Saturday, September 4, 2010

1998 (20)

BAB DUAPULUHENAM



20 Mei 1998
Ibukota mencekam seperti dalam suasana perang. Sejumlah barikade penghalang sudah menutup semua jalan menuju jalan Merdeka Utara yang merupakan wilayah Istana Kepresidenan. Pada semua sudut dijaga ketat oleh tentara yang menyandang senapan mesin. Bertaburan kendaraan lapis baja dengan moncong siap memuntahkan peluru.
Jalan-jalan utama Ibukota mengalami kelumpuhan. Aktivitas di seluruh kota berhenti total. Warga masyarakat lebih suka tinggal di dalam rumah, menunggu ketegangan selanjutnya. Ada desas-desus yang beredar bahwa akan ada pengerahan massa di sekitar Tugu Monumen Nasional untuk memperingati hari bersejarah, yaitu Hari Kebangkitan Nasional. Tapi sepanjang pagi itu,  televisi dan radio telah menyiarkan pembatalan acara pengerahan massa dengan satu alasan jelas: aparat keamanan telah menunggu dengan komando yang tidak bisa ditawar.
Siapa yang berani melawan kekuatan senjata kalau tidak benar-benar siap untuk mati. Persoalannya juga tidak hanya sebatas hilangnya nyawa, tapi sebuah keputusan yang selalu berpihak. Bukan lagi siapa yang berkuasa berhak mengeluarkan perintah, tapi siapa yang kuat dialah yang menggenggam kemenangan.
Dari pagi hingga malam televisi dan radio terus memberitakan perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi didalam Istana Merdeka. Tuntutan mahasiswa agar Presiden mengundurkan diri dan diadakannya Sidang Istimewa, menjadi perdebatan yang terus menerus terjadi.  Sebuah jabatan tertinggi sedang dipertaruhkan diatas papan hitam dan putih.
Menjelang pukul dua belas malam, di sekitar Lapangan Tugu Monumen Nasional, moncong-moncong kendaraan lapis baja bergerak berputar dan mengarah lurus ke gedung Istana Merdeka.  Radio-radio aparat keamanan terus menerus memberikan perintah komando yang setiap detik bisa berubah.  
Tinggal menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. 
(bersambung)

No comments: