PENGANTAR
Cerita
bersambung yang akan hadir ini mengambil latar belakang setelah kejadian jajak
pendapat Timor Timur 1999 yang akhirnya 78,5 persen penduduk menolak otonomi
khusus dan memilih untuk memisahkan diri dari NKRI. Setelah itu PBB mengirimkan
International Force East Timor atau INTERFET dibawah komando Mayor Jendral Peter Cosgrove dari Australia,
dengan alasan utama mengamankan rayat Timor Timur. Apa yang sebenarnya terjadi saat pasukan Australia itu
berada di Timor Timur?
BAB SATU
Jalur Selatan Jawa Tengah sedang diliputi kabut asap yang
lumayan mengganggu pandangan mata. Tapi Tarik memacu jeep Land Rover tuanya
dengan kecepatan tinggi. Walaupun
itu juga tidak memberinya rasa yakin bahwa ia tidak akan terlambat di tempat
tujuan untuk membicarakan bisnis onderdil mobil ex Singapura dengan orang-orang
di pelabuhan Cilacap. Ia telah diberitahu seseorang kalau barang-barang dari
negeri seberang itu sangat diminati pedagang lokal karena harganya murah dengan
kualitas barang yang masih bagus. Artinya kalau ia sampai terlambat, orang lain
akan dengan cepat sekali mengambil alih. Apalagi ia pemain baru di bisnis itu
dan ia sudah mulai serius memikirkan akan terus menekuni bisnis itu.
Dari
radio di mobilnya terdengar suara Presiden berpidato, ".....sekalipun
integrasi Timor Timur ke dalam negara Kesatuan Republik Indonesia secara legal
konstitusional, tapi hal itu tidak diakui masyarakat Internasional dan Portugal
masih tetap mencantumkan Timor Timur sebagai wilayahnya......"
Tarik
mematikan radionya dengan kesal. Ia mestinya tidak jadi presiden, pikirnya jengkel. Akhir-akhir ini
ia tidak bisa berpikir dengan tenang. Bukan soal usaha bengkel mobilnya yang
mulai berkembang, bukan pula soal dirinya yang kesepian tanpa seorang wanita
yang seharusnya menjadi istrinya. Tapi ia begitu terganggu dengan berita-berita
tentang Timor Timur.
Sebuah
pulau kecil yang tidak seberuntung sumber daya alamnya dari pulau-pulau lain di
kepulauan Nusantara, tapi kepopulerannya jauh melebihi isu apapun di Indonesia,
dengan puncak ketenarannya saat jajak pendapat yang diadakan PBB, dengan
pilihan merdeka yang diberikan oleh Jakarta. Ia mendengus marah saat tahu pulau
kecil itu akhirnya lepas dari Republik Indonesia. Keputusan yang salah yang
diambil pada saat yang salah oleh sebuah kebijakan yang salah, pikirnya. Ia tidak tahu persis
kenapa kebijakan merdeka itu harus keluar. Terlalu banyak yang dipertaruhkan
kalau tetap membuat Timor Timur sebagai propinsi ke 27, tapi itu tidak berarti
harus serta merta membuat keputusan yang salah.
Baginya keputusan itu salah besar.
Tidak mempertimbangkan lebih dahulu apa yang telah dilakukan oleh para
pendahulunya yang membuat pulau kecil itu menjadi benar tata pemerintahannya
dan berkembang seperti halnya propinsi lain, setelah ratusan tahun di jajah
Portugis dan ditinggalkan begitu saja dengan menyisakan bencana
mengerikan; perang saudara yang
berdarah-darah dan kelaparan. Darah dan nyawa telah diperjuangkan dengan
berbagai kekuatan, termasuk militer, untuk membuat pulau itu beradab.
Barangkali salah kebijakan militer yang diterapkan dengan sangat keras. Tapi
situasi telah memaksa militer lebih berperan daripada polisi, karena yang
dihadapi bukan lagi kriminal jalanan, melainkan kekuatan bersenjata yang
didukung oleh kekuatan asing.
Tarik telah mengikuti berbagai
operasi rahasia yang dilakukan di pulau kecil itu untuk menumpas gerombolan
pengacau keamanan yang sebenarnya adalah sebuah perkumpulan orang-orang
terlatih baik, baik dari segi militer maupun soal diplomasi. Bukti pilihan
lepas dari Indonesia adalah kemenangan terbesar mereka dengan diplomasi
internasional nomer satu. Bahkan diplomat kementrian Luar Negeri di Jakarta
dengan mudah didahuluinya seolah baru saja belajar bagaimana diplomasi yang
cepat mendapat perhatian dunia.
Telepon genggamnya berdering.
Dengan gugup diraihnya gagang telepon dan suara pegawai bengkelnya terdengar
ditelinganya dengan sangat jelas.
“Ada tamu dari Jakarta, Pak.”
“Tamu dari Jakarta?"
"Benar, Pak."
"Ah…kamu tahu yang harus kamu
katakan.”
“Sudah, Pak. Beliau yang
meminta bapak untuk kembali.”
Belum pernah ada orang berlaku
menyebalkan seperti
ini, pikirnya. “Bahkan saya belum sampai di pelabuhan.”
“Katanya sangat penting, Pak.”
“Kamu pikir aku sedang menuju
tempat rekreasi?”
“Beliau bilang tidak bisa
menunggu lama, Pak.”
“Memangnya siapa dia?” Nada Tarik
jadi meninggi.
“Beliau mengatakan namanya
Wenang Pati.”
Mobilnya langsung
berhenti mendadak, sehingga mobil dibelakangnya kelihatan panik dan membanting
kemudi dan mendahuluinya sambil sopirnya memaki-maki. Tarik tidak
mempedulikannya, bahkan andai orang itu akan mengajaknya berkelahi tidak
dilayaninya meski ia bisa mudah melakukannya.
Setelah sekian
lama, baginya terlalu lama, berada di sebuah daerah kecil di pantai selatan
pulau Jawa, tempat ayahnya berasal, ia merasa mendapatkan gairah hidup kembali.
Ia bisa tiap hari bertemu kerabat ayahnya atau orang-orang yang bersedia
menjadi temannya dan melakukan apasaja dengan mereka. Tapi itu hanya membuatnya
terhibur sesaat. Hidupnya kosong dan tidak berarti apa-apa. Hanya kesibukan di
bengkel yang bisa melupakan semuanya, selebihnya memancing di laut atau naik
gunung.
Tapi kali ini ia mendapat kabar
paling menyenangkan. Ia merasa beban pikiran yang akhir-akhir ini membuatnya
terganggu, hilang dengan sendirinya. Walaupun Wenang Pati bukan orang yang
diharapkannya, bahkan ia harus membencinya, tapi nama itulah yang paling
ditunggunya dengan masalah Timor Timur. Ia memacu mobilnya dengan lebih kencang
tanpa berpikir untuk membatalkan pembelian onderdil mobil. Ia harus membuat
hatinya nyaman dengan kembali daripada melanjutkan bisnisnya dengan pikiran
tegang.
Wenang Pati merupakan ayah
kandungnya di militer. Banyak yang merasa iri ia menjadi anak emas Wenang Pati.
Sebagai atasannya di kesatuan Kopassus, pendidikan terbaik telah diterimanya.
Ia telah dilatih di sekolah komando sebelum akhirnya ia dikirim ke Fort Bragg,
North Carolina untuk mendapatkan pendidikan Army Special Force, dilanjutkan di Fort Benning
Georgia untuk pendidikan Advanced Infantry Officer. Sampai pendidikan terakhirnya di
Jerman, ia mendapat predikat sebagai lulusan terbaik untuk gerilya kota.
Wenang Pati pernah mengatakan
kepadanya bahwa suatu saat ingin melihatnya menggantikan dirinya dan bahkan
lebih dari itu, menjadi Panglima Tertinggi di militer. Jalan untuk itu
membentang lurus didepannya dengan bekal pendidikan yang didapatnya. Tidak ada
hambatan apapun sampai kemudian datang malapetaka itu. Baginya itu malapetaka
paling buruk sepanjang hidupnya daripada menyebutnya sebuah nasib sial. Wenang
Pati adalah satu-satunya orang yang percaya bahwa ia tidak pernah mempunyai
ambisi terselubung, apalagi keinginan menggunakan keahliannya di bidang militer
untuk melakukan tipu muslihat merebut kekuasaan Presiden.
Menjadi tentara adalah keinginan
terakhirnya di dunia. Ia dilahirkan di sebuah keluarga yang semuanya menyukai
dunia bisnis, bahkan keluarganya telah memiliki jaringan bisnis besar yang bisa
mempekerjakannya dengan kedudukan tinggi. Tapi karirnya di militer yang cepat
menanjak membuatnya sadar bahwa ia telah mengambil keputusan benar sebagai
jalan hidupnya. Ia merasa nyaman berada di barak, dan lebih nyaman berada di
lapangan yang suasananya penuh tantangan. Terlalu berharga hidup sebagai
tentara yang harus disia-siakan hanya dengan berebut kedudukan. Perkara bahwa
karirnya cepat sekali naik, semata karena Wenang Pati menganggapnya terlalu
berbakat menjadi tentara. Ia hanya tersenyum kecut ketika itu, dan dijawabnya,
“Bakat itu urusan anak umur lima tahun yang bisa menciptakan pesawat terbang.” Sampai kepada malapetaka yang
merenggutkan karirnya, ia masih merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain
selain menjadi tentara.
Keberuntungan yang dimilikinya
adalah ia selalu dipengaruhi akar hidupnya, yaitu darah bisnis. Sejak kecil
telah dihirupnya bau dunia itu karena ayahnya adalah jagoan untuk urusan
dagang. Telah dipersiapkan dirinya bagaimana caranya mencari uang dengan
keuntungan berlipat ganda dengan hanya duduk di belakang meja. Paling tidak
hanya dengan bertemu orang, berjabat tangan dan menerima selembar cek.Tak ada
pekerjaan yang lebih mudah daripada ini, pikirnya ketika itu.
Pikiran itulah yang membangkitkan
semangatnya begitu karir militernya dihentikan markas besar Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Walaupun ia harus pergi menyingkir dan mengasingkan diri di
sebuah desa di kaki gunung Menoreh di pantai selatan Pulau Jawa. Ia
melakukannya untuk menghindarkan fitnah yang lebih besar. Ia terima keputusan
terburuk dalam hidupnya itu karena ia tidak mau memperpanjang perdebatan siapa
menyalahkan siapa. Kebenaran hanya ada didalam hati. Tidak ada yang lebih tahu
tentang isi hati orang selain orang itu sendiri. Karena keyakinannya itu ia
harus pergi.
“Saya
mengalamai banyak tekanan batin yang mungkin orang lain tak harus memikulnya,”
katanya kepada Wenang Pati sebelum ia pergi dari Jakarta. (bersambung)
No comments:
Post a Comment