Tigor
Naipospos duduk diatas motor yang
diparkirnya di halaman kantor pos sambil merokok. Matanya terus menerus tertuju
ke seberang jalan, dimana tampak deretan rumah kolonial dipinggiran lapangan.
Kantor pos itu juga menempati bangunan kolonial persis dipinggir jalan
propinsi. Rumah tinggal Abusono alias Sam terlihat jelas dari tempatnya berada.
Tempat yang sangat terbuka, pikir Tigor. Bagaimana mungkin lelaki tua itu bisa
hidup di tempat ini sejak empat puluh tahun terakhir tanpa ketahuan jati dirinya
yang sebenarnya. Kalau di luar Pulau Jawa hal itu barangkali tidak menjadi
aneh.
Warsito Abdul Kahmid
keluar dari dalam kantor pos dan begitu saja berkata, “Abusono bertempat
tinggal disini belum genap dua tahun.”
“Aku pikir sudah empat
puluh tahun.”
“Anak lelakinya
dipindahkan tugasnya ke daerah ini dan Abusono menginginkan tempat nyaman untuk
pensiun.”
“Siapa yang
mengatakannya pada kau?”
“Seorang lelaki limapuluhlima tahun yang
sedang mengambil uang wesel dari anaknya di Malaysia.” Warsito menyalakan
rokoknya dengan santai dan dia berkata lagi, “Katanya mereka berasal dari
Semarang.”
“Apalagi?”
“Apa yang kau dapat?”
“Tidak ada.”
Warsito menatap Tigor
Naipospos yang sikapnya begitu cuek
dan seenaknya. “Bagaimana kau bisa masuk DIK?”
“Pertanyaan macam apa
pula itu.”
“Aku hanya ingin lebih
akrab denganmu.”
“Bah. Aku tidak mau
tidur sekamar denganmu kalau begitu.”
“Kita kembali
sekarang.” Warsito menahan diri dan dia membanting rokoknya yang masih panjang.
“Aku lapar.” Tigor
Naipospos juga membanting rokoknya.
“Ada rumah makan
pinggir sawah tiga kilometer lagi, setelah pasar Mandiraja” jawab Warsito naik
ke boncengan.
“Aku ingin makan tempe
mendoan di pasar Mandiraja saja,” kata Tigor Naipospos menyebutkan tempat ramai
sekitar tiga kilometer lagi dari tempat mereka berada.
“Yeah, lebih baik kita
memang membaur.”
Motor mereka melaju
dengan kecepatan sedang. Mereka tahu mereka melawati mobil yang dibawa Parwata
yang sedang parkir di pinggir jalan, di depan sebuah rumah bergaya kolonial.
Parwata sudah bersama
seorang lelaki berkacamata berumur enampuluh lima tahun bernama Purnomo. Lelaki
itu hendak menjual rumah kolonial yang telah lama dimilikinya karena jarang
ditempatinya. Purnomo mempunyai rumah pribadinya di perkampungan padat tidak jauh
dari tempat itu. Rumah kolonial itu dibeli anak lelakinya yang bekerja di
Payakumbuh, Sumatra Barat. Tetapi karena sudah dipastikan tidak bisa bertugas
di Banjarnegara, anak lelakinya menyuruh Purnomo menjualnya saja.
“Boleh tahu untuk apa
Pak Parwata membeli rumah ini?”
“Kantor cabang, Pak.”
“Bergerak di bidang apa?”
“Pertambangan.”
“Yeah, Banjarnegara memang perlu digali
potensi tambangnya. Saya yakin tidak kalah dengan daerah lain.” Purnomo nampak
antusias sekali. “Dan rumah ini memang sangat cocok untuk di jadikan kantor
daripada untuk bertempat tinggal. Seperti kantor pos yang tidak jauh dari sini.
Tapi kalau untuk showroom
kerajinan keramik, kurang lapang rumah ini. Siapa tahu nanti perusahaan bapak
juga tertarik untuk berbisnis keramik.”
Cerewet sekali
lelaki ini, batin Parwata.
“Jadi berapa pasnya
harga rumah ini, Pak?”
“Sudahlah, balik modal
saja, seratus limabelas juta.”
Murah sekali, pikir Parwata sambil mengeluarkan buku cek.
“Bapak menerima cek?”
“Cek?”
“Oh lebih baik uang
cash saja ya.” Parwata menyadari kesalahannya. “Sebentar, saya ambilkan di
dalam mobil.”
“Sebentar, Pak
Parwata.”
“Ya.”
“Tapi benar rumah ini
untuk dijadikan kantor kan?”
“Maksud Bapak?”
“Maaf sebelumnya, bukan
bermaksud buruk sangka. Tapi akhir-akhir ini kita disarankan pihak berwenang
untuk hati-hati menerima kedatangan orang asing. Takutnya mereka teroris yang
sedang dicari Polisi, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah.”
Lelaki yang sangat
behati-hati, pikir Parwata. “Saya
pastikan, bukan untuk sarang teroris Pak.”
Purnomo tertawa dan
kembali berkata, “Kalau begitu, bagaimana kalau pembayarannya dilakukan dirumah
saya saja, dibelakang rumah ini kok, hanya memutar saja. Sekalian Pak Parwata
mencicipi masakan khas Banjarnegara.”
“Apakah masakan khas
Banjarnegara?”
“Sayur lodeh.”
Di
Jakarta juga ada.
JAM duabelas lewat
duapuluh menit, mereka sudah berkumpul dan sedang menikmati makan siang di
sebuah rumah makan di sebelah selatan alun-alun kota. Yang paling rakus makan
Tigor Naipospos. Tidak ada yang peduli dengan cara makan Tigor kecuali Warsito.
“Apakah hawa sejuk kota
ini membuat perutmu selalu kelaparan, Tigor?”
“Lagi tidak enak badan
aku.”
“Buset, tidak enak
badan saja rakus begitu, bagaimana kalau sehat,” kata Beny Reza menimpali.
“Satu kuali kali habis.”
“Kalian kalau masih
kurang, tinggal panggil pelayan. Tidak usah usillah dengan cara makan orang
lain.”
Jun Maher tertawa.
“Minuman ini yang disebut dawet ayu?” Tanya
Parwata menoleh kepada Mustajab sambil memegang gelasnya dan meminumnya.
“Dawet ayu adalah
minuman khas Banjarnegara.”
“Kenapa di gerobaknya
gambarnya Semar, bukan seorang gadis ayu?” Saat mengeja Semar, lidah Batak
Tigor sangat medok lafal e-nya, sehingga terdengar lucu.
“Se-mar, Tigor. Bukan
Semar,” ujar Warsito berusaha memberitahu tanpa merasa berdosa.
“Lama-lama aku gantung
kau di alun-alun sana, Warsito.”
Semua tertawa.
“Siang ini kita lakukan
latihan pengambilan target,” kata Jun Maher. “Nanti malam kita pindah di base
camp. Mustajab, tugasmu memesan
isi rumah.”
“Sebelum jam
delapanbelas, base camp sudah
siap, Pak,” kata Mustajab yakin
“Dimana kita akan
melakukan latihan, Bos?” Tanya Warsito.
“Di daerah PLTA Mrica.
Berharap saja semoga turun hujan,” kata Jun Maher berharap sambil menoleh keluar.
“Langit saja tidak ada
tanda-tanda mendung.” Tigor Naipospos melihat juga ke arah luar. “Kalau hujan
tidak turun, buat saja sesajen,
Bos?”
“Kau terlalu sering nonton sinetron rupanya,” kata Beny Reza.
“Tapi usul kau bagus
juga,” sahut Jun Maher dan melihat jam tangannya. “Pak Parwata, tugasmu
membayar tagihan.”
Jun Maher langsung
berdiri dan meninggalkan tempat itu diikuti yang lain.
Saat mereka bergerak
pindah dari hotel menuju base camp, hujan benar-benar turun. Di dalam mobil
menuju lokasi latihan, Tigor Naipospos menatap Jun Maher dengan pandangan lain.
“Kenapa kau menatapku
begitu?” Jun Maher tahu yang dilakukan Tigor tanpa menoleh.
“Darimana bos tahu akan
turun hujan?”
“Aku tidak tahu.”
Dalam limabelas menit,
mereka sudah melakukan simulasi latihan penyergapan di sebuah tanah lapang yang
dijadikan tempat parkir oleh pengelola wisata dermaga PLTA Mrica. Selain
sebagai pembangikit listrik, Bendungan
Panglima Besar Sudirman atau PLTA Mrica, di jadikan sebagai tempat
rekreasi danau yang disukai pengunjung. Ada sebuah jalan aspal yang dijadikan
jalan pintas oleh beberapa orang. Tapi saat hujan, tidak banyak yang
memperhatikan apa yang mereka lakukan.
Parwata yang usianya
hampir sama dengan Abusono atau Sam, dijadikan peran pengganti. Sementara yang
melakukan penyergapan adalah Tigor dibantu Warsito. Jun Maher didalam mobil
menghitung waktu. Beny Reza dibelakang setirnya. Saat Tigor menyergap Parwata
dengan membekap mulutnya dari belakang dan diseret ke arah mobil, kelihatan
tidak lancar. Begitu sampai masuk ke dalam mobil, Jun Maher melihat
penghitungan waktunya.
“Masih terlalu lama.
Kita harus melakukannya dalam duapuluh detik,” kata Jun Maher.
“Saat tidak hujan,
limabelas detik mudah sekali, Pak.”
“Lakukan sekali lagi.”
Ketiga lelaki itu
kembali ke tengah lapangan.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment