BAB SEPULUH
Fajar sadar ketika pertamakali
naik panggung untuk pidato, itulah saatnya ia siap merubah jalan hidupnya.
Baginya itu sangat berat, tapi ia akan lebih merasa tidak bermartabat kalau
hanya berdiam diri melihat perubahan yang diharapkan banyak orang itu. Kalau
boleh memilih, ia memang lebih suka bekerja dan bisa terus menghidupi ibu dan
dua adiknya. Tapi hidup tidak cukup hanya itu. Hidup membutuhkan banyak suara.
Termasuk barangkali Nyonya Hartawan yang sangat amat menyakitkan. Ia ingin
menghilangkan ingatannya dari suara bekas majikannya itu dengan berjemur
matahari diatap gedung kampusnya.
Jarot datang
melihat wajah sahabatnya yang sedih. “Aku takut kamu benar-benar lompat ke
bawah, padahal perjuangan kita baru mulai.”
Fajar tidak
bereaksi.
“Aku tahu
kita sekarang sedang berusaha menyamakan hak, tapi soal jodoh, agaknya tidak
masuk hitungan perjuangan kita.”
“Ini bukan
soal perjuangan, Bung. Ini soal warna darah.”
“Kalau soal
warna darah, darah kambing juga merah.”
“Aku tidak
pernah percaya ada darah berwarna biru, kecuali kalau kelunturan blau.”
Jarot tertawa
terbahak-bahak. “Makanya berhentilah bicara soal warna darah. Persoalannya
mungkin lebih dari itu.”
“Tidak ada
persoalan yang lebih penting sekarang daripada soal warna darah. Ini soal
kehormatan keluarga!”
“Boleh saja,
tapi kamu lupa soal timing, soal waktu. Buatlah dirimu jadi
pahlawan dulu, baru melamar Inaya. Orangtua kita kan suka dengan orang yang
dapat gelar? Apalagi bangsawan.” Jarot berdiri. “Sudah, cari dah gelar dulu.”
“Dimana?”
“Demonstrasinya?”
“Cari
gelarnya.”
“Ah,
sinting.” Jarot mulai beranjak. “Oya, dibawah sudah menunggu Rosita.”
“Menunggu
siapa?”
“Yang pasti
bukan menunggu Godot.”
***
Rangkaian
petasan menyalak ramai. Asap dan serpihan kertas berhamburan di udara. Ada
restoran Cina baru dibuka. Pemiliknya keturunan Tionghoa. Ini kawasan
Pecenongan, salah satu daerah Pecinan Ibukota yang cukup elit. Pertumbuhan
ekonomi kawasan ini tergolong tinggi karena salah satu kawasan perdagangan,
terutama untuk bisnis orang keturunan Tionghoa jet set,
selain Glodok dan Mangga Dua.
Fajar dan
Rosita sedang berada disana dan ikut melihat kemeriahan yang jarang ada. Harry
mengambil gambar tarian barongsai. Tarian yang sebenarnya tidak bebas
dipentaskan karena ada larangannya. Mereka hanya lewat untuk terus menyusuri
trotoar pertokoan yang berderet-deret.
“Bapak saya
meninggal dalam perampokan di mobil Pak Hartawan.” Fajar bersedia bercerita
karena permintaan Rosita sulit ditolaknya. “Ada tiga versi cerita. Versi
Polisi, bapak saya yang merencanakan perampokan. Versi saksi, bapak saya
melindungi Pak Hartawan dari bacokan perampok. Versi keluarga Pak Hartawan,
bapak pantas mati sebagai sopir yang melindungi majikannya.”
“Kamu punya
pendapat sendiri?”
“Saya tidak
mau bapak saya diadili versi mereka. Saya hanya ingin bapak saya meninggal
sebagai orang baik.”
Rosita
melihat wajah Fajar menahan amarah. Laki-laki yang menarik latar belakang
hidupnya. Ia telah begitu beruntung mendapatkan orang yang begitu kompleks
kisah hidupnya, dan ia siap menunggu kejutan lain dari pemuda disampingnya
itu. Fajar tidak tampan, tapi
pemuda itu mempunyai pesona. Rosita paham kenapa Inaya tertarik dengan Fajar.
Pesona tidak akan pernah hilang, tapi ketampanan lenyap seiring dengan
bertambahnya umur. Rosita pernah pacaran tapi karena tidak ada kecocokan, tidak
bisa dipertahankan. Padahal ia telah siap menikah. Ia bukan perempuan yang suka
mengoleksi laki-laki dalam daftar berpacaran karena ia tidak bisa menghabiskan
sisa umurnya hanya untuk berpindah dari satu lelaki ke lelaki lain. Memilih
jodoh bukan seperti memilih barang. Barang terlihat jelek bukan berarti
kualitasnya juga jelek. Kebaikan hati seseorang tidak bisa hanya dilihat dari
baju yang di pakainya atau mobil yang di bawanya.
Sudah lebih
dari tiga tahun ia mengisi hidupnya sendirian. Ia tahu banyak rekan sekantornya
yang berusaha mendekatinya. Tapi ia berhasil menghindarinya dengan bekerja
keras sebagai reporter lapangan. Dan tiba-tiba bertemu Fajar. Ia tidak tahu
persis kenapa bisa memilih Fajar sebagai bahan reportasenya. Ia merasa beruntung
saja. Sekarang pun ia tidak perlu tahu sebabnya.
Mereka masuk
ke sebuah toko roti besar yang didepan pintu masuknya bertuliskan TAN. Fajar
bekerja sebagai sopir disitu. Toko cukup ramai. Fajar kebetulan bisa bekerja di
toko Pak Tan. Seperti kisah dalam film Indonesia, ia menolong Pak Tan yang
mobilnya mogok di pingir jalan. Setelah itu ia ditawari bekerja. Hanya itu,
selebihnya ia telah menjalin hubungan baik dengan Pak Tan dan keluarganya.
Fajar menyapa
seorang gadis dibelakang meja kasir. “Hallo, Kristin.”
“Hai, orang penting, kemana
saja?” Gadis bernama Kristin bermata sipit, tersenyum lebar. Pramuniaga lain
juga menoleh dan menyapa Fajar.
“Sombong ya,
sudah masuk TV, jadi nggak kenal kita lagi.”
“Keren nggak saya
masuk TV?”
Ruangan
tertawa. Pak Tan keluar dari dalam dan senyumnya mengembang melihat Fajar.
“Tiga hari
yang lalu saya ke rumah.”
Fajar
menyalami Pak Tan. “Saya sibuk di kampus, Pak. Oya, kenalkan ini Rosita, Pak.”
“Ooo yang
reporter TV itu ya.”
Rosita
mengangguk. Semua pramuniaga menoleh ke Rosita.
“Mungkin saya
akan bekerja lagi dalam dua tiga hari ini, Pak.”
“Atur saja.
Kapan kamu ada waktu. Bapak senang lihat kamu teriak-teriak di TV. Begitu
mestinya anak muda. Ayo ambil kursi, ajak duduk temanmu.”
Ini kejutan
lain dari Fajar. Belum pernah Rosita melihat keakraban dua generasi berbeda dan
dari ras yang berbeda. Di negeri ini, sangat sulit membangun hubungan seperti
yang dilihatnya, kecuali bukti lain yang ia lihat pada kakeknya dan Pak Ong.
Kakeknya bilang kepadanya bahwa ia berteman dengan Pak Ong bukan karena ras
atau rasa kasihan dengan perlakuan diskriminasi sebagian orang di negeri ini.
Kakeknya merasa Pak Ong adalah manusia, seperti juga dirinya.
BAB SEBELAS
Fajar tidak bisa
menolak permintaan Rosita yang terus menerus mengikuti kegiatannya sehari-hari.
Kekakuan diantara mereka sudah mulai hilang. Fajar mulai merasakan kehadiran
seorang perempuan lain, setelah tidak bertemu dengan Inaya. Rosita tidak cantik
tapi mempunyai daya tarik yang sanggup membuat setiap laki-laki setabah apapun
akan terpacu jantungnya. Pintar, bersikap dewasa dan bisa menebak keinginan
seseorang.
Pada akhirnya Fajar tidak bisa
menolak keinginan Rosita yang memaksa ikut ke rumahnya di pinggiran kota.
Kampung yang bagi kebanyakan orang disebut kampung pinggiran dan layak disebut
kampung kumuh. Tapi Fajar merasa ia tinggal di kampung terbaik di dunia. Jalan
kampung selalu semarak oleh anak-anak bermain. Ia berani bertaruh tidak ada
pemandangan sesemarak ini di kampung lain di Ibukota ini. Barangkali tidak ada keindahan
karena semua kelihatan kotor dan semrawut, tapi disana ada kehangatan. Ada
teriakan tawa dan canda. Berbeda dengan di jalanan kompleks real estat yang menjamur di
Ibukota. Seperti jalan di sepanjang rumah Inaya. Ia hanya melihat petugas
keamanan yang mondar-mandir dalam jeda waktu yang ketat. Selebihnya adalah
kesunyian yang panjang mirip kuburan. Ibukota telah terbagi menjadi hutan yang
siap menegangkan jantung penghuninya.
Negeri ini
sebenarnya tidak cocok dengan pengelompokan seperti itu. Sebutan negeri Timur
yang terkenal dengan keramah tamahan penduduknya, agaknya siap tumbuh menjadi wild
west. Rumah-rumah berpagar besi tinggi, bahkan diatasnya
dipasangi pagar kawat berduri.
Kenyamanan seperti apakah yang didapat penghuninya. Bahkan, siapa tahu,
dibelakang pintu telah disiapkan berbagai jebakan dan senjata api jenis AK-47.
“Saya lebih
yakin orang seperti saya hanya akan jadi tumbal ketimbang jadi pahlawan,” kata
Fajar tersenyum kecut. Ia
menggandeng Rosita yang kelihatan tidak siap berada diatas jembatan gantung
yang membelah sungai kotor dari jalan raya menuju kampungnya.
Harry masih
mengambil gambar di seberang sungai ke arah Fajar dan Rosita. Mungkin seperti
adegan dalam film Rano Karno dengan Yessy Gusman tahun 80-an. Fajar tertawa
dalam hati. Ia tidak tahu siapa Rosita dan kisah apa dibalik dirinya yang
seorang reporter. Tapi ia tak punya waktu untuk mencari jawaban itu.
“Siapa tahu
kamu orang pertama yang bisa jadi pahlawan.”
“Teman saya
juga menyuruh saya mencari gelar pahlawan. Tapi saya malah khawatir saya orang
pertama yang akan jadi tumbal.”
“Tidak selalu
kita harus kalah.”
“Mungkin,
tapi saya sudah kalah dalam segala hal.”
“Mungkin kamu
hanya mengalah.”
“Saya orang
yang tidak pernah dihibur.”
“Sama sekali
saya tidak berusaha menghibur kamu. Kamu memang enggak pantas cuma dijadikan
tumbal.” Nada suara Rosita terdenga gemetar. Kakinya terpeleset dan begitu saja
ia meraih tubuh Fajar untuk dijadikan pegangan.
Mereka
berhenti di ujung jembatan dan berpelukan.
Harry
mengambil gambar mereka. Hanya beberapa menit tapi itu adalah gambar yang
paling menyegarkan setelah begitu lama ia hanya mendapatkan gambar kekerasan
bentrokan mahasiswa dengan aparat keamanan.
Mereka
berjalan kembali dan tidak lagi berbicara. Dada mereka saling terguncang dan
tidak perlu mereka ungkapkan dengan kata-kata. Sampai di halaman rumah, Fatimah, adik Fajar yang
sedang sibuk mengangkat jemuran,
menghampiri kakaknya dan memberitahu, “Ada mbak Inaya.”
Fajar
terkejut dan kelihatan menjadi bingung.
“Mungkin saya
harus pergi.” Rosita sebenarnya mengharapkan sebaliknya.
"Kenapa
harus pergi?"
"Kalian
perlu privacy."
"Lalu
kenapa kamu repot-repot ikut kemari?" Fajar menginginkan Rosita tetap
tinggal. “Terserah kalau mau ketinggalan kisah sedih lainnya.”
Fajar terus saja
masuk ke dalam rumah dengan wajah bingung. Rosita menoleh ke Harry, dan
tampaknya Harry tidak mau pergi. Rosita mulai mengagumi Fajar dan segenap kisah
hidupnya yang menurutnya heroik. Yang paling menarik perhatiannya adalah
hubungan cinta Fajar dan Inaya. Tapi ia sekarang melihat hubungan itu terancam
putus, dan sebaiknya bukan karena kehadirannya.
Di dalam
kamar Fajar, Inaya sudah lama menangis. Matanya merah dan masih ada sisa air
mata. Fajar berdiri di ambang pintu. Ingin sekali rasanya memeluk Inaya,
tapi mengingat wajah Nyonya
Hartawan, keinginan itu diurungkannya. Ia tidak tega melihat perempuan
menangis. Apalagi itu terjadi pada orang yang sangat disayanginya.
“Kalau masih
ada gunanya menangis, menangislah.”
“Kamu mungkin
tidak perlu menangis, karena kamu laki-laki.”
“Kalau aku
harus menangis, itu adalah untuk nasibku.”
“Saya minta
maaf soal Ibu.”
“Saya sedang
berusaha melupakan saya ini orang hina, tapi ternyata tidak bisa. Mungkin tidak
akan pernah bisa.”
“Kamu juga
akan meninggalkan saya?”
Fajar
terdiam.
“Oh, mungkin
karena reporter wanita itu.”
Fajar menatap
Inaya. “Kalau kamu masih ingat janjiku padamu, itulah yang akan aku pegang
selamanya, meskipun kedengarannya seperti rayuan gombal.”
Inaya
menunduk. “Aku akan tinggal
disini.”
“Aku yang
tidak bisa tinggal di rumah kamu, Aya.”
“Kita tidak
perlu kesana.”
“Kalau saja
boleh begitu.”
“Kamu kira
aku tidak berani meninggalkan orangtuaku?” Suaranya melengking. Mungkin sampai
ke teras rumah dan Rosita bisa mendengarnya.
“Aku takut
kamu kehilangan warna darahmu.”
Inaya berdiri
dengan muka merah. Marah. “Kamu naif bicara soal warna darah!” Kelihatan sangat
marah, lalu menyambar tas dan keluar kamar.
Fajar duduk
di kursi karena merasa limbung. Ia bisa berdiri berjam-jam dibawah matahari
pukul satu untuk berpidato didepan para demonstran. Tapi ia merasa nyaris
pingsan di kamarnya sendiri. Kepalanya berputar. Entah berapa lama ia duduk dan
melihat keluar jendela.
“Mas, tamunya
sudah pamit pulang.” Fatimah sudah berdiri diambang pintu.
“Ibu sudah
pulang?”
“Belum.”
“Bikinkan
kopi ya?”
(bersambung)