BAB DUAPULUHTUJUH
Credentials Room, Istana Merdeka,
21 Mei 1998 ; 08:50 WIB
Ruangan itu terasa sangat hening.
Biasanya ruangan itu nampak sangat ceria, karena
selalu digunakan Presiden untuk melantik pejabat tinggi negara dan menerima
duta besar asing baru. Biasanya ruangan itu dipenuhi para pembesar negara
beserta keluarganya, yang kemudian akan diikuti dengan resepsi kenegaraan.
Biasanya ruangan itu akan diisi dengan sendau gurau dan bayangan masa depan
yang gilang gemilang.
Tapi tidak pagi itu.
Ruangan itu terasa sangat
hening.
Kalau ada sebuah jarum jatuh
ke lantai, barangkali akan terdengar nyaring suaranya. Deretan puluhan kamera
televisi, kamera foto dan berpuluh pasang mata, berdiri berjajar menunggu
dengan isi kepala penuh. Mata mereka lebih banyak bekerja daripada mulut mereka
yang terkunci rapat.
Para wartawan yang datang
mewakili seluruh penjuru dunia, datang untuk meliput suatu peristiwa terbesar
dalam sejarah Indonesia.
Pergolakan yang terjadi, telah mengguncang perhatian masyarakat di
seluruh pelosok negeri dan penjuru dunia. Inilah puncak pergolakan itu.
09:02:45 WIB
Presiden berambut putih yang
telah berkuasa lebih dari tigapuluh tahun itu telah berdiri diatas mimbar.
Tampak sangat tenang sambil memakai kacamatanya. Dengan suara lembutnya, ia
membacakan naskah pidato yang telah di susun sebuah tim pakar. Sampai akhirnya
ia berkata, “….saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya
sebagai Presiden….”
Tidak ada reaksi apapun di
ruangan megah itu.
Tapi di gedung wakil rakyat,
massa mahasiswa bersorak. Gemuruh membahana mengisi langit Ibukota. Lagu
kebangsaan segera terdengar bergema. Bendera merah putih yang selama beberapa
hari dikibarkan setengah tiang, segera dinaikkan menjadi satu tiang penuh.
Massa mahasiswa bergerak, berlari, berjoget. Gedung wakil rakyat itu telah
menjadi panggung pertunjukan paling spektakuler.
***
Pada suatu ruangan di gedung
tua, para Purnawirawan Jenderal yang duduk menghadapi pesawat televisi,
sedang menyunggingkan
senyum. Hartawan duduk terdiam, dengan bibit airmata muncul di sudut matanya.
Ia tidak tahu untuk siapa harus menangis. Untuk perjuangan mahasiswa, untuk
Inaya atau untuk istrinya.
***
Didalam rumah besar itu,
Nyonya Hartawan duduk di kursi goyang sendirian. Memakai baju hangat dan syal
di lehernya. Ia tidak menangis, karena telah kering airmatanya. Pandangan
matanya kosong, sekosong ruangan itu.
***
Kuburan tempat Fajar di
makamkan masih seperti semula. Tanah itu masih merah dan penuh taburan bunga.
Semarak warna-warni. Ibu Fajar dan dua adik Fajar bersimpuh menangis
menggenggam tanah. Mereka tidak tahu untuk siapa menangis. Untuk perjuangan
Fajar, kehilangan kepala keluarga atau kesialan hidup mereka. Mereka hanya bisa
menangis karena sumber airmata belum kering.
***
Hadi yang duduk di depan
pesawat televisi, telah menghilangkan semua suka dan duka. Ia tertawa
terbahak-bahak, seperti orang yang baru memenangkan lotre. Rosita duduk di tepi
jendela dan sedang menulis di Notebook-nya. Tangannya bergerak cepat memainkan
tombol keyboard. Di layar tertulis, “Sejarah akan terus terulang. Ia
seperti pusingan waktu dan peristiwa. Tidak ada keabadian didunia yang fana
ini, tidak juga untuk sebuah kekuasaan. Dunia adalah tragedi dalam sebuah
siklus tertutup.”
Handphone didekat notebook
berdering. Rosita meliriknya dan melihat layar siapa yang menelpon. Melihat
nama ROY, ia berpikir untuk tidak mengangkatnya. Tapi sebelum dering terakhir,
ia sudah mengangkatnya tanpa mengucapkan apa-apa. Hanya suara Roy yang
terdengar di telinganya, “Kita dipanggil chief untuk siaran.”
Klik.
(bersambung)