Monday, July 27, 2009

1998 2

BAB DUA

Bogor, 19 Januari 1998
Hantaman hujan lebat baru saja menerpa kota seluas 2.371,21 kilometer persegi itu. Kota yang berjuluk kota hujan itu berpenduduk 3,3 juta jiwa dan merupakan daerah hinterland bagi Jakarta. Sore yang basah. Air hujan membentuk kubangan air di pinggir jalan, gemerlapan terkena lampu jalan. Kota dengan hawa dingin itu semakin lenyap ditelan kabut putih, seperti sebuah negeri dalam dongeng. Jalanan sepi. Orang-orang lebih suka berada di dalam rumahnya dan menghangatkan diri dengan secangkir teh sambil menonton televisi. 
            Lain lagi apa yang sedang terjadi dalam sebuah pondok kayu diantara bukit berkabut. Pondok khusus yang digunakan untuk bersantai di akhir pekan. Ruangannya terasa hangat oleh perabot-perabot yang ditata oleh seseorang yang mengerti betul bagaimana menghilangkan ketegangan setelah didera berbagai jenis pekerjaan selama sepekan. Ada meja persegi cukup besar di tengah ruangan itu. Dan ada sebelas orang laki-laki duduk dibelakang meja, yang semuanya telah berumur lebih dari enampuluh tahun. Mereka datang dari seluruh cabang –duabelas negara dari lima benua. Mereka datang secara rahasia dan dipalsukan catatan paspornya; sebagai pengusaha, wartawan, turis serta konsultan bisnis.
            Mereka yang duduk mengelilingi meja adalah orang-orang yang mempunyai jabatan penting pada masing-masing bidang di negaranya. Satu sama lain tidak saling mengenal dan untuk berhubungan mereka menggunakan nama samaran yang sekaligus  sebagai tambahan keamanan diri mereka sendiri.
            Sang Ketua, duduk di ujung meja dengan sepasang mata yang menikam. Laki-laki Yahudi dengan wajah penuh kerut dan sepasang mata yang menikam. Hidungnya panjang melengkung dan kulit kepala berwarna merah seperti warna rambutnya yang sudah jarang tumbuh. Batok kepalanya tampak licin seperti lantai marmer akibat terkena lampu diatas kepalanya. Disampingnya duduk Sam dengan baju safari mahal dan terus menerus merokok. Ia satu-satunya lelaki yang merokok di ruangan itu dan ia kelihatan tidak peduli orang-orang diruangan itu terganggu karena ia merokok.  Caranya duduk tidak menunjukkan keseriusan, bahkan ketika Sang Ketua mulai bicara.         
            "Setelah tigapuluh tahun lebih, inilah saatnya kita melakukan  pembaharuan." Suaranya serak, terdengar seperti lewat mikropon rusak, dengan  logat Amerika. "Ini adalah pertemuan kedua setelah agenda pertemuan dua tahun lalu kita sukses menggelar operasi kerusuhan di berbagai daerah. Operasi kita kali ini akan menggunakan nama Manuver Jakarta. Semua Biro Operasi di lima benua sudah bergerak yang akan diikuti oleh Case Officer di lapangan. Penggalangan di semua sektor segera dijalankan. Dan operasi terbesar kita akan berada di Jakarta."
            Mereka menyimak dan merekam semua pembicaraan dalam kepala mereka. Seperti mahasiswa yang mendengarkan dosennya menerangkan sebuah teori didepan kelas. Mereka hanya mendengarkan. Tidak mencatat atau merekamnya dengan kaset tape recorder. Sam terus menerus merokok, dengan hembusan asap putih tebal seperti cerobong pabrik. Ia bahkan seperti tidak peduli dengan pembicaraan serius yang terjadi didepan matanya. Pertemuan itu berlangsung selama tiga jam. Masing-masing anggota memberikan masukannya dan semua mendengarkan dengan sangat tenang untuk direkam di kepala mereka.
            Setelah mendengarkan laporan dari semua cabang, Sang Ketua menoleh ke Sam yang terus menerus merokok itu, dan bertanya, "Ada tambahan Mr. Cigarette?"
            "Tidak."                  
            Sang Ketua segera mengakhiri pertemuan itu, “Seperti biasa, pertemuan ini sesuai dengan prosedur, tidak ada catatan, tidak ada rekaman dan tidak akan pernah didiskusikan. Kita akan terus berhubungan dengan nama sandi dan harap melakukan prosedur pengamanan seperti biasa. Terimakasih atas kedatangannya, Tuan-tuan.”
            Tujuh jam kemudian, pondok kayu itu telah sepi. Keadaannya di kembalikan seperti sedia kala oleh beberapa orang terlatih, seperti tidak pernah ada orang yang menggunakannya. 


 
BAB TIGA


14 Februari 1998
Matahari sedang berada diatas kepala, tapi halaman Universitas itu dipenuhi mahasiswa yang sedang demonstrasi.  Mereka berteriak, mengepalkan tangan dan bernyanyi bersama. Dimana-mana spanduk dibentangkan dengan berbagai tulisan berisi tuntutan. Diatas panggung yang didirikan secara darurat tapi cukup kuat untuk menampung puluhan orang diatasnya, ada yang sedang berpidato dengan leher hampir putus dan disambut dengan gemuruh yang memenuhi halaman Universitas itu.
Di luar halaman Universitas, aparat keamanan - polisi dan tentara- membuat benteng mengelilingi halaman yang dijadikan arena demonstrasi mahasiswa, dengan membawa segenap peralatan pengamanan lengkap. Mereka kelihatan begitu siap untuk menghadapi segala risiko terburuk, seolah hendak menghadapi musuh negara. Hal itu malah membuat para mahasiswa semakin keras berteriak, semakin kompak bernyanyi.
“Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan!!!”
Itulah nyanyian yang terus menerus diteriakkan mahasiswa disela-sela pidato teman mereka diatas panggung. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu kebangsaan yang mulai mereka hafalkan ketika masih duduk di sekolah dasar. Demontrasi itu menjadikan mereka hafal kembali syair-syair lagu kebangsaan yang telah lama mereka lupakan karena terlalu serius belajar mengikuti kurikulum yang sering berubah dari tahun ke tahun.
Seorang mahasiswa berikat kepala bertuliskan REFORMASI,  berkeringat wajahnya, berteriak lantang dengan kepalan tangan ke udara, “Merdeka!!” Suaranya melengking dan menyebar ke halaman Universitas. Sesaat kemudian, Fajar Sidik maju dan mengambil mikropon dan siap berpidato. Seorang pemuda berumur duapuluh empat tahun bertubuh kurus tinggi dengan sepasang mata menyala, memancarkan semangat yang menggebu-gebu. Ia bukan mahasiswa yang menonjol di kampusnya. Tidak pernah diperhitungkan di kelas dan lebih banyak menunjukkan diri sebagai seorang laki-laki pendiam dan sopan. Lebih suka bekerja mencari uang daripada berkumpul bersama teman sekelas seusai perkuliahan. Pada sisa akhir kuliahnya, ia tinggal menyelesaikan skripsi di fakultas ekonomi. Pencapaian yang hampir mustahil karena begitu mahalnya ongkos yang harus di bayar. Tapi seperti kata almarhum ayahnya, ia harus menjadi orang pertama dalam keluarga untuk menjadi sarjana.
Baju yang dikenakannya sudah banjir keringat. Terik matahari yang menembus ubun-ubun kepalanya,  malah membuat suaranya semakin lantang. "Bohong besar kalau kita sudah merdeka. Isi kepala kita selalu dipaksa menerima tanpa harus berpikir. Seekor semut pun akan menggigit kalau diinjak. Tapi kenapa kita yang katanya punya peradaban, punya Pancasila, punya agama, tidak pernah berteriak?!”
Halaman Universitas bergemuruh.
Ia merasa harus ikut berteriak karena ada sesuatu yang harus diperjuangkan untuk dirubah. Berbagai peristiwa yang menyita banyak perhatian telah mengguncang kesadarannya sebagai manusia beradab. Perekonomian negeri merosot tajam, rasa aman semakin berkurang, tapi para pemimpin negeri seperti tidak ambil peduli dan terus melakukan korupsi besar-besaran di semua bidang pekerjaan. Maka ia dan teman-temannya keluar dari kelas, turun ke jalan  dan menggelar demonstrasi.
Di bawah pohon besar, di sudut halaman Universitas, Inaya Prabandari bersama beberapa teman wanita lain, ikut bersorak. Wajahnya yang manis memancarkan luapan emosi, tidak bisa menghilangkan semangatnya yang berlebihan. Kecantikannya tersembunyi dibalik ikat kepala dan keringat yang membanjiri wajahnya. Rambutnya yang panjang dan berwarna gelap mengkilap, disisir ke belakang dan diikat. Ketika pertama kali Fajar mengatakan akan ikut memimpin demonstrasi teman-temannya, ia sempat meragukannya. Baginya Fajar adalah laki-laki yang tidak suka mencari masalah. Laki-laki yang dikaguminya itu lebih memilih bekerja dengan serius untuk menghidupi ibu dan dua orang adiknya. Melihat Fajar diatas panggung dan mendapatkan sambutan yang luar biasa, Inaya merasa mempunyai kebanggaan. Bukan karena ia telah merasakan kehangatan cintanya dan bukan soal pribadi  lainnya. Fajar menyimpan sebuah semangat yang selama ini dipendamnya. Semangat yang bagi kedua orangtuanya belum diketahui, dan ia bertekad akan  memperjuangkannya didepan orangtuanya, terutama Ibunya, bahwa Fajar mampu menjadi kebanggaannya kelak.
Semangat yang sama ditunjukkan Rosita Ibrahim di sudut lain, yang sedang berdesakan diantara wartawan dan reporter televisi lainnya. Wanita tigapuluh tahun itu tampak gesit diantara himpitan banyak orang. Penampilannya sudah tidak segar meskipun dibalut setelan biru tua dan kemeja krem. Rambut sebahu berwarna agak kemerahan dan diberi hairspray supaya tidak rusak ditiup angin dan senggolan dari kanan kiri. Tangan kirinya memegang corong mik bertuliskan TV6 dan tangan kanannya melindungi dirinya dari desakan massa sekaligus menyibak kalau ia hendak berjalan. Menempel terus disampingnya Harry Sukma, kamerawannya, yang sedang berusaha mengambil gambar yang paling baik. Sepanjang karir reporternya yang baru berjalan tiga tahun, baru pertama kali Rosita meliput demonstrasi mahasiswa.
“Harry, kita harus masuk berita jam duabelas,” teriak Rosita sambil mulai bergerak keluar dari himpitan massa yang bergemuruh lagi.  Harry terus mengambil gambar Fajar yang terus pidato dengan semangat perang sambil bergerak keluar mengikuti Rosita.
“Demokrasi yang kita miliki sekarang adalah omong kosong. Di negeri ini kita hanya punya sepasang mata yang sering menangis, sementara mulut kita dibungkam!!”
Suara gemuruh kembali memenuhi halaman Universitas. Mahasiswa kelihatan sudah berada pada puncak semangatnya. Emosi sudah berada diubun-ubun kepala mereka. Aparat kemanan yang berjaga dalam jumlah banyak diluar Universitas, semakin merapatkan barisan. Komandan aparat keamanan bergerak kesana kemari memegang radio, nampak gelisah sambil berteriak dan memberi perintah pada anak buahnya.
Suasana menjadi memanas. 
Dalam hitungan detik, di pintu gerbang sudah terjadi keributan. Aparat keamanan yang membuat pagar betis sudah saling dorong dengan mahasiswa yang jumlahnya semakin banyak, karena berdatangan dari halaman Universitas. Gemuruh lain terjadi. Gemuruh untuk melawan aparat keamanan yang mulai memukul dan mendesak maju. Dalam kekacauan itu botol-botol air mineral segera beterbangan ke arah aparat keamanan.  Kedua belah pihak semakin beringas. Sesaat kemudian terdengar suara tembakan di udara. Hanya satu kali. Tapi beberapa saat kemudian, tembakan lain menyusul dan terus menerus. Kepanikan segera menimpa para mahasiswa. Mereka berlarian masuk ke dalam gedung Universitas. Aparat keamanan sudah bergerak masuk ke dalam Universitas, membentuk formasi untuk memukul mundur mahasiswa. Bahkan yang berlari, terus dikejarnya sampai dapat dan tetap digebuk sampai terkapar kesakitan.
Kejadian itu terjadi dalam sekejap.
***
Semua kejadian di Universitas itu terekam dalam kamera Harry dan gambar itu sudah berada dalam ruang editing stasiun TV6. Rosita duduk disebelah operator mesin editing. "Saya ingin semua gambar ini masuk berita siang ini," katanya sengit.
Operator itu melihatnya heran, tapi Rosita keburu keluar dan segera menuju ruang make up. Ia memang tidak pernah memberikan masukan, gambar mana yang akan ditayangkan dalam berita. Tidak pernah ia menyediakan waktu untuk ikut duduk memelototi gambar mana yang layak tayang karena pekerjaan itu paling menyebalkan baginya. Duduk berjam-jam hanya memelototi gambar sampai pegal mata dan panas tempat duduknya. Tapi peristiwa yang baru saja terjadi adalah peristiwa istimewa pertama sepanjang karir reporternya.
Ia merasa semakin mantap bahwa dunia televisi telah memberinya jalan keluar yang paling memuaskan. Pada tahun pertama bekerja sebagai reporter, ia merasa harus berpikir ulang untuk tetap bertahan atau meneruskan karirnya sebagai seorang calon ekonom. Ia berusaha memilih karir paling masuk akal. Pertumbuhan ekonomi ketika itu sedang berada di puncaknya. Kesempatan berkarir baginya sangat leluasa karena pertumbuhan itu membuka banyak sekali lapangan pekerjaan. Salah satu pertumbuhan itu adalah berdirinya beberapa stasiun televisi swasta. Ia pikir kebijakan tersebut sudah seharusnya, walaupun sangat terlambat. Apa yang membuatnya kemudian tertarik menjadi reporter, tidak lebih karena ia merasa mempunyai darah wartawan dari kakeknya.
Berbeda dengan kedua orangtuanya yang berlatar belakang militer. Ia dibesarkan sebagai anak kolong yang harus pindah dari satu markas  ke markas lain. Ayahnya sekarang bertugas di sebuah kota kecil di Jawa Tengah sebagai Kepala Perbekalan dan Gudang. Ia jelas tidak betah berada di sebuah tempat yang akan membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali anak seorang perwira menengah yang menunggu jodohnya. Dan itu sangat konyol baginya. Jadi ia memutuskan untuk mandiri di Jakarta dan seperti wanita muda lainnya, ia menyewa Apartement murah untuk seorang diri.
Harry masuk ruangan dan memberitahu, “Ros, dipanggil boss.”
Ini yang kutunggu, pikirnya. Ia melihat peluang bagus dan bertekad akan mewujudkannya, karena ia tahu Roy Ambyah, Pemimpin Redaksi Pemberitaan TV6, seorang yang bisa diajak berpikir terbuka.  TV6 telah berkembang menarik bukan karena hiburannya, tapi karena liputan berita mendapat bagian yang lebih besar.
Roy Ambyah adalah laki-laki berumur tigapuluh delapan tahun dengan rambut panjang. Wajahnya bercambang tapi itu tidak menghilangkan kegantengannya. Dengan tubuh tinggi besar dan cara berpakaiannya yang sangat rapi, ia menjadi sangat populer sebagai laki-laki paling menggoda wanita di kantornya. Karir yang dijalani sebelumnya adalah wartawan koran harian. Separuh hidupnya dihabiskannya dalam dunia jurnalistik, setelah sebelumnya sempat bermimpi menjadi penyair. Ayahnya yang seorang profesor antropologi  mengatakan padanya  bahwa profesi dalam dunia kesusastraan adalah profesi orang yang ingin jadi sia-sia, jadi beban keluarga dan akan mati kelaparan.  Sejak saat itu Roy memutuskan jadi wartawan yang berpenghasilan tetap.
Roy sedang berdiri didepan logo TV6 dan sedang berbicara lewat telepon sambil tangannya bergerak kesana kemari. Ia kelihatannya orang yang harus selalu bergerak, seperti pembawaannya sebagai wartawan dulu yang harus menuntutnya selalu bergerak. Melihat Rosita masuk ruangan, ia segera mengakhiri teleponnya dengan berkata, "Saya akan menghubungimu lagi." Kemudian dia duduk sambil merapikan file di atas meja yang berserakan.
“Bagaimana situasi lapangan.” Ia bertanya dengan serius.
“Saya pikir kita harus mulai menurunkan laporan secara live.”
“Untuk itu kita harus ketemu Chief."
Rosita langsung tersenyum kecut.  Negeri ini telanjur dibangun dengan sistem birokrasi yang buruk. “Siapa sih sebenarnya yang paling berkuasa untuk sebuah pemberitaan?”
“Kamu tahu sendiri jabatan saya tidak lebih sebagai kepala bagian. Kita sudah mendapat dua kali teguran dari Mabes. Sekali lagi itu terjadi, habislah kita.”
Hanya orang gila yang tidak takut teguran Mabes, pikir Rosita. Teguran pertama dialamatkan kepadanya karena ia menurunkan laporan investigasi kebocoran dana Departemen Keuangan. Dana trilyunan rupiah menguap begitu saja untuk pendanaan proyek yang tidak jelas asal usulnya. Terlebih lagi untuk siapa proyek itu harus berjalan. Teguran kedua baginya karena mewawancarai seorang menteri yang mengatakan bahwa kabinetnya terdiri dari orang-orang yang buruk kredibilitasnya. Bukan dimata masyarakat, tapi dalam perilakunya sebagai pejabat.
Kedua teguran itu berhasil diselamatkan Roy dengan perjuangan yang sangat mustahil. Kalau teguran itu berasal dari Departemen Penerangan masih dianggapnya masalah yang tidak besar, dan wajar. Akan tetapi teguran itu berasal dari Markas Besar Angkatan Bersenjata. Sebuah tempat paling mengerikan di seluruh negeri. Disamping tidak wajar, hal itu menunjukkan bahwa tidak ada kebebasan di negeri yang sudah merdeka ini.    Sebuah keputusan yang sebenarnya sangat menggelikan. Untuk membungkam seseorang, kekuatan yang digunakan terlalu berlebihan dan mahal pertaruhannya. Tapi memang seperti itu sistem pemerintahan dijalankan. Masyarakat harus belajar bersikap sopan kepada penguasa dengan pelajaran-pelajaran yang diberikan  lewat kasus-kasus yang selalu melibatkan aparat keamanan. Sistem hirarki yang dibangun rezim penguasa sangat tangguh. Lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan dan bukan musyawarah untuk mufakat, seperti yang telah berpuluh tahun diajarkan di sekolah-sekolah dan penataran-penataran P4. Seperti tercantum pada Undang-Undang Dasar negara dan berbagai peraturan pemerintah.
“Tidak apa-apa, saya anggap masih bisa dibicarakan,” Rosita merasa harus menahan diri. Ia mencoba untuk tidak menyerah sekarang. Apa yang dilakukannya toh bukan hanya untuk dirinya sendiri, begitu pula manfaatnya. “Tapi saya akan membuat reportase khusus.”
“Soal apa itu?” Roy tampak sangat tertarik.
“Gerakan mahasiswa sebagai pengawal reformasi. Dan saya tidak mau itu ditolak.”
"Kamu ada waktu nanti malam?"
"Ada undangan Pak?"
"Bukan, tapi kita akan makan malam." Nadanya jadi kaku dan serius. "Kita berdua."
Rosita berdiri kaget. Menatap Roy dengan tatapan aneh seolah laki-laki dari dunia mana yang didepannya itu.
"Kenapa?"
"Oh, saya banyak pekerjaan Pak. Sayang kegiatan mahasiswa tidak diliput."
"Tapi ini tanggal empatbelas Februari."
"Saya tahu."
"Ini hari valentine."
Rosita tertawa. Aku merasa sudah tidak sweet seventen lagi.   
"Jam delapan ya?"
"Terimakasih, Pak. Saya sudah ada acara." Rosita segera keluar ruangan. Tiba-tiba dadanya sesak. Ia merasa baru saja mendengar sesuatu yang aneh dan tidak pernah terlintas di kepalanya. Atasannya mengajak makan malam dan itu tidak biasa karena tidak pernah. Ia tahu persis atasannya itu sudah beristri dan mempunyai seorang anak lelaki. Mungkin bagi laki-laki, itu tidak menjadi masalah benar. Apalagi waktunya sangat tepat. Tapi Rosita sama sekali tidak tertarik dan lebih dari itu, tidak terpikirkan.
Ia memang telah berkepala tiga dan itu tidak membuatnya risau benar kalau hanya beralasan kenapa belum berkeluarga. Baginya berkeluarga adalah sesuatu yang menyenangkan tapi saat ini ia tidak memikirkan benar untuk melakukannya. Ia baru menemukan dunianya yang menyenangkan dan akan ia puaskan untuk itu.               
Sewaktu masih aktif sebagai mahasiswa, ia terlalu serius sebagai mahasiswa yang harus tepat waktu mengejar titel kesarjanaannya. Orangtuanya masih menekankan bahwa menjadi sarjana itu penting karena akan menaikkan derajat sosial dan namanya akan menjadi lebih mantap disebut, paling tidak ada tambahan huruf didepan atau dibelakang nama. Ia tidak membantahnya karena keinginan terbesarnya adalah sekolah untuk membuat dirinya berarti bagi dirinya sendiri. Ia tidak perlu membuktikan apa-apa kepada orangtunya, kecuali berbakti, juga kepada orang lain. Ia bersekolah memperoleh gelar sarjana karena sekolah memberikan gelar itu. Salah satu guru agama di sekolah menengah atas-nya pernah mengatakan bahwa sekolah adalah untuk membuka misteri kehidupan. 
Ia masuk Universitas dan memilih bidang ekonomi bukan karena ia ingin melihat misteri dibalik beredarnya uang di pasar atau bagaimana cara berdagang dengan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Ia memilih bidang itu karena itu yang harus dijalaninya. Ia jauh dari darah anak seorang pengusaha dan ia tidak mempunyai cita-cita menjadi pengusaha. Cita-cita adalah sesuatu yang lebih mirip hantu. Semua orang membicarakannya tapi tidak semua orang bisa mendapatkannya.
Ayahnya seorang militer dan kakeknya adalah wartawan. Lingkungan keluarga itu yang membuatnya berpendapat bahwa ia ingin melakukan sesuatu yang berbeda.  Ia merasa tidak harus menjadi tentara, bukan karena kecil gajinya, tapi bukan juga harus menjadi wartawan yang mempunyai banyak kebebasan. Ia ingin sesuatu yang lain yang barangkali akan berhasil memberi warna. Pada akhirnya, cita-cita memang tinggal sebuah keinginan. Setelah berdirinya beberapa televisi swasta, dan ia berhasil masuk ke dalam salah satunya, ia merasa telah salah jalan memilih jalur pendidikannya, walaupun ia merasa kembali ke dalam habitatnya sendiri. Lagipula, apa yang dialaminya selalu terjadi di negeri ini. Sekolah tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan, tapi bagaimana mendapatkan selembar ijazah, lantas mendapatkan pekerjaan. Lebih celaka lagi, pekerjaan itu seringkali tidak sesuai dengan ilmu yang tertera di lembar ijazah. Selalu begitu yang terjadi karena yang penting mendapatkan pekerjaan dan bisa makan.
(bersambung)

No comments: