pilihan lepas dari Indonesia adalah kemenangan terbesar mereka dengan diplomasi internasional nomer satu. Bahkan diplomat kementrian Luar Negeri di Jakarta dengan mudah didahuluinya seolah baru saja belajar bagaimana diplomasi yang cepat mendapat perhatian dunia.
Telepon genggamnya berdering. Dengan gugup diraihnya gagang telepon dan suara pegawai bengkelnya terdengar ditelinganya dengan sangat jelas.
“Ada tamu dari Jakarta, Pak.”
“Tamu dari Jakarta?"
"Benar, Pak."
"Ah…kamu tahu yang harus kamu katakan.”
“Sudah, Pak. Beliau yang meminta bapak untuk kembali.”
Belum pernah ada orang berlaku menyebalkan seperti ini, pikirnya. “Bahkan saya belum sampai di pelabuhan.”
“Katanya sangat penting, Pak.”
“Kamu pikir aku sedang menuju tempat rekreasi?”
“Beliau bilang tidak bisa menunggu lama, Pak.”
“Memangnya siapa dia?” Nada Tarik jadi meninggi.
“Beliau mengatakan namanya Wenang Pati.”
Mobilnya langsung berhenti mendadak, sehingga mobil dibelakangnya kelihatan panik dan membanting kemudi dan mendahuluinya sambil sopirnya memaki-maki. Tarik tidak mempedulikannya, bahkan andai orang itu akan mengajaknya berkelahi tidak dilayaninya meski ia bisa mudah melakukannya.
Setelah sekian lama, baginya terlalu lama, berada di sebuah daerah kecil di pantai selatan pulau Jawa, tempat ayahnya berasal, ia merasa mendapatkan gairah hidup kembali. Ia bisa tiap hari bertemu kerabat ayahnya atau orang-orang yang bersedia menjadi temannya dan melakukan apasaja dengan mereka. Tapi itu hanya membuatnya terhibur sesaat. Hidupnya kosong dan tidak berarti apa-apa. Hanya kesibukan di bengkel yang bisa melupakan semuanya, selebihnya memancing di laut atau naik gunung. 
Tapi kali ini ia mendapat kabar paling menyenangkan. Ia merasa beban pikiran yang akhir-akhir ini membuatnya terganggu, hilang dengan sendirinya. Walaupun Wenang Pati bukan orang yang diharapkannya, bahkan ia harus membencinya, tapi nama itulah yang paling ditunggunya dengan masalah Timor Timur. Ia memacu mobilnya dengan lebih kencang tanpa berpikir untuk membatalkan pembelian onderdil mobil. Ia harus membuat hatinya nyaman dengan kembali daripada melanjutkan bisnisnya dengan pikiran tegang.
Wenang Pati merupakan ayah kandungnya di militer. Banyak yang merasa iri ia menjadi anak emas Wenang Pati. Sebagai atasannya di kesatuan Kopassus, pendidikan terbaik telah diterimanya. Ia telah dilatih di sekolah komando sebelum akhirnya ia dikirim ke Fort Bragg, North Carolina untuk mendapatkan pendidikan Army Special Force, dilanjutkan di Fort Benning Georgia untuk pendidikan Advanced Infantry Officer. Sampai pendidikan terakhirnya di Jerman, ia mendapat predikat sebagai lulusan terbaik untuk gerilya kota.
Wenang Pati pernah mengatakan kepadanya bahwa suatu saat ingin melihatnya menggantikan dirinya dan bahkan lebih dari itu, menjadi Panglima Tertinggi di militer. Jalan untuk itu membentang lurus didepannya dengan bekal pendidikan yang didapatnya. Tidak ada hambatan apapun sampai kemudian datang malapetaka itu. Baginya itu malapetaka paling buruk sepanjang hidupnya daripada menyebutnya sebuah nasib sial. Wenang Pati adalah satu-satunya orang yang percaya bahwa ia tidak pernah mempunyai ambisi terselubung, apalagi keinginan menggunakan keahliannya di bidang militer untuk melakukan tipu muslihat merebut kekuasaan Presiden.
Menjadi tentara adalah keinginan terakhirnya di dunia. Ia dilahirkan di sebuah keluarga yang semuanya menyukai dunia bisnis, bahkan keluarganya telah memiliki jaringan bisnis besar yang bisa mempekerjakannya dengan kedudukan tinggi. Tapi karirnya di militer yang cepat menanjak membuatnya sadar bahwa ia telah mengambil keputusan benar sebagai jalan hidupnya. Ia merasa nyaman berada di barak, dan lebih nyaman berada di lapangan yang suasananya penuh tantangan. Terlalu berharga hidup sebagai tentara yang harus disia-siakan hanya dengan berebut kedudukan. Perkara bahwa karirnya cepat sekali naik, semata karena Wenang Pati menganggapnya terlalu berbakat menjadi tentara. Ia hanya tersenyum kecut ketika itu, dan dijawabnya, “Bakat itu urusan anak umur lima tahun yang bisa menciptakan pesawat terbang.”  Sampai kepada malapetaka yang merenggutkan karirnya, ia masih merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi tentara.
Keberuntungan yang dimilikinya adalah ia selalu dipengaruhi akar hidupnya, yaitu darah bisnis. Sejak kecil telah dihirupnya bau dunia itu karena ayahnya adalah jagoan untuk urusan dagang. Telah dipersiapkan dirinya bagaimana caranya mencari uang dengan keuntungan berlipat ganda dengan hanya duduk di belakang meja. Paling tidak hanya dengan bertemu orang, berjabat tangan dan menerima selembar cek.Tak ada pekerjaan yang lebih mudah daripada ini, pikirnya ketika itu.
Pikiran itulah yang membangkitkan semangatnya begitu karir militernya dihentikan markas besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Walaupun ia harus pergi menyingkir dan mengasingkan diri di sebuah desa di kaki gunung Menoreh di pantai selatan Pulau Jawa. Ia melakukannya untuk menghindarkan fitnah yang lebih besar. Ia terima keputusan terburuk dalam hidupnya itu karena ia tidak mau memperpanjang perdebatan siapa menyalahkan siapa. Kebenaran hanya ada didalam hati. Tidak ada yang lebih tahu tentang isi hati orang selain orang itu sendiri. Karena keyakinannya itu ia harus pergi.
“Saya mengalamai banyak tekanan batin yang mungkin orang lain tak harus memikulnya,” katanya kepada Wenang Pati sebelum ia pergi dari Jakarta.      
(bersambung)  


No comments: