BAB DUAPULUH
Inaya berdiri didepan kamar bedah rumah sakit
dengan tenggorokan kering. Kedua bola matanya membesar dan kelopak matanya
sudah memerah kehabisan airmata. Koridor rumah sakit dipenuhi mahasiswa yang
histeris. Terdengar suara
kesakitan dimana-mana. Para mahasiswa berdatangan membawa tubuh-tubuh yang
penuh luka dan berdarah-darah. Rumah sakit itu seperti barak perang.
Setiap
lorong dipenuhi orang. Termasuk yang mencari perlindungan. Termasuk wartawan
dan reporter. Rosita kelihatan kepayahan dan terus menerus menempel Harry yang
mengambil gambar. Rosita lalu duduk menenangkan diri. Hanya beberapa detik.
Matanya menangkap sosok Inaya yang menangis sendirian.
“Inaya, kamu baik-baik saja?”
Rosita mengguncang bahu Inaya.
Inaya langsung memeluk Rosita.
Seperti menemukan sebuah telaga untuk melepaskan dahaganya. Ia tumpahkan
airmatanya lebih banyak lagi di bahu Rosita sambil menyebut nama Fajar terus
menerus.
"Kenapa dengan
Fajar?" Rosita histeris mengguncang tubuh Inaya, tapi Inaya sudah pingsan.
***
Pesawat televisi sedang
menayangkan kerusuhan yang terjadi disekitar Universitas Trisakti. Semua saluran stasiun televisi hanya
berisi berita seperti itu. Tidak ada iklan, tidak ada telenovela, tidak ada
film India. Nyonya Hartawan begitu tegang melihat adegan-adegan kekerasan itu.
Ia sudah menangis sambil menggoyang-goyang tubuh Hartawan yang duduk kaku
menatap layar televisi.
Badan Hartawan begitu gemetar
menahan marah yang sudah di ubun-ubun kepalanya. Kejadian ini terulang lagi, geramnya dalam hati.
Kilasan kejadian tahun 1966 dan 1974 menjelma kembali di batok kepalanya.
Negeri ini dilahirkan untuk menjadi sebuah pemakaman massal.
“Kangmas harus cari Inaya dan
bawa pulang!” Teriak Nyonya Hartawan. “Aku tidak mau Inaya mati konyol. Kangmas
jangan berdiam diri saja!”
“Biarkan Inaya mati dengan
terhormat!” Hartawan berdiri dengan kepalan tangan.
“Masya Allah, kangmas malah
mendoakan Inaya mati.”
“Rezim ini sudah seharusnya
berakhir!”
“Persetan dengan politik. Aku
mau Inaya dibawa pulang. Pak Trimooo!”
“Inaya disana karena sedang
berjuang. Dan itu lebih berguna bagi Inaya daripada keluyuran seperti yang
dilakukan Noni dengan bule itu!”
Pak Trimo muncul dengan
tergopoh-gopoh. Ia mendengar suara majikannya seperti guntur. Tapi Hartawan
yang memberi perintah.
“Pak Trimo, siapkan mobil,
saya mau ke gedung Joang.”
Pak Trimo kembali lenyap
keluar. Hartawan menuju istrinya dan menenangkan. “Pahamilah Inaya sedang
berjuang untuk perbaikan negeri ini. Ibu tidak usah mencemaskan Inaya. Ibu
justru harus cemas dengan Noni yang tidak diketahui ada dimana sekarang.”
Hartawan langsung menuju pintu keluar. Dan wanita berdarah biru itu terus
menerus mengeluarkan airmatanya.
Tiba-tiba ia merasa hidupnya
begitu sepi. Ia yang dulu mengagungkan diri sebagai wanita yang selalu membaktikan
diri untuk keluarga, telah dipaksa melihat kenyataan yang siap membuat masa
tuanya suram. Ia merasa apa yang selama ini dilakukannya semata-mata demi
menjaga martabat dan harga diri sebagai orang yang berpredikat darah biru.
Kasih sayang telah ia berikan untuk keluarga. Apa yang lebih penting dari
sebuah kasih sayang dalam sebuah keluarga? Andai saja ia tahu lebih banyak dari
itu.
Andai saja ia tahu yang sedang
terjadi dengan Fajar, yang sedang sekarat diatas ranjang rumah sakit. Andai
saja ia tahu Inaya sedang menangis seperti orang yang baru kehilangan
segala-galanya. Andai saja ia tahu yang sedang terjadi di jalan-jalan kota
malam itu. Mencekam, seperti medan perang. Truk-truk tentara berlari diatas
aspal malam yang masih basah. Radio-radio komunikasi menyalak dari komandan
satu ke komandan lain.
***
Menjelang pagi, suasana Ibukota lebih mencekam. Sudut-sudut jalan raya
sepi. Jalan protokol yang biasanya dijejali mobil-mobil mewah, lengang seperti
kuburan. Pos polisi di sudut jalan hanya berisi tiupan angin pagi yang
menyesakkan paru-paru. Orang-orang seperti lenyap di telan bumi.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment