Saturday, November 21, 2009

1998 (7)


BAB SEPULUH


Fajar sadar ketika pertamakali naik panggung untuk pidato, itulah saatnya ia siap merubah jalan hidupnya. Baginya itu sangat berat, tapi ia akan lebih merasa tidak bermartabat kalau hanya berdiam diri melihat perubahan yang diharapkan banyak orang itu. Kalau boleh memilih, ia memang lebih suka bekerja dan bisa terus menghidupi ibu dan dua adiknya. Tapi hidup tidak cukup hanya itu. Hidup membutuhkan banyak suara. Termasuk barangkali Nyonya Hartawan yang sangat amat menyakitkan. Ia ingin menghilangkan ingatannya dari suara bekas majikannya itu dengan berjemur matahari diatap gedung kampusnya.
Jarot datang melihat wajah sahabatnya yang sedih. “Aku takut kamu benar-benar lompat ke bawah, padahal perjuangan kita baru mulai.”
Fajar tidak bereaksi.
“Aku tahu kita sekarang sedang berusaha menyamakan hak, tapi soal jodoh, agaknya tidak masuk hitungan perjuangan kita.”
“Ini bukan soal perjuangan, Bung. Ini soal warna darah.”
“Kalau soal warna darah, darah kambing juga merah.”
“Aku tidak pernah percaya ada darah berwarna biru, kecuali kalau kelunturan blau.”
Jarot tertawa terbahak-bahak. “Makanya berhentilah bicara soal warna darah. Persoalannya mungkin lebih dari itu.”
“Tidak ada persoalan yang lebih penting sekarang daripada soal warna darah. Ini soal kehormatan keluarga!”
“Boleh saja, tapi kamu lupa soal timing, soal waktu. Buatlah dirimu jadi pahlawan dulu, baru melamar Inaya. Orangtua kita kan suka dengan orang yang dapat gelar? Apalagi bangsawan.” Jarot berdiri. “Sudah, cari dah gelar dulu.”
“Dimana?”
“Demonstrasinya?”
“Cari gelarnya.”
“Ah, sinting.” Jarot mulai beranjak. “Oya, dibawah sudah menunggu Rosita.”
“Menunggu siapa?”
“Yang pasti bukan menunggu Godot.”
***
Rangkaian petasan menyalak ramai. Asap dan serpihan kertas berhamburan di udara. Ada restoran Cina baru dibuka. Pemiliknya keturunan Tionghoa. Ini kawasan Pecenongan, salah satu daerah Pecinan Ibukota yang cukup elit. Pertumbuhan ekonomi kawasan ini tergolong tinggi karena salah satu kawasan perdagangan, terutama untuk bisnis orang keturunan Tionghoa jet set, selain Glodok dan Mangga Dua.
Fajar dan Rosita sedang berada disana dan ikut melihat kemeriahan yang jarang ada. Harry mengambil gambar tarian barongsai. Tarian yang sebenarnya tidak bebas dipentaskan karena ada larangannya. Mereka hanya lewat untuk terus menyusuri trotoar pertokoan yang berderet-deret.
“Bapak saya meninggal dalam perampokan di mobil Pak Hartawan.” Fajar bersedia bercerita karena permintaan Rosita sulit ditolaknya. “Ada tiga versi cerita. Versi Polisi, bapak saya yang merencanakan perampokan. Versi saksi, bapak saya melindungi Pak Hartawan dari bacokan perampok. Versi keluarga Pak Hartawan, bapak pantas mati sebagai sopir yang melindungi majikannya.”
“Kamu punya pendapat sendiri?”
“Saya tidak mau bapak saya diadili versi mereka. Saya hanya ingin bapak saya meninggal sebagai orang baik.”
Rosita melihat wajah Fajar menahan amarah. Laki-laki yang menarik latar belakang hidupnya. Ia telah begitu beruntung mendapatkan orang yang begitu kompleks kisah hidupnya, dan ia siap menunggu kejutan lain dari pemuda disampingnya itu.  Fajar tidak tampan, tapi pemuda itu mempunyai pesona. Rosita paham kenapa Inaya tertarik dengan Fajar. Pesona tidak akan pernah hilang, tapi ketampanan lenyap seiring dengan bertambahnya umur. Rosita pernah pacaran tapi karena tidak ada kecocokan, tidak bisa dipertahankan. Padahal ia telah siap menikah. Ia bukan perempuan yang suka mengoleksi laki-laki dalam daftar berpacaran karena ia tidak bisa menghabiskan sisa umurnya hanya untuk berpindah dari satu lelaki ke lelaki lain. Memilih jodoh bukan seperti memilih barang. Barang terlihat jelek bukan berarti kualitasnya juga jelek. Kebaikan hati seseorang tidak bisa hanya dilihat dari baju yang di pakainya atau mobil yang di bawanya. 
Sudah lebih dari tiga tahun ia mengisi hidupnya sendirian. Ia tahu banyak rekan sekantornya yang berusaha mendekatinya. Tapi ia berhasil menghindarinya dengan bekerja keras sebagai reporter lapangan. Dan tiba-tiba bertemu Fajar. Ia tidak tahu persis kenapa bisa memilih Fajar sebagai bahan reportasenya. Ia merasa beruntung saja. Sekarang pun ia tidak perlu tahu sebabnya.
Mereka masuk ke sebuah toko roti besar yang didepan pintu masuknya bertuliskan TAN. Fajar bekerja sebagai sopir disitu. Toko cukup ramai. Fajar kebetulan bisa bekerja di toko Pak Tan. Seperti kisah dalam film Indonesia, ia menolong Pak Tan yang mobilnya mogok di pingir jalan. Setelah itu ia ditawari bekerja. Hanya itu, selebihnya ia telah menjalin hubungan baik dengan Pak Tan dan keluarganya.
Fajar menyapa seorang gadis dibelakang meja kasir. “Hallo, Kristin.”
“Hai, orang penting, kemana saja?” Gadis bernama Kristin bermata sipit, tersenyum lebar. Pramuniaga lain juga menoleh dan menyapa Fajar.
“Sombong ya, sudah masuk TV, jadi nggak kenal kita lagi.”
“Keren nggak saya masuk TV?”
Ruangan tertawa. Pak Tan keluar dari dalam dan senyumnya mengembang melihat Fajar.
“Tiga hari yang lalu saya ke rumah.”
Fajar menyalami Pak Tan. “Saya sibuk di kampus, Pak. Oya, kenalkan ini Rosita, Pak.”
“Ooo yang reporter TV itu ya.”
Rosita mengangguk. Semua pramuniaga menoleh ke Rosita.
“Mungkin saya akan bekerja lagi dalam dua tiga hari ini, Pak.”
“Atur saja. Kapan kamu ada waktu. Bapak senang lihat kamu teriak-teriak di TV. Begitu mestinya anak muda. Ayo ambil kursi, ajak duduk temanmu.”
Ini kejutan lain dari Fajar. Belum pernah Rosita melihat keakraban dua generasi berbeda dan dari ras yang berbeda. Di negeri ini, sangat sulit membangun hubungan seperti yang dilihatnya, kecuali bukti lain yang ia lihat pada kakeknya dan Pak Ong. Kakeknya bilang kepadanya bahwa ia berteman dengan Pak Ong bukan karena ras atau rasa kasihan dengan perlakuan diskriminasi sebagian orang di negeri ini. Kakeknya merasa Pak Ong adalah manusia, seperti juga dirinya.




BAB SEBELAS


Fajar tidak bisa menolak permintaan Rosita yang terus menerus mengikuti kegiatannya sehari-hari. Kekakuan diantara mereka sudah mulai hilang. Fajar mulai merasakan kehadiran seorang perempuan lain, setelah tidak bertemu dengan Inaya. Rosita tidak cantik tapi mempunyai daya tarik yang sanggup membuat setiap laki-laki setabah apapun akan terpacu jantungnya. Pintar, bersikap dewasa dan bisa menebak keinginan seseorang.
Pada akhirnya Fajar tidak bisa menolak keinginan Rosita yang memaksa ikut ke rumahnya di pinggiran kota. Kampung yang bagi kebanyakan orang disebut kampung pinggiran dan layak disebut kampung kumuh. Tapi Fajar merasa ia tinggal di kampung terbaik di dunia. Jalan kampung selalu semarak oleh anak-anak bermain. Ia berani bertaruh tidak ada pemandangan sesemarak ini di kampung lain di Ibukota ini. Barangkali tidak ada keindahan karena semua kelihatan kotor dan semrawut, tapi disana ada kehangatan. Ada teriakan tawa dan canda. Berbeda dengan di jalanan kompleks real estat yang menjamur di Ibukota. Seperti jalan di sepanjang rumah Inaya. Ia hanya melihat petugas keamanan yang mondar-mandir dalam jeda waktu yang ketat. Selebihnya adalah kesunyian yang panjang mirip kuburan. Ibukota telah terbagi menjadi hutan yang siap menegangkan jantung penghuninya.
Negeri ini sebenarnya tidak cocok dengan pengelompokan seperti itu. Sebutan negeri Timur yang terkenal dengan keramah tamahan penduduknya, agaknya siap tumbuh menjadi wild west. Rumah-rumah berpagar besi tinggi, bahkan diatasnya dipasangi pagar kawat berduri.  Kenyamanan seperti apakah yang didapat penghuninya. Bahkan, siapa tahu, dibelakang pintu telah disiapkan berbagai jebakan dan senjata api jenis AK-47.
“Saya lebih yakin orang seperti saya hanya akan jadi tumbal ketimbang jadi pahlawan,” kata Fajar tersenyum kecut.  Ia menggandeng Rosita yang kelihatan tidak siap berada diatas jembatan gantung yang membelah sungai kotor dari jalan raya menuju kampungnya.
Harry masih mengambil gambar di seberang sungai ke arah Fajar dan Rosita. Mungkin seperti adegan dalam film Rano Karno dengan Yessy Gusman tahun 80-an. Fajar tertawa dalam hati. Ia tidak tahu siapa Rosita dan kisah apa dibalik dirinya yang seorang reporter. Tapi ia tak punya waktu untuk mencari jawaban itu.
“Siapa tahu kamu orang pertama yang bisa jadi pahlawan.”
“Teman saya juga menyuruh saya mencari gelar pahlawan. Tapi saya malah khawatir saya orang pertama yang akan jadi tumbal.”
“Tidak selalu kita harus kalah.”
“Mungkin, tapi saya sudah kalah dalam segala hal.”
“Mungkin kamu hanya mengalah.”
“Saya orang yang tidak pernah dihibur.”
“Sama sekali saya tidak berusaha menghibur kamu. Kamu memang enggak pantas cuma dijadikan tumbal.” Nada suara Rosita terdenga gemetar. Kakinya terpeleset dan begitu saja ia meraih tubuh Fajar untuk dijadikan pegangan. 
Mereka berhenti di ujung jembatan dan berpelukan.
Harry mengambil gambar mereka. Hanya beberapa menit tapi itu adalah gambar yang paling menyegarkan setelah begitu lama ia hanya mendapatkan gambar kekerasan bentrokan mahasiswa dengan aparat keamanan.
Mereka berjalan kembali dan tidak lagi berbicara. Dada mereka saling terguncang dan tidak perlu mereka ungkapkan dengan kata-kata.  Sampai di halaman rumah, Fatimah, adik Fajar yang sedang  sibuk mengangkat jemuran, menghampiri kakaknya dan memberitahu, “Ada mbak Inaya.”
Fajar terkejut dan kelihatan menjadi bingung.
“Mungkin saya harus pergi.” Rosita sebenarnya mengharapkan sebaliknya.
"Kenapa harus pergi?"
"Kalian perlu privacy."
"Lalu kenapa kamu repot-repot ikut kemari?" Fajar menginginkan Rosita tetap tinggal. “Terserah kalau mau ketinggalan kisah sedih lainnya.”
Fajar terus saja masuk ke dalam rumah dengan wajah bingung. Rosita menoleh ke Harry, dan tampaknya Harry tidak mau pergi. Rosita mulai mengagumi Fajar dan segenap kisah hidupnya yang menurutnya heroik. Yang paling menarik perhatiannya adalah hubungan cinta Fajar dan Inaya. Tapi ia sekarang melihat hubungan itu terancam putus, dan sebaiknya bukan karena kehadirannya.

Di dalam kamar Fajar, Inaya sudah lama menangis. Matanya merah dan masih ada sisa air mata. Fajar berdiri di ambang pintu. Ingin sekali rasanya memeluk Inaya, tapi  mengingat wajah Nyonya Hartawan, keinginan itu diurungkannya. Ia tidak tega melihat perempuan menangis. Apalagi itu terjadi pada orang yang sangat disayanginya.
“Kalau masih ada gunanya menangis, menangislah.”
“Kamu mungkin tidak perlu menangis, karena kamu laki-laki.”
“Kalau aku harus menangis, itu adalah untuk nasibku.”
“Saya minta maaf soal Ibu.”
“Saya sedang berusaha melupakan saya ini orang hina, tapi ternyata tidak bisa. Mungkin tidak akan pernah bisa.”
“Kamu juga akan meninggalkan saya?”
Fajar terdiam.
“Oh, mungkin karena reporter wanita itu.”
Fajar menatap Inaya. “Kalau kamu masih ingat janjiku padamu, itulah yang akan aku pegang selamanya, meskipun kedengarannya seperti rayuan gombal.”
Inaya menunduk.  “Aku akan tinggal disini.”
“Aku yang tidak bisa tinggal di rumah kamu, Aya.”
“Kita tidak perlu kesana.”
“Kalau saja boleh begitu.”
“Kamu kira aku tidak berani meninggalkan orangtuaku?” Suaranya melengking. Mungkin sampai ke teras rumah dan Rosita bisa mendengarnya.
“Aku takut kamu kehilangan warna darahmu.”
Inaya berdiri dengan muka merah. Marah. “Kamu naif bicara soal warna darah!” Kelihatan sangat marah, lalu menyambar tas dan keluar kamar.
Fajar duduk di kursi karena merasa limbung. Ia bisa berdiri berjam-jam dibawah matahari pukul satu untuk berpidato didepan para demonstran. Tapi ia merasa nyaris pingsan di kamarnya sendiri. Kepalanya berputar. Entah berapa lama ia duduk dan melihat keluar jendela.
“Mas, tamunya sudah pamit pulang.” Fatimah sudah berdiri diambang pintu.
“Ibu sudah pulang?”
“Belum.”  
“Bikinkan kopi ya?” 

(bersambung)