Sunday, March 28, 2010

1998 (13)


BAB SEMBILANBELAS

 
Di atap gedung pusat perbelanjaan, di sebelah selatan Universitas Trisakti, dua laki-laki tinggi besar dengan seragam hitam-hitam serta rompi tebal, menempati posisi searah dengan demonstrasi mahasiswa. Di mulut mereka terpasang alat komunikasi. Mereka membuka tas hitam dan mengeluarkan senapan yang masih terdiri dari dua bagian, yaitu bagian popor dan bagian laras. Lalu laras dan popor senapan itu dipasang dengan hati-hati tapi cepat sekali gerakannya, kemudian memasang teropong yang sanggup mendekatkan jarak sampai ratusan meter. Setelah itu dua Penembak Jitu itu mencari posisi menembak sambil menyalakan radio komunikasi.  
"Elang satu dan dua pada komando," Salah seorang dari mereka berkata sambil memperbaiki letak earphone di telinganya.
"Komando disini." Terdengar suara berat di telinga mereka.
"Kami sudah dalam posisi."
"Tunggu perintah selanjutnya."

Di bagian barat, diatas jalan layang yang telah di kosongkan, dua Penembak Jitu lain sudah menempati posisinya dan sedang mengarahkan senapan ke arah demonstrasi mahasiswa.
"Elang tiga dan empat, kalian sudah di posisi?" Terdengar suara Komando di telinga dua Penembak Jitu itu.
"Kami sudah dalam posisi, Pak."
"Tunggu perintah selanjutnya."
"Siap."

Di sebelah utara Universitas Trisakti, ada sebuah bangunan gedung tinggi yang belum jadi dan masih dalam tahap penyelesaian. Di atap gedung itu, telah dalam posisi dua Penembak Jitu dan mengarahkan teropong infra merah mereka ke arah halaman kampus di depan gedung Syarif Thayib.
"Kami dalam posisi," Salah satu dari mereka berkata.
"Tunggu perintah selanjutnya."

Hari telah menjadi sore. Matahari cepat sekali menghilang dibalik awan dan berganti dengan hujan.  Suasana tidak menyenangkan tapi para mahasiswa tampak bergerak ke luar halaman kampus, menuju jalan raya dimana aparat keamanan sudah menghadang mereka. Begitu panjang barisan aparat keamanan menutup setiap sudut jalan. Para mahasiswa yang merapatkan barisan dalam jumlah lebih banyak dari aparat keamanan, terpaksa berhenti. Pemimpin demonstrasi dan Komandan aparat keamanan mengadakan perundingan. Pemimpin demonstran berdarah muda penuh semangat dan siap mengadakan perlawanan, sedangkan Komandan keamanan adalah jenis orang yang takut dengan atasan kalau gagal menjalankan tugasnya dan lebih takut lagi apabila di mutasi ke suatu daerah terpencil yang tidak memungkinkannya mendapatkan uang tambahan setiap hari.
Semua ngotot dan saling memegang suatu keputusan yang tidak bisa ditawar. Tawaran tertinggi pihak keamanan adalah adanya senjata yang siap digunakan kalau mahasiswa terus melanjutkan niatnya. Soal kenekatan bisa dimiliki siapa saja, tapi pikiran waras hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai perhitungan. Pemimpin demonstran menyadari pihak mahasiswa  tidak dalam posisi tawar menawar yang menguntungkan, tapi kehendak teman-temannya sulit ditahan. Maka jalan tengah harus segera ditempuh. Beberapa saat kemudian, massa mahasiswa mengadakan mimbar bebas di jalan raya itu.
Fajar dan Inaya berada di depan barisan. Apa saja kemudian mereka lakukan. Menyanyi, berlari membawa bendera, membagikan bunga kepada aparat keamanan dan diletakkannya di pelatuk senapan. Mereka melakukan itu semua dengan semangat dan berusaha menarik simpati pihak keamanan yang berjajar tanpa bergerak sedikitpun. Tapi wajah-wajah aparat keamanan itu bagai patung, dengan ekspresi yang tidak bersahabat. 
***
Penembak jitu yang berada di atap gedung perbelanjaan, terus melihat lewat teropong, berkata, "Saatnya pertunjukan, Pak."
"Bersiap."
Hampir bersamaan, dua Penembak Jitu memasukkan peluru ke dalam senapan, mengokangnya dan  menegakkan senapan untuk diarahkan  ke bawah, dimana para mahasiswa berkumpul. Menggunakan sinar infra merah agar mendapatkan sasaran dan mematikan.
Dua Penembak Jitu diatas jembatan layang, sudah mencari sasaran. .
Begitu juga dua Penembak Jitu diatap gedung di sebelah utara kampus, sudah menyalakan sinar infra merah untuk mencari korban.
***
Hari sudah menjelang malam. Hujan sudah mereda dan massa mahasiswa yang berkumpul di jalan raya itu tampak mulai kepayahan. Wajah-wajah mereka kelihatan sangat letih walaupun semangatnya masih meledak-ledak. Perundingan telah selesai dan salah seorang pemimpin demonstrasi segera memegang megaphone.
“Teman-teman semua, kita disuruh masuk kembali ke dalam kampus karena situasi yang tidak mendukung kita terus berjalan…..!!!”
Para mahasiswa menyambut dengan kecewa sambil bergerak masuk kembali ke halaman kampus. Termasuk Fajar yang menggandeng Inaya. Tiba-tiba seorang laki-laki berdasi berteriak lantang, yang masih berdiri di jalan raya di dekat aparat keamanan.
“Hei, jangan jadi pengecut. Jangan masuk kampus! Semuanya pengecut!!!”
Beberapa orang mahasiswa berbalik mengejar laki-laki berdasi itu dan menghajarnya beramai-ramai. Fajar bersama beberapa pemimpin demonstrasi melerainya. Laki-laki berdasi yang dihajar itu sudah berlari kabur dan menyelinap ke arah aparat keamanan dan hilang entah kemana. Mahasiswa bergerak kembali ke dalam kampus.           
***
“Kami siap.” kata Penembak Jitu diatap gedung pusat perbelanjaan dengan bola matanya terus ditempelkan pada teleskop.
Terdengar suara Komando, “Buat situasi mendukung.”
“Ada gerakan.” Penembak Jitu di atas jalan layang berkata. Lewat teleskop ia melihat seseorang dari arah aparat keamanan berteriak-teriak ke arah mahasiswa dan tampaknya membakar emosi mahasiswa. Beberapa mahasiswa tampak terpancing dan mengejar laki-laki berdasi itu, yang lari ke arah aparat keamanan dan hilang entah kemana.
Tiba-tiba saja situasi kelihatan kacau.
“Dalam lima detik tidak ada kekacauan, buat gerakan pembuka,” Suara Komando terdengar disetiap telinga Penembak Jitu.
            ***
Keadaan sudah mulai tidak terkendali. Botol-botol minuman sudah beterbangan ke arah aparat keamanan. Disusul dengan lemparan batu dan benda apasaja yang bisa di lempar. Tidak diketahui dengan jelas benar apakah  pihak mahasiswa atau aparat keamanan yang memulainya lebih dahulu. Keadaan sudah kacau, saling lempar apasaja.
 ***
“Sasaran terkunci, Pak.!” kata Penembak Jitu diatas gedung utara.
“Selesaikan target dalam satu menit!” Suara Komando memutuskan.
***
Suasana sudah hujan batu dan botol minuman. Mahasiswa lari tunggang langgang masuk ke halaman kampus. Panik dan menabrak apasaja. Mereka tampak sekali ketakutan, karena aparat kemanan bergerak maju sambil memberondongkan senapan yang sejak pagi mereka timang-timang.
Suara tembakan terdengar dimana-mana.
Para polisi itu kelihatan begitu bernafsu melakukan serangan. Seperti sudah kehabisan kesabaran. Mereka bergerak dengan brutal. Setelah selesai menggunakan senapan, mereka memburu para mahasiswa yang terus lari tunggang langgang masuk ke halaman kampus. Dengan tongkat pemukul yang dibeli dari uang rakyat, mereka menggebuk mahasiswa.
Fajar menyeret Inaya masuk gedung Syarif Thayib. Ia tak bisa membiarkan Inaya dalam keadaan bahaya. Seorang polisi yang memburu dengan tongkat pemukul, seperti memburu musuh bebuyutannya, langsung Fajar hadapi. Bagi Fajar itu harus dilakukannya. Mestinya ia mengenal aparat itu sebagai pelindungnya, tapi yang dihadapannya sekarang adalah  orang yang kehilangan kesadaran. Ia tidak bisa menyerahkan nyawanya dengan cuma-cuma. Ia siap bertarung ketika seorang mahasiswa lain datang membantu dan melawan aparat itu. Fajar langsung menyeret Inaya lari kembali.
Terdengar suara berdesing-desing diatas kepala mereka. Peluru beterbangan seperti hujan meteor. Datangnya dari atas dan dari berbagai arah. Seperti mengepung tempat itu.
Mendadak Fajar roboh. Inaya yang berpegangan erat dengan tangan Fajar merasakan tubuh Fajar jatuh ke tanah. Dilihatnya tak ada luka apapun di dada Fajar. Tapi tangannya yang menopang punggung Fajar, merasakan darah segar keluar deras. Ketika Inaya membalik tubuh Fajar yang terkulai, dilihatnya punggung Fajar berdarah dan ada lubang lebar disana. Seperti telah kemasukan benda besar dan tajam. Inaya histeris, tapi tidak ada yang mempedulikannya.
Semua sedang sibuk dengan urusan keselamatannya sendiri. Inaya begitu saja mengangkat  Fajar yang sudah tidak sadarkan diri dan dibawanya lari. Ia yakin sebenarnya ia tidak pernah  kuat mengangkat tubuh Fajar yang sepuluh kilo lebih berat dari berat tubuhnya. Tapi ia benar-benar bisa mengangkat tubuh Fajar dan dibawanya lari. Lari menembus kepanikan mahasiswa dan peluru-peluru beterbangan. Berdesing-desing seperti pesawat pembom yang sedang beroperasi. 
(bersambung)

No comments: