Tuesday, July 28, 2009

1998 (3)

BAB EMPAT



Ruangan senat Unversitas itu penuh kesibukan. Seperti sebuah kantor surat kabar yang sedang  dikejar tenggat waktu. Di sudut ruangan mesin foto copy terus berjalan menyalin tulisan-tulisan yang harus disebarkan. Pesawat televisi di sudut lain terus menerus memberitakan tentang insiden yang terjadi di halaman Universitas. Mesin pembuat kopi terus bekerja karena setiap orang merasa harus terus terjaga. Makanan instant digunakan untuk mengganjal perut karena merasa sedang dalam keadaan darurat. Nasi telah menjadi makanan paling berharga bagi mereka. Bukan soal harga atau kesulitan mendapatkan nasi yang bagus, tapi lebih karena tidak mempunyai waktu. Mereka harus terus bergerak dan hal itu tidak bisa dilakukannya sambil menggenggam nasi.
Bentrokan aparat keamanan dengan para mahasiswa telah memunculkan hubungan yang menegangkan. Para mahasiswa dan aparat keamanan telah berhadapan sebagai musuh dalam arti yang sesungguhnya. Gerakan demonstrasi mahasiswa baru dimulai, dan tinggal menunggu berapa banyak lagi insiden bentrokan akan terjadi kembali. Sejak kelahirannya, demonstrasi mahasiswa selalu berujung dengan kekerasan sebelum kemudian mendapatkan kemenangan. Seolah menjadi syarat mutlak bahwa korban harus selalu ada setiap kali mahasiswa melakukan demonstrasi. Jer basuki mawa bea. Setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Toh itu tidak membuat semangat mahasiswa patah di jalan. Mahasiswa selalu berdarah muda. Tabiat orang muda adalah selalu dirangsang oleh keinginan yang meledak-ledak dan akan berhenti kalau berhasil mendapatkannya.   
Fajar Sidik dan Jarot, temannya, duduk di belakang meja persegi panjang, dengan wajah yang masih diliputi ketegangan. Jarot adalah pemuda yang lebih pantas disebut pemikir dengan kacamata tebal menempel didepan matanya. Tapi seperti halnya teman-temannya, ia lebih suka berteriak untuk menuntut perubahan. Mungkin lebih tepat untuk perubahan dirinya menjadi orang yang bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik. Ia anak rantau yang tidak beruntung dengan kondisi keuangan keluarga. Maka bekerja paruh waktu menjadi pilihannya.
Inaya Prabandari datang membawa air mineral buat keduanya. Sejak  terjadi keributan di pintu gerbang Universitas, semua menjadi panik. Mereka diliputi ketakutan dan bayangan kekerasan yang ditunjukkan aparat keamanan. 
“Besok mungkin dua kali lipat jumlah aparat keamanannya.” Jarot berkata dengan geram.
“Biarkan saja. Itu kan memang tugas mereka,” sahut Fajar tidak peduli.
“Awal kejadiannya, ada intel yang ketahuan, terus digebukin.” Suara Inaya terdengar gemetar.
“Baguslah.”
“Mereka tidak pernah main-main!” bentak Inaya sengit. Fajar hanya tersenyum sambil mengelap lehernya yang berkeringat dingin.
”Kita juga serius, kadang malah harus overacting biar aparat yang menjagai kita itu tidak kecewa.”
“Sinting.”
“Sudah dari kemarin.”
“Aku tidak habis mengerti dengan negeri ini.” Jarot seperti sedang berduka sekali.
“Buat apa berusaha mengerti, karena begitu kamu mengerti akan sangat sakit hati.”
"Tapi rakyat harus diberitahu."
"Mereka sudah lebih tahu daripada kita."
Fajar keluar ruangan. Inaya mengikuti. Jarot hanya memandangi mereka. Jarot sempat iri dengan pasangan yang saling mengerti, seperti Fajar dan Inaya. Sayang sekali orangtua Inaya membuat hubungan mereka terancam berantakan. Jarot menyimpan belas kasihannya pada Fajar sejak ia tahu bahwa Nyonya Hartawan, melarang hubungan mereka berdua karena perbedaan kelas sosial. Jaman telah berubah,  tapi warisan feodal tidak pernah mati di kepala para orangtua.
Fajar sendiri bukan tidak merasakan perbedaan yang ditunjukkan Nyonya Hartawan, ibu Inaya sekaligus majikannya. Masalah terakhir inilah yang menjadi beban yang menyesakkan dadanya.  Ia bekerja sebagai sopir pada keluarga Hartawan, hanya meneruskan pekerjaan ayahnya yang meninggal dalam perampokan keluarga itu. Ayah dan Ibunya telah bekerja sejak ia masih kecil, bahkan mungkin sebelum ia lahir. Ia tidak pernah menganggap pekerjaan yang ia jalani bersama kedua orangtuanya  merendahkan martabat mereka sebagai manusia.  Kecuali pekerjaan yang dikategorikan tindakan kriminal, ia yakin semua pekerjaan sama. Perbedaan ada karena ada sebutan bagi masing-masing pekerjaan. Bagi sebagian orang, seorang direktur itu tinggi kedudukannya dan seorang pembantu rumah tangga itu rendah pekerjaannya. Dalam bekerja orang juga masih membutuhkan bandingan-bandingan. Dan Fajar merasa ia sedang melakukan pekerjaan yang ingin ditinggalkan semua orang.
Fajar mulai merasa bahwa ia menyukai Inaya ketika anak majikannya itu sering memintanya menjadi sopir pribadinya. Bukan hanya ke Universitas, tapi untuk semua tujuan yang dikehendaki Inaya. Ia tidak pernah berpikir sedang diperalat karena ia tetap menganggapnya sebagai pekerjaan. Tapi kemudian pandangannya mulai berubah ketika Inaya mulai mengajaknya makan berdua. Inaya juga mulai meminta menyetir mobil dan ia duduk menemaninya. Walaupun hal itu hanya terjadi di luar rumah, Fajar belum berani bicara bebas seperti layaknya dua orang teman akrab. Dalam kegiatan kampus, Inaya sering meminta bantuannya dan secara menyolok membawa Fajar kepada teman-temannya dan mengenalkannya sebagai teman istimewa. Cara kampanye Inaya itu membuat Fajar sadar bahwa ia tidak bisa berdiam diri. Ia juga tidak mau berpendapat bahwa Inaya lebih dulu yang menyukainya, karena sebagai laki-laki sebagaimana tradisi, ia yang harus pertamakali menyatakan perasaannya.
***
Di puncak gedung Universitas, malam hari semua terlihat jelas. Pemandangan kota yang bermandikan cahaya lampu seperti lukisan yang tidak ternilai harganya. Semuanya kelihatan indah dan menyenangkan. Halaman Universitas sudah sepi. Padahal siang hari tempat itu telah menjadi suatu tempat  ramai, yang membuat semangatnya menyala-nyala. Walaupun harus disertai ketegangan yang tidak diharapkan. Sesuatu yang besar akan segera terjadi, pikir Fajar. Ia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi semua hal yang akan terjadi. Niatnya bulat bahwa ia akan mengikuti  demonstrasi. Ia tidak pernah melakukan pekerjaan besar, yang menuntut semua tenaga dan pikirannya. Kesempatan untuk itu telah datang dan ia suka melakukannya.
“Suka sekali duduk disini.” Inaya sudah duduk disampingnya.
“Jam berapa ini.”
“Itu tidak penting.” Inaya menyandarkan badannya dengan manja, sepertinya ingin sekali mendapat dekapan.
Ketegangan di kepala Fajar mencair melihat wajah Inaya yang begitu putih seperti wajah bidadari dalam lukisan. Cantik dan nampak menggodanya. Ia meraih tangan Inaya dan melihat jam tangannya, lalu merengkuhnya ke dalam dekapan. “Tanggal 14 Februari 1998, pukul duapuluh lewat duapuluh menit, hanya ada kau dan aku. Lima, empat, tiga, dua, satu…… sejak lima detik terakhir kau sepenuhnya milikku. Takkan ada yang bisa mengubah itu.”
“Selamat hari valentine.”
“Valentine?"
"Hari kasih sayang."
"Oh."
"Norak. Pura-pura nggak tahu."
"Apa bedanya sama hari-hari lain?."
"Udah norak, bego pula."
Mereka tertawa.
Lalu mereka berciuman.
Hanya itu, lalu mereka duduk merapatkan diri sambil melihat pemandangan kota.
“Kalau saja hidup terus seperti ini.” Inaya seperti putus asa.
“Makanya kita harus saling memberi.”
“Apa maksudmu?”
“Tidak ada yang tahu masa depan seperti apa. Kalau kita tidak memberi selagi bisa, maka kita tidak bisa lagi memberi. Jadi pertahankan itu.”
“Sepertinya aku pernah dengar kata-kata itu.”
“Tidak pernah.”
“Ya, aku pernah.” Inaya tertawa. ”Itu kata-kata iklan.”
“Iklan sabun? Itu kata-kataku sendiri.” Fajar berdiri untuk menghindari kejaran Inaya.
Inaya tahu persis, Fajar tidak mempunyai sensasi mengagumkan di kampus. Tidak istimewa betul di mata teman-temannya. Hanya dimatanya Fajar menjadi bintang. Soal laki-laki ganteng dan semua syarat laki-laki idaman, Universitas menyediakkannya dengan melimpah. Semua dapat hak sama kalau ia memilih. Tapi ia mesti berhitung dengan hatinya. Omong kosong perempuan memilih laki-laki tanpa pertimbangan tertentu. Di luar perhitungan wajah ganteng, ia jatuh cinta pada Fajar karena Fajar menyimpan daya tarik tersendiri. Ia bukan perempuan yang mudah menaruh perhatian kepada seorang laki-laki.
Fajar adalah laki-laki sejati, yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk kebahagiaan orang lain. Setelah ayahnya meninggal, ia telah menjadi kepala keluarga menggantikannya. Bukan hanya soal mencari kebutuhan materi, tapi mempertahankan sebuah keluarga agar tidak menjadi putus asa. Hidup tanpa seorang ayah terlalu berat di jalani. Dan Fajar mengambil alih tanggung jawab itu dengan keberanian yang mengagumkan.
“Jangan pandangi saya terus begitu. Saya tidak akan lari.” Fajar jengah melihat Inaya yang terus menatapnya tajam ditengah suasana kantin yang hiruk pikuk.
“Saya benar-benar takut kamu meninggalkan saya.”
“Kita sama-sama harus belajar tahu dirilah. Kita memang berbeda, Aya.”
“Kita harus menyatukan perbedaan itu.”
“Kita mungkin bisa, tapi tidak dengan orangtuamu, kan. Agaknya kita harus mulai berpikir kapan kita berpisah.”
Bukan hanya Inaya yang terkejut dengan pernyataan itu. Fajar sendiri juga tidak tahu kenapa tiba-tiba hal itu yang terpikir olehnya. Ia telah begitu toleransi untuk menerima ejekan dari Nyonya Hartawan. Tapi ia bukan orang yang bisa memberikan pipi kirinya setelah pipi kanannya ditampar. Pada saat-saat tertentu, ia bukan orang penyabar. Ia tidak menyalahkan siapa pun, termasuk dirinya yang mencintai Inaya. Ia hanya menyalurkan bakat alam laki-laki normal. Selebihnya adalah aturan manusia yang sama sekali tidak adil.  
“Kita selalu terjebak untuk bicara soal beginian.”
Inaya mengernyitkan dahi. “Kamu anggap persoalan ini sepele?”
“Bagi saya malah terlalu berat. Tapi maksud saya, biarlah itu menjadi persoalan yang harus kita bicarakan secara khusus. Bukan dalam kesempatan yang tidak menguntungkan kita berdua seperti saat ini. Saya hanya takut kita hanya akan menjadi kisah sedih.”
“Apa saya juga salah mencintai kamu?”
“Orangtua juga tidak salah memilihkan jodoh yang baik buat anaknya.”
“Kamu membela siapa sih sebenarnya?”
“Aku juga tidak tahu, Aya.”
Dalam hal tertentu, Fajar sering tidak tahu keputusan yang harus diambilnya, terutama kalau sudah berhadapan dengan Nyonya Hartawan. Pendapat dan hak pembelaannya tidak berlaku oleh karena dibatasi dengan pekerjaannya yang hanya seorang sopir. Bagi Nyonya Hartawan, seorang sopir tidak boleh membantah apa yang diperintahkan kepadanya.  Tapi bagi Inaya, Fajar bebas menentukan tujuan yang dikehendakinya ketika sedang berada di belakang kemudi. Seperti malam itu setelah semua urusan di kampus bisa ditinggalkan. Mereka berada dalam mobil di tengah kota. Inaya belum mau pulang walaupun jam menunjukkan pukul sepuluh. Tapi Fajar membawa mobil itu dengan kecepatan tinggi untuk segera sampai di rumah Nyonya Hartawan.
Ia juga suka berlama-lama dengan Inaya, tapi ia sedang bekerja dan batas waktu pulang telah dilanggarnya. Inaya jelas akan membelanya tapi Fajar tidak bisa berdalih apapun kecuali menerima makian dan kata-kata kotor lainnya dari Nyonya Hartawan. Fajar membayangkan dirinya hidup pada jaman Belanda menjajah, dimana orang harus bekerja seperti binatang. Kalau baik akan dipuji dan kalau buruk akan dicaci maki dan dihukum cambuk. Tapi Fajar telah siap menerima segala akibatnya. Telinganya biasa memerah dan   dadanya biasa menahan amarah.
Kecepatan mobilnya ternyata belum seberapa ketika tiba-tiba sebuah mobil menabraknya dari belakang. Mereka tersentak ke depan dan Inaya berteriak panik. Fajar akan mengerem mobilnya ketika tabrakan kedua kali terjadi. Kalau mobil rem blong tidak akan seperti itu kejadiannya. Lagipula jalanan sepi dan mobil itu bisa mendahului dengan mudah. Tapi mobil itu menempel di belakang. Naluri Fajar sebagai sopir mencium sesuatu yang tidak beres. Maka kemudian ia melarikannya dengan lebih kencang.
"Mobil kita ditabrak, kenapa malah lari?" Inaya masih belum mengerti.
"Hardtop dibelakang sengaja menabrak kita."
Inaya menoleh ke belakang. Mobil tinggi itu memang sebuah jeep hardtop dan sedang mengikuti dengan garang dan berusaha menabrak kembali.
"Apa salah kita?" Inaya mulai histeris
"Pakai sabuk pengaman!" Fajar berteriak,sambil melirik kaca spion. Lalu berkata sendiri, "Kita lihat siapa yang punya jalan ini."
Sebagai sopir, Fajar sudah seharusnya hafal semua jalan di Jakarta. Bahkan untuk jalan pintas yang biasanya melewati perkampungan padat. Dengan caranya sendiri, ia melarikan mobilnya melewati jalan-jalan kecil yang berbelok dan sulit untuk diikuti kalau tidak dari jarak dekat. Mobil yang dibawanya adalah jenis mobil dalam kota yang mudah diajak rally dengan stabil. Sementara jeep hardtop adalah jenis mobil luar kota yang walaupun tenaganya lebih besar, tapi diatas aspal bagus justru besar risikonya untuk terguling.
Beberapa saat kemudian, Fajar berhasil membawa mobilnya lepas dari kejaran hardtop itu, lalu bersembunyi di kegelapan malam, menunggu ketegangannya berlalu. Inaya kelihatan ketakutan sekali.           
"Siapa mereka?"
"Orang yang menginginkan nyawa saya."
"Sok tahu."
"Kalau kamu yang diincar, tidak saat kita bersama."
"Apa ada hubungannya sama pidato-pidato kamu?"
"Bisa jadi." 
"Kita lapor polisi?"
"Kamu percaya polisi dalam saat-saat begini?" Fajar menjadi sinis. "Lebih baik cepat pulang. Kita sudah sangat terlambat. Lagipula saya belum tahu seberapa besar kerusakan mobil ini."
"Saya akan menyelesaikannya. Saya akan bilang sama Ibu, saya yang membawa mobil ini."
"Kamu akan ketahuan berbohong, Aya."
"Itu urusan nanti, kita harus cepat pergi dari disini."   
Fajar kemudian membawa mobil itu melewati jalan-jalan pintas yang melewati perkampungan penduduk. Dan itu memakan waktu lebih lama.
(bersambung)

No comments: