Suara gemuruh memantul ke langit.
Teriakan-teriakan massa menggetarkan jalan raya di luar halaman Universitas
Trisakti. Di sana sudah berkumpul masyarakat dalam jumlah yang sangat banyak.
Tidak ada sudut jalan yang tidak terisi orang. Termasuk jalan layang yang
terletak di sebelah selatan Universitas. Orang-orang itu seperti muncul dari
dalam bumi. Mereka kelihatan diliputi dengan amarah yang sudah mencapai
ubun-ubun kepala dan siap melakukan apasaja. Termasuk mengajak para mahasiswa didalam kampus untuk
keluar dan menghadapi aparat keamanan yang telah berjajar kembali dalam jumlah
yang lebih besar dari hari sebelumnya, dalam kesiagaan yang lebih tinggi dari
hari sebelumnya.
Di halaman kampus terpampang
spanduk besar bertuliskan BERDUKA CITA, dan bendera merah putih di kibarkan
setengah tiang. Para mahasiswa di halaman kampus yang ditaburi bunga-bunga
bertuliskan duka cita itu, tidak banyak menjawab ajakan massa masyarakat yang
bersimpati. Mereka tahu, kematian rekan mereka menjadi duka orang banyak. Tapi
mereka dibatasi oleh perbedaan, bahwa mereka orang yang dididik dengan
perhitungan, yang harus menggunakan otak lebih dulu daripada menuruti emosi,
walaupun ubun-ubun kepala mereka sendiri sudah menguap menahan amarah. Bahkan
sehari sebelumnya.
Gemuruh suara massa semakin
memantul ke langit menjelang pukul duabelas siang, saat matahari diatas kepala.
Di suatu sudut jalan raya, seorang laki-laki berwajah kasar mengambil botol
bersumbu kain dari dalam tasnya. Dengan korek api yang telah dipersiapkannya,
api segera membakar sumbu botol. Dalam dua detik, laki-laki berwajah kasar itu
melemparkan bom molotov itu ke sebuah kios oli yang telah ditinggalkan oleh
pemiliknya. Kios itu terbakar dan laki-laki berwajah kasar itu telah menghilang
dibalik kerumunan massa yang semakin bersorak.
***
Gemuruh suara massa terjadi di
depan pusat perbelanjaan Mall Ciputra, sebuah tempat orang bersuka ria
memanjakan dirinya dan menjajakan dirinya, yang letaknya di seberang selatan
Universitas Trisakti. Mereka bergerombol dan kelihatan siap sekali untuk
melakukan kerusuhan dengan menyerbu ke dalam pusat perbelanjaan itu.
Orang-orang yang berada di
dalam pusat perbelanjaan berlarian keluar. Kepanikan terjadi dimana-mana dan
semua orang berlari menyelamatkan dirinya. Meninggalkan kesenangannya karena
nyawa mereka sedang terancam. Mendekap harta bendanya yang bisa di bawa.
Kehadiran aparat keamanan yang sudah membentuk pagar betis di halaman gedung
itu, tidak juga memberi rasa aman bagi mereka. Bagi mereka keadaan sedang dalam
bahaya dan pasti akan sangat mengerikan.
Massa yang bergerombol akan
menyerbu ke dalam pusat perbelanjaan, gagal melangkah. Mereka tidak berani
untuk beradu kekuatan dengan aparat keamanan yang bersenjatakan lengkap.
***
Diatas jembatan layang, massa
yang memenuhi jalan raya menghadang sebuah mobil tangki minyak. Laki-laki
dengan lengan bertato, membawa tas, merangsek maju dan mencopot selang sehingga
minyak segera tumpah diatas aspal. Laki-laki dengan lengan bertato itu
mengeluarkan bom molotov dan korek api yang telah dipersiapkan dari dalam
tasnya. Lima detik kemudian api menjilati aspal hitam. Massa bersorak
kegirangan dan laki-laki dengan lengan bertato hilang entah kemana.
***
Dua buah helikopter militer
menurunkan beberapa tentara pasukan khusus berbaju hitam-hitam dengan senapan
dibadan, diatas jalan raya yang kosong. Mereka kemudian menyebar, dalam formasi
perang. Rupanya telah diberlakukan keadaan kota dalam siaga satu. Bukan hanya
polisi yang turun ke lapangan, tapi tentara telah juga ikut serta.
Kendaraan lapis baja dalam
jumlah yang banyak bergerak dengan pasukan darat yang mengiringinya. Pengerahan
tentara dalam jumlah banyak itu telah membuat jalan raya lengang dan
menyingkirkan semua kesibukan yang biasanya menumpuk di sekitar jalan raya.
Tidak ada mobil, tidak ada kemacetan dan tidak ada polusi kendaraan yang
menyesakkan dada. Orang-orang tidak lagi berjalan dengan santai. Mereka berlarian
sambil berharap nyawa mereka tidak melayang dengan sia-sia. Sebagian lagi
berdiri menonton karena tidak pernah ada pemandangan menarik dan sehebat itu
selama ini.
***
Di daerah Pecenongan, Rosita
sedang berlarian bersama Harry yang terus menerus melakukan perekaman gambar.
Untuk beberapa saat ia berdiri kaku melihat pemandangan di depannya. Ia dipaksa
untuk mempercayai apa yang sedang dilihatnya dengan mata kepala sendiri.
Orang-orang sedang menjarah toko dengan gagah berani dan menenteng barang jarahannya
seolah-olah itu barang miliknya sendiri.
Para pemiliknya yang
kebanyakan warga keturunan Tionghoa entah sudah pergi kemana. Mereka pasti
sudah ketakutan karena pergaulan mereka masih dibeda-bedakan antara pribumi dan
non pribumi. Istilah yang bagi mereka
sangat menakutkan sementara mereka telah hidup beratus-ratus tahun sejak dari
nenek moyang mereka di negeri ini. Mereka punya hak hidup sama dengan orang
yang disebutnya pribumi.
Api sudah membakar gedung
dimana-mana. Seperti muncul begitu saja api itu, seperti orang-orang yang
berlarian tidak beraturan. Teriakan-teriakan orang tidak bisa dibedakan lagi antara yang ketakutan dan yang
senang karena habis menjarah. Rosita sampai didepan restoran yang dulu sempat
dilihatnya bersama Fajar sewaktu pembukaan. Restoran itu tidak berumur panjang.
Api sedang menjilatinya dengan buas, seperti habis diterjang rudal.
Harry menyeret Rosita yang
bengong. “Jangan sentimentil!” Teriaknya.
Rosita tidak sedang berpikir
tentang hubungan emosional. Ia tidak pernah mengenal pemiliknya yang kebetulan
keturunan Tionghoa. Tapi ia sedang mencari jawaban, bagaimana orang-orang mampu
merobohkan peradaban mereka sendiri. Dan ia tahu persis ia tidak bisa
menjawabanya saat itu juga.
“Harry, ke arah sana!!” Rosita
menunjuk ke arah dimana letak toko roti Pak Tan.
“Disana toko sudah dibakar
semua!”
Rosita juga yakin hal itu,
bahkan mungkin seluruh kota telah di bakar. Tapi ia tetap bersekiras, paling
tidak ia mempunyai harapan bahwa ia saksi terakhir yang melihat toko itu masih
berdiri. Harapan itu ternyata telah hancur menjadi puing. Kemarahan telah
membuat toko roti itu menjadi abu. Rosita yakin ia tidak sedang berada di suatu
negeri dimana orang-orang begitu murah menghargai peradaban.
Sejak kecil, ia telah
bersekolah dengan salah satu mata pelajaran tentang budi pekerti dan
menghormati makhluk hidup lain. Bahkan sampai ia masuk Universitas, mata
pelajaran itu masih diajarkan. Betapa bagusnya sistem pendidikan yang telah
diterimanya, tapi apa yang dilihatnya sekarang menjadi mata pelajaran baru
baginya. Ia tidak pernah tahu ada mata pelajaran budi pekerti buruk dan tidak
perlu menghormati makhluk hidup lain.
Ia telah dibohongi sepanjang pendidikannya dan betapa hebat pembuat
sistem pendidikan itu. Pasti orang itu bergelar guru besar dan mungkin
bersekolah di luar negeri, atau malah tidak pernah sekolah sama sekali.
“Kita harus ke Glodok!!” Harry
berteriak.
Setengah jam kemudian, Rosita
merasa tenggorokannya benar-benar macet untuk mengeluarkan suara. Sepasang
matanya dipaksa untuk melihat begitu banyak kejadian yang baru pernah
dilihatnya sepanjang hidupnya. Ia harus menangis tapi airmatanya seperti telah
habis. Matanya jadi begitu liar. Seperti kamera Harry yang tidak pernah
berpaling dari detik ke detik merekam kejadian yang barangkali akan disaksikan
anak cucunya bertahun-tahun kemudian dan berbad-abad kemudian.
Suatu kabar duka bahwa di
negeri yang mendapat julukan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, subur makmur dan
aman tentram, pernah terjadi peristiwa dimana manusia sedang kehilangan
kemanusiannya dan tidak perlu menanyakan alasannya kenapa. Malu bertanya akan
sesat di jalan, tapi terlalu banyak bertanya akan tidak pernah punya jalan
untuk pulang. Maka carilah jawabannya didalam diri sendiri.
Rosita tidak mempunyai
kesempatan untuk masuk ke lorong-lorong pasar Glodok, dimana sedang terjadi
adegan brutal. Seorang Gadis Tionghoa tiba-tiba sudah terjebak di suatu lorong
sepi. Mestinya ia bisa segera keluar dari sana, karena setiap hari ia
melewatinya. Tapi kepanikan membuatnya tidak bisa berpikir. Ia berteriak
histeris ketika tiba-tiba seorang laki-laki menerjangnya.
Ia masih sempat melihat
beberapa laki-laki lain yang menenteng barang jarahan. Dengan sisa tenaga yang
tidak seberapa, ia menyingkirkan laki-laki itu. Bersamaan dengan itu ia merasa
celananya dirobek paksa, dan ia tak mempunyai sisa tenaga lagi ketika badan
besar itu menindihnya dan merobek celana dalamnya. Gadis itu menjerit.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment