BAB 8
JAM menunjukkan
pukul tiga dinihari. Jun Maher berdiri disamping whiteboard dan memegang spidol dan menggambar denah lokasi
penyergapan dan dua mobil yang harus berada di posisinya. Semuanya mendengarkan
dan melihat dengan serius. Termasuk Dokter Syahrial Anwar.
“Saat target turun dari
bis, biarkan sampai menyebrang jalan. Sebelum dia turun dari aspal, kita sergap
dan masukkan ke dalam mobil. Beny, mobil kau hadapkan ke arah timur, pinggir
jalan, persis di mulut jalan masuk ke arah rumah target. “
“Kenapa ke arah timur? Bukankah itu menjauhi
base camp dan pangkalan udara?” Tigor bertanya dengan yakin.
“Kita bawa dulu target
jalan untuk mengaburkan lokasi base camp.”
“Buang-buang waktu.”
“Kau lupa kalau
teman-teman kita sudah berada disini?” Jun Maher memberikan alasan. “Mereka
pasti melacak kita dan aku tidak mau saat kita kembali ke base camp, mereka sudah menunggu kita dengan senjata Magnum
ditangan mereka.”
“Lalu mobil saya di
terminal Mandiraja?” Tanya Mustajab belum paham.
“Jika terjadi sesuatu
dengan rencana A, kita jalankan rencana B. Kita pindahkan target dan langsung
menuju pangkalan udara. Ada sebuah jalan di sebelah utara terminal Mandiraja
menuju daerah bernama Rakit. Dari daerah Rakit ini kita ke arah barat dan
langsung menuju pangkalan udara Wirasaba. Akses jalan cukup bagus tapi sempit.
Jarak tempuh ke pangkalan udara enam kilometer melewati tiga desa.”
“Kita harus mempunyai
rencana C.” Parwata memberikan pendapat. “Saya yakin teman-teman kita mempunyai
rencana A dan B seperti rencana kita. Rencana C adalah membiarkan target masuk
ke dalam rumahnya dan kita ambil paksa dari sana.”
“Sejak pertama kita
sudah putuskan tidak melibatkan keluarga.” Warsito mengingatkan.
“Saya setuju rencana
C.”
“Kalau rencana C juga
gagal?” Tanya Beny Reza.
“Kita gunakan rencana D,” jawab Tigor
mantap.
“Apa
itu rencana D?” Mustajab penasaran.
“Kita gunakan jalan
senjata dengan perbekalan yang baru dikirim. Buat apa Pak Umar jauh-jauh hanya
mengantarkan Pak Syahrial Anwar seorang diri?”
“Kau pikir aku tidak
penting?” Syahrial Anwar berkata dingin.
“Bukan begitu, dokter,”
Tigor berkata sopan. “Saya hanya mengingatkan soal pentingnya operasi ini.”
“Baiklah,” Jun Maher
mengambil alih pembicaraan. “Dari semua rencana kita, yang paling besar risiko
buat kita adalah rencana C. Tingkat kegagalan dan kebocoran terlalu tinggi.
Kita tetap dengan rencana pertama kita.”
“Saya ingin target
diikuti saat pergi ke Purwokerto,” kata Parwata memberikan usul. “Terlebih lagi
saat pulang naik bis. Saya tidak mau ada teman kita mengambilnya lebih dulu.”
“Rencana yang bagus.
Siapa yang akan ke Purwokerto?”
“Kau Mustajab.” Tigor
berkata tegas seolah memberi perintah.
Mustajab menoleh ke Jun
Maher.
“Ya. Itu tugasmu.”
Mustajab mengangguk.
“Ada usul, saran, pertanyaan atau yang lain?
Dokter?”
“Tidak ada,” jawab
Syahrial Anwar santai.
“Satu jam sebelum jam
H, kita akan terus berada di tempat masing-masing pengintaian.” Jun Maher
menghapus semua tulisan dalam whiteboard. “Kita punya waktu untuk istirahat beberapa jam.”
Lalu semua buar.
Ruangan itu lalu sepi.
Tapi Jun Maher tidak
bisa memejamkan matanya. Ia sedang mempertaruhkan karirnya. Bukan hanya
terhadap karirnya tetapi karir Umar Yusuf. Sejujurnya ia ingin operasi kali ini
dipersembahkan untuk atasannya itu, agar memasuki masa pensiunnya dicatat
dengan tinta emas. Umar Yusuf menjadikannya seorang yang banyak belajar menjadi benar. Dunianya
adalah dunia gelap. Umar Yusuf membuatnya selalu bisa mencari ketenangan
batinnya. Tidak ikut masuk ke dalam dunia pekerjaanya.
Jun Maher berjalan ke
arah pintu keluar. Ia harus keluar untuk melihat keadaan. Ia tidak bisa
memejamkan mata sebelum targetnya benar-benar sudah berada di tangannya. Saat
pintu hendak terbuka, dibelakangnya muncul Mustajab.
“Boleh saya temani,
Pak?”
Jun Maher melihat
Mustajab yang serius.
“Tentu saja.”
Tak berapa lama mereka
sudah berjalan pelan dipinggir jalan, ditengah rel kereta api peninggalan
Belanda. Sama-sama merokok dan di pagi subuh itu, belum terlihat lalu lintas
yang berarti kecuali sepeda ontel dan sepeda motor yang membawa sayuran menuju
pasar.
“Apa yang terjadi
selanjutnya setelah target ditangan kita?” Tanya Mustajab memulai pembicaraan.
“Apapun bisa terjadi.”
“Saya tidak yakin
sejarah kita bisa selesai hanya dengan keterangan Sam.”
“Tidak akan pernah bisa
selesai.” Jun Maher menghisap rokoknya dalam-dalam. “Aku tidak mengharapkan Sam
meluruskan sejarah negeri ini. Kalaupun dia nanti bicara peristiwa Gerakan 30
September 1965, tidak lebih sebagai salah satu catatan pelengkap.”
“Lalu untuk apa kita
melakukan operasi ini?”
“Kau tahu kenapa
Amerika menjadi besar? Mereka menciptakan musuh-musuhnya sendiri. Mereka
menciptakan ketakutan yang mereka bangun sendiri agar musuh-musuh mereka jauh
lebih takut.”
“Seperti peristiwa 11
september?”
“Seperti peristiwa yang
jauh lebih besar yang terjadi.”
“Saya takut kita
gagal.”
“CIA pernah gagal. BIN
juga sering gagal. Tapi kita jangan sampai gagal.”
Lalu mereka menyebrang
jalan dan duduk di jembatan kecil di sudut lapangan, di jalan menuju rumah
Abusono alias Sam. Mereka terus merokok untuk mengusir kantuk dan udara dingin.
“Kau lahir disini?”
“Betul, Pak. Desa
kelahiran saya bernama Lengkong.”
“Apa artinya?”
“Tidak jelas benar
sejarah desa saya kenapa diberi nama Lengkong. Ada yang berkelakar itu
singkatan leng dan kong. Leng itu lobang, kong adalah kependekan dari bangkong
atau katak. Jadi kalau ada bencana apapun, kita katanya bisa selamat karena
berada dalam lobang.”
Jun Maher tertawa.
“Bapak lahir di Solo?”
“Ya. Desa Bekonang.”
“Desa yang terkenal.”
“Tapi tidak seterkenal
Desa Pathuk atau Desa Kemusuk di Yogyakarta.”
Mereka tertawa bersama.
Tapi langsung berhenti
saat itu juga.
Abusono keluar dari
dalam rumah.
Jun Maher berdiri dan
berkata. “Sebaiknya aku pulang.”
“Saya langsung
berangkat ke Purwokerto.”
“Kita akan terus
berhubungan.”
Jun Maher langsung
pergi begitu saja dan menyebrang jalan.
Mustajab berdiri di
pinggir jalan, bersikap seolah menunggu bis yang akan datang dari arah timur.
Dia melihat ke arah timur yang masih diselimuti kabut. Ia tidak bisa pergi lagi
dari tempatnya. Jalan satu-satunya ia harus tetap berada ditempatnya. Abusono
benar-benar berjalan ke arahnya dan ditemani Istrinya. Abusono memakai jaket
dan topi dan membawa tas kulit yang dipegangnya seperti membawa buku.
Abusono dan istrinya
nampak mengobrol sesuatu tapi lantas berhenti begitu mendekati Mustajab. Istri
Abusono seorang wanita berusia enampuluh enam tahun bernama Noor Amini, seorang
wanita yang nampak pendiam dan memperlihatkan sikap yang sangat sopan. Melihat
Mustajab mereka nampak berusaha untuk bersikap tenang.
“Saya sedang menunggu
bis ke Purwokerto,” Mustajab memulai pembicaraan lebih dulu. “Bapak mau ke arah
Purwokerto atau ke arah Wonosobo?”
“Ke arah barat,
Purwokterto ya…”Abusono menjawab seolah meyakinkan tujuannya benar. “Tinggal
dimana?”
“Di sebrang, di
belakang kantor Pos.”
“Ooo…”
“Ibu pulang saja,”
pinta Abusono ke Istrinya. “Aku sudah ada teman perjalanan. Jangan khawatir.”
“Hati-hati, Pak.”
“Ya, pasti.”
Noor Amini lalu mencium
pipi kanan kiri Abusono lantas berjalan ke arah rumahnya lagi.
“Bilang Dodo jangan
lupa kasih makan ayam jago dibelakang.”
“Iya. Bapak juga jangan
sampai terlambat makan, obat dan vitamin ada di saku tas.” Wanita itu
sepertinya berat melepaskan kepergian Abusono sendirian. Sampai beberapa lama
terus melihat ke arah suaminya.
“Bapak biasa berangkat
pagi-pagi begini?” Mustajab berusaha akrab.
“Tidak juga.
Menghindari bis penuh saja sama anak sekolah sama orang bekerja. Apalagi harus
berdiri dan berdesak-desakan.” Abusono tergelak. “Kau tahu, umurku…”
Lalu mereka diam.
Tidak berapa lama bis
yang mereka tunggu datang dan berhenti. Mustajab memberikan kesempatan lebih
dulu Abusono naik bis. Didalam bis, Abusono berjalan ke arah depan. Mustajab
duduk di kursi paling belakang dan paling pojok. Baru juga duduk, Abusono
menoleh kepadanya dan memberinya tanda untuk duduk disebelahnya yang kosong.
Mustajab menurutinya.
“Temani aku saja,” ujar
Abusono. “Aku takut ketiduran dan lupa turun.”
Aku juga ngantuk, batin Mustajab. “Saya akan bangunkan bapak kalau
sampai.”
“Terimakasih.”
Belum sampai tiga menit, Abusono tertidur. Mustajab sendiri
mengatupkan mata, dan menunggu, merasakan ketegangan di otot leher dan punggung
serta linu di kaki yang baru dirasakannya. Tidur akan sangat nikmat, apalagi
waktu tigapuluh menit sangat cukup baginya sebelum sampai di tempat tujuan.
Tapi ia tidak berani melakukannya. Lelaki disampingnya adalah Sam.
No comments:
Post a Comment