Monday, April 25, 2011

SAM (8)


BAB 8


JAM menunjukkan pukul tiga dinihari. Jun Maher berdiri disamping whiteboard dan memegang spidol dan menggambar denah lokasi penyergapan dan dua mobil yang harus berada di posisinya. Semuanya mendengarkan dan melihat dengan serius. Termasuk Dokter Syahrial Anwar.
     “Saat target turun dari bis, biarkan sampai menyebrang jalan. Sebelum dia turun dari aspal, kita sergap dan masukkan ke dalam mobil. Beny, mobil kau hadapkan ke arah timur, pinggir jalan, persis di mulut jalan masuk ke arah rumah target. “
     “Kenapa ke arah timur? Bukankah itu menjauhi base camp dan pangkalan udara?” Tigor bertanya dengan yakin.
     “Kita bawa dulu target jalan untuk mengaburkan lokasi base camp.”
     “Buang-buang waktu.”
     “Kau lupa kalau teman-teman kita sudah berada disini?” Jun Maher memberikan alasan. “Mereka pasti melacak kita dan aku tidak mau saat kita kembali ke base camp, mereka sudah menunggu kita dengan senjata Magnum ditangan mereka.”
     “Lalu mobil saya di terminal Mandiraja?” Tanya Mustajab belum paham.
     “Jika terjadi sesuatu dengan rencana A, kita jalankan rencana B. Kita pindahkan target dan langsung menuju pangkalan udara. Ada sebuah jalan di sebelah utara terminal Mandiraja menuju daerah bernama Rakit. Dari daerah Rakit ini kita ke arah barat dan langsung menuju pangkalan udara Wirasaba. Akses jalan cukup bagus tapi sempit. Jarak tempuh ke pangkalan udara enam kilometer melewati tiga desa.”
     “Kita harus mempunyai rencana C.” Parwata memberikan pendapat. “Saya yakin teman-teman kita mempunyai rencana A dan B seperti rencana kita. Rencana C adalah membiarkan target masuk ke dalam rumahnya dan kita ambil paksa dari sana.”
     “Sejak pertama kita sudah putuskan tidak melibatkan keluarga.” Warsito mengingatkan.
     “Saya setuju rencana C.”
     “Kalau rencana C juga gagal?” Tanya Beny Reza.
     “Kita gunakan rencana D,” jawab Tigor mantap.
     “Apa itu rencana D?” Mustajab penasaran.
     “Kita gunakan jalan senjata dengan perbekalan yang baru dikirim. Buat apa Pak Umar jauh-jauh hanya mengantarkan Pak Syahrial Anwar seorang diri?”
     “Kau pikir aku tidak penting?” Syahrial Anwar berkata dingin.
     “Bukan begitu, dokter,” Tigor berkata sopan. “Saya hanya mengingatkan soal pentingnya operasi ini.”
     “Baiklah,” Jun Maher mengambil alih pembicaraan. “Dari semua rencana kita, yang paling besar risiko buat kita adalah rencana C. Tingkat kegagalan dan kebocoran terlalu tinggi. Kita tetap dengan rencana pertama kita.”
     “Saya ingin target diikuti saat pergi ke Purwokerto,” kata Parwata memberikan usul. “Terlebih lagi saat pulang naik bis. Saya tidak mau ada teman kita mengambilnya lebih dulu.”
     “Rencana yang bagus. Siapa yang akan ke Purwokerto?”
     “Kau Mustajab.” Tigor berkata tegas seolah memberi perintah.
     Mustajab menoleh ke Jun Maher.
     “Ya. Itu tugasmu.”
     Mustajab mengangguk.
     “Ada usul, saran, pertanyaan atau yang lain? Dokter?”
     “Tidak ada,” jawab Syahrial Anwar santai.
     “Satu jam sebelum jam H, kita akan terus berada di tempat masing-masing pengintaian.” Jun Maher menghapus semua tulisan dalam whiteboard. “Kita punya waktu untuk istirahat beberapa jam.”
     Lalu semua buar.
     Ruangan itu lalu sepi.
     Tapi Jun Maher tidak bisa memejamkan matanya. Ia sedang mempertaruhkan karirnya. Bukan hanya terhadap karirnya tetapi karir Umar Yusuf. Sejujurnya ia ingin operasi kali ini dipersembahkan untuk atasannya itu, agar memasuki masa pensiunnya dicatat dengan tinta emas. Umar Yusuf menjadikannya seorang yang  banyak belajar menjadi benar. Dunianya adalah dunia gelap. Umar Yusuf membuatnya selalu bisa mencari ketenangan batinnya. Tidak ikut masuk ke dalam dunia pekerjaanya.
     Jun Maher berjalan ke arah pintu keluar. Ia harus keluar untuk melihat keadaan. Ia tidak bisa memejamkan mata sebelum targetnya benar-benar sudah berada di tangannya. Saat pintu hendak terbuka, dibelakangnya muncul Mustajab.
     “Boleh saya temani, Pak?”
     Jun Maher melihat Mustajab yang serius.
     “Tentu saja.”
     Tak berapa lama mereka sudah berjalan pelan dipinggir jalan, ditengah rel kereta api peninggalan Belanda. Sama-sama merokok dan di pagi subuh itu, belum terlihat lalu lintas yang berarti kecuali sepeda ontel dan sepeda motor yang membawa sayuran menuju pasar.
     “Apa yang terjadi selanjutnya setelah target ditangan kita?” Tanya Mustajab memulai pembicaraan.
     “Apapun bisa terjadi.”
     “Saya tidak yakin sejarah kita bisa selesai hanya dengan keterangan Sam.”
     “Tidak akan pernah bisa selesai.” Jun Maher menghisap rokoknya dalam-dalam. “Aku tidak mengharapkan Sam meluruskan sejarah negeri ini. Kalaupun dia nanti bicara peristiwa Gerakan 30 September 1965, tidak lebih sebagai salah satu catatan pelengkap.”
     “Lalu untuk apa kita melakukan operasi ini?”
     “Kau tahu kenapa Amerika menjadi besar? Mereka menciptakan musuh-musuhnya sendiri. Mereka menciptakan ketakutan yang mereka bangun sendiri agar musuh-musuh mereka jauh lebih takut.”
     “Seperti peristiwa 11 september?”
     “Seperti peristiwa yang jauh lebih besar yang terjadi.”
     “Saya takut kita gagal.”
     “CIA pernah gagal. BIN juga sering gagal. Tapi kita jangan sampai gagal.”
     Lalu mereka menyebrang jalan dan duduk di jembatan kecil di sudut lapangan, di jalan menuju rumah Abusono alias Sam. Mereka terus merokok untuk mengusir kantuk dan udara dingin.
     “Kau lahir disini?”
     “Betul, Pak. Desa kelahiran saya bernama Lengkong.”
     “Apa artinya?”
     “Tidak jelas benar sejarah desa saya kenapa diberi nama Lengkong. Ada yang berkelakar itu singkatan leng dan kong. Leng itu lobang, kong adalah kependekan dari bangkong atau katak. Jadi kalau ada bencana apapun, kita katanya bisa selamat karena berada dalam lobang.”
     Jun Maher tertawa.
     “Bapak lahir di Solo?”
     “Ya. Desa Bekonang.”
     “Desa yang terkenal.”
     “Tapi tidak seterkenal Desa Pathuk atau Desa Kemusuk di Yogyakarta.”
     Mereka tertawa bersama.
     Tapi langsung berhenti saat itu juga.
     Abusono keluar dari dalam rumah.
     Jun Maher berdiri dan berkata. “Sebaiknya aku pulang.”
     “Saya langsung berangkat ke Purwokerto.”
     “Kita akan terus berhubungan.”
     Jun Maher langsung pergi begitu saja dan menyebrang jalan.
     Mustajab berdiri di pinggir jalan, bersikap seolah menunggu bis yang akan datang dari arah timur. Dia melihat ke arah timur yang masih diselimuti kabut. Ia tidak bisa pergi lagi dari tempatnya. Jalan satu-satunya ia harus tetap berada ditempatnya. Abusono benar-benar berjalan ke arahnya dan ditemani Istrinya. Abusono memakai jaket dan topi dan membawa tas kulit yang dipegangnya seperti membawa buku.
     Abusono dan istrinya nampak mengobrol sesuatu tapi lantas berhenti begitu mendekati Mustajab. Istri Abusono seorang wanita berusia enampuluh enam tahun bernama Noor Amini, seorang wanita yang nampak pendiam dan memperlihatkan sikap yang sangat sopan. Melihat Mustajab mereka nampak berusaha untuk bersikap tenang.
     “Saya sedang menunggu bis ke Purwokerto,” Mustajab memulai pembicaraan lebih dulu. “Bapak mau ke arah Purwokerto atau ke arah Wonosobo?”     
     “Ke arah barat, Purwokterto ya…”Abusono menjawab seolah meyakinkan tujuannya benar. “Tinggal dimana?” 
     “Di sebrang, di belakang kantor Pos.”
     “Ooo…”
     “Ibu pulang saja,” pinta Abusono ke Istrinya. “Aku sudah ada teman perjalanan. Jangan khawatir.”
     “Hati-hati, Pak.”
     “Ya, pasti.”
     Noor Amini lalu mencium pipi kanan kiri Abusono lantas berjalan ke arah rumahnya lagi.
     “Bilang Dodo jangan lupa kasih makan ayam jago dibelakang.”
     “Iya. Bapak juga jangan sampai terlambat makan, obat dan vitamin ada di saku tas.” Wanita itu sepertinya berat melepaskan kepergian Abusono sendirian. Sampai beberapa lama terus melihat ke arah suaminya. 
     “Bapak biasa berangkat pagi-pagi begini?” Mustajab berusaha akrab.
     “Tidak juga. Menghindari bis penuh saja sama anak sekolah sama orang bekerja. Apalagi harus berdiri dan berdesak-desakan.” Abusono tergelak. “Kau tahu, umurku…”
     Lalu mereka diam.
     Tidak berapa lama bis yang mereka tunggu datang dan berhenti. Mustajab memberikan kesempatan lebih dulu Abusono naik bis. Didalam bis, Abusono berjalan ke arah depan. Mustajab duduk di kursi paling belakang dan paling pojok. Baru juga duduk, Abusono menoleh kepadanya dan memberinya tanda untuk duduk disebelahnya yang kosong. Mustajab menurutinya.
     “Temani aku saja,” ujar Abusono. “Aku takut ketiduran dan lupa turun.”
     Aku juga ngantuk, batin Mustajab. “Saya akan bangunkan bapak kalau sampai.”
     “Terimakasih.”
Belum sampai tiga menit, Abusono tertidur. Mustajab sendiri mengatupkan mata, dan menunggu, merasakan ketegangan di otot leher dan punggung serta linu di kaki yang baru dirasakannya. Tidur akan sangat nikmat, apalagi waktu tigapuluh menit sangat cukup baginya sebelum sampai di tempat tujuan. Tapi ia tidak berani melakukannya. Lelaki disampingnya adalah Sam.

(bersambung)

No comments: