Thursday, November 12, 2009

1998 (6)


BAB DELAPAN

Anyer,   Banten. 
Matahari sore terapung diatas laut. Musim penghujan mulai surut. Langit cerah diatas sebuah pondok terpencil agak menjorok diatas bukit tepi laut. Pondok itu jauh dari manapun. Tampak sudah tidak terawat dengan baik. Disekelilingnya hanya hutan belukar bekas taman yang sudah tidak pernah dirawat. Angin bertiup kencang dari Teluk. Tak ada tanda-tanda kehidupan.

Tapi di dalam pondok, telah berkumpul sebelas orang yang datang dari semua cabang. Mereka kelihatan lebih santai. Begitu juga Sam yang terus merokok seperti cerobong pabrik. Yang kelihatan selalu serius adalah Sang Ketua. Wajahnya kelihatan tegang, padahal pondok itu telah diperiksa dengan monitor frekuensi radio dan peralatan tambahan untuk mendeteksi alat penyadap dan kamera rahasia serta telah diamankan jalur komunikasinya.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Kita akan segera bergerak. Sandi yang akan kita gunakan adalah Gerakan 12 Mei, karena tanggal itu kita akan mulai operasi kita.” Sang Ketua mulai mencairkan suasana. “Berdasarkan analisa tim, maka kita akan memanfaatkan demonstrasi mahasiswa. Dan sebagai pembuka jalan, kita akan memakai wilayah barat Ibukota.”
Laki-laki bule  itu angkat tangan. “Bagaimana penggalangannya, Sir.” Bahasa Indonesianya cukup fasih.
“Berita terakhir yang saya terima, pasukan kita sudah siap untuk diterjunkan. Ada pertanyaan?”
Tak ada pertanyaan.
“Ini pertemuan terakhir sebelum gerakan di mulai. Untuk menjaga  situasi yang genting, diharapkan melakukan prosedur keselamatan yang telah ditetapkan. Saya jelaskan sekali lagi, kita akan meninggalkan tempat ini selang waktu tigapuluh menit. Terimakasih, Tuan-tuan.”
Pertemuan itu selesai.
***
Ada jalan kecil beraspal yang menuju pondok itu ke atas. Di tepi pantai, dibalik ilalang pinggir jalan aspal itu, duduk menghadap laut Sersan Sarman dengan mendekap teman wanitanya. Di samping mereka ada motor tua dan disetangnya tergantung tas bertuliskan POLISI serta peralatan memancing.
Sersan Sarman memang tidak berniat memancing lagi setelah teman wanitanya lebih menarik dari sekedar menunggu ikan masuk kailnya.  Ia harus pintar mencari waktu untuk mencari kesenangan setelah tugas berat selalu dijalankannya. Patroli di kota kecil tidak begitu menegangkan, tapi harus dalam jadwal yang ketat.  Dan ia bersyukur bisa mencuri waktu di sore yang cerah itu.
“Jarang-jarang saya bisa berlibur seperti turis begini,“ ujar Sarman tertawa sambil mendekap teman wanitanya dengan penuh birahi.
“Ah, kamu kan kerjanya enak. Patroli di jalan, cegat mobil, dapat duit.”
Sarman tersenyum kecut. Ia tidak menyalahkan teman wanitanya. Tapi ia harus berdalih bahwa gajinya tidak seberapa untuk bisa menghidupi dirinya dan dua adiknya yang masih sekolah.  Kalau pegawai negeri lainnya bisa mencari tambahan penghasilan, ia juga merasa harus melakukan hal yang sama. Semua orang mempunyai tanggungan hidup, dan negeri ini tidak memberi gaji bulanan yang cukup.
Sarman kaget dan menajamkan pendengarannya. Dalam hitungan detik, ia sudah berlari  ke arah semak ilalang dan mengintip ke arah jalan aspal. Ini bukan kebiasaan, bahkan tidak pernah ada mobil mengunjungi pondok santai diatas sana. Tapi ia melihat sebuah sedan mewah berwarna hitam dan berpelat nomer Jakarta.
“Ada apa?” tanya teman wanitanya.
“Pondok diatas sana itu sudah di segel, kenapa masih dipakai?”
“Mungkin akan dibuka lagi.”
Ya, mungkin akan dibuka lagi dan tempat itu akan ramai lagi. Sarman bisa kehilangan tempat santainya yang tersembunyi itu. Sarman merangkul teman wanitanya untuk rebahan. Kalau ia harus pindah dari tempat santainya ini, biarlah ini terakhir kali ia menikmatinya dan akan ia puaskan gairahnya. Tapi agaknya ia tak pernah bisa punya kesempatan, ketika ia harus berlari lagi ke arah semak dan mengintip lagi.
Sebuah jeep Mercy berkaca gelap berlalu dari arah pondok. Sarman tak beranjak lagi karena ia yakin masih ada mobil dari pondok itu yang turun. Dan ia benar-benar kerepotan mencatat pelat nomer mobil-mobil itu.                                                                
Catatan pelat nomer mobil itu sudah ditangan Letnan Deny, atasan Sarman. “Apa yang membuatmu curiga dengan mobil-mobil itu, Sersan?”
“Mobil-mobil itu pergi dengan jeda waktu tigapuluh menit, Let,” Sersan Sarman menjawab dengan antusias. Seolah ia akan mendapat promosi jabatan setelah itu.
Letnan Deny melihat catatan pelat nomer mobil itu. Ia kelihatan ragu. Perasaannya sudah tak enak. Ia menatap Sersan Sarman yang juga menatapnya tajam. Seolah memintanya untuk meneruskan temuan itu.
“Letnan akan meneruskan laporan saya?”          
Letnan Deny masih saja ragu. Tapi ia segera menjawab, “Pelat nomer mobil ini bisa milik siapa saja. Terimakasih, sersan.”
Dua jam kemudian, Letnan Deny sudah berdiri didepan Kapten Sasongko dan menyodorkan kertas catatan pelat nomer.
“Maaf kalau saya menganggu dengan laporan ini, Komandan.”
“Tidak apa-apa, saya mengerti. Saya akan mengurusnya.” Wajahnya masih kelihatan ragu. "Darimana kau dapatkan nomer ini?"
"Anak buah saya, Ndan."
"Bicaralah padanya. Katakan padanya agar jangan berbicara pada siapapun tentang hal ini."
"Siap, Ndan."                                  
Satu jam kemudian Kapten Sasongko sudah mengirimkan laporan itu. 
Kertas laporan dan catatan pelat nomer itu sudah berada di sebuah ruangan ber-AC. Sam duduk membaca kertas laporan itu dengan serius, sambil merokok. Tangannya menyambar telpon.
“Saya ingin diatur tiga mutasi dalam minggu ini. Sersan Sarman, Letnan Deny dan Kapten Sasongko. Pisahkan mereka sejauh mungkin dari Jakarta.”
Ia menutup telponnya, menoleh ke arah sudut ruangan. Dilihatnya  di televisi mahasiswa sedang konvoi di jalan raya, berdemonstrasi. Berbagai spanduk dibentangkan, berbagai poster di bawa para mahasiswa yang sedang demonstrasi.



BAB SEMBILAN

Negeri ini memang membutuhkan angin segar, pikir Fajar yang sedang berada diantara para demonstran lainnya. Inaya dan Jarot mengiringinya juga.  Negeri ini telah tidur panjang dan kehilangan semangat untuk bangun. Telah banyak orang pintar berpendikikan luar negeri yakin, negeri ini mempunyai dasar ekonomi yang kuat, telah berjalan di jalan yang lurus. Analisa mereka tidak ada yang menyangsikan. Mereka bilang negeri ini subur dan rakyatnya makmur, semua harus mengamini.
Siapa yang berani membantah analisa itu. Begitu memang kenyataannya. Tapi yang terjadi sekarang, hari ini, harus tetap dijawab. Kenapa ia dan kawan-kawannya harus keluar dari kelas dan turun ke jalan dan berteriak-teriak? Apakah mereka telah salah menerima ilmu di sekolah.  Ataukah mereka telah menjadi penghianat negeri ini.
Fajar yakin ia masih waras dan sepanjang pengetahuannya tidak ada anggota keluarganya yang mempunyai penyakit gila.  Ia yakin dirinya tidak, begitu juga kawan-kawannya. Fajar merasa ada yang dimanipulasi di negeri ini, sehingga ia dan kawan-kawannya harus turun ke jalan.
Diantara deretan para demonstran, Rosita dan Harry kelihatan sibuk meliput. Rosita meminta Harry untuk mengambil gambar Fajar. Diantara deretan mobil-mobil yang berhenti karena macet, Noni dan Jason, pacar Amerika-nya duduk diatas Roadster-nya. Jason tampak serius sekali merekam demonstrasi itu dengan handycam digital miliknya. Dan gambar terakhir yang diambilnya adalah Fajar dan disampingnya Inaya.
Berdasarkan gambar itu, Nyonya Hartawan mengadakan pertemuan keluarga. Kali ini Hartawan dipaksa untuk menyelesaikannya. Hartawan berdiri dan berjalan mondar-mandir di tengah ruangan itu. Wajahnya yang tenang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.  Kedua tangannya disembunyikannya dalam kantong celana. Ia merasa telah lengkap hidupnya dengan mempunyai istri dan dua orang anak. Hidupnya nyaman dan tercukupi kebutuhannya dengan sangat melimpah. Karirnya ia selesaikan tanpa catatan buruk dan ia mempunyai teman-teman purnawirawan yang baik. Tapi ia mulai merasa hidupnya berubah. Ketika ia mulai nyaman merasakan semua hasil yang ia peroleh, keluarganya terancam berantakan.
Nyonya Hartawan berdiri dengan keangkuhan yang sudah disiapkannya.  Noni duduk dengan wajah berseri-seri. Inaya menjauhi mereka sambil menyimpan bibit air matanya. Ruangan diselimuti ketegangan, penuh curiga dan hawa yang jahat.  Inaya sedang  menjadi terdakwa. Nyonya Hartawan dan Noni menjadi jaksa dan Hartawan di paksa menjadi hakim. Inaya tampak lebih tenang dan siap menghadapi semua hal yang akan terjadi, meskipun telah siap menangis. Ia telah mempersiapkan dirinya. Ia melirik kakaknya dengan sinis. Orang yang disayanginya sejak kecil itu telah begitu dibencinya.
“Tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan,” Hartawan mulai membuka ketegangan. “Kita harus bisa memilih persoalan mana yang perlu dibicarakan dan persoalan mana yang bisa kita lupakan.” Pandangannya kemudian menuju pada istrinya dan Noni. “Tidak pantas rasanya membicarakan masalah Fajar dan Inaya disaat semua orang sedang mengurusi masalah yang lebih besar?”
“Masalah kita juga persoalan besar, Kangmas,” Nyonya Hartawan nampak sangat siap berdebat. “Ini soal derajat dan kehormatan keluarga kita.”
“Jadi sudah sangat serius rupanya.”
“Bapak saja yang selalu menganggap ini main-main.” Noni menimpali.
“Jaman sudah berubah.”
“Jaman boleh bernama apasaja,  tapi jangan biarkan keluarga kita ikut berubah.”
“Jadi menurut Ibu keluarga kita sudah berubah? Menjadi baik atau buruk?”
“Apa bapak mau melihat rekaman kameranya Jason?” Noni menyela dengan antusias.
“Memalukan,” dengus Nyonya Hartawan.
“Rupanya Ibu sama Noni sudah sangat tergila-gila sama telenovela di televisi.”
“Ini bukan di televisi, kangmas. Ini nyata. Asli.”
“Apa yang Ibu katakan fakta dan asli itu karena keyakinan Ibu sendiri. Lihatlah kenyataan di luar. Kebenaran ada diluar sana. Jangan percaya gambar.”    
Inaya seperti mendapat dukungan. Maka ia segera berkata, “Kalau sedang demonstrasi kami disebut pacaran, apa namanya siang bolong sama bule di jalan? Kawin?.”
“Aya, jaga ucapanmu!” Nyonya Hartawan menghardik dengan melengking.
“Ibu yang harus jaga ucapan Noni!”
Noni berdiri. “Aku berhak bicara apa saja!”
“Aku juga bisa melakukan apa saja!”
“Aya! Lancang sekali kamu!” Nyonya Hartawan menuding.
 Hartawan berdiri dengan kemarahan di ubun-ubun kepalanya. Dilihatnya semua wajah di ruangan itu dengan tajam, dan ingin sekali ditamparnya satu persatu. Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya, selebihnya ia memijit keningnya. Tiba-tiba ia merasa hidupnya akan hancur. Ia melihat kekacauan di luar sana, tapi ternyata ia juga melihat kekacauan di rumahnya. Ia terlalu tua untuk urusan anak remaja. Sempat ia menyesali kenapa harus menikah terlambat. Ia terlalu ambisius mengejar karir militernya. Teman-teman seangkatannya memang belum mendapat bintang tiga seperti dirinya. Tapi dengan bintang tiga di bahunya, ia bahkan menyesalinya saat ini. Pada persoalan keluarga yang dihadapinya yang tidak bisa dihadapinya dengan baik. Kalau di suruh memilih, ia akan memilih berperang melawan musuh tiga ratus orang daripada menghadapi persoalan keluarganya.
“Jadi itu yang dianggap masalah?”
“Fajar itu sopir, pembantu!” Nyonya Hartawan meninggikan nada suaranya. “Sejak bapaknya yang meninggal itu juga sopir di keluarga kita.”
“Kata Ibu kita ini masih keturunan darah biru,” Noni kembali unjuk gigi. “Mana bisa disamakan dengan darah Fajar.”
Hartawan melotot kepada Noni. “Jadi darah anak Amerika itu juga biru ya rupanya.”
“Bapak jangan mengalihkan pokok persoalan.”
“Hati-hati Ibu bicara. Segala sesuatu sekarang ini sedang mulai diperbaiki.  Jaman sedang berubah dan kita juga diminta untuk berubah.”
Ruangan sepi. Hartawan menata nafasnya. Ia paham betul istrinya  orang yang tidak mudah menyerah dalam soal apapun.  Orang yang tidak mudah kompromi untuk hal yang baginya sangat prinsip. Istrinya memang keras kepala. Tapi ia tidak pernah menyesal menikah dengan wanita yang sebenarnya hanya kerabat keraton, bukan keturunan langsung orang yang mendapat sebutan berdarah biru.
Ia orang militer dan keluarganya bukan dari kalangan darah biru. Ia tidak pernah percaya, orang berdarah biru lebih baik dari orang berdarah merah. Lebih dari itu, pengertian darah biru menjadi sangat tidak masuk akal, karena ketika kulit orang terkelupas, darah yang mengalir semua berwarna merah. Bahkan warna darah kambing dan ayam tidak ada yang biru, meskipun binatang itu hidup di dalam sebuah keraton dan berada dalam kandang yang terbuat dari emas sekalipun.
“Aya, kalau ada telpon buat bapak, katakan bapak ada pertemuan di gedung Joang Menteng.”
“Baik, Pak.”
Inaya segera saja naik ke lantai atas, begitu Hartawan pergi keluar ruangan. Ia tidak mau di jadikan sasaran kemarahan Ibunya kalau tetap berada di ruangan.
***
Fajar membuka telapak tangannya yang melepuh. Ia tidak sadar telah meremas batang rokoknya. Dadanya sesak menahan kemarahan yang tersumbat mendengar itu semua. Harga dirinya telah habis dimata keluarga Hartawan. Ia hanya seorang pembantu! Sebutan itu telah menjadi lebih kasar daripada sebutan bandit sekalipun. Apa yang selama ini dilakukan ibu dan almarhum bapaknya, hanya sebuah pekerjaan yang nyaris mirip kriminal. Buruk dan tidak layak disentuh.
Telah begitu susah payah ia membangun nama baik dirinya dan keluarganya dengan kuliah di Universitas. Ia yakin itu bisa membuat suatu penilaian tersendiri bagi para tetangganya yang miskin. Tapi dimata keluarga Hartawan, ia gagal mempertahankan nama baik itu. Sangat mungkin ia gagal juga di mata keluarga lain yang merasa sederajat dengan keluarga Hartawan. Hidup ternyata perlu bandingan-bandingan, dan ia berada di urutan paling bawah.
“Sudah dapat mukjijat?” Hartawan sudah berdiri di samping Fajar.
Fajar buru-buru berdiri. “Ternyata kami lebih butuh semangat, Pak.”
"Makanya jangan pernah kehilangan semangatlah."            Hartawan menuju mobilnya, kelihatan sengaja menghindar untuk berbicara panjang dengan Fajar.
Begitu mobil Hartawan lenyap, ibunya menggandengnya ke dalam rumah, karena Nyonya Hartawan memanggilnya. Dari cara Ibunya menggandengnya masuk, ia tahu  akan terjadi sesuatu yang lebih besar dari yang sudah pernah ia alami. Dengan masih menahan amarahnya di dada, Fajar melihat wajah sinis majikannya itu. Wajah yang sangat angkuh dan sangat tidak ramah. Noni masih duduk di ruangan itu.
Nyonya Hartawan berdiri, lalu berkata dengan nada tinggi, “Mulai besok, kamu tidak perlu bekerja disini lagi. Kamu di pecat!"
Kalimat itu menggelegar, seperti sengaja diucapkan dengan kemarahan yang tidak bisa ditahan lagi. Tapi bagi Fajar sangat melegakan meskipun ia merasa dirinya adalah makhluk yang perlu disingkirkan jauh.
"Tapi yang paling penting, jangan dekati lagi Inaya di kampus. Aku tidak rela sedetikpun kulit Inaya bersentuhan denganmu.”
Fajar tidak akan menangis, meski dadanya sudah siap meledak.  Ia hanya memikirkan Ibunya yang sudah menangis terguncang-guncang di punggungnya. Ia tidak rela Ibunya menangis dengan terguncang-guncang karena begitu sakit hatinya. Tapi ia lebih tidak rela tidak mau Ibunya meratap kepada majikannya itu.
“Saya minta maaf kalau ada kesalahan.”
“Banyak sekali kesalahanmu. Tapi aku akan memaafkanmu kalau kamu patuhi kata-kataku ini.”
Fajar menelan ludahnya.
Diatas sana, Inaya menangis dengan memeluk kedua lututnya, seolah sedang meratapi hidupnya yang paling malang. Ia tidak rela kekasihnya di hina dan di usir begitu rupa, walaupun oleh Ibunya sendiri. Sepertinya Fajar adalah orang paling berdosa dan layak di hukum dengan cara dipermalukan harga dirinya. Ia percaya Fajar bisa tabah, tapi pasti akan sakit hatinya. Ia siap dimusuhi Ibu dan Noni, tapi ia tidak siap dimusuhi Fajar. 
***
Fajar membawa Ibunya pulang.  Ia telah begitu gegabah menentang nasehat Ibunya. Naluri seorang Ibu selalu benar. Kalau ia sudah berkata tidak, sebaiknya memang jangan berkata ‘ya’. Ia tidak menuruti nasehat Ibunya untuk tidak mendekati Inaya. Jangankan pacaran, mendekati saja sudah tidak boleh. Ia tidak tahu apakah ia keras kepala. Ia hanya tahu ia harus menjadi sopir dan harus kenal dengan Inaya yang selalu diantarnya.  Ia merasa tidak mempunyai wajah setampan Tom Cruise, tapi ia tidak pernah tahu kenapa Inaya harus jatuh cinta kepadanya.  Dimatanya Inaya memang tidak secantik Michelle Pfeifer, tapi ia  tidak tahu kenapa bisa jatuh cinta padanya. Kalau ada orang yang bisa memberinya jawaban paling masuk akal, ia akan berguru kepadanya.
Fajar membalut tangannya yang melepuh. Ibunya masih duduk menemaninya di teras rumah, menggenggam sapu tangan untuk persiapan kalau air matanya tumpah lagi. Ia marah dan sakit hati kepada Nyonya Hartawan, tapi tidak bisa dilampiaskannya. Ia lebih takut kehilangan pekerjaannya daripada kehilangan muka. Tapi ia simpan perasaan itu, karena Fajar tidak boleh mengetahuinya. Malam terasa begitu sepi. Seperti malam-malam yang selalu mereka lalui bersama untuk mengeluarkan keluh kesah mereka.
“Kamu tidak kerja disana, masih bisa kerja di toko Pak Tan.”
“Saya bisa bekerja dimana saja. Saya hanya tidak bisa menerima perbedaan itu. ”
“Suatu saat mereka akan mengerti.”
“Saya tidak yakin mereka akan mengerti. Tuhan telah menciptakan hati mereka terbuat dari batu.”
Betapa pengertian sangat sulit didapatkannya di negeri ini. Ia yakin mereka tahu, dan hanya sebatas itu. Tapi ia tidak membutuhkan pengertian keluarga Hartawan lagi. Ia telah melepaskan segala hubungan baik dengan keluarga itu. Ada pengertian yang ia tuntut sekarang dan itu jauh lebih besar daripada sekadar urusan cinta dan tetek bengeknya. Ia punya alasan untuk lebih berani berteriak di panggung demonstrasi. Ia telah kalah segala-galanya dan ia melihat peluang untuk membangun kembali nama baiknya sebagai manusia bermartabat. Telah ia persiapkan dirinya menghadapi akibat apapun. 
(bersambung)

No comments: