Tuesday, September 28, 2010

1998 (21)


BAB DUAPULUHTUJUH



Credentials Room, Istana Merdeka,
21 Mei 1998 ; 08:50 WIB
Ruangan itu terasa sangat hening.
Biasanya ruangan itu nampak sangat ceria, karena selalu digunakan Presiden untuk melantik pejabat tinggi negara dan menerima duta besar asing baru. Biasanya ruangan itu dipenuhi para pembesar negara beserta keluarganya, yang kemudian akan diikuti dengan resepsi kenegaraan. Biasanya ruangan itu akan diisi dengan sendau gurau dan bayangan masa depan yang gilang gemilang.
Tapi tidak pagi itu.
Ruangan itu terasa sangat hening.
Kalau ada sebuah jarum jatuh ke lantai, barangkali akan terdengar nyaring suaranya. Deretan puluhan kamera televisi, kamera foto dan berpuluh pasang mata, berdiri berjajar menunggu dengan isi kepala penuh. Mata mereka lebih banyak bekerja daripada mulut mereka yang terkunci rapat.
Para wartawan yang datang mewakili seluruh penjuru dunia, datang untuk meliput suatu peristiwa terbesar dalam sejarah Indonesia.  Pergolakan yang terjadi, telah mengguncang perhatian masyarakat di seluruh pelosok negeri dan penjuru dunia. Inilah puncak pergolakan itu.
09:02:45 WIB
Presiden berambut putih yang telah berkuasa lebih dari tigapuluh tahun itu telah berdiri diatas mimbar. Tampak sangat tenang sambil memakai kacamatanya. Dengan suara lembutnya, ia membacakan naskah pidato yang telah di susun sebuah tim pakar. Sampai akhirnya ia berkata, “….saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden….”
Tidak ada reaksi apapun di ruangan megah itu.
Tapi di gedung wakil rakyat, massa mahasiswa bersorak. Gemuruh membahana mengisi langit Ibukota. Lagu kebangsaan segera terdengar bergema. Bendera merah putih yang selama beberapa hari dikibarkan setengah tiang, segera dinaikkan menjadi satu tiang penuh. Massa mahasiswa bergerak, berlari, berjoget. Gedung wakil rakyat itu telah menjadi panggung pertunjukan paling spektakuler.
***
Pada suatu ruangan di gedung tua, para Purnawirawan Jenderal yang duduk menghadapi pesawat televisi, sedang   menyunggingkan senyum. Hartawan duduk terdiam, dengan bibit airmata muncul di sudut matanya. Ia tidak tahu untuk siapa harus menangis. Untuk perjuangan mahasiswa, untuk Inaya atau untuk istrinya.
***
Didalam rumah besar itu, Nyonya Hartawan duduk di kursi goyang sendirian. Memakai baju hangat dan syal di lehernya. Ia tidak menangis, karena telah kering airmatanya. Pandangan matanya kosong, sekosong ruangan itu.
***
Kuburan tempat Fajar di makamkan masih seperti semula. Tanah itu masih merah dan penuh taburan bunga. Semarak warna-warni. Ibu Fajar dan dua adik Fajar bersimpuh menangis menggenggam tanah. Mereka tidak tahu untuk siapa menangis. Untuk perjuangan Fajar, kehilangan kepala keluarga atau kesialan hidup mereka. Mereka hanya bisa menangis karena sumber airmata belum kering.
***
Hadi yang duduk di depan pesawat televisi, telah menghilangkan semua suka dan duka. Ia tertawa terbahak-bahak, seperti orang yang baru memenangkan lotre. Rosita duduk di tepi jendela dan sedang menulis di Notebook-nya. Tangannya bergerak cepat memainkan tombol keyboard. Di layar tertulis, “Sejarah akan terus terulang. Ia seperti pusingan waktu dan peristiwa. Tidak ada keabadian didunia yang fana ini, tidak juga untuk sebuah kekuasaan. Dunia adalah tragedi dalam sebuah siklus tertutup.”
Handphone didekat notebook berdering. Rosita meliriknya dan melihat layar siapa yang menelpon. Melihat nama ROY, ia berpikir untuk tidak mengangkatnya. Tapi sebelum dering terakhir, ia sudah mengangkatnya tanpa mengucapkan apa-apa. Hanya suara Roy yang terdengar di telinganya, “Kita dipanggil chief untuk siaran.”
Klik.
(bersambung)

No comments: