Ruangan senat Unversitas itu
penuh kesibukan. Seperti sebuah kantor surat kabar yang sedang dikejar tenggat waktu. Di
sudut ruangan mesin foto copy terus berjalan menyalin tulisan-tulisan yang
harus disebarkan. Pesawat televisi di sudut lain terus menerus memberitakan
tentang insiden yang terjadi di halaman Universitas. Mesin pembuat kopi terus
bekerja karena setiap orang merasa harus terus terjaga. Makanan instant
digunakan untuk mengganjal perut karena merasa sedang dalam keadaan darurat.
Nasi telah menjadi makanan paling berharga bagi mereka. Bukan soal harga atau
kesulitan mendapatkan nasi yang bagus, tapi lebih karena tidak mempunyai waktu.
Mereka harus terus bergerak dan hal itu tidak bisa dilakukannya sambil
menggenggam nasi.
Bentrokan
aparat keamanan dengan para mahasiswa telah memunculkan hubungan yang
menegangkan. Para mahasiswa dan aparat keamanan telah berhadapan sebagai musuh
dalam arti yang sesungguhnya. Gerakan demonstrasi mahasiswa baru dimulai, dan
tinggal menunggu berapa banyak lagi insiden bentrokan akan terjadi kembali.
Sejak kelahirannya, demonstrasi mahasiswa selalu berujung dengan kekerasan
sebelum kemudian mendapatkan kemenangan. Seolah menjadi syarat mutlak bahwa
korban harus selalu ada setiap kali mahasiswa melakukan demonstrasi. Jer
basuki mawa bea. Setiap perjuangan
membutuhkan pengorbanan. Toh itu tidak membuat semangat mahasiswa patah di
jalan. Mahasiswa selalu berdarah muda. Tabiat orang muda adalah selalu
dirangsang oleh keinginan yang meledak-ledak dan akan berhenti kalau berhasil
mendapatkannya.
Fajar Sidik
dan Jarot, temannya, duduk di belakang meja persegi panjang, dengan wajah yang
masih diliputi ketegangan. Jarot adalah pemuda yang lebih pantas disebut
pemikir dengan kacamata tebal menempel didepan matanya. Tapi seperti halnya
teman-temannya, ia lebih suka berteriak untuk menuntut perubahan. Mungkin lebih
tepat untuk perubahan dirinya menjadi orang yang bisa menjalani kehidupan
dengan lebih baik. Ia anak rantau yang tidak beruntung dengan kondisi keuangan
keluarga. Maka bekerja paruh waktu menjadi pilihannya.
Inaya
Prabandari datang membawa air mineral buat keduanya. Sejak terjadi keributan di pintu gerbang
Universitas, semua menjadi panik. Mereka diliputi ketakutan dan bayangan
kekerasan yang ditunjukkan aparat keamanan.
“Besok
mungkin dua kali lipat jumlah aparat keamanannya.” Jarot berkata dengan geram.
“Biarkan
saja. Itu kan memang tugas mereka,” sahut Fajar tidak peduli.
“Awal
kejadiannya, ada intel yang ketahuan, terus digebukin.”
Suara Inaya terdengar gemetar.
“Baguslah.”
“Mereka tidak
pernah main-main!” bentak Inaya sengit. Fajar hanya tersenyum sambil mengelap
lehernya yang berkeringat dingin.
”Kita juga
serius, kadang malah harus overacting biar aparat
yang menjagai kita itu tidak kecewa.”
“Sinting.”
“Sudah dari
kemarin.”
“Aku tidak
habis mengerti dengan negeri ini.” Jarot seperti sedang berduka sekali.
“Buat apa berusaha
mengerti, karena begitu kamu mengerti akan sangat sakit hati.”
"Tapi
rakyat harus diberitahu."
"Mereka
sudah lebih tahu daripada kita."
Fajar keluar
ruangan. Inaya mengikuti. Jarot hanya memandangi mereka. Jarot sempat iri
dengan pasangan yang saling mengerti, seperti Fajar dan Inaya. Sayang sekali
orangtua Inaya membuat hubungan mereka terancam berantakan. Jarot menyimpan
belas kasihannya pada Fajar sejak ia tahu bahwa Nyonya Hartawan, melarang
hubungan mereka berdua karena perbedaan kelas sosial. Jaman telah berubah, tapi warisan feodal tidak pernah mati
di kepala para orangtua.
Fajar sendiri
bukan tidak merasakan perbedaan yang ditunjukkan Nyonya Hartawan, ibu Inaya
sekaligus majikannya. Masalah terakhir inilah yang menjadi beban yang
menyesakkan dadanya. Ia bekerja
sebagai sopir pada keluarga Hartawan, hanya meneruskan pekerjaan ayahnya yang
meninggal dalam perampokan keluarga itu. Ayah dan Ibunya telah bekerja sejak ia
masih kecil, bahkan mungkin sebelum ia lahir. Ia tidak pernah menganggap
pekerjaan yang ia jalani bersama kedua orangtuanya merendahkan martabat mereka sebagai manusia. Kecuali pekerjaan yang dikategorikan
tindakan kriminal, ia yakin semua pekerjaan sama. Perbedaan ada karena ada
sebutan bagi masing-masing pekerjaan. Bagi sebagian orang, seorang direktur itu
tinggi kedudukannya dan seorang pembantu rumah tangga itu rendah pekerjaannya.
Dalam bekerja orang juga masih membutuhkan bandingan-bandingan. Dan Fajar
merasa ia sedang melakukan pekerjaan yang ingin ditinggalkan semua orang.
Fajar mulai
merasa bahwa ia menyukai Inaya ketika anak majikannya itu sering memintanya
menjadi sopir pribadinya. Bukan hanya ke Universitas, tapi untuk semua tujuan yang
dikehendaki Inaya. Ia tidak pernah berpikir sedang diperalat karena ia tetap
menganggapnya sebagai pekerjaan. Tapi kemudian pandangannya mulai berubah
ketika Inaya mulai mengajaknya makan berdua. Inaya juga mulai meminta menyetir
mobil dan ia duduk menemaninya. Walaupun hal itu hanya terjadi di luar rumah,
Fajar belum berani bicara bebas seperti layaknya dua orang teman akrab. Dalam
kegiatan kampus, Inaya sering meminta bantuannya dan secara menyolok membawa
Fajar kepada teman-temannya dan mengenalkannya sebagai teman istimewa. Cara
kampanye Inaya itu membuat Fajar sadar bahwa ia tidak bisa berdiam diri. Ia
juga tidak mau berpendapat bahwa Inaya lebih dulu yang menyukainya, karena
sebagai laki-laki sebagaimana tradisi, ia yang harus pertamakali menyatakan
perasaannya.
***
Di puncak
gedung Universitas, malam hari semua terlihat jelas. Pemandangan kota yang
bermandikan cahaya lampu seperti lukisan yang tidak ternilai harganya. Semuanya
kelihatan indah dan menyenangkan. Halaman Universitas sudah sepi. Padahal siang
hari tempat itu telah menjadi suatu tempat ramai, yang membuat semangatnya menyala-nyala. Walaupun
harus disertai ketegangan yang tidak diharapkan. Sesuatu yang besar akan
segera terjadi, pikir Fajar. Ia harus mempersiapkan dirinya
untuk menghadapi semua hal yang akan terjadi. Niatnya bulat bahwa ia akan
mengikuti demonstrasi. Ia tidak
pernah melakukan pekerjaan besar, yang menuntut semua tenaga dan pikirannya.
Kesempatan untuk itu telah datang dan ia suka melakukannya.
“Suka sekali
duduk disini.” Inaya sudah duduk disampingnya.
“Jam berapa
ini.”
“Itu tidak
penting.” Inaya menyandarkan badannya dengan manja, sepertinya ingin sekali
mendapat dekapan.
Ketegangan di
kepala Fajar mencair melihat wajah Inaya yang begitu putih seperti wajah
bidadari dalam lukisan. Cantik dan nampak menggodanya. Ia meraih tangan Inaya
dan melihat jam tangannya, lalu merengkuhnya ke dalam dekapan. “Tanggal 14
Februari 1998, pukul duapuluh lewat duapuluh menit, hanya ada kau dan aku.
Lima, empat, tiga, dua, satu…… sejak lima detik terakhir kau sepenuhnya
milikku. Takkan ada yang bisa mengubah itu.”
“Selamat hari
valentine.”
“Valentine?"
"Hari
kasih sayang."
"Oh."
"Norak.
Pura-pura nggak tahu."
"Apa
bedanya sama hari-hari lain?."
"Udah
norak, bego pula."
Mereka
tertawa.
Lalu mereka
berciuman.
Hanya itu,
lalu mereka duduk merapatkan diri sambil melihat pemandangan kota.
“Kalau saja
hidup terus seperti ini.” Inaya seperti putus asa.
“Makanya kita
harus saling memberi.”
“Apa
maksudmu?”
“Tidak ada
yang tahu masa depan seperti apa. Kalau kita tidak memberi selagi bisa, maka
kita tidak bisa lagi memberi. Jadi pertahankan itu.”
“Sepertinya
aku pernah dengar kata-kata itu.”
“Tidak
pernah.”
“Ya, aku
pernah.” Inaya tertawa. ”Itu kata-kata iklan.”
“Iklan sabun?
Itu kata-kataku sendiri.” Fajar berdiri untuk menghindari kejaran Inaya.
Inaya tahu
persis, Fajar tidak mempunyai sensasi mengagumkan di kampus. Tidak istimewa
betul di mata teman-temannya. Hanya dimatanya Fajar menjadi bintang. Soal
laki-laki ganteng dan semua syarat laki-laki idaman, Universitas
menyediakkannya dengan melimpah. Semua dapat hak sama kalau ia memilih. Tapi ia
mesti berhitung dengan hatinya. Omong kosong perempuan memilih laki-laki tanpa
pertimbangan tertentu. Di luar perhitungan wajah ganteng, ia jatuh cinta pada Fajar
karena Fajar menyimpan daya tarik tersendiri. Ia bukan perempuan yang mudah
menaruh perhatian kepada seorang laki-laki.
Fajar adalah
laki-laki sejati, yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk kebahagiaan orang
lain. Setelah ayahnya meninggal, ia telah menjadi kepala keluarga
menggantikannya. Bukan hanya soal mencari kebutuhan materi, tapi mempertahankan
sebuah keluarga agar tidak menjadi putus asa. Hidup tanpa seorang ayah terlalu
berat di jalani. Dan Fajar mengambil alih tanggung jawab itu dengan keberanian
yang mengagumkan.
“Jangan
pandangi saya terus begitu. Saya tidak akan lari.” Fajar jengah melihat Inaya
yang terus menatapnya tajam ditengah suasana kantin yang hiruk pikuk.
“Saya
benar-benar takut kamu meninggalkan saya.”
“Kita
sama-sama harus belajar tahu dirilah. Kita memang berbeda, Aya.”
“Kita harus
menyatukan perbedaan itu.”
“Kita mungkin
bisa, tapi tidak dengan orangtuamu, kan. Agaknya kita harus mulai berpikir
kapan kita berpisah.”
Bukan hanya
Inaya yang terkejut dengan pernyataan itu. Fajar sendiri juga tidak tahu kenapa
tiba-tiba hal itu yang terpikir olehnya. Ia telah begitu toleransi untuk
menerima ejekan dari Nyonya Hartawan. Tapi ia bukan orang yang bisa memberikan
pipi kirinya setelah pipi kanannya ditampar. Pada saat-saat tertentu, ia bukan
orang penyabar. Ia tidak menyalahkan siapa pun, termasuk dirinya yang mencintai
Inaya. Ia hanya menyalurkan bakat alam laki-laki normal. Selebihnya adalah
aturan manusia yang sama sekali tidak adil.
“Kita selalu
terjebak untuk bicara soal beginian.”
Inaya
mengernyitkan dahi. “Kamu anggap persoalan ini sepele?”
“Bagi saya
malah terlalu berat. Tapi maksud saya, biarlah itu menjadi persoalan yang harus
kita bicarakan secara khusus. Bukan dalam kesempatan yang tidak menguntungkan
kita berdua seperti saat ini. Saya hanya takut kita hanya akan menjadi kisah
sedih.”
“Apa saya
juga salah mencintai kamu?”
“Orangtua
juga tidak salah memilihkan jodoh yang baik buat anaknya.”
“Kamu membela
siapa sih sebenarnya?”
“Aku juga
tidak tahu, Aya.”
Dalam hal
tertentu, Fajar sering tidak tahu keputusan yang harus diambilnya, terutama
kalau sudah berhadapan dengan Nyonya Hartawan. Pendapat dan hak pembelaannya
tidak berlaku oleh karena dibatasi dengan pekerjaannya yang hanya seorang
sopir. Bagi Nyonya Hartawan, seorang sopir tidak boleh membantah apa yang
diperintahkan kepadanya. Tapi bagi
Inaya, Fajar bebas menentukan tujuan yang dikehendakinya ketika sedang berada
di belakang kemudi. Seperti malam itu setelah semua urusan di kampus bisa
ditinggalkan. Mereka berada dalam mobil di tengah kota. Inaya belum mau pulang
walaupun jam menunjukkan pukul sepuluh. Tapi Fajar membawa mobil itu dengan
kecepatan tinggi untuk segera sampai di rumah Nyonya Hartawan.
Ia juga suka
berlama-lama dengan Inaya, tapi ia sedang bekerja dan batas waktu pulang telah
dilanggarnya. Inaya jelas akan membelanya tapi Fajar tidak bisa berdalih apapun
kecuali menerima makian dan kata-kata kotor lainnya dari Nyonya Hartawan. Fajar
membayangkan dirinya hidup pada jaman Belanda menjajah, dimana orang harus
bekerja seperti binatang. Kalau baik akan dipuji dan kalau buruk akan dicaci
maki dan dihukum cambuk. Tapi Fajar telah siap menerima segala akibatnya. Telinganya
biasa memerah dan dadanya
biasa menahan amarah.
Kecepatan
mobilnya ternyata belum seberapa ketika tiba-tiba sebuah mobil menabraknya dari
belakang. Mereka tersentak ke depan dan Inaya berteriak panik. Fajar akan
mengerem mobilnya ketika tabrakan kedua kali terjadi. Kalau mobil rem blong
tidak akan seperti itu kejadiannya. Lagipula jalanan sepi dan mobil itu bisa
mendahului dengan mudah. Tapi mobil itu menempel di belakang. Naluri Fajar
sebagai sopir mencium sesuatu yang tidak beres. Maka kemudian ia melarikannya
dengan lebih kencang.
"Mobil
kita ditabrak, kenapa malah lari?" Inaya masih belum mengerti.
"Hardtop
dibelakang sengaja menabrak kita."
Inaya menoleh
ke belakang. Mobil tinggi itu memang sebuah jeep hardtop dan sedang mengikuti
dengan garang dan berusaha menabrak kembali.
"Apa
salah kita?" Inaya mulai histeris
"Pakai
sabuk pengaman!" Fajar berteriak,sambil melirik kaca spion. Lalu berkata
sendiri, "Kita lihat siapa yang punya jalan ini."
Sebagai
sopir, Fajar sudah seharusnya hafal semua jalan di Jakarta. Bahkan untuk jalan
pintas yang biasanya melewati perkampungan padat. Dengan caranya sendiri, ia
melarikan mobilnya melewati jalan-jalan kecil yang berbelok dan sulit untuk
diikuti kalau tidak dari jarak dekat. Mobil yang dibawanya adalah jenis mobil
dalam kota yang mudah diajak rally dengan stabil. Sementara jeep hardtop adalah
jenis mobil luar kota yang walaupun tenaganya lebih besar, tapi diatas aspal
bagus justru besar risikonya untuk terguling.
Beberapa saat
kemudian, Fajar berhasil membawa mobilnya lepas dari kejaran hardtop itu, lalu
bersembunyi di kegelapan malam, menunggu ketegangannya berlalu. Inaya kelihatan
ketakutan sekali.
"Siapa
mereka?"
"Orang
yang menginginkan nyawa saya."
"Sok
tahu."
"Kalau
kamu yang diincar, tidak saat kita bersama."
"Apa ada
hubungannya sama pidato-pidato kamu?"
"Bisa
jadi."
"Kita
lapor polisi?"
"Kamu
percaya polisi dalam saat-saat begini?" Fajar menjadi sinis. "Lebih
baik cepat pulang. Kita sudah sangat terlambat. Lagipula saya belum tahu
seberapa besar kerusakan mobil ini."
"Saya
akan menyelesaikannya. Saya akan bilang sama Ibu, saya yang membawa mobil
ini."
"Kamu
akan ketahuan berbohong, Aya."
"Itu
urusan nanti, kita harus cepat pergi dari disini."
Fajar
kemudian membawa mobil itu melewati jalan-jalan pintas yang melewati
perkampungan penduduk. Dan itu memakan waktu lebih lama.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment