Friday, April 1, 2011

SAM (7)

BAB 7



JUN Maher berada dalam sebuah kamar di rumah base camp. Kamar yang akan dipersiapkan untuk menempatkan Abusono atau Sam. Ia menata sendiri letak ranjang, bantal, jenis kasurnya dan seprei serta satu bantal. Ia bahkan memilih sendiri jenis ranjangnya. Sengaja dipilihnya dari jenis besi dan ukurannya single atau hanya untuk satu orang. Di ujung ranjang pada kedua sisinya ia memasang dua buah borgol kaki. Ia juga mengukur letak nakas dan jaraknya dari tempat tidur saat tangan menjangkau sesuatu dari tempat tidur. Jendela adalah kelemahan utama kamar itu untuk meloloskan diri. Makanya ia mematikan kunci jendela kaca itu dan menutupnya dengan kain tebal mirip korden. Ia menjauhkan ranjang dari jendela menghindari jangkauan tangan dan kepala kalau tiba-tiba terjadi tindakan nekat seperti menjebol kaca jendela dengan tangan dan kepalanya. 
     Beny Reza sudah berdiri di pintu kamar itu dan menatap Jun Maher.
     “Ada yang harus saya lakukan?”
     “Oya. Jam duapuluhempat, kau jemput Pak Umar Yusuf ke Pangkalan Udara Wirasaba. Mustajab, kau bawa mobil kedua.”
     “Baik, Pak,” jawab Mustajab.
     “Ada yang sangat penting rupanya.” Beny Reza nampak heran.
     “Hanya mengantarkan seorang dokter buat kita.” Jun Maher menoleh ke Mustajab lagi. “Besok aku butuh satu mobil lagi. Carikan yang bisa lebih lari dari dua mobil yang sudah ada.”
     “Besok saya dapatkan.”
     Kedua lelaki itu pergi begitu saja.
     Lalu masuk Tigor dan melihat apa yang sudah dilakukan Jun Maher dengan kamar itu.
     “Kenapa Tigor?”
     “Bagaimana kalau kita jalan-jalan, Bos?”
     Jun Maher menatap Tigor . “Oke.”
     “Jalan kaki sepertinya menyenangkan.”
     “Ide bagus.”
     Limabelas menit kemudian, Jun Maher dan Tigor sudah berjalan kaki menyusuri pinggir jalan provinsi. Ada rel kereta api peninggalan Belanda di pinggir jalan itu. Lalu lintas sudah mulai sepi. Hanya motor yang mengisi jalan itu dengan jadwal yang tidak padat. Tidak seperti kota besar, jam duapuluh satu sudah sangat sepi. Hampir tidak ada aktifitas orang lagi di jalan. Jadwal hidup orang-orang sudah sangat disiplin. Tenaga mereka bekerja saat siang hari, di istirahatkan total saat malam hari. Kebutuhan delapan jam maksimal tidur terpenuhi.
     Mereka melihat lapangan di seberang jalan dimana nampak rumah Abusono alias Sam juga terlihat sepi dan tidak ada tanda-tanda orang di sekitarnya. Mereka menyeberang jalan dan kemudian duduk di jembatan kecil di sudut lapangan, persis di jalan masuk ke arah rumah Abusono alias Sam. Tigor terus menerus merokok. Jun Maher terus menerus melihat ke jalan raya.
     “Ini terlalu mudah, Bos.”
     “Maksudmu?”
     “Untuk target sebesar ini, sepertinya kita tidak punya perlawanan dan tidak punya lawan.”
     “Aku lebih suka begitu.”
     “Tapi tidak mungkin.”
     “Tinggal sehari semalam. Aku tidak mau ada kesalahan.”
     “Bos percaya target kita sedang tidur didalam rumahnya itu?”
     “Bisa jadi dia sedang mempesiapkan pelariannya berikutnya.”
     “Jadi orang itu benar-benar selalu lari?”
     “Aku yakin begitu.”
     “Tapi kali ini arah larinya tidak masuk akal.”
     “Dia sangat sayang dengan anak lelakinya yang menjadi dokter.” Jun Maher menjelaskan. “Dia mungkin khawatir anak kebanggaannya menjadi dokter di desa kecil di daerah yang jauh.”
     “Jauh dari mana? Perancis?”
     “Bisa jadi.”
     “Tapi kelihatannya orang ini tidak mau kembali.”
     “Mungkin dia betah. Atau bisa jadi dia merasa bahwa dia tidak akan lari lagi karena sudah capek. Lebih dari itu, bisa jadi dia berpikir tidak ada lagi orang yang akan mengenalinya.”
     “Bodoh sekali kalau dia punya pikiran begitu.”
     “Semua itu akan jelas besok malam.” Jun Maher melihat jam tangannya. “Kondisi seperti ini bagus sekali untuk mengambil target.”
     “Kenapa tidak sekarang saja?”
     “Kau pikir kita melakukan pekerjaan amatiran. Ada apa denganmu Tigor, kenapa tiba-tiba otakmu jadi tidak karuan begitu?”
     “Entalah, Bos. Aku merasa tugas kita ini jadi terlalu menegangkan.”
     “Anggaplah kita sedang bersilaturahim dengan saudara disini.”
     Lalu mereka diam.
     Tidak lama mereka meninggalkan tempat itu.
     Saat jam menunjukkan pukul satu dinihari, Umar Yusuf datang bersama seorang lelaki berumur limapuluhlima tahun. Berwajah klimis dan tenang. Rambutnya rapi disisir ke belakang dan matanya tajam. Semua menyambut kedatangan Umar Yusuf dan berkumpul di ruangan dalam yang lebih luas dan lebih tenang. Beny Reza dan Mustajab masuk ke dalam rumah dengan menenteng tas cukup besar. Tas perbekalan berisi senjata.
     “Ini dokter Syahrial Anwar,” kata Umar Yusuf memperkenalkan lelaki yang dibawanya. “Waktu kita semakin sempit. Saya ingin target langsung dibawa ke Jakarta begitu diambil.”
     “Saya ingin target berada disini menunggu situasi,” kata Jun Maher membantah. “Saya tidak ingin membawa bangkai ke Jakarta, Pak.”
     “Aku baru dapat kepastian, CIA dan MI6 turun. Mungkin sekarang mereka sudah disini.”
     “Benar-benar gila ini. Huh.” Tigor Naipospos berseru.
     “Aku bawakan kalian perbekalan untuk persiapan.” Umar Yusuf menunjuk dua tas cukup besar yang dibawa masuk Beny Reza dan Mustajab. “Tapi saya tetap inginkan tidak ada satupun peluru yang keluar. Lingkungan disini kelihatan nyaman dan diam, tapi saat kalian melakukan kesalahan, kalian bisa jadi tidak akan sanggup keluar dari wilayah ini.”
     Tigor mengambil salah satu tas itu dan membukanya. Sebuah senjata otomatis diambilnya dan diperlihatkannya.
     “Dengan senjata macam begini, apakah mereka juga akan tetap berdiri ditengah jalan, Bos?” tantang Tigor menatap Umar Yusuf.
     “Berharap saja kita lebih beruntung kali ini. Ada pertanyaan?”
     Tidak ada pertanyaan.
     “Saya datang hanya ingin memberi kalian keyakinan, bahwa yang akan kalian tangkap adalah sebuah sejarah. Lakukan dengan benar tanpa ada kesalahan. Selamat malam.”
     Umar Yusuf langsung pergi meninggalkan ruangan itu.
     Jun Maher mengikutinya.
     Sampai diluar rumah, seorang lelaki berbadan tinggi besar menunggu disamping mobil. Pengawal Umar Yusuf.
     “Kapan kau ambil dia, Jun?”
     “Besok malam.”
     “Lakukan dengan benar. Ini bisa jadi taruhan karir kita.”
     “Maksud Bapak?”
     “Setelah kasus ini selesai, aku mau pensiun, Jun.” Umar Yusuf memandang Jun Maher serius. “Sudah terlalu lama aku memegang DIK. Dan kau yang aku harapkan menggantikan posisiku.”
     “Saya yakin Presiden akan mengambil dari angkatan.”
     “Mungkin iya, mungkin tidak…..tergantung kekuatan siapa yang mampu mempengaruhi keputusan Presiden, dan itu jelas bukan aku.”
     “Hati-hati, Pak.”         
     Umar Yusuf tersenyum dan kemudian masuk ke dalam mobil. Beny Reza sudah masuk ke belakang setir. Pengawal Umar Yusuf masuk kedalam mobil sebelah kiri depan. Jun Maher masuk ke dalam rumah.
     Lalu sepi.
     Malam itu berlalu tanpa ada kejadian yang berarti.  
(bersambung)

No comments: