BAB DUABELAS
Sudah berkumpul perwakilan
mahasiswa dari berbagai Universitas
di seluruh Ibukota. Mereka datang sebagai utusan resmi yang mewakili
kampus mereka masing-masing dan mempunyai rencana yang akan dibicarakan
bersama. Ruangan itu penuh dengan warna warni jaket almamater. Mereka duduk
membentuk formasi rapat. Fajar sudah membenamkan diri di kursi dan diam,
sementara Jarot sibuk mengatur teman-temannya mengambil tempat. Fajar tidak
bisa mengikuti rapat itu dengan baik. Ia masih kelihatan belum bisa menghilangkan kekalutannya. Jarot tahu
ia harus siap menggantikan Fajar kalau teman-temannya juga tidak siap.
Pada dinding
dibelakang ketua rapat, terbentang spanduk bertuliskan FORUM MAHASISWA
INDONESIA. Beberapa wartawan media cetak dan elektronik mengikuti jalannya
rapat itu. Seperti mengikuti rapat kabinet para Menteri di Bina Graha. Para
wartawan bebas dalam hal apasaja, terutama cara berpakaian yang tidak perlu
memakai dasi, juga berbagai aturan protokol lain yang tidak menyenangkan.
Rosita dan Harry juga sudah berada di ruangan itu. Rosita sengaja tidak menyapa
Fajar tapi terus memperhatikannya dari jauh.
“Sangat
mendesak waktunya bagi kita untuk segera menyatukan tujuan gerakan kita,” Ketua
rapat sudah berdiri. “Jelas gerakan yang kita lancarkan mula-mula adalah
gerakan moral. Artinya, satu-satunya alasan kita melakukan gerakan ini adalah
atas nama rakyat!"
Masing-masing
utusan Universitas kemudian memberikan pandangannya. Rapat berlangsung lebih
dari lima jam, sampai jauh larut malam. Fajar yang seharusnya mewakili kampusnya memberikan
pandangan, terpaksa diwakilkan Jarot. Ia tidak siap untuk mencurahkan seluruh
kemampuannya berpikir, seperti halnya ketika ia pidato sewaktu demonstrasi. Ia
cukup yakin teman-temannya mampu mewakilinya. Ia melihat Rosita kecewa ia tidak
berdiri berpidato karena Harry sudah siap mengambil gambarnya. Sampai rapat
selesai, ia berusaha menghindari Rosita. Tapi ternyata tidak bisa.
“Saya sangat
mengharapkan kamu yang berdiri didepan tadi.”
“Hukumlah
saya yang sudah mengecewakanmu.”
“Kamu
baik-baik saja?”
“Saya
baik-baik saja.”
“Semoga terus
begitu, karena saya masih membutuhkan kamu.”
“Saya harus
pulang.”
“Saya antar.”
“Mungkin
kalian masih harus mencari berita lain malam ini.” Fajar sudah berjalan karena
dilihatnya Jarot sudah keluar ruangan.
“Kami sudah
selesai.”
“Terimakasih,
saya harus pulang dengan Jarot.”
“Mobilnya
masih cukup untuk beberapa orang.” Rosita nampak begitu memaksa.
Fajar bisa
menghirup parfum Rosita. Mereka begitu dekat. Fajar menatap Rosita. Ia tahu
wanita ini begitu serius mengorek kisah hidupnya dan entah apalagi yang sedang
dipikirkannya. Bau parfum Rosita telah mencolok lubang hidungnya dan
ubun-ubunnya langsung menguap. Fantasi laki-lakinya bermain. Belum pernah
segila ini pikirannya terhadap Inaya sekalipun. Tapi Rosita memberinya
pandangan lain. Wanita yang dewasa dan kelihatannya membutuhkan sentuhan
laki-laki.
Udara malam
yang dingin menampar Fajar. “Saya tidak mau diantar. Saya takut ada hardtop yang
mengejar saya lagi.” Fajar mengatakan itu pelan dan tegas.
"Hardtop?
Maksudmu mobil jenis jeep hardtop pernah mengejarmu?"
Rosita serius sekali.
"Itu
juga akan kamu masukkan dalam laporanmu?"
"Tentu
saja. Saya yakin kamu sedang diincar."
"Oleh
siapa?"
"Jangan
sok jago. Kamu dalam bahaya." Nadanya terdengar khawatir. "Kalau
mereka sudah melakukannya sekali, kamu tinggal menunggu aksi kedua mereka dan
mungkin dengan cara lain."
"Saya
bisa jaga diri."
"Kamu
harus saya antar."
"Saya
jalan kaki saja." Fajar terus saja pergi mengejar Jarot yang sudah
menunggunya di halaman Universitas yang mulai sepi. Rosita nampak begitu kesal
kekhawatirannya dianggap angin lalu. Ya, ia mulai mempunyai perasaan khawatir
pada Fajar. Diluar soal reportasenya, ia tidak bisa membohongi bahwa ia mulai
menyukai lelaki itu.
Sepuluh menit
kemudian Fajar dan Jarot sudah menyusuri trotoar kota yang sepi. Dan mereka
tidak tahu jeep hardtop itu mengikuti.
“Kamu
kejauhan buat pulang, nginep saja ditempat kostku.”
Fajar melihat
jam tangannya. Sudah tak ada bis kota. Naik taksi bisa sepuluh kali lipat naik
Patas AC sekalipun.
“Aman nggak?”
“Kamu kira
tempat kostku sarang maling?”
Mereka terus
menyusuri trotoar kota yang semakin sepi. Tidak ada sisa-sisa kesibukan kota
metropolitan siang hari. Orang-orang lebih suka berada diatas ranjangnya dan
bercinta dalam gairah yang membara. Siklus hidup ternyata sama dibelahan dunia
manapun. Bekerja keras dan selebihnya untuk menikmati kesenangan.
Fajar dan Jarot tidak pernah
tahu bahwa jeep hardtop itu terus mengikuti sampai didepan rumah tempat kost
Jarot.
---------
Tiba-tiba
pintu itu jebol terkena hantaman keras dari luar. Sinar lampu menerobos masuk
ke dalam kamar ukuran 4 X 3 meter yang gelap itu. Empat laki-laki dengan
pakaian tebal dan penutup kepala terbuat dari wol, tinggal matanya saja yang
kelihatan, menyerbu ke dalam kamar. Ditangan mereka tersandang senapan mesin.
Mereka bergerak cepat tanpa keributan yang berarti.
Dalam sepuluh
detik, Fajar dan Jarot dibangunkan dengan paksa dan diborgol. Dibawah todongan senapan, mereka tidak
punya kesempatan membuka mulut, lalu diseret keluar kamar dengan sangat kasar.
Dua menit kemudian, kamar itu telah kosong menyisakan sebuah sepi yang panjang.
Lima puluh
tiga menit kemudian, kepala Fajar dibanting ke atas meja oleh sebuah tangan
kekar, lalu dijambak rambutnya dan didongakkan ke atas. Darah keluar dari
hidung dan mulut yang sudah robek. Fajar tidak bisa melihat sekelilingnya.
Pandangannya kabur dan merasa akan dijemput malaikat maut. Ia duduk di kursi dengan
kedua tangan diborgol ke belakang sandaran kursi. Sinar lampu hanya jatuh
diatas kepalanya, sementara di sekelilingnya gelap.
Samar-samar
Fajar melihat ada nyala puntung rokok yang disedot seseorang didepannya yang
gelap. Ia yakin ada seseorang didepannya dan dugaannya benar karena dari
sanalah sebuah suara keluar.
"Kamu
tahu kenapa berada disini? Karena kamu sedang bermimpi menjadi pahlawan."
Suaranya ketus, lalu membentak, “Dibayar sama siapa kamu untuk menghasut
orang?!”
Fajar hanya
bisa menggeleng. Mulutnya kaku karena berdarah.
“Kamu tahu
apa yang kamu lakukan itu menghasut? Kamu PKI ya? Komunis ya?”
Fajar
menggeleng lagi. Akibatnya kepalanya dibanting lagi oleh tangan kekar itu.
Lampu di sudut lain ruangan itu menyala. Seorang Pemuda duduk di kursi listrik
dan kelihatan tidak bertenaga sama sekali. Disampingnya terdapat sel-sel
seperti penjara dan didalamnya berisi laki-laki yang semuanya masih berusia
muda dalam keadaan kepayahan. Seperti tinggal menunggu giliran dijemput
malaikat maut.
Fajar tak
bisa melihat kalau di salah satu sel itu terdapat Jarot, yang sedang dalam ketakutan yang luar
biasa. Kacamatanya lenyap dan itu cukup menghalanginya melihat keadaan ruangan
dan siapa yang telah membuatnya terguncang seperti itu. Sisa ingatannya hanya
sampai pada detik dimana ia diseret dari dalam kamarnya. Selebihnya gelap,
karena matanya terus ditutupi dengan kain hitam.
BAB TIGABELAS
Keadaan menjadi gempar. Berita
hilangnya Fajar dan Jarot cepat menjadi berita hangat di Universitas. Berita demonstrasi
di kota lain di koran pagi tidak berarti banyak. Rosita dan Harry sudah berada di ruangan yang sedang berduka
itu. Rosita nampak sibuk menelpon lewat handphone-nya. Ruangan
itu menghentikan kegiatannya secara otomatis. Inaya kelihatan habis menangis
dan duduk di sudut ruangan sendirian.
Seorang
mahasiswa yang tampaknya menonjol segera mengambil alih keadaan dan membuat
suatu rapat kecil. Tegang. Seperti menghadapi perang. “Kesimpulan sementara kita adalah, Fajar dan Jarot diculik,”
katanya berapi-api. “Dan kita akan mengirimkan wakil kita untuk melapor ke
Kontras. “
Penculikan
bukan berita mengejutkan bagi Rosita. Aktivis partai politik yang bersuara
kritis, aktivis pro demokrasi yang menginginkan perubahan atau mereka yang
dianggap bersuara vokal, telah banyak yang dilaporkan hilang dan belum pernah
kembali. Bahkan ada yang telah delapan bulan tidak ada kabar berita, mati atau
masih hidup. Keberanian untuk berbeda pendapat dan berpikir kritis, telah
menimbulkan kemarahan Penguasa. Dengan dalih mengamankan bangsa dan negara,
harus dilakukan tindakan keras terhadap mereka. Penculikan dalam drama rumah
tangga biasanya karena ada permintaan tebusan uang. Para aktivis dan mahasiswa
seperti Fajar dan Jarot diculik, jelas bukan minta tebusan harta benda.
Sangat sulit
bagi Rosita untuk melakukan penyelidikan. Semuanya serba gelap. Yang tersisa
tinggal dugaan-dugaan berdasarkan desas-desus yang berkembang dari mulut ke
mulut. Entah siapa yang pertama kali mengatakan bahwa para aktivis dan
mahasiswa seperti Fajar dan Jarot, diculik oleh pihak aparat keamanan. Dilihat
dari bukti lapangan, desas-desus tersebut sangat beralasan. Cara operasi mereka
yang sangat rapi dan tidak meninggalkan jejak.
“Saya punya
keyakinan bahwa ada oknum aparat keamanan dibalik penculikan mereka,” Rosita
sudah duduk didepan Roy Ambyah dan menyodorkan berkas tulisannya beberapa
lembar.
“Hati-hati
kalau bicara,” Roy kelihatan tegang.
“Mungkin saya
terlalu gegabah. Tapi saya sudah datang ke Kontras. Saya kira saya cukup punya
data.”
“Selengkap
apapun datamu, kita tetap tidak bisa menyiarkannya.”
“Ini
menyangkut nyawa manusia!” Nada Rosita meninggi.
“Kamu juga
harus sadar siapa yang kita hadapi. Saya sudah berhasil membujuk Chief untuk
siaran live. Tapi tolong singkirkan berita gila macam ini.”
Mungkin
permintaannya berlebihan. Agaknya ia sedang hidup di sebuah tempat yang
semuanya menuntut serba hati-hati. Ia memang tidak siap untuk diculik
seperti Fajar. Tapi ia juga tidak
bisa hanya sebagai orang yang selalu berkata ya, padahal hatinya mengatakan
tidak. Apalagi ini menyangkut Fajar. Untuk alasan reportasenya barangkali
sangat sepele. Tapi ia telanjur mengetahui begitu banyak hal tentang anak muda
itu. Tiba-tiba ia tidak rela kalau harus kehilangan Fajar.
(bersambung)