BAB 7
JUN Maher berada
dalam sebuah kamar di rumah base camp. Kamar yang akan dipersiapkan untuk menempatkan Abusono atau Sam. Ia
menata sendiri letak ranjang, bantal, jenis kasurnya dan seprei serta satu
bantal. Ia bahkan memilih sendiri jenis ranjangnya. Sengaja dipilihnya dari
jenis besi dan ukurannya single atau hanya untuk satu orang. Di ujung ranjang
pada kedua sisinya ia memasang dua buah borgol kaki. Ia juga mengukur letak
nakas dan jaraknya dari tempat tidur saat tangan menjangkau sesuatu dari tempat
tidur. Jendela adalah kelemahan utama kamar itu untuk meloloskan diri. Makanya
ia mematikan kunci jendela kaca itu dan menutupnya dengan kain tebal mirip
korden. Ia menjauhkan ranjang dari jendela menghindari jangkauan tangan dan
kepala kalau tiba-tiba terjadi tindakan nekat seperti menjebol kaca jendela
dengan tangan dan kepalanya.
Beny Reza sudah berdiri di pintu kamar itu
dan menatap Jun Maher.
“Ada yang harus saya
lakukan?”
“Oya. Jam
duapuluhempat, kau jemput Pak Umar Yusuf ke Pangkalan Udara Wirasaba. Mustajab,
kau bawa mobil kedua.”
“Baik, Pak,” jawab
Mustajab.
“Ada yang sangat
penting rupanya.” Beny Reza nampak heran.
“Hanya mengantarkan
seorang dokter buat kita.” Jun Maher menoleh ke Mustajab lagi. “Besok aku butuh
satu mobil lagi. Carikan yang bisa lebih lari dari dua mobil yang sudah ada.”
“Besok saya dapatkan.”
Kedua lelaki itu pergi
begitu saja.
Lalu masuk Tigor dan
melihat apa yang sudah dilakukan Jun Maher dengan kamar itu.
“Kenapa Tigor?”
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan,
Bos?”
Jun Maher menatap Tigor . “Oke.”
“Jalan kaki sepertinya
menyenangkan.”
“Ide bagus.”
Limabelas menit
kemudian, Jun Maher dan Tigor sudah berjalan kaki menyusuri pinggir jalan
provinsi. Ada rel kereta api peninggalan Belanda di pinggir jalan itu. Lalu
lintas sudah mulai sepi. Hanya motor yang mengisi jalan itu dengan jadwal yang
tidak padat. Tidak seperti kota besar, jam duapuluh satu sudah sangat sepi.
Hampir tidak ada aktifitas orang lagi di jalan. Jadwal hidup orang-orang sudah
sangat disiplin. Tenaga mereka bekerja saat siang hari, di istirahatkan total
saat malam hari. Kebutuhan delapan jam maksimal tidur terpenuhi.
Mereka melihat lapangan
di seberang jalan dimana nampak rumah Abusono alias Sam juga terlihat sepi dan
tidak ada tanda-tanda orang di sekitarnya. Mereka menyeberang jalan dan
kemudian duduk di jembatan kecil di sudut lapangan, persis di jalan masuk ke
arah rumah Abusono alias Sam. Tigor terus menerus merokok. Jun Maher terus
menerus melihat ke jalan raya.
“Ini terlalu mudah,
Bos.”
“Maksudmu?”
“Untuk target sebesar
ini, sepertinya kita tidak punya perlawanan dan tidak punya lawan.”
“Aku lebih suka
begitu.”
“Tapi tidak mungkin.”
“Tinggal sehari
semalam. Aku tidak mau ada kesalahan.”
“Bos percaya target
kita sedang tidur didalam rumahnya itu?”
“Bisa jadi dia sedang
mempesiapkan pelariannya berikutnya.”
“Jadi orang itu
benar-benar selalu lari?”
“Aku yakin begitu.”
“Tapi kali ini arah
larinya tidak masuk akal.”
“Dia sangat sayang
dengan anak lelakinya yang menjadi dokter.” Jun Maher menjelaskan. “Dia mungkin
khawatir anak kebanggaannya menjadi dokter di desa kecil di daerah yang jauh.”
“Jauh dari mana?
Perancis?”
“Bisa jadi.”
“Tapi kelihatannya
orang ini tidak mau kembali.”
“Mungkin dia betah.
Atau bisa jadi dia merasa bahwa dia tidak akan lari lagi karena sudah capek.
Lebih dari itu, bisa jadi dia berpikir tidak ada lagi orang yang akan
mengenalinya.”
“Bodoh sekali kalau dia
punya pikiran begitu.”
“Semua itu akan jelas
besok malam.” Jun Maher melihat jam tangannya. “Kondisi seperti ini bagus
sekali untuk mengambil target.”
“Kenapa tidak sekarang
saja?”
“Kau pikir kita
melakukan pekerjaan amatiran. Ada apa denganmu Tigor, kenapa tiba-tiba otakmu
jadi tidak karuan begitu?”
“Entalah, Bos. Aku
merasa tugas kita ini jadi terlalu menegangkan.”
“Anggaplah kita sedang
bersilaturahim dengan saudara disini.”
Lalu mereka diam.
Tidak lama mereka
meninggalkan tempat itu.
Saat jam menunjukkan
pukul satu dinihari, Umar Yusuf datang bersama seorang lelaki berumur
limapuluhlima tahun. Berwajah klimis dan tenang. Rambutnya rapi disisir ke
belakang dan matanya tajam. Semua menyambut kedatangan Umar Yusuf dan berkumpul
di ruangan dalam yang lebih luas dan lebih tenang. Beny Reza dan Mustajab masuk
ke dalam rumah dengan menenteng tas cukup besar. Tas perbekalan berisi senjata.
“Ini dokter Syahrial
Anwar,” kata Umar Yusuf memperkenalkan lelaki yang dibawanya. “Waktu kita
semakin sempit. Saya ingin target langsung dibawa ke Jakarta begitu diambil.”
“Saya ingin target
berada disini menunggu situasi,” kata Jun Maher membantah. “Saya tidak ingin
membawa bangkai ke Jakarta, Pak.”
“Aku baru dapat
kepastian, CIA dan MI6 turun. Mungkin sekarang mereka sudah disini.”
“Benar-benar gila ini.
Huh.” Tigor Naipospos berseru.
“Aku bawakan kalian
perbekalan untuk persiapan.” Umar Yusuf menunjuk dua tas cukup besar yang
dibawa masuk Beny Reza dan Mustajab. “Tapi saya tetap inginkan tidak ada
satupun peluru yang keluar. Lingkungan disini kelihatan nyaman dan diam, tapi
saat kalian melakukan kesalahan, kalian bisa jadi tidak akan sanggup keluar
dari wilayah ini.”
Tigor mengambil salah
satu tas itu dan membukanya. Sebuah senjata otomatis diambilnya dan
diperlihatkannya.
“Dengan senjata macam
begini, apakah mereka juga akan tetap berdiri ditengah jalan, Bos?” tantang
Tigor menatap Umar Yusuf.
“Berharap saja kita
lebih beruntung kali ini. Ada pertanyaan?”
Tidak ada pertanyaan.
“Saya datang hanya
ingin memberi kalian keyakinan, bahwa yang akan kalian tangkap adalah sebuah
sejarah. Lakukan dengan benar tanpa ada kesalahan. Selamat malam.”
Umar Yusuf langsung
pergi meninggalkan ruangan itu.
Jun Maher mengikutinya.
Sampai diluar rumah,
seorang lelaki berbadan tinggi besar menunggu disamping mobil. Pengawal Umar
Yusuf.
“Kapan kau ambil dia,
Jun?”
“Besok malam.”
“Lakukan dengan benar.
Ini bisa jadi taruhan karir kita.”
“Maksud Bapak?”
“Setelah kasus ini
selesai, aku mau pensiun, Jun.” Umar Yusuf memandang Jun Maher serius. “Sudah
terlalu lama aku memegang DIK. Dan kau yang aku harapkan menggantikan
posisiku.”
“Saya yakin Presiden
akan mengambil dari angkatan.”
“Mungkin iya, mungkin
tidak…..tergantung kekuatan siapa yang mampu mempengaruhi keputusan Presiden,
dan itu jelas bukan aku.”
“Hati-hati, Pak.”
Umar Yusuf tersenyum
dan kemudian masuk ke dalam mobil. Beny Reza sudah masuk ke belakang setir.
Pengawal Umar Yusuf masuk kedalam mobil sebelah kiri depan. Jun Maher masuk ke
dalam rumah.
Lalu sepi.
Malam itu berlalu tanpa
ada kejadian yang berarti.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment