BAB 9
JUN Maher berdiri
dengan tegang. Semuanya telah bersiap. Waktu buat mereka bergerak sudah
ditentukan. Tidak bisa lagi ditawar.
“Beny Reza menempatkan
mobil utama menghadap timur di selatan jalan raya, di sudut lapangan, disebelah
barat jalan masuk ke rumah target,” kata Jun Maher memberi pengarahan. “Saat
target menyebrang jalan, mobil maju persis dimana target menyebrang dan Tigor
menyergapnya lalu memasukan ke dalam mobil. Dan mobil Parwata di sebelah utara
jalan, duapuluhmeter dibelakang mobil utama, menghadap timur. Kita akan berhenti
di terminal Mandiraja dan berganti mobil. Kalau semua berjalan lancar, kita
akan kembali ke base camp
melewati jalan yang sama. Kalau ada masalah, kita jalankan rencana B lewat
daerah Rakit.”
“Dimana posisi
Mustajab?” Tanya Warsito.
“Mustajab dari Purwokerto
akan turun di terminal Mandiraja dan menunggu kita. Ada pertanyaan?”
“Saya lebih suka mobil
utama masuk ke jalan arah rumah target,” ujar Tigor memberi pendapat. “Lalu
lintas masih belum aman seratus persen.”
“Posisi itu memang
lebih aman karena tidak terlihat dari arah barat, tapi akan makan waktu lebih
lama. Waktu maksimal kita adalah limabelas detik.”
“Pastikan saja kau
tidak salah menginjak rem, Beny.”
“Oke.”
“Warsito, kau beri
tanda kami situasi sekitarnya,” kata Jun Maher yakin. “Kami tidak mau ada orang
mengganggu kami sebelum target diambil.”
“Siap, Bos.”
“Tidak ada kata gagal.
Kita harus berhasil.” Kata Jun Maher memastikan. “Semoga Tuhan melindungi kita
semua.”
Lalu semua keluar.
Hanya dokter Syahrial
Anwar yang tinggal didalam rumah itu. Beny Reza membawa satu mobil dan Jun
Maher serta Tigor Naipospos. Parwata dan Warsito Abdul Khamid berada di satu
mobil lainnya dan didalam mobil mereka tersimpan semua senjata. Warsito yang
membawa mobilnya. Dua mobil itu melintasi jalan aspal yang dingin.
Hanya beberapa menit
kemudian mobil sudah berada dalam posisi masing-masing. Beny Reza membuka kap
mobilnya dan harus sibuk mengotak-atik seolah mogok. Jun Maher dan Tigor
Naipospos diam didalam mobil. Berjarak duapuluh meter di arah baratnya,
disebelah utara jalan, mobil Parwata berhenti dengan mesin mati. Warsito tegang
mendengarkan suasana sekitar lewat radio dan dia mendengarkan lewat headphone.
Jun Maher mengangkat
telpon pribadinya. Seperti biasa ia berkata, “Aku sudah dalam posisi.”
“Tiga menit lagi
sampai di Serayu.” Terdengar suara
Mustajab dan langsung terputus hubungan telpon itu.
Tigor mengetuk kaca
depan mobilnya untuk memberi tanda kepada Beny Reza diluar. Tapi Beny sendiri
sedang menenangkan diri karena seorang lelaki separuh baya memakai kain sarung
dan membawa lampu senter berjalan ke arahnya. Sudah pasti lelaki paruh baya itu
akan bertanya kepada Beny dan memperhatikan mobil yang dikiranya mogok.
“Mobilnya kenapa, Mas?”
Tanya lelaki separuh baya itu.
“Oh, hanya kehabisan
air radiator Pak. Sudah selesai,” Jawab Beny sambil menutup kap mobilnya
buru-buru.
“Tidak perlu bantuan?”
Sudah pergi saja. “Tidak, Pak. Terimakasih.”
Beny sudah masuk ke
dalam mobilnya dan membunyikan mobilnya. Lelaki separuh baya itu dengan
sendirianya pergi begitu saja. Beny mengelap keringat yang muncul di mukanya.
“Bisnya datang,” kata
Jun Maher melihat ke belakang.
“Saya siap,Bos,” kata
Beny begitu saja.
Warsito dan Parwata
bukan tidak tahu apa yang terjadi dengan Beny saat lelaki paruh baya itu
datang. Parwata jauh lebih tenang. Warsito yang gelisah karena ia yakin lelaki
paruh baya itu akan tetap berada didekat Beny sebelum Beny menutup kap
mobilnya. Saat bis itu melewati mobil mereka, ketegangan jauh lebih merambat di
kepala mereka.
“Itu bisnya,”ujar
Parwata.
“Ya. Itu mobilnya.”
Suara Warsito gemetar.
Bis jurusan Purwokerto
Semarang itu berjalan melambat dan benar-benar berhenti di seberang lapangan
itu. Tidak berapa lama Abusono turun seorang diri. Lalu menunggu bis itu pergi
agak jauh dan lelaki tua itu menoleh kanan kiri. Dia sempat memperhatikan mobil
Jun Maher di ujung jalan. Tapi ia lebih serius melihat kanan kiri dan
menyebrang jalan dengan langkah pendek. Saat jarak aspal dan tanah tinggal tiga
langkah, mobil Beny Reza maju dan berhenti persis didepan Abusono. Pintu
belakang terbuka dan turun Tigor dan tangan kekarnya mencengkeram Abusono dan
menariknya seperti karung beras. Tidak sampai delapan detik, Abusono sudah
dalam mobil Jun Maher.
Beny Reza sudah
menjalankan mobilnya dengan senormal mungkin begitu pintu tertutup. Mobil
Parwata mengatur jarak sudah berjalan juga. Tidak sampai setengah menit, nampak
Noor Amini keluar dari rumahnya dan berjalan ke depan rumahnya dan melihat ke
arah jalan raya. Wanita itu terus berdiri disana dan kemudian berjalan ke arah
jalan raya.
Wanita itu tahu
seharusnya suaminya sudah sampai di rumah. Tapi kesunyian di tempat itu tidak
bisa menjawab pertanyaannya.
JUN Maher sudah
memasang penutup mata ke muka Abusono. Tanpa ada omongan satu kata pun keluar
dari mulut mereka. Tigor Naipospos duduk melihat ke belakang dengan tegang.
Beny Reza menambah laju mobilnya. Setelah selesai mengikat tangan Abusono
dengan kain, Jun Maher baru bisa bernafas lega. Sengaja dia tidak memakai
borgol.
Senyap dalam mobil itu.
“Siapa kalian?” Abusono
berkata tiba-tiba.
Jun Maher tidak
menjawabnya.
Tigor terus melihat ke
belakang dan melihat ke jam tangannya. Lalu memberi kode aman kepada Jun Maher.
Setelah itu Jun Maher menepuk bahu Beny Reza sekali sebagai tanda aman. Delapan
menit kemudian Beny Reza menghentikan mobil persis di samping mobil yang sudah
disiapkan di terminal Mandiraja. Mustajab sudah dibelakang setir. Posisi mobil
sama-sama menghadapkan pintu mobil. Jadi saat Tigor membuka pintu dan Mustajab
membuka pintu dari dalam, tidak akan terlihat saat Tigor menarik Abusono. Jun Maher mengikuti dan menutup
pintunya. Tigor juga sudah menutup pintu mobil pertamanya dan kembali berada
dibelakang Beny dan langsung pergi. Mustajab melihat Abusono dibelakangnya dan
Jun Maher memberi kode supaya jalan. Mustajab menjalankan mobilnya.
Mobil Parwata di luar terminal dan diam
menunggu. Warsito mendengarkan pantauan udaranya dengan serius, dan dia
mendadak memutuskan lain.
“Jalankan rencana B,”
kata Warsito di radio kepada Jun Maher.
Jun Maher mendengarkan ditelinganya dengan
tegang. Lalu dia menepuk bahu Mustajab dua kali. Tanpa berpikir dua kali
Mustajab mengarahkan mobil keluar dari terminal dan menyebrang jalan dan masuk
ke jalan kecil ke arah utara terminal.
“Beny, tetap dengan
rencana A ke base camp,” terdengar
kata Warsito mengingatkan.
“Roger,” Tigor Naipospos menjawab singkat dan menatap ke
depan. “Aku tidak melihat ada gerakan lain.”
“Mungkin bukan lawan,”
jawab Beny membawa mobilnya melewati jalur semula.
Mustajab tahu jalan yang harus dilewati.
Ia lahir di kota itu dan jalan yang dilewatinya adalah jalan saat dari kecil ia
lewati dengan ayahnya dengan motor. Dibelakangnya mengikuti mobil Parwata.
Apa yang di khawatirkan
Tigor terbukti. Didepan sana, nampak berhenti mobil Polisi dan sedang
mengadakan razia.
“Warsito hebat,” bisik
Tigor melihat ke arah polisi yang menghentikan mobilnya. Beny menurunkan kaca
mobilnya.
“Selamat malam, bisa
lihat SIM dan STNK?”
Beny mengeluarkannya.
“Pak Ahmad Turmudi?”
Tanya Polisi itu melihat SIM Beny Reza.
“Ya.”
“Anda tinggal di
Jakarta Timur ya?”
“Sesuai tertera di SIM,
Pak.” Beny terus tersenyum
“Sebentar ya.”
Polisi itu membawa STNK
dan SIM Beny ke arah mobil patrolinya. Lalu dia menjulurunkan tangannya ke
dalam mobil. Tampak ada bayangan seseorang didalam mobil polisi itu.
“Ada yang tidak beres,”
Tigor berkata lirih.
“Kita ikuti saja.”
Polisi itu sudah
kembali.
“Maaf Pak Ahmad
Turmudi, silahkan keluar. Juga teman bapak.”
“Ada apa, Pak?”
“Mobil yang bapak bawa
adalah mobil curian.”
Ada yang tahu
operasi ini, batin Tigor keluar
mobil.
“Silahkan masuk ke
bagian belakang,” kata Polisi itu masuk mobil ke belakang setir.
Beny dan Tigor masuk
mobil kembali ke belakang.
“Kita mau dibawa
kemana?” Tanya Tigor Naipospos penasaran.
“Polres, Pak.”
Lalu kembali ke arah
timur. Juga mobil patroli polisi itu. Tidak ada lagi patroli jalan raya. Polisi
hanya menghentikan mereka.
(bersambung)