BAB DUA
Hantaman hujan lebat baru saja menerpa kota seluas 2.371,21 kilometer
persegi itu. Kota yang berjuluk kota hujan itu berpenduduk 3,3 juta jiwa dan
merupakan daerah hinterland bagi Jakarta. Sore yang basah. Air hujan membentuk
kubangan air di pinggir jalan, gemerlapan terkena lampu jalan. Kota dengan hawa
dingin itu semakin lenyap ditelan kabut putih, seperti sebuah negeri dalam
dongeng. Jalanan sepi. Orang-orang lebih suka berada di dalam rumahnya dan
menghangatkan diri dengan secangkir teh sambil menonton televisi.
Lain
lagi apa yang sedang terjadi dalam sebuah pondok kayu diantara bukit berkabut.
Pondok khusus yang digunakan untuk bersantai di akhir pekan. Ruangannya terasa
hangat oleh perabot-perabot yang ditata oleh seseorang yang mengerti betul
bagaimana menghilangkan ketegangan setelah didera berbagai jenis pekerjaan
selama sepekan. Ada meja persegi cukup besar di tengah ruangan itu. Dan ada
sebelas orang laki-laki duduk dibelakang meja, yang semuanya telah berumur
lebih dari enampuluh tahun. Mereka datang dari seluruh cabang –duabelas negara
dari lima benua. Mereka datang secara rahasia dan dipalsukan catatan paspornya;
sebagai pengusaha, wartawan, turis serta konsultan bisnis.
Mereka
yang duduk mengelilingi meja adalah orang-orang yang mempunyai jabatan penting
pada masing-masing bidang di negaranya. Satu sama lain tidak saling mengenal
dan untuk berhubungan mereka menggunakan nama samaran yang sekaligus sebagai tambahan keamanan diri mereka
sendiri.
Sang
Ketua, duduk di ujung meja dengan sepasang mata yang menikam. Laki-laki Yahudi
dengan wajah penuh kerut dan sepasang mata yang menikam. Hidungnya panjang
melengkung dan kulit kepala berwarna merah seperti warna rambutnya yang sudah
jarang tumbuh. Batok kepalanya tampak licin seperti lantai marmer akibat
terkena lampu diatas kepalanya. Disampingnya duduk Sam dengan baju safari mahal
dan terus menerus merokok. Ia satu-satunya lelaki yang merokok di ruangan itu dan
ia kelihatan tidak peduli orang-orang diruangan itu terganggu karena ia
merokok. Caranya duduk tidak
menunjukkan keseriusan, bahkan ketika Sang Ketua mulai bicara.
"Setelah
tigapuluh tahun lebih, inilah saatnya kita melakukan pembaharuan." Suaranya serak, terdengar seperti lewat
mikropon rusak, dengan logat
Amerika. "Ini adalah pertemuan kedua setelah agenda pertemuan dua tahun
lalu kita sukses menggelar operasi kerusuhan di berbagai daerah. Operasi kita
kali ini akan menggunakan nama Manuver Jakarta. Semua Biro Operasi di lima
benua sudah bergerak yang akan diikuti oleh Case Officer di lapangan.
Penggalangan di semua sektor segera dijalankan. Dan operasi terbesar kita akan
berada di Jakarta."
Mereka
menyimak dan merekam semua pembicaraan dalam kepala mereka. Seperti mahasiswa
yang mendengarkan dosennya menerangkan sebuah teori didepan kelas. Mereka hanya
mendengarkan. Tidak mencatat atau merekamnya dengan kaset tape recorder. Sam
terus menerus merokok, dengan hembusan asap putih tebal seperti cerobong
pabrik. Ia bahkan seperti tidak peduli dengan pembicaraan serius yang terjadi
didepan matanya. Pertemuan itu berlangsung selama tiga jam. Masing-masing
anggota memberikan masukannya dan semua mendengarkan dengan sangat tenang untuk
direkam di kepala mereka.
Setelah
mendengarkan laporan dari semua cabang, Sang Ketua menoleh ke Sam yang terus
menerus merokok itu, dan bertanya, "Ada tambahan Mr. Cigarette?"
"Tidak."
Sang
Ketua segera mengakhiri pertemuan itu, “Seperti biasa, pertemuan ini sesuai
dengan prosedur, tidak ada catatan, tidak ada rekaman dan tidak akan pernah
didiskusikan. Kita akan terus berhubungan dengan nama sandi dan harap melakukan
prosedur pengamanan seperti biasa. Terimakasih atas kedatangannya, Tuan-tuan.”
Tujuh
jam kemudian, pondok kayu itu telah sepi. Keadaannya di kembalikan seperti
sedia kala oleh beberapa orang terlatih, seperti tidak pernah ada orang yang
menggunakannya.
BAB TIGA
14 Februari 1998
Matahari sedang berada diatas kepala,
tapi halaman Universitas itu dipenuhi mahasiswa yang sedang demonstrasi. Mereka berteriak, mengepalkan tangan
dan bernyanyi bersama. Dimana-mana spanduk dibentangkan dengan berbagai tulisan
berisi tuntutan. Diatas panggung yang didirikan secara darurat tapi cukup kuat
untuk menampung puluhan orang diatasnya, ada yang sedang berpidato dengan leher
hampir putus dan disambut dengan gemuruh yang memenuhi halaman Universitas itu.
Di luar
halaman Universitas, aparat keamanan - polisi dan tentara- membuat benteng
mengelilingi halaman yang dijadikan arena demonstrasi mahasiswa, dengan membawa
segenap peralatan pengamanan lengkap. Mereka kelihatan begitu siap untuk
menghadapi segala risiko terburuk, seolah hendak menghadapi musuh negara. Hal
itu malah membuat para mahasiswa semakin keras berteriak, semakin kompak
bernyanyi.
“Rakyat
bersatu, tak bisa dikalahkan!!!”
Itulah
nyanyian yang terus menerus diteriakkan mahasiswa disela-sela pidato teman
mereka diatas panggung. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu kebangsaan yang mulai
mereka hafalkan ketika masih duduk di sekolah dasar. Demontrasi itu menjadikan
mereka hafal kembali syair-syair lagu kebangsaan yang telah lama mereka lupakan
karena terlalu serius belajar mengikuti kurikulum yang sering berubah dari
tahun ke tahun.
Seorang
mahasiswa berikat kepala bertuliskan REFORMASI, berkeringat wajahnya, berteriak lantang dengan kepalan
tangan ke udara, “Merdeka!!” Suaranya melengking dan menyebar ke halaman
Universitas. Sesaat kemudian, Fajar Sidik maju dan mengambil mikropon dan siap
berpidato. Seorang pemuda berumur duapuluh empat tahun bertubuh kurus tinggi
dengan sepasang mata menyala, memancarkan semangat yang menggebu-gebu. Ia bukan
mahasiswa yang menonjol di kampusnya. Tidak pernah diperhitungkan di kelas dan
lebih banyak menunjukkan diri sebagai seorang laki-laki pendiam dan sopan.
Lebih suka bekerja mencari uang daripada berkumpul bersama teman sekelas seusai
perkuliahan. Pada sisa akhir kuliahnya, ia tinggal menyelesaikan skripsi di fakultas
ekonomi. Pencapaian yang hampir mustahil karena begitu mahalnya ongkos yang
harus di bayar. Tapi seperti kata almarhum ayahnya, ia harus menjadi orang
pertama dalam keluarga untuk menjadi sarjana.
Baju yang
dikenakannya sudah banjir keringat. Terik matahari yang menembus ubun-ubun
kepalanya, malah membuat suaranya
semakin lantang. "Bohong besar kalau kita sudah merdeka. Isi kepala kita
selalu dipaksa menerima tanpa harus berpikir. Seekor semut pun akan menggigit
kalau diinjak. Tapi kenapa kita yang katanya punya peradaban, punya Pancasila,
punya agama, tidak pernah berteriak?!”
Halaman
Universitas bergemuruh.
Ia merasa harus ikut berteriak
karena ada sesuatu yang harus diperjuangkan untuk dirubah. Berbagai peristiwa
yang menyita banyak perhatian telah mengguncang kesadarannya sebagai manusia
beradab. Perekonomian negeri merosot tajam, rasa aman semakin berkurang, tapi
para pemimpin negeri seperti tidak ambil peduli dan terus melakukan korupsi
besar-besaran di semua bidang pekerjaan. Maka ia dan teman-temannya keluar dari
kelas, turun ke jalan dan
menggelar demonstrasi.
Di bawah
pohon besar, di sudut halaman Universitas, Inaya Prabandari bersama beberapa
teman wanita lain, ikut bersorak. Wajahnya yang manis memancarkan luapan emosi,
tidak bisa menghilangkan semangatnya yang berlebihan. Kecantikannya tersembunyi
dibalik ikat kepala dan keringat yang membanjiri wajahnya. Rambutnya yang
panjang dan berwarna gelap mengkilap, disisir ke belakang dan diikat. Ketika
pertama kali Fajar mengatakan akan ikut memimpin demonstrasi teman-temannya, ia
sempat meragukannya. Baginya Fajar adalah laki-laki yang tidak suka mencari
masalah. Laki-laki yang dikaguminya itu lebih memilih bekerja dengan serius
untuk menghidupi ibu dan dua orang adiknya. Melihat Fajar diatas panggung dan
mendapatkan sambutan yang luar biasa, Inaya merasa mempunyai kebanggaan. Bukan
karena ia telah merasakan kehangatan cintanya dan bukan soal pribadi lainnya. Fajar menyimpan sebuah
semangat yang selama ini dipendamnya. Semangat yang bagi kedua orangtuanya
belum diketahui, dan ia bertekad akan
memperjuangkannya didepan orangtuanya, terutama Ibunya, bahwa Fajar
mampu menjadi kebanggaannya kelak.
Semangat yang
sama ditunjukkan Rosita Ibrahim di sudut lain, yang sedang berdesakan diantara
wartawan dan reporter televisi lainnya. Wanita tigapuluh tahun itu tampak gesit
diantara himpitan banyak orang. Penampilannya sudah tidak segar meskipun
dibalut setelan biru tua dan kemeja krem. Rambut sebahu berwarna agak kemerahan
dan diberi hairspray supaya tidak rusak ditiup angin dan
senggolan dari kanan kiri. Tangan kirinya memegang corong mik bertuliskan TV6
dan tangan kanannya melindungi dirinya dari desakan massa sekaligus menyibak
kalau ia hendak berjalan. Menempel terus disampingnya Harry Sukma, kamerawannya,
yang sedang berusaha mengambil gambar yang paling baik. Sepanjang karir
reporternya yang baru berjalan tiga tahun, baru pertama kali Rosita meliput
demonstrasi mahasiswa.
“Harry, kita
harus masuk berita jam duabelas,” teriak Rosita sambil mulai bergerak keluar
dari himpitan massa yang bergemuruh lagi.
Harry terus mengambil gambar Fajar yang terus pidato dengan semangat
perang sambil bergerak keluar mengikuti Rosita.
“Demokrasi
yang kita miliki sekarang adalah omong kosong. Di negeri ini kita hanya punya sepasang
mata yang sering menangis, sementara mulut kita dibungkam!!”
Suara gemuruh
kembali memenuhi halaman Universitas. Mahasiswa kelihatan sudah berada pada
puncak semangatnya. Emosi sudah berada diubun-ubun kepala mereka. Aparat
kemanan yang berjaga dalam jumlah banyak diluar Universitas, semakin merapatkan
barisan. Komandan aparat keamanan bergerak kesana kemari memegang radio, nampak
gelisah sambil berteriak dan memberi perintah pada anak buahnya.
Suasana
menjadi memanas.
Dalam
hitungan detik, di pintu gerbang sudah terjadi keributan. Aparat keamanan yang
membuat pagar betis sudah saling dorong dengan mahasiswa yang jumlahnya semakin
banyak, karena berdatangan dari halaman Universitas. Gemuruh lain terjadi.
Gemuruh untuk melawan aparat keamanan yang mulai memukul dan mendesak maju.
Dalam kekacauan itu botol-botol air mineral segera beterbangan ke arah aparat
keamanan. Kedua belah pihak
semakin beringas. Sesaat kemudian terdengar suara tembakan di udara. Hanya satu
kali. Tapi beberapa saat kemudian, tembakan lain menyusul dan terus menerus.
Kepanikan segera menimpa para mahasiswa. Mereka berlarian masuk ke dalam gedung
Universitas. Aparat keamanan sudah bergerak masuk ke dalam Universitas,
membentuk formasi untuk memukul mundur mahasiswa. Bahkan yang berlari, terus
dikejarnya sampai dapat dan tetap digebuk sampai terkapar kesakitan.
Kejadian itu terjadi dalam
sekejap.
***
Semua
kejadian di Universitas itu terekam dalam kamera Harry dan gambar itu sudah
berada dalam ruang editing stasiun TV6. Rosita duduk disebelah operator mesin editing.
"Saya ingin semua gambar ini masuk berita siang ini,"
katanya sengit.
Operator itu
melihatnya heran, tapi Rosita keburu keluar dan segera menuju ruang make up. Ia
memang tidak pernah memberikan masukan, gambar mana yang akan ditayangkan dalam
berita. Tidak pernah ia menyediakan waktu untuk ikut duduk memelototi gambar
mana yang layak tayang karena pekerjaan itu paling menyebalkan baginya. Duduk
berjam-jam hanya memelototi gambar sampai pegal mata dan panas tempat duduknya.
Tapi peristiwa yang baru saja terjadi adalah peristiwa istimewa pertama
sepanjang karir reporternya.
Ia merasa semakin mantap bahwa
dunia televisi telah memberinya jalan keluar yang paling memuaskan. Pada tahun
pertama bekerja sebagai reporter, ia merasa harus berpikir ulang untuk tetap
bertahan atau meneruskan karirnya sebagai seorang calon ekonom. Ia berusaha
memilih karir paling masuk akal. Pertumbuhan ekonomi ketika itu sedang berada
di puncaknya. Kesempatan berkarir baginya sangat leluasa karena pertumbuhan itu
membuka banyak sekali lapangan pekerjaan. Salah satu pertumbuhan itu adalah
berdirinya beberapa stasiun televisi swasta. Ia pikir kebijakan tersebut sudah
seharusnya, walaupun sangat terlambat. Apa yang membuatnya kemudian tertarik
menjadi reporter, tidak lebih karena ia merasa mempunyai darah wartawan dari
kakeknya.
Berbeda dengan kedua
orangtuanya yang berlatar belakang militer. Ia dibesarkan sebagai anak kolong
yang harus pindah dari satu markas
ke markas lain. Ayahnya sekarang bertugas di sebuah kota kecil di Jawa
Tengah sebagai Kepala Perbekalan dan Gudang. Ia jelas tidak betah berada di
sebuah tempat yang akan membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali anak
seorang perwira menengah yang menunggu jodohnya. Dan itu sangat konyol baginya.
Jadi ia memutuskan untuk mandiri di Jakarta dan seperti wanita muda lainnya, ia
menyewa Apartement murah untuk seorang diri.
Harry masuk
ruangan dan memberitahu, “Ros, dipanggil boss.”
Ini yang
kutunggu, pikirnya. Ia melihat peluang bagus dan bertekad akan
mewujudkannya, karena ia tahu Roy Ambyah, Pemimpin Redaksi Pemberitaan TV6,
seorang yang bisa diajak berpikir terbuka. TV6 telah berkembang menarik bukan karena hiburannya, tapi
karena liputan berita mendapat bagian yang lebih besar.
Roy Ambyah adalah laki-laki
berumur tigapuluh delapan tahun dengan rambut panjang. Wajahnya bercambang tapi
itu tidak menghilangkan kegantengannya. Dengan tubuh tinggi besar dan cara
berpakaiannya yang sangat rapi, ia menjadi sangat populer sebagai laki-laki
paling menggoda wanita di kantornya. Karir yang dijalani sebelumnya adalah
wartawan koran harian. Separuh hidupnya dihabiskannya dalam dunia jurnalistik,
setelah sebelumnya sempat bermimpi menjadi penyair. Ayahnya yang seorang
profesor antropologi mengatakan
padanya bahwa profesi dalam dunia
kesusastraan adalah profesi orang yang ingin jadi sia-sia, jadi beban keluarga
dan akan mati kelaparan. Sejak
saat itu Roy memutuskan jadi wartawan yang berpenghasilan tetap.
Roy sedang berdiri didepan
logo TV6 dan sedang berbicara lewat telepon sambil tangannya bergerak kesana
kemari. Ia kelihatannya orang yang harus selalu bergerak, seperti pembawaannya
sebagai wartawan dulu yang harus menuntutnya selalu bergerak. Melihat Rosita
masuk ruangan, ia segera mengakhiri teleponnya dengan berkata, "Saya akan
menghubungimu lagi." Kemudian dia duduk sambil merapikan file di atas meja
yang berserakan.
“Bagaimana situasi lapangan.”
Ia bertanya dengan serius.
“Saya pikir
kita harus mulai menurunkan laporan secara live.”
“Untuk itu kita harus ketemu
Chief."
Rosita
langsung tersenyum kecut. Negeri
ini telanjur dibangun dengan sistem birokrasi yang buruk.
“Siapa sih sebenarnya yang paling berkuasa untuk sebuah pemberitaan?”
“Kamu tahu
sendiri jabatan saya tidak lebih sebagai kepala bagian. Kita sudah mendapat dua
kali teguran dari Mabes. Sekali lagi itu terjadi, habislah
kita.”
Hanya orang gila yang tidak
takut teguran Mabes, pikir Rosita. Teguran pertama dialamatkan kepadanya
karena ia menurunkan laporan investigasi kebocoran dana Departemen Keuangan.
Dana trilyunan rupiah menguap begitu saja untuk pendanaan proyek yang tidak
jelas asal usulnya. Terlebih lagi untuk siapa proyek itu harus berjalan.
Teguran kedua baginya karena mewawancarai seorang menteri yang mengatakan bahwa
kabinetnya terdiri dari orang-orang yang buruk kredibilitasnya. Bukan dimata
masyarakat, tapi dalam perilakunya sebagai pejabat.
Kedua teguran
itu berhasil diselamatkan Roy dengan perjuangan yang sangat mustahil. Kalau teguran
itu berasal dari Departemen Penerangan masih dianggapnya masalah yang tidak
besar, dan wajar. Akan tetapi teguran itu berasal dari Markas Besar Angkatan
Bersenjata. Sebuah tempat paling mengerikan di seluruh negeri. Disamping tidak
wajar, hal itu menunjukkan bahwa tidak ada kebebasan di negeri yang sudah
merdeka ini. Sebuah
keputusan yang sebenarnya sangat menggelikan. Untuk membungkam seseorang,
kekuatan yang digunakan terlalu berlebihan dan mahal pertaruhannya. Tapi memang
seperti itu sistem pemerintahan dijalankan. Masyarakat harus belajar bersikap sopan
kepada penguasa dengan pelajaran-pelajaran yang
diberikan lewat kasus-kasus yang
selalu melibatkan aparat keamanan. Sistem hirarki yang dibangun rezim penguasa
sangat tangguh. Lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan dan bukan
musyawarah untuk mufakat, seperti yang telah berpuluh tahun diajarkan di
sekolah-sekolah dan penataran-penataran P4. Seperti tercantum pada
Undang-Undang Dasar negara dan berbagai peraturan pemerintah.
“Tidak
apa-apa, saya anggap masih bisa dibicarakan,” Rosita merasa harus menahan diri.
Ia mencoba untuk tidak menyerah sekarang. Apa yang dilakukannya toh bukan hanya
untuk dirinya sendiri, begitu pula manfaatnya. “Tapi saya akan membuat
reportase khusus.”
“Soal apa
itu?” Roy tampak sangat tertarik.
“Gerakan
mahasiswa sebagai pengawal reformasi. Dan saya tidak mau itu ditolak.”
"Kamu
ada waktu nanti malam?"
"Ada
undangan Pak?"
"Bukan,
tapi kita akan makan malam." Nadanya jadi kaku dan serius. "Kita
berdua."
Rosita
berdiri kaget. Menatap Roy dengan tatapan aneh seolah laki-laki dari dunia mana
yang didepannya itu.
"Kenapa?"
"Oh,
saya banyak pekerjaan Pak. Sayang kegiatan mahasiswa tidak diliput."
"Tapi
ini tanggal empatbelas Februari."
"Saya
tahu."
"Ini
hari valentine."
Rosita
tertawa. Aku merasa sudah tidak sweet seventen lagi.
"Jam
delapan ya?"
"Terimakasih,
Pak. Saya sudah ada acara." Rosita segera keluar ruangan. Tiba-tiba
dadanya sesak. Ia merasa baru saja mendengar sesuatu yang aneh dan tidak pernah
terlintas di kepalanya. Atasannya mengajak makan malam dan itu tidak biasa
karena tidak pernah. Ia tahu persis atasannya itu sudah beristri dan mempunyai
seorang anak lelaki. Mungkin bagi laki-laki, itu tidak menjadi masalah benar.
Apalagi waktunya sangat tepat. Tapi Rosita sama sekali tidak tertarik dan lebih
dari itu, tidak terpikirkan.
Ia memang
telah berkepala tiga dan itu tidak membuatnya risau benar kalau hanya beralasan
kenapa belum berkeluarga. Baginya berkeluarga adalah sesuatu yang menyenangkan
tapi saat ini ia tidak memikirkan benar untuk melakukannya. Ia baru menemukan
dunianya yang menyenangkan dan akan ia puaskan untuk itu.
Sewaktu masih
aktif sebagai mahasiswa, ia terlalu serius sebagai mahasiswa yang harus tepat
waktu mengejar titel kesarjanaannya. Orangtuanya masih menekankan bahwa menjadi
sarjana itu penting karena akan menaikkan derajat sosial dan namanya akan
menjadi lebih mantap disebut, paling tidak ada tambahan huruf didepan atau
dibelakang nama. Ia tidak membantahnya karena keinginan terbesarnya adalah
sekolah untuk membuat dirinya berarti bagi dirinya sendiri. Ia tidak perlu
membuktikan apa-apa kepada orangtunya, kecuali berbakti, juga kepada orang
lain. Ia bersekolah memperoleh gelar sarjana karena sekolah memberikan gelar
itu. Salah satu guru agama di sekolah menengah atas-nya pernah mengatakan bahwa
sekolah adalah untuk membuka misteri kehidupan.
Ia masuk
Universitas dan memilih bidang ekonomi bukan karena ia ingin melihat misteri
dibalik beredarnya uang di pasar atau bagaimana cara berdagang dengan
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Ia memilih bidang itu karena itu
yang harus dijalaninya. Ia jauh dari darah anak seorang pengusaha dan ia tidak
mempunyai cita-cita menjadi pengusaha. Cita-cita adalah sesuatu yang lebih
mirip hantu. Semua orang membicarakannya tapi tidak semua orang bisa
mendapatkannya.
Ayahnya seorang militer dan kakeknya adalah wartawan. Lingkungan keluarga
itu yang membuatnya berpendapat bahwa ia ingin melakukan sesuatu yang
berbeda. Ia merasa tidak harus
menjadi tentara, bukan karena kecil gajinya, tapi bukan juga harus menjadi
wartawan yang mempunyai banyak kebebasan. Ia ingin sesuatu yang lain yang
barangkali akan berhasil memberi warna. Pada akhirnya, cita-cita memang tinggal
sebuah keinginan. Setelah berdirinya beberapa televisi swasta, dan ia berhasil
masuk ke dalam salah satunya, ia merasa telah salah jalan memilih jalur
pendidikannya, walaupun ia merasa kembali ke dalam habitatnya sendiri.
Lagipula, apa yang dialaminya selalu terjadi di negeri ini. Sekolah tidak ada
hubungannya dengan ilmu pengetahuan, tapi bagaimana mendapatkan selembar
ijazah, lantas mendapatkan pekerjaan. Lebih celaka lagi, pekerjaan itu
seringkali tidak sesuai dengan ilmu yang tertera di lembar ijazah. Selalu
begitu yang terjadi karena yang penting mendapatkan pekerjaan dan bisa makan.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment