Tuesday, July 28, 2009

1998 (3)

BAB EMPAT



Ruangan senat Unversitas itu penuh kesibukan. Seperti sebuah kantor surat kabar yang sedang  dikejar tenggat waktu. Di sudut ruangan mesin foto copy terus berjalan menyalin tulisan-tulisan yang harus disebarkan. Pesawat televisi di sudut lain terus menerus memberitakan tentang insiden yang terjadi di halaman Universitas. Mesin pembuat kopi terus bekerja karena setiap orang merasa harus terus terjaga. Makanan instant digunakan untuk mengganjal perut karena merasa sedang dalam keadaan darurat. Nasi telah menjadi makanan paling berharga bagi mereka. Bukan soal harga atau kesulitan mendapatkan nasi yang bagus, tapi lebih karena tidak mempunyai waktu. Mereka harus terus bergerak dan hal itu tidak bisa dilakukannya sambil menggenggam nasi.
Bentrokan aparat keamanan dengan para mahasiswa telah memunculkan hubungan yang menegangkan. Para mahasiswa dan aparat keamanan telah berhadapan sebagai musuh dalam arti yang sesungguhnya. Gerakan demonstrasi mahasiswa baru dimulai, dan tinggal menunggu berapa banyak lagi insiden bentrokan akan terjadi kembali. Sejak kelahirannya, demonstrasi mahasiswa selalu berujung dengan kekerasan sebelum kemudian mendapatkan kemenangan. Seolah menjadi syarat mutlak bahwa korban harus selalu ada setiap kali mahasiswa melakukan demonstrasi. Jer basuki mawa bea. Setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Toh itu tidak membuat semangat mahasiswa patah di jalan. Mahasiswa selalu berdarah muda. Tabiat orang muda adalah selalu dirangsang oleh keinginan yang meledak-ledak dan akan berhenti kalau berhasil mendapatkannya.   
Fajar Sidik dan Jarot, temannya, duduk di belakang meja persegi panjang, dengan wajah yang masih diliputi ketegangan. Jarot adalah pemuda yang lebih pantas disebut pemikir dengan kacamata tebal menempel didepan matanya. Tapi seperti halnya teman-temannya, ia lebih suka berteriak untuk menuntut perubahan. Mungkin lebih tepat untuk perubahan dirinya menjadi orang yang bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik. Ia anak rantau yang tidak beruntung dengan kondisi keuangan keluarga. Maka bekerja paruh waktu menjadi pilihannya.
Inaya Prabandari datang membawa air mineral buat keduanya. Sejak  terjadi keributan di pintu gerbang Universitas, semua menjadi panik. Mereka diliputi ketakutan dan bayangan kekerasan yang ditunjukkan aparat keamanan. 
“Besok mungkin dua kali lipat jumlah aparat keamanannya.” Jarot berkata dengan geram.
“Biarkan saja. Itu kan memang tugas mereka,” sahut Fajar tidak peduli.
“Awal kejadiannya, ada intel yang ketahuan, terus digebukin.” Suara Inaya terdengar gemetar.
“Baguslah.”
“Mereka tidak pernah main-main!” bentak Inaya sengit. Fajar hanya tersenyum sambil mengelap lehernya yang berkeringat dingin.
”Kita juga serius, kadang malah harus overacting biar aparat yang menjagai kita itu tidak kecewa.”
“Sinting.”
“Sudah dari kemarin.”
“Aku tidak habis mengerti dengan negeri ini.” Jarot seperti sedang berduka sekali.
“Buat apa berusaha mengerti, karena begitu kamu mengerti akan sangat sakit hati.”
"Tapi rakyat harus diberitahu."
"Mereka sudah lebih tahu daripada kita."
Fajar keluar ruangan. Inaya mengikuti. Jarot hanya memandangi mereka. Jarot sempat iri dengan pasangan yang saling mengerti, seperti Fajar dan Inaya. Sayang sekali orangtua Inaya membuat hubungan mereka terancam berantakan. Jarot menyimpan belas kasihannya pada Fajar sejak ia tahu bahwa Nyonya Hartawan, melarang hubungan mereka berdua karena perbedaan kelas sosial. Jaman telah berubah,  tapi warisan feodal tidak pernah mati di kepala para orangtua.
Fajar sendiri bukan tidak merasakan perbedaan yang ditunjukkan Nyonya Hartawan, ibu Inaya sekaligus majikannya. Masalah terakhir inilah yang menjadi beban yang menyesakkan dadanya.  Ia bekerja sebagai sopir pada keluarga Hartawan, hanya meneruskan pekerjaan ayahnya yang meninggal dalam perampokan keluarga itu. Ayah dan Ibunya telah bekerja sejak ia masih kecil, bahkan mungkin sebelum ia lahir. Ia tidak pernah menganggap pekerjaan yang ia jalani bersama kedua orangtuanya  merendahkan martabat mereka sebagai manusia.  Kecuali pekerjaan yang dikategorikan tindakan kriminal, ia yakin semua pekerjaan sama. Perbedaan ada karena ada sebutan bagi masing-masing pekerjaan. Bagi sebagian orang, seorang direktur itu tinggi kedudukannya dan seorang pembantu rumah tangga itu rendah pekerjaannya. Dalam bekerja orang juga masih membutuhkan bandingan-bandingan. Dan Fajar merasa ia sedang melakukan pekerjaan yang ingin ditinggalkan semua orang.
Fajar mulai merasa bahwa ia menyukai Inaya ketika anak majikannya itu sering memintanya menjadi sopir pribadinya. Bukan hanya ke Universitas, tapi untuk semua tujuan yang dikehendaki Inaya. Ia tidak pernah berpikir sedang diperalat karena ia tetap menganggapnya sebagai pekerjaan. Tapi kemudian pandangannya mulai berubah ketika Inaya mulai mengajaknya makan berdua. Inaya juga mulai meminta menyetir mobil dan ia duduk menemaninya. Walaupun hal itu hanya terjadi di luar rumah, Fajar belum berani bicara bebas seperti layaknya dua orang teman akrab. Dalam kegiatan kampus, Inaya sering meminta bantuannya dan secara menyolok membawa Fajar kepada teman-temannya dan mengenalkannya sebagai teman istimewa. Cara kampanye Inaya itu membuat Fajar sadar bahwa ia tidak bisa berdiam diri. Ia juga tidak mau berpendapat bahwa Inaya lebih dulu yang menyukainya, karena sebagai laki-laki sebagaimana tradisi, ia yang harus pertamakali menyatakan perasaannya.
***
Di puncak gedung Universitas, malam hari semua terlihat jelas. Pemandangan kota yang bermandikan cahaya lampu seperti lukisan yang tidak ternilai harganya. Semuanya kelihatan indah dan menyenangkan. Halaman Universitas sudah sepi. Padahal siang hari tempat itu telah menjadi suatu tempat  ramai, yang membuat semangatnya menyala-nyala. Walaupun harus disertai ketegangan yang tidak diharapkan. Sesuatu yang besar akan segera terjadi, pikir Fajar. Ia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi semua hal yang akan terjadi. Niatnya bulat bahwa ia akan mengikuti  demonstrasi. Ia tidak pernah melakukan pekerjaan besar, yang menuntut semua tenaga dan pikirannya. Kesempatan untuk itu telah datang dan ia suka melakukannya.
“Suka sekali duduk disini.” Inaya sudah duduk disampingnya.
“Jam berapa ini.”
“Itu tidak penting.” Inaya menyandarkan badannya dengan manja, sepertinya ingin sekali mendapat dekapan.
Ketegangan di kepala Fajar mencair melihat wajah Inaya yang begitu putih seperti wajah bidadari dalam lukisan. Cantik dan nampak menggodanya. Ia meraih tangan Inaya dan melihat jam tangannya, lalu merengkuhnya ke dalam dekapan. “Tanggal 14 Februari 1998, pukul duapuluh lewat duapuluh menit, hanya ada kau dan aku. Lima, empat, tiga, dua, satu…… sejak lima detik terakhir kau sepenuhnya milikku. Takkan ada yang bisa mengubah itu.”
“Selamat hari valentine.”
“Valentine?"
"Hari kasih sayang."
"Oh."
"Norak. Pura-pura nggak tahu."
"Apa bedanya sama hari-hari lain?."
"Udah norak, bego pula."
Mereka tertawa.
Lalu mereka berciuman.
Hanya itu, lalu mereka duduk merapatkan diri sambil melihat pemandangan kota.
“Kalau saja hidup terus seperti ini.” Inaya seperti putus asa.
“Makanya kita harus saling memberi.”
“Apa maksudmu?”
“Tidak ada yang tahu masa depan seperti apa. Kalau kita tidak memberi selagi bisa, maka kita tidak bisa lagi memberi. Jadi pertahankan itu.”
“Sepertinya aku pernah dengar kata-kata itu.”
“Tidak pernah.”
“Ya, aku pernah.” Inaya tertawa. ”Itu kata-kata iklan.”
“Iklan sabun? Itu kata-kataku sendiri.” Fajar berdiri untuk menghindari kejaran Inaya.
Inaya tahu persis, Fajar tidak mempunyai sensasi mengagumkan di kampus. Tidak istimewa betul di mata teman-temannya. Hanya dimatanya Fajar menjadi bintang. Soal laki-laki ganteng dan semua syarat laki-laki idaman, Universitas menyediakkannya dengan melimpah. Semua dapat hak sama kalau ia memilih. Tapi ia mesti berhitung dengan hatinya. Omong kosong perempuan memilih laki-laki tanpa pertimbangan tertentu. Di luar perhitungan wajah ganteng, ia jatuh cinta pada Fajar karena Fajar menyimpan daya tarik tersendiri. Ia bukan perempuan yang mudah menaruh perhatian kepada seorang laki-laki.
Fajar adalah laki-laki sejati, yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk kebahagiaan orang lain. Setelah ayahnya meninggal, ia telah menjadi kepala keluarga menggantikannya. Bukan hanya soal mencari kebutuhan materi, tapi mempertahankan sebuah keluarga agar tidak menjadi putus asa. Hidup tanpa seorang ayah terlalu berat di jalani. Dan Fajar mengambil alih tanggung jawab itu dengan keberanian yang mengagumkan.
“Jangan pandangi saya terus begitu. Saya tidak akan lari.” Fajar jengah melihat Inaya yang terus menatapnya tajam ditengah suasana kantin yang hiruk pikuk.
“Saya benar-benar takut kamu meninggalkan saya.”
“Kita sama-sama harus belajar tahu dirilah. Kita memang berbeda, Aya.”
“Kita harus menyatukan perbedaan itu.”
“Kita mungkin bisa, tapi tidak dengan orangtuamu, kan. Agaknya kita harus mulai berpikir kapan kita berpisah.”
Bukan hanya Inaya yang terkejut dengan pernyataan itu. Fajar sendiri juga tidak tahu kenapa tiba-tiba hal itu yang terpikir olehnya. Ia telah begitu toleransi untuk menerima ejekan dari Nyonya Hartawan. Tapi ia bukan orang yang bisa memberikan pipi kirinya setelah pipi kanannya ditampar. Pada saat-saat tertentu, ia bukan orang penyabar. Ia tidak menyalahkan siapa pun, termasuk dirinya yang mencintai Inaya. Ia hanya menyalurkan bakat alam laki-laki normal. Selebihnya adalah aturan manusia yang sama sekali tidak adil.  
“Kita selalu terjebak untuk bicara soal beginian.”
Inaya mengernyitkan dahi. “Kamu anggap persoalan ini sepele?”
“Bagi saya malah terlalu berat. Tapi maksud saya, biarlah itu menjadi persoalan yang harus kita bicarakan secara khusus. Bukan dalam kesempatan yang tidak menguntungkan kita berdua seperti saat ini. Saya hanya takut kita hanya akan menjadi kisah sedih.”
“Apa saya juga salah mencintai kamu?”
“Orangtua juga tidak salah memilihkan jodoh yang baik buat anaknya.”
“Kamu membela siapa sih sebenarnya?”
“Aku juga tidak tahu, Aya.”
Dalam hal tertentu, Fajar sering tidak tahu keputusan yang harus diambilnya, terutama kalau sudah berhadapan dengan Nyonya Hartawan. Pendapat dan hak pembelaannya tidak berlaku oleh karena dibatasi dengan pekerjaannya yang hanya seorang sopir. Bagi Nyonya Hartawan, seorang sopir tidak boleh membantah apa yang diperintahkan kepadanya.  Tapi bagi Inaya, Fajar bebas menentukan tujuan yang dikehendakinya ketika sedang berada di belakang kemudi. Seperti malam itu setelah semua urusan di kampus bisa ditinggalkan. Mereka berada dalam mobil di tengah kota. Inaya belum mau pulang walaupun jam menunjukkan pukul sepuluh. Tapi Fajar membawa mobil itu dengan kecepatan tinggi untuk segera sampai di rumah Nyonya Hartawan.
Ia juga suka berlama-lama dengan Inaya, tapi ia sedang bekerja dan batas waktu pulang telah dilanggarnya. Inaya jelas akan membelanya tapi Fajar tidak bisa berdalih apapun kecuali menerima makian dan kata-kata kotor lainnya dari Nyonya Hartawan. Fajar membayangkan dirinya hidup pada jaman Belanda menjajah, dimana orang harus bekerja seperti binatang. Kalau baik akan dipuji dan kalau buruk akan dicaci maki dan dihukum cambuk. Tapi Fajar telah siap menerima segala akibatnya. Telinganya biasa memerah dan   dadanya biasa menahan amarah.
Kecepatan mobilnya ternyata belum seberapa ketika tiba-tiba sebuah mobil menabraknya dari belakang. Mereka tersentak ke depan dan Inaya berteriak panik. Fajar akan mengerem mobilnya ketika tabrakan kedua kali terjadi. Kalau mobil rem blong tidak akan seperti itu kejadiannya. Lagipula jalanan sepi dan mobil itu bisa mendahului dengan mudah. Tapi mobil itu menempel di belakang. Naluri Fajar sebagai sopir mencium sesuatu yang tidak beres. Maka kemudian ia melarikannya dengan lebih kencang.
"Mobil kita ditabrak, kenapa malah lari?" Inaya masih belum mengerti.
"Hardtop dibelakang sengaja menabrak kita."
Inaya menoleh ke belakang. Mobil tinggi itu memang sebuah jeep hardtop dan sedang mengikuti dengan garang dan berusaha menabrak kembali.
"Apa salah kita?" Inaya mulai histeris
"Pakai sabuk pengaman!" Fajar berteriak,sambil melirik kaca spion. Lalu berkata sendiri, "Kita lihat siapa yang punya jalan ini."
Sebagai sopir, Fajar sudah seharusnya hafal semua jalan di Jakarta. Bahkan untuk jalan pintas yang biasanya melewati perkampungan padat. Dengan caranya sendiri, ia melarikan mobilnya melewati jalan-jalan kecil yang berbelok dan sulit untuk diikuti kalau tidak dari jarak dekat. Mobil yang dibawanya adalah jenis mobil dalam kota yang mudah diajak rally dengan stabil. Sementara jeep hardtop adalah jenis mobil luar kota yang walaupun tenaganya lebih besar, tapi diatas aspal bagus justru besar risikonya untuk terguling.
Beberapa saat kemudian, Fajar berhasil membawa mobilnya lepas dari kejaran hardtop itu, lalu bersembunyi di kegelapan malam, menunggu ketegangannya berlalu. Inaya kelihatan ketakutan sekali.           
"Siapa mereka?"
"Orang yang menginginkan nyawa saya."
"Sok tahu."
"Kalau kamu yang diincar, tidak saat kita bersama."
"Apa ada hubungannya sama pidato-pidato kamu?"
"Bisa jadi." 
"Kita lapor polisi?"
"Kamu percaya polisi dalam saat-saat begini?" Fajar menjadi sinis. "Lebih baik cepat pulang. Kita sudah sangat terlambat. Lagipula saya belum tahu seberapa besar kerusakan mobil ini."
"Saya akan menyelesaikannya. Saya akan bilang sama Ibu, saya yang membawa mobil ini."
"Kamu akan ketahuan berbohong, Aya."
"Itu urusan nanti, kita harus cepat pergi dari disini."   
Fajar kemudian membawa mobil itu melewati jalan-jalan pintas yang melewati perkampungan penduduk. Dan itu memakan waktu lebih lama.
(bersambung)

Monday, July 27, 2009

1998 2

BAB DUA

Bogor, 19 Januari 1998
Hantaman hujan lebat baru saja menerpa kota seluas 2.371,21 kilometer persegi itu. Kota yang berjuluk kota hujan itu berpenduduk 3,3 juta jiwa dan merupakan daerah hinterland bagi Jakarta. Sore yang basah. Air hujan membentuk kubangan air di pinggir jalan, gemerlapan terkena lampu jalan. Kota dengan hawa dingin itu semakin lenyap ditelan kabut putih, seperti sebuah negeri dalam dongeng. Jalanan sepi. Orang-orang lebih suka berada di dalam rumahnya dan menghangatkan diri dengan secangkir teh sambil menonton televisi. 
            Lain lagi apa yang sedang terjadi dalam sebuah pondok kayu diantara bukit berkabut. Pondok khusus yang digunakan untuk bersantai di akhir pekan. Ruangannya terasa hangat oleh perabot-perabot yang ditata oleh seseorang yang mengerti betul bagaimana menghilangkan ketegangan setelah didera berbagai jenis pekerjaan selama sepekan. Ada meja persegi cukup besar di tengah ruangan itu. Dan ada sebelas orang laki-laki duduk dibelakang meja, yang semuanya telah berumur lebih dari enampuluh tahun. Mereka datang dari seluruh cabang –duabelas negara dari lima benua. Mereka datang secara rahasia dan dipalsukan catatan paspornya; sebagai pengusaha, wartawan, turis serta konsultan bisnis.
            Mereka yang duduk mengelilingi meja adalah orang-orang yang mempunyai jabatan penting pada masing-masing bidang di negaranya. Satu sama lain tidak saling mengenal dan untuk berhubungan mereka menggunakan nama samaran yang sekaligus  sebagai tambahan keamanan diri mereka sendiri.
            Sang Ketua, duduk di ujung meja dengan sepasang mata yang menikam. Laki-laki Yahudi dengan wajah penuh kerut dan sepasang mata yang menikam. Hidungnya panjang melengkung dan kulit kepala berwarna merah seperti warna rambutnya yang sudah jarang tumbuh. Batok kepalanya tampak licin seperti lantai marmer akibat terkena lampu diatas kepalanya. Disampingnya duduk Sam dengan baju safari mahal dan terus menerus merokok. Ia satu-satunya lelaki yang merokok di ruangan itu dan ia kelihatan tidak peduli orang-orang diruangan itu terganggu karena ia merokok.  Caranya duduk tidak menunjukkan keseriusan, bahkan ketika Sang Ketua mulai bicara.         
            "Setelah tigapuluh tahun lebih, inilah saatnya kita melakukan  pembaharuan." Suaranya serak, terdengar seperti lewat mikropon rusak, dengan  logat Amerika. "Ini adalah pertemuan kedua setelah agenda pertemuan dua tahun lalu kita sukses menggelar operasi kerusuhan di berbagai daerah. Operasi kita kali ini akan menggunakan nama Manuver Jakarta. Semua Biro Operasi di lima benua sudah bergerak yang akan diikuti oleh Case Officer di lapangan. Penggalangan di semua sektor segera dijalankan. Dan operasi terbesar kita akan berada di Jakarta."
            Mereka menyimak dan merekam semua pembicaraan dalam kepala mereka. Seperti mahasiswa yang mendengarkan dosennya menerangkan sebuah teori didepan kelas. Mereka hanya mendengarkan. Tidak mencatat atau merekamnya dengan kaset tape recorder. Sam terus menerus merokok, dengan hembusan asap putih tebal seperti cerobong pabrik. Ia bahkan seperti tidak peduli dengan pembicaraan serius yang terjadi didepan matanya. Pertemuan itu berlangsung selama tiga jam. Masing-masing anggota memberikan masukannya dan semua mendengarkan dengan sangat tenang untuk direkam di kepala mereka.
            Setelah mendengarkan laporan dari semua cabang, Sang Ketua menoleh ke Sam yang terus menerus merokok itu, dan bertanya, "Ada tambahan Mr. Cigarette?"
            "Tidak."                  
            Sang Ketua segera mengakhiri pertemuan itu, “Seperti biasa, pertemuan ini sesuai dengan prosedur, tidak ada catatan, tidak ada rekaman dan tidak akan pernah didiskusikan. Kita akan terus berhubungan dengan nama sandi dan harap melakukan prosedur pengamanan seperti biasa. Terimakasih atas kedatangannya, Tuan-tuan.”
            Tujuh jam kemudian, pondok kayu itu telah sepi. Keadaannya di kembalikan seperti sedia kala oleh beberapa orang terlatih, seperti tidak pernah ada orang yang menggunakannya. 


 
BAB TIGA


14 Februari 1998
Matahari sedang berada diatas kepala, tapi halaman Universitas itu dipenuhi mahasiswa yang sedang demonstrasi.  Mereka berteriak, mengepalkan tangan dan bernyanyi bersama. Dimana-mana spanduk dibentangkan dengan berbagai tulisan berisi tuntutan. Diatas panggung yang didirikan secara darurat tapi cukup kuat untuk menampung puluhan orang diatasnya, ada yang sedang berpidato dengan leher hampir putus dan disambut dengan gemuruh yang memenuhi halaman Universitas itu.
Di luar halaman Universitas, aparat keamanan - polisi dan tentara- membuat benteng mengelilingi halaman yang dijadikan arena demonstrasi mahasiswa, dengan membawa segenap peralatan pengamanan lengkap. Mereka kelihatan begitu siap untuk menghadapi segala risiko terburuk, seolah hendak menghadapi musuh negara. Hal itu malah membuat para mahasiswa semakin keras berteriak, semakin kompak bernyanyi.
“Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan!!!”
Itulah nyanyian yang terus menerus diteriakkan mahasiswa disela-sela pidato teman mereka diatas panggung. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu kebangsaan yang mulai mereka hafalkan ketika masih duduk di sekolah dasar. Demontrasi itu menjadikan mereka hafal kembali syair-syair lagu kebangsaan yang telah lama mereka lupakan karena terlalu serius belajar mengikuti kurikulum yang sering berubah dari tahun ke tahun.
Seorang mahasiswa berikat kepala bertuliskan REFORMASI,  berkeringat wajahnya, berteriak lantang dengan kepalan tangan ke udara, “Merdeka!!” Suaranya melengking dan menyebar ke halaman Universitas. Sesaat kemudian, Fajar Sidik maju dan mengambil mikropon dan siap berpidato. Seorang pemuda berumur duapuluh empat tahun bertubuh kurus tinggi dengan sepasang mata menyala, memancarkan semangat yang menggebu-gebu. Ia bukan mahasiswa yang menonjol di kampusnya. Tidak pernah diperhitungkan di kelas dan lebih banyak menunjukkan diri sebagai seorang laki-laki pendiam dan sopan. Lebih suka bekerja mencari uang daripada berkumpul bersama teman sekelas seusai perkuliahan. Pada sisa akhir kuliahnya, ia tinggal menyelesaikan skripsi di fakultas ekonomi. Pencapaian yang hampir mustahil karena begitu mahalnya ongkos yang harus di bayar. Tapi seperti kata almarhum ayahnya, ia harus menjadi orang pertama dalam keluarga untuk menjadi sarjana.
Baju yang dikenakannya sudah banjir keringat. Terik matahari yang menembus ubun-ubun kepalanya,  malah membuat suaranya semakin lantang. "Bohong besar kalau kita sudah merdeka. Isi kepala kita selalu dipaksa menerima tanpa harus berpikir. Seekor semut pun akan menggigit kalau diinjak. Tapi kenapa kita yang katanya punya peradaban, punya Pancasila, punya agama, tidak pernah berteriak?!”
Halaman Universitas bergemuruh.
Ia merasa harus ikut berteriak karena ada sesuatu yang harus diperjuangkan untuk dirubah. Berbagai peristiwa yang menyita banyak perhatian telah mengguncang kesadarannya sebagai manusia beradab. Perekonomian negeri merosot tajam, rasa aman semakin berkurang, tapi para pemimpin negeri seperti tidak ambil peduli dan terus melakukan korupsi besar-besaran di semua bidang pekerjaan. Maka ia dan teman-temannya keluar dari kelas, turun ke jalan  dan menggelar demonstrasi.
Di bawah pohon besar, di sudut halaman Universitas, Inaya Prabandari bersama beberapa teman wanita lain, ikut bersorak. Wajahnya yang manis memancarkan luapan emosi, tidak bisa menghilangkan semangatnya yang berlebihan. Kecantikannya tersembunyi dibalik ikat kepala dan keringat yang membanjiri wajahnya. Rambutnya yang panjang dan berwarna gelap mengkilap, disisir ke belakang dan diikat. Ketika pertama kali Fajar mengatakan akan ikut memimpin demonstrasi teman-temannya, ia sempat meragukannya. Baginya Fajar adalah laki-laki yang tidak suka mencari masalah. Laki-laki yang dikaguminya itu lebih memilih bekerja dengan serius untuk menghidupi ibu dan dua orang adiknya. Melihat Fajar diatas panggung dan mendapatkan sambutan yang luar biasa, Inaya merasa mempunyai kebanggaan. Bukan karena ia telah merasakan kehangatan cintanya dan bukan soal pribadi  lainnya. Fajar menyimpan sebuah semangat yang selama ini dipendamnya. Semangat yang bagi kedua orangtuanya belum diketahui, dan ia bertekad akan  memperjuangkannya didepan orangtuanya, terutama Ibunya, bahwa Fajar mampu menjadi kebanggaannya kelak.
Semangat yang sama ditunjukkan Rosita Ibrahim di sudut lain, yang sedang berdesakan diantara wartawan dan reporter televisi lainnya. Wanita tigapuluh tahun itu tampak gesit diantara himpitan banyak orang. Penampilannya sudah tidak segar meskipun dibalut setelan biru tua dan kemeja krem. Rambut sebahu berwarna agak kemerahan dan diberi hairspray supaya tidak rusak ditiup angin dan senggolan dari kanan kiri. Tangan kirinya memegang corong mik bertuliskan TV6 dan tangan kanannya melindungi dirinya dari desakan massa sekaligus menyibak kalau ia hendak berjalan. Menempel terus disampingnya Harry Sukma, kamerawannya, yang sedang berusaha mengambil gambar yang paling baik. Sepanjang karir reporternya yang baru berjalan tiga tahun, baru pertama kali Rosita meliput demonstrasi mahasiswa.
“Harry, kita harus masuk berita jam duabelas,” teriak Rosita sambil mulai bergerak keluar dari himpitan massa yang bergemuruh lagi.  Harry terus mengambil gambar Fajar yang terus pidato dengan semangat perang sambil bergerak keluar mengikuti Rosita.
“Demokrasi yang kita miliki sekarang adalah omong kosong. Di negeri ini kita hanya punya sepasang mata yang sering menangis, sementara mulut kita dibungkam!!”
Suara gemuruh kembali memenuhi halaman Universitas. Mahasiswa kelihatan sudah berada pada puncak semangatnya. Emosi sudah berada diubun-ubun kepala mereka. Aparat kemanan yang berjaga dalam jumlah banyak diluar Universitas, semakin merapatkan barisan. Komandan aparat keamanan bergerak kesana kemari memegang radio, nampak gelisah sambil berteriak dan memberi perintah pada anak buahnya.
Suasana menjadi memanas. 
Dalam hitungan detik, di pintu gerbang sudah terjadi keributan. Aparat keamanan yang membuat pagar betis sudah saling dorong dengan mahasiswa yang jumlahnya semakin banyak, karena berdatangan dari halaman Universitas. Gemuruh lain terjadi. Gemuruh untuk melawan aparat keamanan yang mulai memukul dan mendesak maju. Dalam kekacauan itu botol-botol air mineral segera beterbangan ke arah aparat keamanan.  Kedua belah pihak semakin beringas. Sesaat kemudian terdengar suara tembakan di udara. Hanya satu kali. Tapi beberapa saat kemudian, tembakan lain menyusul dan terus menerus. Kepanikan segera menimpa para mahasiswa. Mereka berlarian masuk ke dalam gedung Universitas. Aparat keamanan sudah bergerak masuk ke dalam Universitas, membentuk formasi untuk memukul mundur mahasiswa. Bahkan yang berlari, terus dikejarnya sampai dapat dan tetap digebuk sampai terkapar kesakitan.
Kejadian itu terjadi dalam sekejap.
***
Semua kejadian di Universitas itu terekam dalam kamera Harry dan gambar itu sudah berada dalam ruang editing stasiun TV6. Rosita duduk disebelah operator mesin editing. "Saya ingin semua gambar ini masuk berita siang ini," katanya sengit.
Operator itu melihatnya heran, tapi Rosita keburu keluar dan segera menuju ruang make up. Ia memang tidak pernah memberikan masukan, gambar mana yang akan ditayangkan dalam berita. Tidak pernah ia menyediakan waktu untuk ikut duduk memelototi gambar mana yang layak tayang karena pekerjaan itu paling menyebalkan baginya. Duduk berjam-jam hanya memelototi gambar sampai pegal mata dan panas tempat duduknya. Tapi peristiwa yang baru saja terjadi adalah peristiwa istimewa pertama sepanjang karir reporternya.
Ia merasa semakin mantap bahwa dunia televisi telah memberinya jalan keluar yang paling memuaskan. Pada tahun pertama bekerja sebagai reporter, ia merasa harus berpikir ulang untuk tetap bertahan atau meneruskan karirnya sebagai seorang calon ekonom. Ia berusaha memilih karir paling masuk akal. Pertumbuhan ekonomi ketika itu sedang berada di puncaknya. Kesempatan berkarir baginya sangat leluasa karena pertumbuhan itu membuka banyak sekali lapangan pekerjaan. Salah satu pertumbuhan itu adalah berdirinya beberapa stasiun televisi swasta. Ia pikir kebijakan tersebut sudah seharusnya, walaupun sangat terlambat. Apa yang membuatnya kemudian tertarik menjadi reporter, tidak lebih karena ia merasa mempunyai darah wartawan dari kakeknya.
Berbeda dengan kedua orangtuanya yang berlatar belakang militer. Ia dibesarkan sebagai anak kolong yang harus pindah dari satu markas  ke markas lain. Ayahnya sekarang bertugas di sebuah kota kecil di Jawa Tengah sebagai Kepala Perbekalan dan Gudang. Ia jelas tidak betah berada di sebuah tempat yang akan membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali anak seorang perwira menengah yang menunggu jodohnya. Dan itu sangat konyol baginya. Jadi ia memutuskan untuk mandiri di Jakarta dan seperti wanita muda lainnya, ia menyewa Apartement murah untuk seorang diri.
Harry masuk ruangan dan memberitahu, “Ros, dipanggil boss.”
Ini yang kutunggu, pikirnya. Ia melihat peluang bagus dan bertekad akan mewujudkannya, karena ia tahu Roy Ambyah, Pemimpin Redaksi Pemberitaan TV6, seorang yang bisa diajak berpikir terbuka.  TV6 telah berkembang menarik bukan karena hiburannya, tapi karena liputan berita mendapat bagian yang lebih besar.
Roy Ambyah adalah laki-laki berumur tigapuluh delapan tahun dengan rambut panjang. Wajahnya bercambang tapi itu tidak menghilangkan kegantengannya. Dengan tubuh tinggi besar dan cara berpakaiannya yang sangat rapi, ia menjadi sangat populer sebagai laki-laki paling menggoda wanita di kantornya. Karir yang dijalani sebelumnya adalah wartawan koran harian. Separuh hidupnya dihabiskannya dalam dunia jurnalistik, setelah sebelumnya sempat bermimpi menjadi penyair. Ayahnya yang seorang profesor antropologi  mengatakan padanya  bahwa profesi dalam dunia kesusastraan adalah profesi orang yang ingin jadi sia-sia, jadi beban keluarga dan akan mati kelaparan.  Sejak saat itu Roy memutuskan jadi wartawan yang berpenghasilan tetap.
Roy sedang berdiri didepan logo TV6 dan sedang berbicara lewat telepon sambil tangannya bergerak kesana kemari. Ia kelihatannya orang yang harus selalu bergerak, seperti pembawaannya sebagai wartawan dulu yang harus menuntutnya selalu bergerak. Melihat Rosita masuk ruangan, ia segera mengakhiri teleponnya dengan berkata, "Saya akan menghubungimu lagi." Kemudian dia duduk sambil merapikan file di atas meja yang berserakan.
“Bagaimana situasi lapangan.” Ia bertanya dengan serius.
“Saya pikir kita harus mulai menurunkan laporan secara live.”
“Untuk itu kita harus ketemu Chief."
Rosita langsung tersenyum kecut.  Negeri ini telanjur dibangun dengan sistem birokrasi yang buruk. “Siapa sih sebenarnya yang paling berkuasa untuk sebuah pemberitaan?”
“Kamu tahu sendiri jabatan saya tidak lebih sebagai kepala bagian. Kita sudah mendapat dua kali teguran dari Mabes. Sekali lagi itu terjadi, habislah kita.”
Hanya orang gila yang tidak takut teguran Mabes, pikir Rosita. Teguran pertama dialamatkan kepadanya karena ia menurunkan laporan investigasi kebocoran dana Departemen Keuangan. Dana trilyunan rupiah menguap begitu saja untuk pendanaan proyek yang tidak jelas asal usulnya. Terlebih lagi untuk siapa proyek itu harus berjalan. Teguran kedua baginya karena mewawancarai seorang menteri yang mengatakan bahwa kabinetnya terdiri dari orang-orang yang buruk kredibilitasnya. Bukan dimata masyarakat, tapi dalam perilakunya sebagai pejabat.
Kedua teguran itu berhasil diselamatkan Roy dengan perjuangan yang sangat mustahil. Kalau teguran itu berasal dari Departemen Penerangan masih dianggapnya masalah yang tidak besar, dan wajar. Akan tetapi teguran itu berasal dari Markas Besar Angkatan Bersenjata. Sebuah tempat paling mengerikan di seluruh negeri. Disamping tidak wajar, hal itu menunjukkan bahwa tidak ada kebebasan di negeri yang sudah merdeka ini.    Sebuah keputusan yang sebenarnya sangat menggelikan. Untuk membungkam seseorang, kekuatan yang digunakan terlalu berlebihan dan mahal pertaruhannya. Tapi memang seperti itu sistem pemerintahan dijalankan. Masyarakat harus belajar bersikap sopan kepada penguasa dengan pelajaran-pelajaran yang diberikan  lewat kasus-kasus yang selalu melibatkan aparat keamanan. Sistem hirarki yang dibangun rezim penguasa sangat tangguh. Lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan dan bukan musyawarah untuk mufakat, seperti yang telah berpuluh tahun diajarkan di sekolah-sekolah dan penataran-penataran P4. Seperti tercantum pada Undang-Undang Dasar negara dan berbagai peraturan pemerintah.
“Tidak apa-apa, saya anggap masih bisa dibicarakan,” Rosita merasa harus menahan diri. Ia mencoba untuk tidak menyerah sekarang. Apa yang dilakukannya toh bukan hanya untuk dirinya sendiri, begitu pula manfaatnya. “Tapi saya akan membuat reportase khusus.”
“Soal apa itu?” Roy tampak sangat tertarik.
“Gerakan mahasiswa sebagai pengawal reformasi. Dan saya tidak mau itu ditolak.”
"Kamu ada waktu nanti malam?"
"Ada undangan Pak?"
"Bukan, tapi kita akan makan malam." Nadanya jadi kaku dan serius. "Kita berdua."
Rosita berdiri kaget. Menatap Roy dengan tatapan aneh seolah laki-laki dari dunia mana yang didepannya itu.
"Kenapa?"
"Oh, saya banyak pekerjaan Pak. Sayang kegiatan mahasiswa tidak diliput."
"Tapi ini tanggal empatbelas Februari."
"Saya tahu."
"Ini hari valentine."
Rosita tertawa. Aku merasa sudah tidak sweet seventen lagi.   
"Jam delapan ya?"
"Terimakasih, Pak. Saya sudah ada acara." Rosita segera keluar ruangan. Tiba-tiba dadanya sesak. Ia merasa baru saja mendengar sesuatu yang aneh dan tidak pernah terlintas di kepalanya. Atasannya mengajak makan malam dan itu tidak biasa karena tidak pernah. Ia tahu persis atasannya itu sudah beristri dan mempunyai seorang anak lelaki. Mungkin bagi laki-laki, itu tidak menjadi masalah benar. Apalagi waktunya sangat tepat. Tapi Rosita sama sekali tidak tertarik dan lebih dari itu, tidak terpikirkan.
Ia memang telah berkepala tiga dan itu tidak membuatnya risau benar kalau hanya beralasan kenapa belum berkeluarga. Baginya berkeluarga adalah sesuatu yang menyenangkan tapi saat ini ia tidak memikirkan benar untuk melakukannya. Ia baru menemukan dunianya yang menyenangkan dan akan ia puaskan untuk itu.               
Sewaktu masih aktif sebagai mahasiswa, ia terlalu serius sebagai mahasiswa yang harus tepat waktu mengejar titel kesarjanaannya. Orangtuanya masih menekankan bahwa menjadi sarjana itu penting karena akan menaikkan derajat sosial dan namanya akan menjadi lebih mantap disebut, paling tidak ada tambahan huruf didepan atau dibelakang nama. Ia tidak membantahnya karena keinginan terbesarnya adalah sekolah untuk membuat dirinya berarti bagi dirinya sendiri. Ia tidak perlu membuktikan apa-apa kepada orangtunya, kecuali berbakti, juga kepada orang lain. Ia bersekolah memperoleh gelar sarjana karena sekolah memberikan gelar itu. Salah satu guru agama di sekolah menengah atas-nya pernah mengatakan bahwa sekolah adalah untuk membuka misteri kehidupan. 
Ia masuk Universitas dan memilih bidang ekonomi bukan karena ia ingin melihat misteri dibalik beredarnya uang di pasar atau bagaimana cara berdagang dengan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Ia memilih bidang itu karena itu yang harus dijalaninya. Ia jauh dari darah anak seorang pengusaha dan ia tidak mempunyai cita-cita menjadi pengusaha. Cita-cita adalah sesuatu yang lebih mirip hantu. Semua orang membicarakannya tapi tidak semua orang bisa mendapatkannya.
Ayahnya seorang militer dan kakeknya adalah wartawan. Lingkungan keluarga itu yang membuatnya berpendapat bahwa ia ingin melakukan sesuatu yang berbeda.  Ia merasa tidak harus menjadi tentara, bukan karena kecil gajinya, tapi bukan juga harus menjadi wartawan yang mempunyai banyak kebebasan. Ia ingin sesuatu yang lain yang barangkali akan berhasil memberi warna. Pada akhirnya, cita-cita memang tinggal sebuah keinginan. Setelah berdirinya beberapa televisi swasta, dan ia berhasil masuk ke dalam salah satunya, ia merasa telah salah jalan memilih jalur pendidikannya, walaupun ia merasa kembali ke dalam habitatnya sendiri. Lagipula, apa yang dialaminya selalu terjadi di negeri ini. Sekolah tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan, tapi bagaimana mendapatkan selembar ijazah, lantas mendapatkan pekerjaan. Lebih celaka lagi, pekerjaan itu seringkali tidak sesuai dengan ilmu yang tertera di lembar ijazah. Selalu begitu yang terjadi karena yang penting mendapatkan pekerjaan dan bisa makan.
(bersambung)