Pengantar
Cerita
panjang yang akan hadir ini mengambil latar belakang seorang tokoh misterius dan tokoh penting pada peristiwa yang di sebut dengan G30S/PKI. Lelaki itu bernama Syam
Kamaruzzaman. Banyak sekali rahasia yang menyelimuti hidupnya sampai kepada
kematiannya, bahkan ada yang meyakininya masih hidup. Jadi cerita yang akan di sajikan ini bermain di
wilayah teka teki ini. Tentang sosok lelaki misterius itu.
Ini
jelas fiksi, jelas khayalan. Bahkan sebuah khayalan ngawur. Tapi di dalamnya ada data2 bagian dari catatan sejarah yang tersedia di berbagai arsip dan berita. Benar tidaknya sebuah data tetaplah akan menjadi perdebatan. Jadi
benar dan tidaknya cerita dalam kisah ini, tetap menjadi kebenaran fiksi, tidak
pernah menjadi kebenaran fakta. Jadi nikmati saja sebagai sebuah bacaan ringan. (Lihat posting sebelumnya untuk membaca riwayat Syam Kamaruzzaman)
BAB 1
WARUNG Dawet Ayu
‘Mbah Dolah’ terletak di sudut alun-alun kota. Warung itu terbuka dan
kebanyakan meja dan kursi di letakkan di halaman. Pemiliknya seorang lelaki
berumur tujuhpulah dua tahun yang dipanggil dengan sebutan Mbah Dolah. Dawet
ayu adalah sebuah minuman khas kota Banjarnegara yang terbuat dari Cendol tepung beras, gula aren,
gula kelapa dan santan, yang kadang di kombinasi dengan rasa nangka atau durian
. Keadaan cuaca sedang cukup panas sehingga akan menyegarkan menikmati segelas
es dawet. Apalagi hari minggu seperti ini. Beberapa keluarga sedang menikmati
liburan dan hidangan es dawet adalah hal paling menyenangkan. Banjarnegara
adalah sebuah kota kabupaten dengan penduduk sekitar 890 ribu jiwa. Secara
geografis, Kabupaten seluas 1.064,52 kilometer persegi ini adalah daerah
peruntukan untuk pertanian. Sebagian besar daerahnya berupa pegunungan dan
perbukitan. Itu sebabnya dinamakan Banjarnegara yang berarti kota sawah.
Fatimah mengajak
ayahnya yang bernama Ahmad Najib Burhani jalan-jalan menikmati hari libur. Ia
sendiri sibuk mengajar pada hari kerja. Maka waktu luang itu ia gunakan untuk
menyenangkan ayahnya untuk sekadar menikmati segelas es dawet kesukaan Ayahnya.
Hanya dirinya yang masih berusaha membahagiakan ayahnya. Dua saudaranya bekerja
di Jakarta dan jarang sekali pulang. Ia dan ayahnya yang telah lama pensiun
tinggal berdua. Ibunya telah lama meninggal karena sakit. Membahagiakan ayahnya
adalah hal terakhir yang selalu
ingin dilakukannya. Bukan karena ayahnya sekarang sudah tua dan
membutuhkan teman setelah Ibunya meninggal, tapi lebih kepada pengabdiannya
kepada orangtua.
Ayahnya dulu bekerja di
Jakarta. Ia tidak pernah tahu Ayahnya bekerja di bidang apa. Ayahnya hanya
mengatakan bekerja di Departemen Luar Negeri. Setelah peristiwa kerusahan di
Jakarta tahun 1998 dan pergantian Presiden, Ayahnya meminta pensiun. Dengan
pesangon yang cukup lumayan, apalagi untuk seorang pegawai negeri dan ia sempat
heran ketika itu, Ayahnya memboyong keluarga pindah ke tanah kelahirannya di Banjarnegara.
Ketika didesak kenapa harus pindah, sedangkan mereka merasa tidak bermasalah
dengan Jakarta, Ayahnya menjawab, “Ayah ingin tenang.”
Seseorang ingin ketenangan biasanya
karena sakit. Ia tahu persis ayahnya sangat sehat, bahkan sakit flu atau masuk
angin sangat jarang dideritanya. Ayahnya disiplin berolahraga dan makan dengan
teratur. Kalau hanya karena semakin bertambahnya umur menjadi alasan, banyak
orang yang tetap bertahan di Jakarta.
Ayahnya adalah orang yang tegar dalam menghadapi setiap masalah yang
menimpa dirinya. Pembawaan dirinya sangat tenang dan selalu menyelesaikan
masalah dengan penuh perhitungan. Jadi buat Fatimah, kepindahan mereka
sekeluarga ke tanah kelahiran Ayahnya masih merupakan teka-teki sampai
sekarang.
Kedua kakaknya tetap
berada di Jakarta untuk bekerja karena mereka merasa di Ibukotalah tanah
kelahiran mereka. Tapi ia tidak memaksakan diri seperti mereka karena menyadari
hanya dirinyalah yang menjadi teman terakhir ayahnya saat Ibunya telah
meninggal. Fatimah merasa bahwa ia melakukan hal yang benar. Dan ia bahagia.
“Sudah lama aku tidak
menikmati dawet ayu,” kata Ahmad Najib Burhani sambil duduk, “Entah seperti apa
rasanya sekarang.”
“Masih sama seperti
terakhir ayah meminumnya,” jawab Fatimah sambil menoleh ke arah pelayan yang
datang kepadanya, lalu berkata, “Minta dua es dawetnya, Mbak.”
“Mau pesen makanan
juga, Bu?”
“Ayah mau makan juga?”
“Ayah hanya ingin
menikmati es dawet. Tidak yang lain.”
Pelayan lantas pergi.
Fatimah melihat Ayahnya
tersenyum. “Kenapa Ayah tersenyum?”
“Kau dengar tadi
pelayan itu menyebut apa sama kamu?”
“Tampang saya sudah
seperti Ibu-ibu rupanya.”
“Makanya cepatlah
mencari jodohmu.”
“Jodoh ditangan Tuhan.”
“Bukan Tuhan yang
mencarikanmu suami, tapi kamu sendiri.”
Dari meja disamping
Fatimah, seseorang memanggil namanya. Fatimah menoleh. Di meja sebelah duduk
seorang pemuda yang sedang berdua dengan Ayahnya menikmati makanan. Fatimah
mengenalnya.
“Hai Dodo? Maaf ya,
tidak tahu kamu duduk disitu.” Fatimah berdiri dan mengajak Ayahnya berdiri.
“Ayah, kenalkan Dodo Sudirjo teman Fatimah.”
Ahmad Najib Burhani
menyodorkan tangannya sambil tersenyum. Teman Fatimah bernama Dodo itu
menyalami dan menyebut namanya. Lalu dia juga meminta Ayahnya berdiri, “Oya,
kenalkan juga Ayahku. Ayah ini Fatimah teman saya dan Ayahnya.”
Fatimah menyalami Ayah
Dodo sambil menyebutkan nama dan memberi jalan Ayahnya untuk berkenalan dan
bersalaman dengan Ayah Dodo. Ayah Dodo senyum dan menyodorkan tangannya ke Ayah
Fatimah.
“Abusono….” Kata lelaki
berkacamata tebal itu singkat.
“Ahmad Najib Burhani.
Tinggal dimana?” Tanya Ahmad Najib Burhani dengan tangan masih salaman, seperti
sedang memahami orang yang sedang dikenalkannya. Karena ia merasa tiba-tiba
mengenal wajah Abusono meski memakai kacamata tebal. Ingatan tuanya seperti
memutar rekaman di kepalanya tentang wajah Abusono di masa lalunya. Dan ia
meyakini apa yang dilihatnya tidak berbeda dengan ingatannya. Mengenal wajah
seseorang adalah pekerjaannya, maka melihat wajah Abusono menjadi sangat mudah,
meskipun wajah itu sudah berkeriput, berkacamata tebal dan kepala sedikit
botak.
“Di Klampok….”
“Purworejo Klampok?”
“Ya...”
“Asli dari Banjarnegara?” Ahmad Najib Burhani berusaha terus
meyakinkan dirinya agar tidak salah dengan terus bertanya untuk mendukung
keyakinannya siapa orang yang berada didepannya.
“Tidak. Saya dari
Randublatung.” Jawab Abusono mulai tidak nyaman dengan cara menatap Ahmad Najib
Burhani.
“Randublatung?
Pemalang?”
“Bukan. Tuban.”
“Oh Tuban ya? Tentu
saja Randublatung di Tuban.” Ahmad Najib Burhani berusaha menutupi kekagetannya
yang besar. “Apakah kita pernah
bertemu sebelumnya?”
“Saya yakin tidak.”
Abusono menjawab cepat dengan senyum ramah.
“Saya dulu punya banyak
teman dari Jawa Timur, termasuk dari Tuban, sewaktu masih di Pejambon.” Kata
Ahmad Najib Burhani seperti membuka diri lebih jauh.
“Pejambon?” Abusono
mengernyitkan dahinya. “Oh Jakarta…,” lalu mukanya berubah menjadi kaget
sendiri seperti tersadar dari sesuatu, dan tiba-tiba ia berkata gugup, “Ehm
maaf, kami masih ada keperluan lain. Kami permisi dulu.” Wajah Abusono sangat
cepat berubah menjadi tegang dan tangannya menggaet lengan anak lelakinya untuk
segera pergi dari tempat itu.
“Sampai ketemu
Fatimah,” kata Dodo buru-buru berpamitan.
Bagi Fatimah tidak ada
yang aneh dan ganjil. Tapi tidak bagi Ahmad Najib Burhani. Tangannya kemudian
meraba mangkok bakso di meja Abusono dan ia langsung mendapatkan kesimpulan.
“Temanmu pergi buru-buru, Fatimah.”
“Maksud Ayah?”
“Makanan mereka masih
panas.”
Fatimah melihat bakso
dalam mangkok itu memang masih penuh dan panas. Mungkin baru dua tiga suap
dimakan Abusono.
“Kau sudah lama kenal
temanmu itu?” Ahmad Najib Burhani terus melihat kepergian mereka. Rasa
penasarannya semakin tinggi dan keyakinannya akan siapa Abusono semakin mantap.
“Baru sekitar enam
bulan. Dodo bekerja di Dinas Kesehatan.”
“Dia juga bilang bukan
berasal dari daerah sini?”
“Saya tidak pernah
bertanya soal itu. Jarang saya bertemu dengan dia, apalagi ngobrol sama dia. “
Fatimah merasa ada yang aneh dengan sikap Ayahnya. “Memangnya kenapa? Ayah
mengenal Ayahnya Dodo?”
“Mungkin.” Ahmad Najib
mencium tangannya. “Wajahnya mengingatkan kepada seseorang yang dulu sangat aku
kenal. Dulu sekali, sekitar empat puluh tahun yang lalu.”
“Saat masih di
Jakarta?”
“Saat masih di
Jakarta.”
“Rasanya mustahil,
Ayah.”
“Menurutmu begitu?”
“Dodo bilang, sebelum
dia pindah tugas kemari, mereka tinggal di Aceh.”
“Di
Aceh? Bisa jadi begitu, tapi bisa jadi sebelum mereka berada di Aceh, mereka
tinggal di Jakarta. “ Ahmad Najib Burhani terus membuat teori sendiri. “Tapi
kau lihat tadi, saat Ayah menyebut Pejambon, dia langsung tahu bahwa itu nama
tempat di Jakarta. Apakah itu
suatu kebetulan?”
“Mungkin Pak Abusono
dulu pernah tinggal atau bekerja di sekitar daerah Pejambon.”
“Itu maksudku. Lelaki
itu pernah tinggal di Jakarta. Empat puluh tahun yang lalu dia memang ada di
Jakarta. Dan namanya juga mungkin bukan Abusono.”
Fatimah semakin tidak
mengerti pembicaraan Ayahnya. Ia sudah mulai menikmati hidangan didepannya.
Tidak peduli dengan ketegangan yang menyergap Ayahnya tiba-tiba.
“Suaranya sangat aku hafal. Masih sama seperti dulu.” Ahmad Najib
Burhani masih berkata lagi untuk meyakinkan dirinya. “Bau badannya bahkan
sepertinya tidak aneh bagiku. Juga parfum yang dia pakai. Masih sama.”
“Saya semakin tidak
mengerti dengan maksud Ayah.”
“Ayo habiskan
minumanmu. Setelah ini Ayah harus menelpon ke Jakarta.” Ahmad Najib Burhani
lantas duduk kembali untuk menghabiskan es dawet ayu. Ia tidak akan bisa lagi
menikmati segarnya es dawet ayu yang sudah lama tidak dinikmatinya. Tapi
seseorang yang baru saja ditemuinya, membuatnya harus segera melakukan hubungan
rahasia dengan Jakarta. Meskipun ia tidak seratus persen yakin bahwa lelaki itu
adalah orang yang sangat penting, yang keberadaannya sangat misterius. Bukan
hanya buat dirinya sendiri. Tapi buat teman-temannya di Jakarta.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment