20 Mei 1998
Ibukota mencekam seperti dalam suasana perang.
Sejumlah barikade penghalang sudah menutup semua jalan menuju jalan Merdeka
Utara yang merupakan wilayah Istana Kepresidenan. Pada semua sudut dijaga ketat
oleh tentara yang menyandang senapan mesin. Bertaburan kendaraan lapis baja
dengan moncong siap memuntahkan peluru.
Jalan-jalan utama Ibukota
mengalami kelumpuhan. Aktivitas di seluruh kota berhenti total. Warga masyarakat
lebih suka tinggal di dalam rumah, menunggu ketegangan selanjutnya. Ada
desas-desus yang beredar bahwa akan ada pengerahan massa di sekitar Tugu
Monumen Nasional untuk memperingati hari bersejarah, yaitu Hari Kebangkitan
Nasional. Tapi sepanjang pagi itu,
televisi dan radio telah menyiarkan pembatalan acara pengerahan massa
dengan satu alasan jelas: aparat keamanan telah menunggu dengan komando yang
tidak bisa ditawar.
Siapa yang berani melawan
kekuatan senjata kalau tidak benar-benar siap untuk mati. Persoalannya juga
tidak hanya sebatas hilangnya nyawa, tapi sebuah keputusan yang selalu
berpihak. Bukan lagi siapa yang berkuasa berhak mengeluarkan perintah, tapi
siapa yang kuat dialah yang menggenggam kemenangan.
Dari pagi hingga malam
televisi dan radio terus memberitakan perkembangan-perkembangan yang sedang
terjadi didalam Istana Merdeka. Tuntutan mahasiswa agar Presiden mengundurkan
diri dan diadakannya Sidang Istimewa, menjadi perdebatan yang terus menerus
terjadi. Sebuah jabatan tertinggi
sedang dipertaruhkan diatas papan hitam dan putih.
Menjelang pukul dua belas
malam, di sekitar Lapangan Tugu Monumen Nasional, moncong-moncong kendaraan
lapis baja bergerak berputar dan mengarah lurus ke gedung Istana Merdeka. Radio-radio aparat keamanan terus
menerus memberikan perintah komando yang setiap detik bisa berubah.
Tinggal menunggu lampu merah
berubah menjadi hijau.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment