BAB TIGA
Tarik duduk didepan layar televisi. Tidak ada kegiatan
yang lebih membuatnya bergairah kecuali menonton berita perkembangan di Timor
timur. Seperti layaknya menonton film western. Hanya tidak ada tokoh Protagonisnya
disana. Tapi semuanya nampak sebagai serdadu-serdadu yang menyebalkan. Senjata
siap menyalak dengan amunisi satu tas di punggung bercampur pakaian dalamnya.
Berjalan dibawah terik matahari dengan memakai kacamata hitam dan mulut
mengunyah permen karet. Layaknya hendak bersantai di pantai Kuta Bali.
Yang
membuatnya mencibir tak lebih dari persiapan perang yang dipersiapkan di
Darwin. Seolah-olah mereka siap melakukan apasaja secara militer di Timor
Timur. Dengan personel yang begitu banyak dan peralatan perang yang begitu
besar, Timor Timur seolah akan menjadi medan perang dunia ketiga. Bahkan
Amerika Serikat mengirimkan armada ketujuh-nya. Luar biasa kalau tidak mau
disebut berlebihan. Kesiapan seperti itu adalah kesiagaan untuk menghadapi
angkatan perang negara lain. Padahal mereka tidak akan menghadapi siapapun
kecuali apa yang mereka dengar dari media soal milisi yang masih menginginkan bergabung
dengan Indonesia.
Ia telah banyak makan garam
operasi-operasi militer yang digelar di Timor Timur, diantaranya Operasi
Persatuan, sebuah operasi militer terbesar kedua setelah Operasi Seroja. Ia
mendapatkan kepercayaan menjadi salah satu Komandan operasi untuk menyapu
bersih gerombolan Fretilin dengan kekuatan utama Falintil yang terus melakukan
perlawanan. Untuk beberapa tahun ia malang melintang keluar masuk hutan, turun
naik gunung untuk memburu dan menangkap, kalau perlu melenyapkan, gerombolan
yang terus menerus membuat panik Jakarta. Sampai ia tertangkap gerombolan itu
dan langsung berhadapan dengan pimpinannya.
Ia
yakin akan dibunuh oleh gerombolan itu karena kebencian mereka kepada tentara
melebihi kebencian mereka kepada iblis. Tapi pimpinannya mencegah keinginan
anak buahnya untuk menggorok lehernya. Pimpinannya yang bernama Ximenes itu
memberinya kenang-kenangnya yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup.
Dengan pisau komandonya sendiri, Ximenes mengiris daging di pipi kanan dan
kirinya. Sebagai manusia ia berteriak kesakitan, tapi sebagai serdadu yang
sangat terlatih, ia harus menyembunyikan rasa sakit, walaupun sampai ubun-ubun
kepalanya menguap. Hanya kemurahan Tuhan yang telah membuatnya bisa bertahan
hidup sampai Wenang Pati datang membebaskannya.
Ia
berjanji setelah lukanya sembuh, ia akan kembali ke sarang gerombolan itu untuk
membuat perhitungan sendiri. Tapi ia tidak pernah bisa melaksanakan niat itu,
karena tugas baru telah menunggunya di Jakarta. Diketahui kemudian, Wenang Pati
yang menghendakinya. Luka di kedua belah pipinya oleh atasannya itu harus
dioperasi untuk menghilangkan bekas lukanya, walaupun ia mempertahankannya.
Baginya, itu adalah oleh-olehnya yang paling berharga, selain nyawanya yang
masih utuh. Ia tahu betapa Wenang Pati merasa bahwa itu adalah tamparan keras
bagi kesatuannya.
Di
pesawat televisi, sang Presiden sedang berpidato didepan anggota wakil rakyat,
“….bangsa Indonesia mencatat, bahwa sikap dan tindakan Australia mengenai
masalah Timor Timur, sangat berlebihan dan tidak membantu upaya-upaya untuk
memelihara hubungan bilateral dengan Indonesia atas dasar saling menghormati
kedaulatan nasional, integritas wilayah dan kesamaan derajat serta
prinsip-prinsip untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing….”
Mereka
merasa menjadi bangsa paling beradab didunia, pikir Tarik sinis.
“…Pemerintah
Indonesia juga memperhatikan perkembangan pandangan masyarakat luas Indonesia,
terhadap sikap dan perilaku Australia akhir-akhir ini, mengenai masalah Timor
Timur. Mempertimbangkan perkembangan itu, pemerintah sangat menyayangkan sikap
Australia yang telah merusak hubungan bilateral dengan Indonesia…”
Mereka
telah dikontrak menjadi deputy sherif di Asia dan sedang bermimpi menjadi
polisi dunia kedua, pikir Tarik sambil mengemasi
barang-barangnya. Presiden masih memberikan pidatonya, “…Opsi kedua yang
ditawarkan pemerintah, bukanlah melepaskan Timor Timur, apalagi memerdekannya,
karena Indonesia tidak pernah menjajah Timor Timur…”
Tarik
membuka lemari khusus dan mengeluarkan tas militernya, memasukkan baju dan
sepatu lars dan semua keperluan militernya, kecuali senjata karena ia tidak
menyimpannya kecuali pisau komando, satu-satunya senjata yang paling
dibanggakannya, melebihi kesukaannya pada senapan mesin. Ia kemudian mencari
Mustari, pemuda yang menemaninya di bengkel.
"Saya
akan pergi. Saya tidak tahu kapan kembali, atau mungkin tidak akan kembali.
Tapi kalau memang saya tidak kembali, teruskan bengkel ini buatmu."
Mustari
kelihatan tidak bisa menyembunyikan keheranannya. "Katanya bapak tidak
akan kembali ke Jakarta."
"Siapa
bilang saya akan ke Jakarta."
"Memangnya
mau kemana selain ke Jakarta?"
"Percayalah,
meski saya ke Jakarta, tapi saya tidak akan tinggal disana."
Ia
lahir dan dibesarkan di Ibukota, tapi sekarang ia sangat membenci kota itu.
Banyak sekali kenangan yang menyenangkan tapi akhirnya menjadi mimpi buruk
buatnya. Kalau pun ia harus ke kota kelahirannya itu, semata-mata karena disana
ia masih mempunyai sahabat-sahabat yang selalu membelanya dan terutama ayah dan
Ibu serta saudara-saudaranya. Anak kandung satu-satunya memang berada juga di kota
itu, tapi sekarang telah bersama bekas istrinya. Dan ia tidak ingin bertemu
mereka karena lebih kepada pertimbangan bekas mertuanya yang telah memandangnya
dengan sebelah mata.
Tarik
kemudian menemui Wenang Pati. Ia langsung menyapa, “Jendral, saya siap berangkat.”
Dua
jam kemudian, mereka sudah berada dalam pesawat helikopter khusus menuju
Jakarta. Tak ada lagi yang dipikirkan Tarik kecuali tugas yang akan
dilakukannya. Tidak juga peduli dengan pesawat khusus yang sedang mereka
tumpangi. Dalam keadaan biasa, perjalanan khusus seperti ini tidak bisa
dilakukan. Wenang Pati juga nampaknya tidak peduli benar soal itu. Ia meraih
berkas-berkas yang telah disediakannya. Satu diberikan kepada Tarik dan satu
dibacanya sendiri.
“Pada
9 Juni 1999, militer kita menangkap adanya indikasi suplai senjata terhadap
kelompok Falintil. Tanggal 14 April sebelumnya, diyakini ada dua helikopter
jenis Puma tanpa identitas mendarat di salah satu desa di Viqueque. Dari hasil
pantauan radar, ada lima kali penerbangan gelap masuk Timor Timur. Penerbangan
itu dilakukan sebelum kedatangan Tim UNAMET.”
Tarik
mengatupkan kedua rahangnya. “Karena alasan pendidikan dan alamnya, orang-orang
barat, dan sekarang Australia, hanya memahami logika kekuatan.”
“Apa
yang telah dilakukan Canberra bisa menyudutkan kita di dunia internasional. Dan
mereka sekarang mendompleng PBB dengan pasukannya masuk ke Timor Timur.”
Wenang
Pati menyalakan pesawat televisi. Sebuah pesawat angkut C-130 Hercules tampak
mendarat di ujung landas pacu Bandara Komoro, Dili. Sesaat kemudian, pesawat
loreng milik Angkatan Udara Australia itu memuntahkan tujuhpuluhlima tentara
Australia berseragam tempur sambil menenteng senapan jenis M-16 dan Steyer.
Mereka bergerak menyebar dan langsung bersiaga tempur, seolah Bandara sedang
dikepung musuh yang sedang menyambut kedatangan mereka.
Tarik
tersenyum kecut. “Mereka pikir sedang main film Amerika.”
"Kekuatan
pendukung tempur Interfet adalah limabelas Helikopter Black Hawk, empat
Helikopter Bell 206 Jet Ranger, Duapuluh enam tank APC, satu Tank Amphibi,
Duapuluhdua Truk, Limpuluhsembilan Land Rover, Sebelas Trailer, Dua Ambulan dan
empat motor roda empat."
"Mereka
sengaja menantang kita."
"Mereka
terlalu takut dengan milisi."
Di
layar televisi itu muncul Komandan pasukan multinasional yang berasal dari
Australia, berpangkat Mayor Jenderal yang memakai topi lebar. Kelihatan juga
disampingnya Kepala Unamet, seorang laki-laki bermata menikam yang kelihatan
bangga sekali telah melaksanakan jajak pendapat yang dimenangkan oleh kelompok
pro kemerdekaan, seperti yang diduganya jauh-jauh hari.
Tarik
menegakkan kepalanya. “Berapa yang dikirim.”
“Hanya
timmu.”
“Kalau
saya sendiri?”
“Kita
tidak sedang membuat film seperti Rambo.”
“Yeah,
lagipula itu hanya film.” Tarik tersenyum kecut. "Tapi saya butuh waktu
untuk mengumpulkan kembali teman-teman saya."
"Jangan
khawatir, aku sudah tahu dimana mereka. Kau tinggal jemput mereka."
Tarik
sudah menduga hal itu dan semakin meyakinkannya bahwa tugas yang diberikannya
sekarang sangat serius.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment