Sunday, July 4, 2010

1998 (15)

BAB DUAPULUHSATU


Suara gemuruh memantul ke langit. Teriakan-teriakan massa menggetarkan jalan raya di luar halaman Universitas Trisakti. Di sana sudah berkumpul masyarakat dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak ada sudut jalan yang tidak terisi orang. Termasuk jalan layang yang terletak di sebelah selatan Universitas. Orang-orang itu seperti muncul dari dalam bumi. Mereka kelihatan diliputi dengan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun kepala dan siap melakukan apasaja. Termasuk mengajak  para mahasiswa didalam kampus untuk keluar dan menghadapi aparat keamanan yang telah berjajar kembali dalam jumlah yang lebih besar dari hari sebelumnya, dalam kesiagaan yang lebih tinggi dari hari sebelumnya.
Di halaman kampus terpampang spanduk besar bertuliskan BERDUKA CITA, dan bendera merah putih di kibarkan setengah tiang. Para mahasiswa di halaman kampus yang ditaburi bunga-bunga bertuliskan duka cita itu, tidak banyak menjawab ajakan massa masyarakat yang bersimpati. Mereka tahu, kematian rekan mereka menjadi duka orang banyak. Tapi mereka dibatasi oleh perbedaan, bahwa mereka orang yang dididik dengan perhitungan, yang harus menggunakan otak lebih dulu daripada menuruti emosi, walaupun ubun-ubun kepala mereka sendiri sudah menguap menahan amarah. Bahkan sehari sebelumnya.
Gemuruh suara massa semakin memantul ke langit menjelang pukul duabelas siang, saat matahari diatas kepala. Di suatu sudut jalan raya, seorang laki-laki berwajah kasar mengambil botol bersumbu kain dari dalam tasnya. Dengan korek api yang telah dipersiapkannya, api segera membakar sumbu botol. Dalam dua detik, laki-laki berwajah kasar itu melemparkan bom molotov itu ke sebuah kios oli yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Kios itu terbakar dan laki-laki berwajah kasar itu telah menghilang dibalik kerumunan massa yang semakin bersorak.
***
Gemuruh suara massa terjadi di depan pusat perbelanjaan Mall Ciputra, sebuah tempat orang bersuka ria memanjakan dirinya dan menjajakan dirinya, yang letaknya di seberang selatan Universitas Trisakti. Mereka bergerombol dan kelihatan siap sekali untuk melakukan kerusuhan dengan menyerbu ke dalam pusat perbelanjaan itu.
Orang-orang yang berada di dalam pusat perbelanjaan berlarian keluar. Kepanikan terjadi dimana-mana dan semua orang berlari menyelamatkan dirinya. Meninggalkan kesenangannya karena nyawa mereka sedang terancam. Mendekap harta bendanya yang bisa di bawa. Kehadiran aparat keamanan yang sudah membentuk pagar betis di halaman gedung itu, tidak juga memberi rasa aman bagi mereka. Bagi mereka keadaan sedang dalam bahaya dan pasti akan sangat mengerikan.
Massa yang bergerombol akan menyerbu ke dalam pusat perbelanjaan, gagal melangkah. Mereka tidak berani untuk beradu kekuatan dengan aparat keamanan yang bersenjatakan lengkap.
***
Diatas jembatan layang, massa yang memenuhi jalan raya menghadang sebuah mobil tangki minyak. Laki-laki dengan lengan bertato, membawa tas, merangsek maju dan mencopot selang sehingga minyak segera tumpah diatas aspal. Laki-laki dengan lengan bertato itu mengeluarkan bom molotov dan korek api yang telah dipersiapkan dari dalam tasnya. Lima detik kemudian api menjilati aspal hitam. Massa bersorak kegirangan dan laki-laki dengan lengan bertato hilang entah kemana.
***
Dua buah helikopter militer menurunkan beberapa tentara pasukan khusus berbaju hitam-hitam dengan senapan dibadan, diatas jalan raya yang kosong. Mereka kemudian menyebar, dalam formasi perang. Rupanya telah diberlakukan keadaan kota dalam siaga satu. Bukan hanya polisi yang turun ke lapangan, tapi tentara telah juga ikut serta.
Kendaraan lapis baja dalam jumlah yang banyak bergerak dengan pasukan darat yang mengiringinya. Pengerahan tentara dalam jumlah banyak itu telah membuat jalan raya lengang dan menyingkirkan semua kesibukan yang biasanya menumpuk di sekitar jalan raya. Tidak ada mobil, tidak ada kemacetan dan tidak ada polusi kendaraan yang menyesakkan dada. Orang-orang tidak lagi berjalan dengan santai. Mereka berlarian sambil berharap nyawa mereka tidak melayang dengan sia-sia. Sebagian lagi berdiri menonton karena tidak pernah ada pemandangan menarik dan sehebat itu selama ini.
***
Di daerah Pecenongan, Rosita sedang berlarian bersama Harry yang terus menerus melakukan perekaman gambar. Untuk beberapa saat ia berdiri kaku melihat pemandangan di depannya. Ia dipaksa untuk mempercayai apa yang sedang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Orang-orang sedang menjarah toko dengan gagah berani dan menenteng barang jarahannya seolah-olah itu barang miliknya sendiri.
Para pemiliknya yang kebanyakan warga keturunan Tionghoa entah sudah pergi kemana. Mereka pasti sudah ketakutan karena pergaulan mereka masih dibeda-bedakan antara pribumi dan non pribumi. Istilah yang  bagi mereka sangat menakutkan sementara mereka telah hidup beratus-ratus tahun sejak dari nenek moyang mereka di negeri ini. Mereka punya hak hidup sama dengan orang yang disebutnya pribumi.
Api sudah membakar gedung dimana-mana. Seperti muncul begitu saja api itu, seperti orang-orang yang berlarian tidak beraturan. Teriakan-teriakan orang  tidak bisa dibedakan lagi antara yang ketakutan dan yang senang karena habis menjarah. Rosita sampai didepan restoran yang dulu sempat dilihatnya bersama Fajar sewaktu pembukaan. Restoran itu tidak berumur panjang. Api sedang menjilatinya dengan buas, seperti habis diterjang rudal.
Harry menyeret Rosita yang bengong. “Jangan sentimentil!” Teriaknya.
Rosita tidak sedang berpikir tentang hubungan emosional. Ia tidak pernah mengenal pemiliknya yang kebetulan keturunan Tionghoa. Tapi ia sedang mencari jawaban, bagaimana orang-orang mampu merobohkan peradaban mereka sendiri. Dan ia tahu persis ia tidak bisa menjawabanya saat itu juga.
“Harry, ke arah sana!!” Rosita menunjuk ke arah dimana letak toko roti Pak Tan.
“Disana toko sudah dibakar semua!”
Rosita juga yakin hal itu, bahkan mungkin seluruh kota telah di bakar. Tapi ia tetap bersekiras, paling tidak ia mempunyai harapan bahwa ia saksi terakhir yang melihat toko itu masih berdiri. Harapan itu ternyata telah hancur menjadi puing. Kemarahan telah membuat toko roti itu menjadi abu. Rosita yakin ia tidak sedang berada di suatu negeri dimana orang-orang begitu murah menghargai peradaban.
Sejak kecil, ia telah bersekolah dengan salah satu mata pelajaran tentang budi pekerti dan menghormati makhluk hidup lain. Bahkan sampai ia masuk Universitas, mata pelajaran itu masih diajarkan. Betapa bagusnya sistem pendidikan yang telah diterimanya, tapi apa yang dilihatnya sekarang menjadi mata pelajaran baru baginya. Ia tidak pernah tahu ada mata pelajaran budi pekerti buruk dan tidak perlu menghormati makhluk hidup lain.  Ia telah dibohongi sepanjang pendidikannya dan betapa hebat pembuat sistem pendidikan itu. Pasti orang itu bergelar guru besar dan mungkin bersekolah di luar negeri, atau malah tidak pernah sekolah sama sekali.
“Kita harus ke Glodok!!” Harry berteriak.
Setengah jam kemudian, Rosita merasa tenggorokannya benar-benar macet untuk mengeluarkan suara. Sepasang matanya dipaksa untuk melihat begitu banyak kejadian yang baru pernah dilihatnya sepanjang hidupnya. Ia harus menangis tapi airmatanya seperti telah habis. Matanya jadi begitu liar. Seperti kamera Harry yang tidak pernah berpaling dari detik ke detik merekam kejadian yang barangkali akan disaksikan anak cucunya bertahun-tahun kemudian dan berbad-abad kemudian.
Suatu kabar duka bahwa di negeri yang mendapat julukan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, subur makmur dan aman tentram, pernah terjadi peristiwa dimana manusia sedang kehilangan kemanusiannya dan tidak perlu menanyakan alasannya kenapa. Malu bertanya akan sesat di jalan, tapi terlalu banyak bertanya akan tidak pernah punya jalan untuk pulang. Maka carilah jawabannya didalam diri sendiri.   
Rosita tidak mempunyai kesempatan untuk masuk ke lorong-lorong pasar Glodok, dimana sedang terjadi adegan brutal. Seorang Gadis Tionghoa tiba-tiba sudah terjebak di suatu lorong sepi. Mestinya ia bisa segera keluar dari sana, karena setiap hari ia melewatinya. Tapi kepanikan membuatnya tidak bisa berpikir. Ia berteriak histeris ketika tiba-tiba seorang laki-laki menerjangnya.
Ia masih sempat melihat beberapa laki-laki lain yang menenteng barang jarahan. Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, ia menyingkirkan laki-laki itu. Bersamaan dengan itu ia merasa celananya dirobek paksa, dan ia tak mempunyai sisa tenaga lagi ketika badan besar itu menindihnya dan merobek celana dalamnya. Gadis itu menjerit.   
(bersambung)

No comments: