BAB DELAPAN
Anyer, Banten.
Matahari sore terapung
diatas laut. Musim penghujan mulai surut. Langit cerah diatas sebuah pondok
terpencil agak menjorok diatas bukit tepi laut. Pondok itu jauh dari manapun.
Tampak sudah tidak terawat dengan baik. Disekelilingnya hanya hutan belukar
bekas taman yang sudah tidak pernah dirawat. Angin bertiup kencang dari Teluk.
Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Tapi di dalam pondok, telah berkumpul sebelas orang yang datang dari semua cabang. Mereka kelihatan lebih santai. Begitu juga Sam yang terus merokok seperti cerobong pabrik. Yang kelihatan selalu serius adalah Sang Ketua. Wajahnya kelihatan tegang, padahal pondok itu telah diperiksa dengan monitor frekuensi radio dan peralatan tambahan untuk mendeteksi alat penyadap dan kamera rahasia serta telah diamankan jalur komunikasinya.
Tak ada yang
perlu dikhawatirkan.
“Kita akan
segera bergerak. Sandi yang akan kita gunakan adalah Gerakan 12 Mei, karena
tanggal itu kita akan mulai operasi kita.” Sang Ketua mulai mencairkan suasana.
“Berdasarkan analisa tim, maka kita akan memanfaatkan demonstrasi mahasiswa.
Dan sebagai pembuka jalan, kita akan memakai wilayah barat Ibukota.”
Laki-laki bule itu angkat
tangan. “Bagaimana penggalangannya, Sir.” Bahasa
Indonesianya cukup fasih.
“Berita
terakhir yang saya terima, pasukan kita sudah siap untuk diterjunkan. Ada
pertanyaan?”
Tak ada
pertanyaan.
“Ini
pertemuan terakhir sebelum gerakan di mulai. Untuk menjaga situasi yang genting, diharapkan
melakukan prosedur keselamatan yang telah ditetapkan. Saya jelaskan sekali
lagi, kita akan meninggalkan tempat ini selang waktu tigapuluh menit.
Terimakasih, Tuan-tuan.”
Pertemuan itu
selesai.
***
Ada jalan
kecil beraspal yang menuju pondok itu ke atas. Di tepi pantai, dibalik ilalang
pinggir jalan aspal itu, duduk menghadap laut Sersan Sarman dengan mendekap
teman wanitanya. Di samping mereka ada motor tua dan disetangnya tergantung tas
bertuliskan POLISI serta peralatan memancing.
Sersan Sarman
memang tidak berniat memancing lagi setelah teman wanitanya lebih menarik dari
sekedar menunggu ikan masuk kailnya.
Ia harus pintar mencari waktu untuk mencari kesenangan setelah tugas
berat selalu dijalankannya. Patroli di kota kecil tidak begitu menegangkan,
tapi harus dalam jadwal yang ketat.
Dan ia bersyukur bisa mencuri waktu di sore yang cerah itu.
“Jarang-jarang
saya bisa berlibur seperti turis begini,“ ujar Sarman tertawa sambil mendekap
teman wanitanya dengan penuh birahi.
“Ah, kamu kan
kerjanya enak. Patroli di jalan, cegat mobil, dapat duit.”
Sarman
tersenyum kecut. Ia tidak menyalahkan teman wanitanya. Tapi ia harus berdalih
bahwa gajinya tidak seberapa untuk bisa menghidupi dirinya dan dua adiknya yang
masih sekolah. Kalau pegawai
negeri lainnya bisa mencari tambahan penghasilan, ia juga merasa harus
melakukan hal yang sama. Semua orang mempunyai tanggungan hidup, dan negeri ini
tidak memberi gaji bulanan yang cukup.
Sarman kaget
dan menajamkan pendengarannya. Dalam hitungan detik, ia sudah berlari ke arah semak ilalang dan mengintip ke
arah jalan aspal. Ini bukan kebiasaan, bahkan tidak pernah ada mobil
mengunjungi pondok santai diatas sana. Tapi ia melihat sebuah sedan mewah
berwarna hitam dan berpelat nomer Jakarta.
“Ada apa?”
tanya teman wanitanya.
“Pondok
diatas sana itu sudah di segel, kenapa masih dipakai?”
“Mungkin akan
dibuka lagi.”
Ya, mungkin
akan dibuka lagi dan tempat itu akan ramai lagi. Sarman bisa kehilangan tempat
santainya yang tersembunyi itu. Sarman merangkul teman wanitanya untuk rebahan.
Kalau ia harus pindah dari tempat santainya ini, biarlah ini terakhir kali ia
menikmatinya dan akan ia puaskan gairahnya. Tapi agaknya ia tak pernah bisa
punya kesempatan, ketika ia harus berlari lagi ke arah semak dan mengintip
lagi.
Sebuah jeep
Mercy berkaca gelap berlalu dari arah pondok. Sarman tak beranjak lagi karena
ia yakin masih ada mobil dari pondok itu yang turun. Dan ia benar-benar
kerepotan mencatat pelat nomer mobil-mobil itu.
Catatan pelat
nomer mobil itu sudah ditangan Letnan Deny, atasan Sarman. “Apa yang membuatmu
curiga dengan mobil-mobil itu, Sersan?”
“Mobil-mobil
itu pergi dengan jeda waktu tigapuluh menit, Let,” Sersan Sarman menjawab
dengan antusias. Seolah ia akan mendapat promosi jabatan setelah itu.
Letnan Deny
melihat catatan pelat nomer mobil itu. Ia kelihatan ragu. Perasaannya sudah tak
enak. Ia menatap Sersan Sarman yang juga menatapnya tajam. Seolah memintanya
untuk meneruskan temuan itu.
“Letnan akan
meneruskan laporan saya?”
Letnan Deny
masih saja ragu. Tapi ia segera menjawab, “Pelat nomer mobil ini bisa milik
siapa saja. Terimakasih, sersan.”
Dua jam
kemudian, Letnan Deny sudah berdiri didepan Kapten Sasongko dan menyodorkan
kertas catatan pelat nomer.
“Maaf kalau saya
menganggu dengan laporan ini, Komandan.”
“Tidak
apa-apa, saya mengerti. Saya akan mengurusnya.” Wajahnya masih kelihatan ragu.
"Darimana kau dapatkan nomer ini?"
"Anak
buah saya, Ndan."
"Bicaralah
padanya. Katakan padanya agar jangan berbicara pada siapapun tentang hal
ini."
"Siap, Ndan."
Satu jam
kemudian Kapten Sasongko sudah mengirimkan laporan itu.
Kertas
laporan dan catatan pelat nomer itu sudah berada di sebuah ruangan ber-AC. Sam
duduk membaca kertas laporan itu dengan serius, sambil merokok. Tangannya
menyambar telpon.
“Saya ingin
diatur tiga mutasi dalam minggu ini. Sersan Sarman, Letnan Deny dan Kapten
Sasongko. Pisahkan mereka sejauh mungkin dari Jakarta.”
Ia menutup telponnya, menoleh
ke arah sudut ruangan. Dilihatnya
di televisi mahasiswa sedang konvoi di jalan raya, berdemonstrasi.
Berbagai spanduk dibentangkan, berbagai poster di bawa para mahasiswa yang
sedang demonstrasi.
BAB SEMBILAN
Negeri ini memang
membutuhkan angin segar, pikir Fajar yang sedang berada
diantara para demonstran lainnya. Inaya dan Jarot mengiringinya juga. Negeri ini telah tidur panjang dan
kehilangan semangat untuk bangun. Telah banyak orang pintar berpendikikan luar
negeri yakin, negeri ini mempunyai dasar ekonomi yang kuat, telah berjalan di
jalan yang lurus. Analisa mereka tidak ada yang menyangsikan. Mereka bilang
negeri ini subur dan rakyatnya makmur, semua harus mengamini.
Siapa yang
berani membantah analisa itu. Begitu memang kenyataannya. Tapi yang terjadi
sekarang, hari ini, harus tetap dijawab. Kenapa ia dan kawan-kawannya harus
keluar dari kelas dan turun ke jalan dan berteriak-teriak? Apakah mereka telah
salah menerima ilmu di sekolah.
Ataukah mereka telah menjadi penghianat negeri ini.
Fajar yakin ia masih waras dan
sepanjang pengetahuannya tidak ada anggota keluarganya yang mempunyai penyakit
gila. Ia yakin dirinya tidak,
begitu juga kawan-kawannya. Fajar merasa ada yang dimanipulasi di negeri ini,
sehingga ia dan kawan-kawannya harus turun ke jalan.
Diantara
deretan para demonstran, Rosita dan Harry kelihatan sibuk meliput. Rosita
meminta Harry untuk mengambil gambar Fajar. Diantara deretan mobil-mobil yang
berhenti karena macet, Noni dan Jason, pacar Amerika-nya duduk diatas
Roadster-nya. Jason tampak serius sekali merekam demonstrasi itu dengan handycam
digital miliknya. Dan gambar terakhir yang diambilnya adalah Fajar dan
disampingnya Inaya.
Berdasarkan gambar itu, Nyonya
Hartawan mengadakan pertemuan keluarga. Kali ini Hartawan dipaksa untuk
menyelesaikannya. Hartawan berdiri dan berjalan mondar-mandir di tengah ruangan
itu. Wajahnya yang tenang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Kedua tangannya disembunyikannya dalam
kantong celana. Ia merasa telah lengkap hidupnya dengan mempunyai istri dan dua
orang anak. Hidupnya nyaman dan tercukupi kebutuhannya dengan sangat melimpah.
Karirnya ia selesaikan tanpa catatan buruk dan ia mempunyai teman-teman
purnawirawan yang baik. Tapi ia mulai merasa hidupnya berubah. Ketika ia mulai
nyaman merasakan semua hasil yang ia peroleh, keluarganya terancam berantakan.
Nyonya
Hartawan berdiri dengan keangkuhan yang sudah disiapkannya. Noni duduk dengan wajah berseri-seri.
Inaya menjauhi mereka sambil menyimpan bibit air matanya. Ruangan diselimuti
ketegangan, penuh curiga dan hawa yang jahat. Inaya sedang menjadi terdakwa. Nyonya Hartawan dan Noni menjadi jaksa dan
Hartawan di paksa menjadi hakim. Inaya tampak lebih tenang dan siap menghadapi
semua hal yang akan terjadi, meskipun telah siap menangis. Ia telah mempersiapkan
dirinya. Ia melirik kakaknya dengan sinis. Orang yang disayanginya sejak kecil
itu telah begitu dibencinya.
“Tidak ada
persoalan yang tidak bisa diselesaikan,” Hartawan mulai membuka ketegangan.
“Kita harus bisa memilih persoalan mana yang perlu dibicarakan dan persoalan
mana yang bisa kita lupakan.” Pandangannya kemudian menuju pada istrinya dan
Noni. “Tidak pantas rasanya membicarakan masalah Fajar dan Inaya disaat semua
orang sedang mengurusi masalah yang lebih besar?”
“Masalah kita
juga persoalan besar, Kangmas,” Nyonya Hartawan nampak sangat siap berdebat.
“Ini soal derajat dan kehormatan keluarga kita.”
“Jadi sudah
sangat serius rupanya.”
“Bapak saja
yang selalu menganggap ini main-main.” Noni menimpali.
“Jaman sudah
berubah.”
“Jaman boleh
bernama apasaja, tapi jangan
biarkan keluarga kita ikut berubah.”
“Jadi menurut
Ibu keluarga kita sudah berubah? Menjadi baik atau buruk?”
“Apa bapak
mau melihat rekaman kameranya Jason?” Noni menyela dengan antusias.
“Memalukan,”
dengus Nyonya Hartawan.
“Rupanya Ibu
sama Noni sudah sangat tergila-gila sama telenovela di televisi.”
“Ini bukan di
televisi, kangmas. Ini nyata. Asli.”
“Apa yang Ibu
katakan fakta dan asli itu karena keyakinan Ibu sendiri. Lihatlah kenyataan di
luar. Kebenaran ada diluar sana. Jangan percaya gambar.”
Inaya seperti
mendapat dukungan. Maka ia segera berkata, “Kalau sedang demonstrasi kami
disebut pacaran, apa namanya siang bolong sama bule di jalan? Kawin?.”
“Aya, jaga
ucapanmu!” Nyonya Hartawan menghardik dengan melengking.
“Ibu yang
harus jaga ucapan Noni!”
Noni berdiri.
“Aku berhak bicara apa saja!”
“Aku juga
bisa melakukan apa saja!”
“Aya! Lancang
sekali kamu!” Nyonya Hartawan menuding.
Hartawan berdiri dengan kemarahan di
ubun-ubun kepalanya. Dilihatnya semua wajah di ruangan itu dengan tajam, dan
ingin sekali ditamparnya satu persatu. Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya,
selebihnya ia memijit keningnya. Tiba-tiba ia merasa hidupnya akan hancur. Ia
melihat kekacauan di luar sana, tapi ternyata ia juga melihat kekacauan di
rumahnya. Ia terlalu tua untuk urusan anak remaja. Sempat ia menyesali kenapa
harus menikah terlambat. Ia terlalu ambisius mengejar karir militernya.
Teman-teman seangkatannya memang belum mendapat bintang tiga seperti dirinya.
Tapi dengan bintang tiga di bahunya, ia bahkan menyesalinya saat ini. Pada
persoalan keluarga yang dihadapinya yang tidak bisa dihadapinya dengan baik.
Kalau di suruh memilih, ia akan memilih berperang melawan musuh tiga ratus
orang daripada menghadapi persoalan keluarganya.
“Jadi itu
yang dianggap masalah?”
“Fajar itu
sopir, pembantu!” Nyonya Hartawan meninggikan nada suaranya. “Sejak bapaknya
yang meninggal itu juga sopir di keluarga kita.”
“Kata Ibu
kita ini masih keturunan darah biru,” Noni kembali unjuk gigi. “Mana bisa
disamakan dengan darah Fajar.”
Hartawan
melotot kepada Noni. “Jadi darah anak Amerika itu juga biru ya rupanya.”
“Bapak jangan
mengalihkan pokok persoalan.”
“Hati-hati
Ibu bicara. Segala sesuatu sekarang ini sedang mulai diperbaiki. Jaman sedang berubah dan kita juga
diminta untuk berubah.”
Ruangan sepi.
Hartawan menata nafasnya. Ia paham betul istrinya orang yang tidak mudah menyerah dalam soal apapun. Orang yang tidak mudah kompromi untuk
hal yang baginya sangat prinsip. Istrinya memang keras kepala. Tapi ia tidak
pernah menyesal menikah dengan wanita yang sebenarnya hanya kerabat keraton,
bukan keturunan langsung orang yang mendapat sebutan berdarah biru.
Ia orang
militer dan keluarganya bukan dari kalangan darah biru. Ia tidak pernah
percaya, orang berdarah biru lebih baik dari orang berdarah merah. Lebih dari
itu, pengertian darah biru menjadi sangat tidak masuk akal, karena ketika kulit
orang terkelupas, darah yang mengalir semua berwarna merah. Bahkan warna darah
kambing dan ayam tidak ada yang biru, meskipun binatang itu hidup di dalam
sebuah keraton dan berada dalam kandang yang terbuat dari emas sekalipun.
“Aya, kalau
ada telpon buat bapak, katakan bapak ada pertemuan di gedung Joang Menteng.”
“Baik, Pak.”
Inaya segera
saja naik ke lantai atas, begitu Hartawan pergi keluar ruangan. Ia tidak mau di
jadikan sasaran kemarahan Ibunya kalau tetap berada di ruangan.
***
Fajar membuka
telapak tangannya yang melepuh. Ia tidak sadar telah meremas batang rokoknya.
Dadanya sesak menahan kemarahan yang tersumbat mendengar itu semua. Harga
dirinya telah habis dimata keluarga Hartawan. Ia hanya seorang pembantu!
Sebutan itu telah menjadi lebih kasar daripada sebutan bandit sekalipun. Apa
yang selama ini dilakukan ibu dan almarhum bapaknya, hanya sebuah pekerjaan
yang nyaris mirip kriminal. Buruk dan tidak layak disentuh.
Telah begitu
susah payah ia membangun nama baik dirinya dan keluarganya dengan kuliah di
Universitas. Ia yakin itu bisa membuat suatu penilaian tersendiri bagi para
tetangganya yang miskin. Tapi dimata keluarga Hartawan, ia gagal mempertahankan
nama baik itu. Sangat mungkin ia gagal juga di mata keluarga lain yang merasa
sederajat dengan keluarga Hartawan. Hidup ternyata perlu bandingan-bandingan,
dan ia berada di urutan paling bawah.
“Sudah dapat
mukjijat?” Hartawan sudah berdiri di samping Fajar.
Fajar
buru-buru berdiri. “Ternyata kami lebih butuh semangat, Pak.”
"Makanya
jangan pernah kehilangan semangatlah." Hartawan
menuju mobilnya, kelihatan sengaja menghindar untuk berbicara panjang dengan
Fajar.
Begitu mobil
Hartawan lenyap, ibunya menggandengnya ke dalam rumah, karena Nyonya Hartawan
memanggilnya. Dari cara Ibunya menggandengnya masuk, ia tahu akan terjadi sesuatu yang lebih besar
dari yang sudah pernah ia alami. Dengan masih menahan amarahnya di dada, Fajar
melihat wajah sinis majikannya itu. Wajah yang sangat angkuh dan sangat tidak
ramah. Noni masih duduk di ruangan itu.
Nyonya
Hartawan berdiri, lalu berkata dengan nada tinggi, “Mulai besok, kamu tidak
perlu bekerja disini lagi. Kamu di pecat!"
Kalimat itu
menggelegar, seperti sengaja diucapkan dengan kemarahan yang tidak bisa ditahan
lagi. Tapi bagi Fajar sangat melegakan meskipun ia merasa dirinya adalah
makhluk yang perlu disingkirkan jauh.
"Tapi
yang paling penting, jangan dekati lagi Inaya di kampus. Aku tidak rela
sedetikpun kulit Inaya bersentuhan denganmu.”
Fajar tidak
akan menangis, meski dadanya sudah siap meledak. Ia hanya memikirkan Ibunya yang sudah menangis
terguncang-guncang di punggungnya. Ia tidak rela Ibunya menangis dengan
terguncang-guncang karena begitu sakit hatinya. Tapi ia lebih tidak rela tidak
mau Ibunya meratap kepada majikannya itu.
“Saya minta
maaf kalau ada kesalahan.”
“Banyak
sekali kesalahanmu. Tapi aku akan memaafkanmu kalau kamu patuhi kata-kataku
ini.”
Fajar menelan
ludahnya.
Diatas sana,
Inaya menangis dengan memeluk kedua lututnya, seolah sedang meratapi hidupnya
yang paling malang. Ia tidak rela kekasihnya di hina dan di usir begitu rupa,
walaupun oleh Ibunya sendiri. Sepertinya Fajar adalah orang paling berdosa dan
layak di hukum dengan cara dipermalukan harga dirinya. Ia percaya Fajar bisa
tabah, tapi pasti akan sakit hatinya. Ia siap dimusuhi Ibu dan Noni, tapi ia
tidak siap dimusuhi Fajar.
***
Fajar membawa
Ibunya pulang. Ia telah begitu
gegabah menentang nasehat Ibunya. Naluri seorang Ibu selalu benar. Kalau ia
sudah berkata tidak, sebaiknya memang jangan berkata ‘ya’. Ia tidak menuruti
nasehat Ibunya untuk tidak mendekati Inaya. Jangankan pacaran, mendekati saja
sudah tidak boleh. Ia tidak tahu apakah ia keras kepala. Ia hanya tahu ia harus
menjadi sopir dan harus kenal dengan Inaya yang selalu diantarnya. Ia merasa tidak mempunyai wajah
setampan Tom Cruise, tapi ia tidak pernah tahu kenapa Inaya harus jatuh cinta
kepadanya. Dimatanya Inaya memang
tidak secantik Michelle Pfeifer, tapi ia
tidak tahu kenapa bisa jatuh cinta padanya. Kalau ada orang yang bisa
memberinya jawaban paling masuk akal, ia akan berguru kepadanya.
Fajar
membalut tangannya yang melepuh. Ibunya masih duduk menemaninya di teras rumah,
menggenggam sapu tangan untuk persiapan kalau air matanya tumpah lagi. Ia marah
dan sakit hati kepada Nyonya Hartawan, tapi tidak bisa dilampiaskannya. Ia
lebih takut kehilangan pekerjaannya daripada kehilangan muka. Tapi ia simpan
perasaan itu, karena Fajar tidak boleh mengetahuinya. Malam terasa begitu sepi.
Seperti malam-malam yang selalu mereka lalui bersama untuk mengeluarkan keluh
kesah mereka.
“Kamu tidak
kerja disana, masih bisa kerja di toko Pak Tan.”
“Saya bisa
bekerja dimana saja. Saya hanya tidak bisa menerima perbedaan itu. ”
“Suatu saat
mereka akan mengerti.”
“Saya tidak
yakin mereka akan mengerti. Tuhan telah menciptakan hati mereka terbuat dari
batu.”
Betapa
pengertian sangat sulit didapatkannya di negeri ini. Ia yakin mereka tahu, dan
hanya sebatas itu. Tapi ia tidak membutuhkan pengertian keluarga Hartawan lagi.
Ia telah melepaskan segala hubungan baik dengan keluarga itu. Ada pengertian
yang ia tuntut sekarang dan itu jauh lebih besar daripada sekadar urusan cinta
dan tetek bengeknya. Ia punya alasan untuk lebih berani berteriak di panggung
demonstrasi. Ia telah kalah segala-galanya dan ia melihat peluang untuk
membangun kembali nama baiknya sebagai manusia bermartabat. Telah ia persiapkan
dirinya menghadapi akibat apapun.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment